Mau dapat CUAN dari menulis?
“Hidup itu seperti roller coaster, Bilqis,” ujar Bude sambil menyeruput teh di depan teras rumahnya. “Kadang kamu di atas, tapi kadang kamu jatuh di bawah. Naik turun itu biasa. Mungkin sekarang Tuhan sedang beri kamu cobaan.” “Iya, Bude.” Aku menyeka anak rambut di kening. Dalam keadaan perasaan yang kacau aku biasa bercerita pada Bude. Sejak Mama meninggalkanku beberapa tahun lalu, adik mamaku itulah satu-satunya tempatku mencurahkan isi hati. Ah, nasib. “Pernikahanmu dengan Azmi gak bahagia kayak ending film Korea atau suara hati suami di channel ikan terbang itu?” lanjut Bude menyebut tontonan favoritnya. Aku menggeleng pelan sambil menggigit bibir. Sebenarnya aku butuh permen untuk di kunyah. Namun, hanya ada teh untuk dipandangi, eh, di seruput juga, deh. Jangankan membayangkan kebahagiaan, Azmi menyentuhku saja tidak. Malam pertama ia mau tidur di kamar aku terjang hingga ia jatuh dan terguling di lantai. Kutimpuk pakai bantal seraya berkata, “Tidur di kamar lain aja sana. Kamu ngorok mirip sirene ambulan!” “Eh, belum lagi tidur kok tahu aku ngorok?” “Udah, males aku dengar radio rusak! Mending tidur sama Mbak Kunti yang kesepian sana.” Aku hanya beralasan. Sejak saat itu dan setiap malam Azmi masuk ke kamar aku selalu menyuruhnya keluar. Ah, kalau ingat hal itu jadi ingin cepat taubat. Aku istri durjana. Mungkin karena itulah Azmi lama-lama ikut membenciku macam ibu dan kakak-adiknya. Aku pun sudah tak sudi melihat wajahnya lagi sejak kemarin kudengar percakapan Lita. Bukan kehilangan Azmi yang menyakitkan, tetapi pengkhianatan seorang teman baik yang kupercayai. Rasanya makjleb saat orang yang dulu pas ia jatuh kutolong, kini pas mulai bangkit malah nusuk dari belakang, depan, atas, bawah, samping, segala arah pokoknya. Bude menghela napas. “Minumlah. Sakit hatinya bisa diurus nanti, tapi tehnya gak bisa nunggu. Ntar kalau udah dingin gak enak lagi, kayak perasaanmu. Dingin.” Aku pun menyeruput teh panas yang Bude suguhkan. Duh, langsung kutepuk bibir beberapa kali karna tehnya terlalu panas. “Eh, eh, jangan sembarang seruput gitu. Minumnya sambil memejamkan mata dan bersyukur kepada Allah, atur napas pelan. Pikirkan hal indah yang kamu alami hari ini. Maka rasa teh itu pasti akan lebih nikmat, cobalah, Bilqis.” “Iya, Bude.” Aku kembali menyeruput teh itu dengan cara yang disarankan Bude. Ternyata benar, rasanya semakin nikmat. Ada manis-manisnya gitu. Rasa lega yang mengalir memasuki dada. “Kamu mikirin apa emang?” “Mikirin Azmi malu sampe mukanya kayak kepiting rebus karena potonya sama Nera dan Lita nampang di baliho besar. Terus keluarganya pada ikut spot jantung. Mita megap-megap karena brosur ayam kampusnya kesebar.” “Hahaha. Jangan berlebihan gitu, kasihan mereka.” Aku ikut terkekeh. “Bude bilang rencana Allah itu selalu indah, ‘kan?” lanjutku. “Ya.” “Tapi kenapa rencana Allah itu lama sekali bagian indahnya, Bude?” Bude hanya tersenyum sambil meletakkan gelas teh yang tadi ia pegang ke atas meja. “Kalau orang buat rencana yang besar dan mau hasilnya besar, pasti lama. Butuh persiapan yang matang. Mana boleh buru-buru. Nanti gak sempurna. Begitu juga Allah, Nak. Mungkin Dia sedang mempersiapkan rencana yang benar-benar besar untukmu, agar hasilnya sempurna.” Bude meraih kembali gelas di meja dan menghabiskan isinya. “Tidur sana di kamar. Oh ya, mungkin juga kamu masih menyimpan dendam selama ini. Coba lupain. Semoga kamu segera tenang seperti rencana Allah.” Bude beranjak dari kursi rotan itu dan masuk rumah. *** “Bilqis!” teriak Berno dari ujung telepon kala aku baru saja mengangkat belasan kali panggilannya. “Maaf, No. gue tidur di rumah Bude. Habis subuh gue lelap lagi nih kayak kucing kekenyangan.” “Lu lupa hari ini lu presentasi tender sama perusahan besar, Bil.” Mataku membulat. Aku yang tadi terbaring menggeliat langsung sigap bangun sambil menoleh jam. Pukul 07.49WIB! Sekitar sepuluh menit lagi aku harus presentasi. “Gue lupa, No. Namanya juga ketiduran gak direncanain.” Aku beranjak sambil menjepit ponsel di antara kepala dan bahu. Kuraih sikat gigi dan pasta lalu dengan sigap menyikat. Kurapikan rambutku yang acak-acakan sambil bercermin. Parfum kusemprotkan ke tubuh dari kepala sampai kaki. Aku berganti pakaian rapi. Tambah warna merah di bibir sedikit. Catutan rias tipis di wajah. Lalu let’s go. Cepat kukeluarkan motor di garasi Bude. Kupasang helm dan bersiap berangkat dengan gaya Valentino Rossi. Betapa kesalnya saat aku menyalakan motor itu tiada bereaksi. Ternyata kuncinya belum dicolokkan. Kurogoh kantung mencari si kunci, tiada ketemu. Ternyata si kunci tertinggal di kamar. Berlari lagi aku ke kamar. Sempat menginjak ekor si Meong kucing Bude dan ia mengeram, aku minta maaf. Sempat pula mengobrak-abrik meja rias karena mencari kunci hingga alat hiasku terbuyar ke lantai. Biar saja. Ketika kembali keluar kamar kudapati Bude membawa sepiring pisang goreng dan segelah kopi. “Ini loh, sarapan dulu biar kuat menghadapi kenyataan. Hidup gak seindah puisinya Kahlil Gibran,” ucap Bude seraya kaget melihat aku yang begitu kalut. Kuraih satu pisang goreng dan langsung aku kembali melompat ke motor sambil mengunyah. Kucolokkan kunci, kustarter tak mau hidup juga. “Aduh, kenapa ini?” gumamku cemas. “Buudee, kenapa motor Bude gak mau idup siih?” teriakku pada Bude yang sudah duduk di teras sambil menikmati pisang gorengnya, juga begitu menikmati penderitaanku. “Entah, ya. Kaca spionnya kali, miring, coba lurusin.” Aku menepuk jidat. “Ya gak ada hubungannya sama spion Bude.” “Itu berarti kamu sering hidupin sen ke kanan beloknya ke kiri, Bilqis!” Bude tertawa makin kencang. “Iiih, Bude. Aku harus cepet, nih.” Arlojiku sudah menunjukkan jam delapan. “Mungkin bannya kempes.” “Ya tetap gak ada hubungannya.” Bude berjalan mendekatiku dan memeriksa sekeliling motornya. “Lha itu kaki standar-nya belum dinaikin.” Bude menoyor kepalaku yang sudah terpasang helm. Aku tertawa renyah sambil menepuk jidat lagi. Oke, tancap gas gaya Rossi. Semilir angin sejuk musim penghujan Kota Jambi memainkan rambutku. Dan apa yang dibilang Bude sambil tergelak memegang perut sebelum aku berangkat tadi akhirnya benar adanya. Saking gugupnya, aku hidupkan lampu sign ke kanan, tetapi sebelum belok kanan aku menepi ke kiri. Sontak pengendara di belakangku membunyikan klaskon alamiah dari mulutnya, “Woi! Kalau belok kiri jangan kasih sen ke kanan!” “Iya, Pak, maaf.” Aku pun makin gugup. Di persimpangan selanjutnya kuhidupkan sen ke kiri tapi aku belok kanan. Kali ini suara klakson mobil yang memekak telinga. Sopir truk box itu ternyata tersenyum ramah saja saat melewatiku. “Mau mati lu!?” Ia melotot seketika saat kubalas dengan senyuman. Aku melambaikan tangan minta maaf. Sementara ponsel di saku celanaku bergetar sedari tadi, barangkali Berno yang menelepon karena aku belum kunjung datang. Kuabaikan saja karena beberapa menit lagi aku sampai. Suara ban berdecit ketika aku mengerem di depan gedung paling tinggi di kota itu. Lekas aku melepas helm dan berkaca di spion sambil merapikan rambut. Kusisir dengan jari, rontok. Ah, harusnya aku pakai pelembab rambut bukan mama lemon. Apalah daya yang tak sempat mandi karena kehabisan waktu. Tak lupa kukembalikan kaca spion ke posisi awal, takut perkataan Bude benar lagi dan motor jadi tak mau hidup. Melompat aku dari motor. Rupanya aku lupa menurunkan kaki standar hingga motor Bude roboh seketika. Ambruk ke lantai paving block yang berpasir tipis. Aaah, membuang waktuku saja. Aku pun tak menghiraukannya dan berlalu begitu saja. Saat itu lah seorang satpam meniup peluit kencang. Priiiitt! Aku menoleh kiri-kanan, apa aku kena kartu kuning atau merah? Hah? Memangnya aku melakukan pelanggaran? “Motor Ibu tidak terparkir dengan baik. Nanti saya bisa tilang Ibu, silakan perbaiki posisi motornya. Kasihan dia udah jomblo malah ditinggalin tergeletak gitu, Bu.” “Aduh, Pak. Saya lagi buru-buru, nih, mau ikut tender pengadaan bibit sawit.” “Gak bisa. Nanti hati Ibu saya tilang, eh, motornya maksudnya.” “Tapi ….” Aku ingin berdebat kalau seorang satpam harusnya tak bisa memberi tilang kendaraan. “Gak ada tapi-tapian.” Satpam itu berani melotot padaku. Mungkin karena penampilanku yang kacau tak mencerminkan seorang Direktur di perusahaan. “Silakan, Bu. Sekarang atau tidak selamanya!” “Puitis amat sih, Pak.” “Dulu saya memang suka puisi. Saya suka puisi cinta dari Kahlil Gibran. Waktu SMA saya suka sama seorang wanita tapi ditolak karena gak bisa nembak. Jadi dia bilang mau pacaran sama sahabat saya saja, tapi ternyata sahabat saya itu juga gak bisa nembak. Akhirnya dia pacaran sama guru BK.” “Sedih amat kisah Bapak.” “Iya, Bu. Lebih sedih lagi kalau dengar kisah saya mau kuliah. Saya suka lagi dengan seorang janda … Eh, kok jadi curhat ini. Cepat berdiriin motornya sana!” “I-iya, Pak.” Aku gegas kembali mengangkat motorku agar berdiri. Namun, tenagaku lemas. Tak kuat. Pisang goreng Bude tadi ternyata hanya cukup menyempal perut, tak cukup untuk memberi tenaga ekstra. “Sini, aku bantu.” Suara lelaki itu tiba-tiba mengagetkanku. Saat aku menoleh, betapa terkejut saat melihat orang yang ada di sampingku ternyata adalah si tampan. “Bilqis Elfath?” lanjutnya. Amboi! Dia ingat nama lengkapku. Tahan, Bilqis. Jangan salto dulu. Bibir, jangan dulu tersenyum dan kamu, jantung, jangan mulai lagi, deh. Tatapanku dan si tampan bertemu. Gawat, aku lupa meletakkan file namanya di memori sebelah mana. Aku lupa namanya, Tuhan. Nama mana oi namanya mana, Bilqiiis! *** BERSAMBUNG …. TAP LOVE DAN KOMENTAR DULU YUK! Dapatkan penghasilan mulai dari Rp. 1.000.000 dari nulis di PF online. Kerja sehari satu jam doang dan sambil rebahan, bisa cuan jutaan! Pelajari caranya di Kelas LTF (Latih Tulis Fiksi)!Daftar di sini ya! 0823-0614-5892 (admin Ara) Cek dulu I*******m : @kelasmenulisonline.ltfSiapa, ya, namanya? Lee, bukan. Tori, bukan. Siti, apa lagi. Betti, itu tukang jahit di sebelah rumah Bude yang mulutnya lebih pedas dari rica-rica tapi hatinya baik. Roti, ah bukan, itu makanan ringan untuk sarapan pagi yang harganya bisa sangat mahal di bandara atau di kapal ferry. Terus siapa? Aduuh, kepalaku sibuk mencari data namanya hingga tak sadar motorku sudah berdiri ia angkat.“Udah.” Si Tampan menepuk tangannya, membersihkan dari debu.“Cepetlah, Jei!” ucap lelaki yang berada di depan gedung. Tampak satpam itu mengangguk hormat di depan lelaki itu. Ah, iya, baru aku ingat namanya Jei.“Duluanlah, Malfin.” Jei melambaikan tangan pada temannya. Jei kemudian menatapku heran yang terpaku dan terdiam. Ya, diam-diam mencuri pandang padanya.“Mau ke mana, Bil?”“Ke hatimu. Eh, ke gedung itu.” Aku menunjuk ke arah gedung.“Mau barengan?”Napasku tersendat seketika. “Mau, mau.” Aku mengangguk dua kali.“Ayo.” Jei memiringkan kepala, mengajak berjalan bersama sambil melangkah di dep
Info: GIVE AWAY 1500 koin menanti bagi yang komen dari bab 8-12. Koin udah sedia tinggal transfer. Baca kuis paling bawah cerita dan jawab di komentar ya Mbak Cantik. Ponsel berdering saat berada dalam ruangan poli gigi. Azmi menelepon. Angkat gak? Jujur aku sangat kesal padanya dan tak mau bicara apa-apa. Baiklah, kuabaikan saja.“Apa perlu dicabut, Dok?” tanyaku sambil melirik mata Berno dan mengangkat dua alis, menggodanya.“Emm.” Dokter Putri kembali memperhatikan mulut sobatku itu, yang ketika dibuka tercium lah aroma dari berbagai jenis makanan bau.Begitu menderita jadi Dokter Gigi, seharian kerjanya hanya menciumi mulut-mulut bau. Lebih menderita lagi Dokter Putri karena pasiennya kali ini adalah Berno.“Di mana tang-nya, Dok? Aku ambilkan.” Aku sengaja menakuti Berno. Ia pun membulatkan matanya.“Ja-jangan, Dok. Biar saya sakit gigi aja terus, biar tiap hari bisa berobat ke sini sama Dokter.”“Ya. Memang gak perlu dicabut, kok. Cukup saya beri obat dan suntik, ya?”“Su-sunti
INFO GIVE AWAY lagi! Cek di bawah yaa.“Kalau kamu mencintai seseorang, Bilqis,” ujar Bude malam harinya setelah aku kembali bercerita soal Jei, “cintai lah dia sepenuh hati. Tapi jangan cintai sepenuh jiwa.”“Kenapa, Bude?” Keningku mendadak mengernyit.Bude diam sejenak.“Biar kalau putus kamu cukup sakit hati, dan gak perlu sakit jiwa.” Bude terkekeh pelan.Aku pun terkekeh dan menyeruput teh botol Sastro dingin. Karena apa pun makanannya minumnya teh botol Sastro.Suasana malam Kota Jambi agak dingin karena senja tadi sempat gerimis. Suara jangkrik di pohon manggis sebelah rumah terdengar berdemo agar hujan lagi. Namun, panglima semut di sudut teras itu lantang melawan. Sementara burung hantu di atap mengejar tikus, bertukar tugas dengan malaikat maut mencabut nyawa binatang itu.“Jadi kamu mau usir keluarga Azmi dari rumahmu?” tanya Bude.“Kalau bisa, Bude.”Rumah yang ditinggali Azmi dan keluarga itu adalah rumahku. Sebelumnya, itu adalah rumah Papa yang memang tak pernah ditung
“Please, deh, Bilqis. Jangan bersikap blo’on di depan mereka. Lu udah keterlaluan, sumpah. Kalau gak gara-gara warisan, gak pantes lu jadi Direktur.”“Ih, No, kok, lu ngomong gitu sama gue?” Aku mencebik.Berno menahan tubuhku saat aku hendak masuk ruangan direktur PT. Munjaya Agrikultura. Kutepis tangannya dan tetap masuk. Ia pun menggeleng sambil berdecak.“Assalamu’alaikum.” Meski jarang sekali aku mengucap salam, kulakukan saja demi kesopanan dan itu cukup baik untuk pencitraan diriku.“Wa’alaikumsalam. Masuk.”Aku membuka pintu itu. Berno mengiringi di belakangku. Aroma wangi menyeruak dari ruangan yang bernuansa lembut dengan tampilan dan perabot minimalis. Sebuah globe duduk manis di atas meja direktur, diputar-putar oleh jari pria itu.“Bu Bilqis?” tanya lelaki dengan kulit cokelat itu, Malfin. Direktur utama perusahaan itu adalah Malfin, sementara Jei adalah wakilnya.“Bukannya meeting kita masih setengah jam lagi?” terusnya sambil mengangkat tangan dan melirik arloji.“Emm,
“Wah, ini, kan, baju-baju mahal!” Mata Ibu dan Mita berbinar ketika memasuki butik branded di sebuah mal. Tingkahnya sudah macam seekor kucing jantan yang jomblo akut melihat kucing betina sedang tidur.“Ibu dan Mita boleh pilih-pilih aja dulu. Aku hanya mau beli scarf sama jilbab untuk budeku aja. Beli yang banyak, ya, nanti kalau udah pilih-pilihnya langsung Whatsapp atau telpon aku aja. Aku juga mau lihat-lihat.” Aku menyilakan mereka yang sudah sedari tadi sibuk memilah-milah.“Sering-sering gini, Kak.” Mita begitu antusias.Aku kemudian membiarkan mereka menikmati angan-angan semu untuk memiliki pakaian branded itu. Sementara itu, aku mencoba beberapa scarf dan tak lupa kuambilkan untuk Bude, sekaligus jilbab untuknya juga. Tak lupa aku beranjak ke pakaian muslimah di kiri pojok butik itu, kuambil satu set gambis beserta pashmina lengkap dengan cadarnya. Kubayar ke kasir dengan beberapa lembar uang.“Nggak nanya sekalian pulsa, Mbak?” tanyaku.Seketika kasir itu terkekeh. “Ini bu
Tinggal 300 koin. Giliran kamu yang dapat koinnya ya. Komen di bawah!“Lita, cepet, deh, kamu ke mal. Kamu gak mau ikut pergokin suamiku sama selingkuhan barunya? Kamu gak ikut mau tampar wajah pelakor itu? Ayo cepet jangan nunggu lebaran monyet! Keburu kucing bertanduk ntar!” Aku membuat Lita cemas bukan buatan.Lita yang sedang dalam rangkulan Azmi tiba-tiba celingukan mencari keberadaanku. Ia gagap sambil berusaha melepas lengan Azmi dari bahunya. Ia pun melangkah menjauh menjaga jarak. Napasnya megap-megap pastinya. Seperti orang bengek yang baru kumat dan lupa bawa inhaler.“Eh, di mal?” Lita masih menjawabku di telepon.“Iya, Lit. Tadi aku sama Ibu mertua belanja ke mal, terus lihat Azmi di eskalator. Ini mereka turun. Aku udah siap kamera, nih, untuk viralin dia.” Ingin rasanya cekikikan, tetapi aku takut ketahuan.Lita langsung berbalik dan seketika kembali naik dengan tergopoh-gopoh. Tampak Azmi berusaha memanggil dan mengejar Lita yang melawan arah gerakan tangga. Satu-dua o
“Masih nyangkut, Lit?” Aku kembali dari minimarket dan apotek di depan rumah sakit.“Ekk, masih, ekk.”“Aku ada ide. Kali ini aku yakin berhasil, Lit. Pertama, kamu minum susu yoghurt ini dan biarkan biji itu tertelan. Jangan ditahan sama-sekali.” Aku meletakkan sekotak susu bergambar sapi goyang ngebor tulalit. Mungkin filosofinya adalah dengan meminum itu semua urusan jadi lancar, termasuk sesuatu yang nyangkut di tenggorokan.“Ekk, terus kalau gak bisa keluar, gimana?” Lita menunjukkan wajah cemasnya, takut kalau rencanaku tak berhasil.“Tenang.” Aku menepuk bahu Lita pelan sambil mengangguk sangat meyakinkan. “Aku sudah beli ini di apotik.” Tanganku mengangkat sebuah botol kecil berisi cairan yang tak lain adalah obat pencuci perut.“Dengan ini, semua isi perut bisa dikeluarkan. Bahkan sekaligus usus-ususnya. Eh, maksudku kotoran yang ada di usus.”“Ekk, baik.”“Telan aja biji kelengkengnya. Minumlah.” Kusodorkan yoghurt ke Lita. Ia meraih dengan cepat dan meminumnya hingga tetes
Tiga sekeluarga itu–Azmi, Mita dan Ibu mereka–membuatku murka bukan kepalang. Mereka tak ubahnya parasit yang hinggap di inang lalu menggerogoti inangnya. Aku adalah inang itu. Dan kini berani-beraninya mereka memojokkanku seolah-olah aku salah.Padahal, jelas-jelas ini semua akal licik Azmi. Suami tak beradab dan tak tahu diri, kalau pun itu pantas disebut suami karena beberapa hari lalu ia terucap kata cerai.“Aku masih suamimu, Bil.”“Jangan mimpi, Azmi!” Setelah terucap kata cerai itu tak sudi lagi aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’.Ibu dan Mita ikut memberondongku dengan peluru yang mereka lontarkan lewat mulut-mulut embernya. Mereka kita aku gentar? Atau takut? Sertifikat rumah sudah dibalik atas namaku. Rumah ini sudah milikku.“Kalau kalian gak mau keluar, aku yang akan mengusir kalian secara paksa!” Aku muntab.Azmi, Mita dan Ibu mereka–Saniah namanya–harus mengulum bibir rapat-rapat. Diam seribu bahasa. Tak memiliki senjata lagi untuk ditembakkan.“Bil?” Suara Azmi berge
“Ini adalah lokasi penampungan bibit. Sebelah sana perkecambahan.” Aku menunjuk sebuah greenhouse di sudut tanah lapang yang kami sewa itu.Jei dan Malfin mengangguk mendengar penjelasanku.“Wah, jarang sekali Direktur baru tapi paham tentang seluk-beluk bisnisnya.” Jei memuji, tangannya tetap berada di dalam saku celana. Sesekali ia membetulkan posisi topi pelindung panas di kepalanya.Hari ini kami memantau proyek pembibitan sawit untuk penanaman massal belasan ribu hektar dari PT. Munjaya Agrikultura. Malfin terlihat berjongkok nun di sana bersama para buruh, memastikan bibit yang mereka tanam sambil sesekali bergurau, mengakrabkan diri.Jei kembali bertanya, “Apa bunga-bunga di sana itu sengaja untuk memperindah tanah lapang ini?”Nun jauh di pinggir sana pula, sekelompok bunga daisy merah berjejer cantik. Aku menggeleng tanda tak mengerti apakah itu ditanam sengaja atau dengan sendirinya tumbuh.“Memangnya kenapa?” tanyaku heran, menyeka rambut tersenyum malu-malu kucing, padahal
Tiga sekeluarga itu–Azmi, Mita dan Ibu mereka–membuatku murka bukan kepalang. Mereka tak ubahnya parasit yang hinggap di inang lalu menggerogoti inangnya. Aku adalah inang itu. Dan kini berani-beraninya mereka memojokkanku seolah-olah aku salah.Padahal, jelas-jelas ini semua akal licik Azmi. Suami tak beradab dan tak tahu diri, kalau pun itu pantas disebut suami karena beberapa hari lalu ia terucap kata cerai.“Aku masih suamimu, Bil.”“Jangan mimpi, Azmi!” Setelah terucap kata cerai itu tak sudi lagi aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’.Ibu dan Mita ikut memberondongku dengan peluru yang mereka lontarkan lewat mulut-mulut embernya. Mereka kita aku gentar? Atau takut? Sertifikat rumah sudah dibalik atas namaku. Rumah ini sudah milikku.“Kalau kalian gak mau keluar, aku yang akan mengusir kalian secara paksa!” Aku muntab.Azmi, Mita dan Ibu mereka–Saniah namanya–harus mengulum bibir rapat-rapat. Diam seribu bahasa. Tak memiliki senjata lagi untuk ditembakkan.“Bil?” Suara Azmi berge
“Masih nyangkut, Lit?” Aku kembali dari minimarket dan apotek di depan rumah sakit.“Ekk, masih, ekk.”“Aku ada ide. Kali ini aku yakin berhasil, Lit. Pertama, kamu minum susu yoghurt ini dan biarkan biji itu tertelan. Jangan ditahan sama-sekali.” Aku meletakkan sekotak susu bergambar sapi goyang ngebor tulalit. Mungkin filosofinya adalah dengan meminum itu semua urusan jadi lancar, termasuk sesuatu yang nyangkut di tenggorokan.“Ekk, terus kalau gak bisa keluar, gimana?” Lita menunjukkan wajah cemasnya, takut kalau rencanaku tak berhasil.“Tenang.” Aku menepuk bahu Lita pelan sambil mengangguk sangat meyakinkan. “Aku sudah beli ini di apotik.” Tanganku mengangkat sebuah botol kecil berisi cairan yang tak lain adalah obat pencuci perut.“Dengan ini, semua isi perut bisa dikeluarkan. Bahkan sekaligus usus-ususnya. Eh, maksudku kotoran yang ada di usus.”“Ekk, baik.”“Telan aja biji kelengkengnya. Minumlah.” Kusodorkan yoghurt ke Lita. Ia meraih dengan cepat dan meminumnya hingga tetes
Tinggal 300 koin. Giliran kamu yang dapat koinnya ya. Komen di bawah!“Lita, cepet, deh, kamu ke mal. Kamu gak mau ikut pergokin suamiku sama selingkuhan barunya? Kamu gak ikut mau tampar wajah pelakor itu? Ayo cepet jangan nunggu lebaran monyet! Keburu kucing bertanduk ntar!” Aku membuat Lita cemas bukan buatan.Lita yang sedang dalam rangkulan Azmi tiba-tiba celingukan mencari keberadaanku. Ia gagap sambil berusaha melepas lengan Azmi dari bahunya. Ia pun melangkah menjauh menjaga jarak. Napasnya megap-megap pastinya. Seperti orang bengek yang baru kumat dan lupa bawa inhaler.“Eh, di mal?” Lita masih menjawabku di telepon.“Iya, Lit. Tadi aku sama Ibu mertua belanja ke mal, terus lihat Azmi di eskalator. Ini mereka turun. Aku udah siap kamera, nih, untuk viralin dia.” Ingin rasanya cekikikan, tetapi aku takut ketahuan.Lita langsung berbalik dan seketika kembali naik dengan tergopoh-gopoh. Tampak Azmi berusaha memanggil dan mengejar Lita yang melawan arah gerakan tangga. Satu-dua o
“Wah, ini, kan, baju-baju mahal!” Mata Ibu dan Mita berbinar ketika memasuki butik branded di sebuah mal. Tingkahnya sudah macam seekor kucing jantan yang jomblo akut melihat kucing betina sedang tidur.“Ibu dan Mita boleh pilih-pilih aja dulu. Aku hanya mau beli scarf sama jilbab untuk budeku aja. Beli yang banyak, ya, nanti kalau udah pilih-pilihnya langsung Whatsapp atau telpon aku aja. Aku juga mau lihat-lihat.” Aku menyilakan mereka yang sudah sedari tadi sibuk memilah-milah.“Sering-sering gini, Kak.” Mita begitu antusias.Aku kemudian membiarkan mereka menikmati angan-angan semu untuk memiliki pakaian branded itu. Sementara itu, aku mencoba beberapa scarf dan tak lupa kuambilkan untuk Bude, sekaligus jilbab untuknya juga. Tak lupa aku beranjak ke pakaian muslimah di kiri pojok butik itu, kuambil satu set gambis beserta pashmina lengkap dengan cadarnya. Kubayar ke kasir dengan beberapa lembar uang.“Nggak nanya sekalian pulsa, Mbak?” tanyaku.Seketika kasir itu terkekeh. “Ini bu
“Please, deh, Bilqis. Jangan bersikap blo’on di depan mereka. Lu udah keterlaluan, sumpah. Kalau gak gara-gara warisan, gak pantes lu jadi Direktur.”“Ih, No, kok, lu ngomong gitu sama gue?” Aku mencebik.Berno menahan tubuhku saat aku hendak masuk ruangan direktur PT. Munjaya Agrikultura. Kutepis tangannya dan tetap masuk. Ia pun menggeleng sambil berdecak.“Assalamu’alaikum.” Meski jarang sekali aku mengucap salam, kulakukan saja demi kesopanan dan itu cukup baik untuk pencitraan diriku.“Wa’alaikumsalam. Masuk.”Aku membuka pintu itu. Berno mengiringi di belakangku. Aroma wangi menyeruak dari ruangan yang bernuansa lembut dengan tampilan dan perabot minimalis. Sebuah globe duduk manis di atas meja direktur, diputar-putar oleh jari pria itu.“Bu Bilqis?” tanya lelaki dengan kulit cokelat itu, Malfin. Direktur utama perusahaan itu adalah Malfin, sementara Jei adalah wakilnya.“Bukannya meeting kita masih setengah jam lagi?” terusnya sambil mengangkat tangan dan melirik arloji.“Emm,
INFO GIVE AWAY lagi! Cek di bawah yaa.“Kalau kamu mencintai seseorang, Bilqis,” ujar Bude malam harinya setelah aku kembali bercerita soal Jei, “cintai lah dia sepenuh hati. Tapi jangan cintai sepenuh jiwa.”“Kenapa, Bude?” Keningku mendadak mengernyit.Bude diam sejenak.“Biar kalau putus kamu cukup sakit hati, dan gak perlu sakit jiwa.” Bude terkekeh pelan.Aku pun terkekeh dan menyeruput teh botol Sastro dingin. Karena apa pun makanannya minumnya teh botol Sastro.Suasana malam Kota Jambi agak dingin karena senja tadi sempat gerimis. Suara jangkrik di pohon manggis sebelah rumah terdengar berdemo agar hujan lagi. Namun, panglima semut di sudut teras itu lantang melawan. Sementara burung hantu di atap mengejar tikus, bertukar tugas dengan malaikat maut mencabut nyawa binatang itu.“Jadi kamu mau usir keluarga Azmi dari rumahmu?” tanya Bude.“Kalau bisa, Bude.”Rumah yang ditinggali Azmi dan keluarga itu adalah rumahku. Sebelumnya, itu adalah rumah Papa yang memang tak pernah ditung
Info: GIVE AWAY 1500 koin menanti bagi yang komen dari bab 8-12. Koin udah sedia tinggal transfer. Baca kuis paling bawah cerita dan jawab di komentar ya Mbak Cantik. Ponsel berdering saat berada dalam ruangan poli gigi. Azmi menelepon. Angkat gak? Jujur aku sangat kesal padanya dan tak mau bicara apa-apa. Baiklah, kuabaikan saja.“Apa perlu dicabut, Dok?” tanyaku sambil melirik mata Berno dan mengangkat dua alis, menggodanya.“Emm.” Dokter Putri kembali memperhatikan mulut sobatku itu, yang ketika dibuka tercium lah aroma dari berbagai jenis makanan bau.Begitu menderita jadi Dokter Gigi, seharian kerjanya hanya menciumi mulut-mulut bau. Lebih menderita lagi Dokter Putri karena pasiennya kali ini adalah Berno.“Di mana tang-nya, Dok? Aku ambilkan.” Aku sengaja menakuti Berno. Ia pun membulatkan matanya.“Ja-jangan, Dok. Biar saya sakit gigi aja terus, biar tiap hari bisa berobat ke sini sama Dokter.”“Ya. Memang gak perlu dicabut, kok. Cukup saya beri obat dan suntik, ya?”“Su-sunti
Siapa, ya, namanya? Lee, bukan. Tori, bukan. Siti, apa lagi. Betti, itu tukang jahit di sebelah rumah Bude yang mulutnya lebih pedas dari rica-rica tapi hatinya baik. Roti, ah bukan, itu makanan ringan untuk sarapan pagi yang harganya bisa sangat mahal di bandara atau di kapal ferry. Terus siapa? Aduuh, kepalaku sibuk mencari data namanya hingga tak sadar motorku sudah berdiri ia angkat.“Udah.” Si Tampan menepuk tangannya, membersihkan dari debu.“Cepetlah, Jei!” ucap lelaki yang berada di depan gedung. Tampak satpam itu mengangguk hormat di depan lelaki itu. Ah, iya, baru aku ingat namanya Jei.“Duluanlah, Malfin.” Jei melambaikan tangan pada temannya. Jei kemudian menatapku heran yang terpaku dan terdiam. Ya, diam-diam mencuri pandang padanya.“Mau ke mana, Bil?”“Ke hatimu. Eh, ke gedung itu.” Aku menunjuk ke arah gedung.“Mau barengan?”Napasku tersendat seketika. “Mau, mau.” Aku mengangguk dua kali.“Ayo.” Jei memiringkan kepala, mengajak berjalan bersama sambil melangkah di dep