Ah, ya. Semua kembali seperti semula. Baik-baik saja seperti tidak terjadi masalah di antara kami. Dia kembali berangkat ke hotel untuk melanjutkan tugasnya. Dan dia bilang, Erik benar-benar tulus membantunya.
Aku hanya mengiyakan. Tak berani membantah, apalagi sampai mengumpat. Pembicaraan kami tentang keluarga itu telah selesai.
Lalu soal Elena... dia malah membalas menusuk-nusuk kepalaku karena telah menuduhnya sampai sejauh itu. Dan kurasa, belum waktunya aku memberitahukan masalah Elena, sampai aku mendapatkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk membongkarnya.
Asal itu bukan anak Kahfi, aku tak lagi peduli. Akan kubuat malu dia di depan seluruh keluarganya, termasuk Papa.
Papaku harus tahu, seperti apa gadis yang sudah dipeliharanya di rumah itu. Menghalalkan berbagai cara, demi bisa menghasilkan uang. Aku yakin sekali, pria tua itu juga punya istri.
Oh, shit! Bermain dengan suami orang? Sepertinya dia yang lebih pantas m
Dengan perlahan, aku membuka mata yang masih terasa berat. Rasa pusing dan juga sakit di area bawah kepala juga masih sangat terasa. Ah, shit. Apa aku baru saja siuman dari pingsan? Aku masih hidup?Aku memperhatikan sekeliling, tempatku berbaring saat ini. Sebuah ruangan sempit, yang hanya tertutup tirai berwarna putih. Aku mengucek, dan membenarkan mata yang kurasa sudah salah posisi.Apa bola mataku kini berada di atas? Aku melihat seseorang yang seharusnya tak mungkin kulihat. Ah, pandanganku masih saja berkunang-kunang.Seorang laki-laki berpostur tinggi tegap, sedang duduk di sebuah kursi, di sudut ruangan tak jauh dari tempatku berbaring. Dahinya mengernyit, matanya benar-benar menyipit memperhatikan aku yang sedang menggeliat sekarang ini."Kau sudah sadar?" tanyanya kemudian.Oh, shit. Ini bukan lagi mimpi. Suara itu nyata dan bukan lagi halusinasi, atau hanya sebuah penampakan. Entah kekuatan dari mana, aku
"Di tempat seperti ini?" Dia kembali tertawa. "Kau sungguh-sungguh berpikir aku serendah itu, Key?""Lalu apa maksudnya dengan ucapanmu tadi, sialan?""Aku hanya bercanda." Dia kembali tertawa. "Apa kau menganggapnya serius? Tahu begitu, kubawa saja kau ke hotel.""Dasar kau....""Cukup, Key!" sergahnya. "Aku menggendongmu. Membawamu kesana kemari, sampai mendapatkan puskesmas di tempat terpencil ini, karena khawatir kau kenapa-napa. Tak bisakah, kau berterima kasih sedikit saja padaku?""Oh, shit! Kau hanya sedang menakut-nakutiku, Erik? Apa maumu? Kau ingin minta imbalan, karena menyelamatkanku dari klinik sialan itu?""Tidak! Aku hanya ingin kita saling menutup mulut. Itu saja. Kau bisa membantuku?""Apa maksudmu?" Mataku mulai liar menatap dan menangkap maksudnya."Aku tahu apa yang ingin kau cari di sana. Soal Elena, biar aku sendiri yang mengurusnya.""Soraya mengatakannya?""Lain k
Ada banyak hal yang memang sering tak berjalan seperti apa yang kita inginkan. Tentang kebohonganku saat ini misalnya. Ini kali pertama aku berdusta, meski sungguh terasa berat.Aku benar-benar harus merahasiakan sesuatu pada Kahfi, dan kuharap tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. Rasa takutku akan amarahnya terasa lebih besar, ketimbang menutup mulutku yang selama ini tak bisa berbasa-basi, apalagi sampai menyimpan rahasia padanya. Inikah efek dari saling menjaga hati?Ya, kurasa aku benar-benar jatuh cinta, dan takut kehilangan sesosok yang selama ini sudah sangat kukenal. Dia jadi jauh lebih sensitif, dan mudah terbakar cemburu, sejak mengakui segala perasaannya.Tapi aku suka itu. Aku suka dia yang jujur, dan mengakui semua apa yang dia rasakan. Terasa lebih panas, dan juga menggoda. Seperti tadi malam misalnya.Aku tak ingin dia kembali kehilangan rasa itu. Hasrat yang selalu dia tahan sejak dulu, karena tahu bagaimana
"Ini gaji pertamaku. Ada yang kau inginkan?" Kahfi menyambut gembira kedatanganku di hotel.Aku sengaja menunggunya di lobi bawah, agar tak bertemu siapa pun, dan bisa langsung mengajaknya pulang."Benarkah? Kau sudah mengeceknya?" Aku meyakinkan."Tentu saja. Pahaku langsung bergetar saat ada notifikasi masuk dari ponselku."Aku tertawa lebar. Begitu bahagia, melihatnya yang kini kian bersemangat."Aku mau memasang AC di kamar kita. Kau tidak keberatan?"Dia terdiam. Kemudian menekan kepalaku seperti anak kecil."Kenapa tak katakan dari kemarin? Sudah kubilang, buat dirimu merasa nyaman. Apa selama ini kau kepanasan?""Sudahlah. Aku memintanya, karena kau menawarkan sesuatu padaku. Ayo pulang!"Aku merangkul lengannya, dan mengajaknya keluar untuk pulang bersama..I love it when you call me "señorita"I wish I could pretend I didn't need yaBut every touc
Aku membesarkan bola mata pada sesosok itu. Tak menyangka kalau ia akan sampai datang ke rumah ini.Matanya terus memandang sinis, menatap aku dan Kahfi secara bergantian. Lalu menatap semua bawaan yang ada di tangan suamiku. Dia bangkit dan berdiri, menghampiri kami yang saat ini sedang tak berkutik."Akhirnya, kau dan keluargamu berhasil mendapatkan apa yang selama ini kalian impikan, ha?" ucapnya kembali, ke hadapan Kahfi. "Apa kau merasa derajatmu sudah naik, setelah selama ini menempel seperti benalu pada putriku?"Aku menoleh ke arah pria yang kini berdiri tepat di sampingku. Wajah sendu itu tampak memerah menahan emosi dan juga amarah. Kulihat tangannya kini mengepal sekuat tenaga.No, Kahfi. Jangan terpancing. Kata-katanya tak ada hubungannya dengan perasaanku sedikit pun."Kau merasa tidak sia-sia, ya? Setelah mendapatkan putriku, kini kau mulai mengincar perusahaan Papanya. Kau serakah sekali, Boy. Apa kalian putus asa,
Aku mengangkat wajah dan menatap dalam matanya."Kau, mengusir Mama?" tanyaku dengan wajah yang penuh dengan air mata."Kau marah?" Aku langsung menggeleng dengan kuat.Kahfi berhak marah. Aku yang bukan putri kandungnya pun, ikut sakit melihat Ibu diperlakukan seperti itu."Maaf, Key. Bukan maksudku untuk bersikap tak sopan. Hanya saja....""No, Kahfi. Aku tak marah." Aku menerkam tubuhnya, mengeratkan pegangan hingga ke pinggang belakangnya. "Aku yang seharusnya minta maaf. Mama sudah keterlaluan. Tak seharusnya Mama menghina kau dan juga Ibu." Aku kembali sesenggukan."Kenapa memikirkan hal itu? Aku hanya kesal karena dia memukulmu. Kau sama sekali tak pantas diperlakukan seperti itu, Key." Dia melepaskan pelukanku, kemudian mendongakkan dan mengusap pipiku, bekas pukulan tadi."Kau lakukan itu demi aku?" Air mataku tak henti-hentinya mengalir."Kau milikku sekarang," u
"Kau masih belum bisa berdamai dengan Papa, Key?" Tanya Kahfi, pada suatu malam. Di dalam kamar minimalis kami, yang seperti kamar anak kost tentunya.Aku memijat tubuh bagian belakang, yang aku pikir sangat lelah sekarang ini. Dengan tugas-tugas baru di hotel, yang pastinya membuat dia harus ekstra sabar dan berhati-hati.Dia begitu menikmati pijatanku. Ah, ya. Aku berlagak jadi istri yang baik saat ini. Membuatnya merasa dihargai. Bukan malah menganggap dirinya sebagai pelayanku."Kau lihat sendiri, aku tak pernah lagi membuat ulah. Apa itu cukup?" sahutku cuek, dari balik punggungnya."Ou... kau sudah benar-benar dewasa sekarang.""Dan kau masih saja ingin aku bersikap baik pada Papa," ketusku. "Aku tak perlu melakukan itu. Aku masih membencinya, kau tahu?""Kenapa? Aku tak pernah melihat kesalahan dalam dirinya. Kau saja yang berlebihan.""Wah, wah, wah. Lihat siapa yang sedang berbicara sekar
Aku baru saja sampai di hotel, tempat Mama menginap. Atas izin Kahfi aku mengalah, dan mencoba menuruti permintaan Mama. Pintu lift terbuka, hingga kulihat adegan yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya.Gadis itu terpojok. Wajahnya pucat, penuh rasa takut saat Mama menantang dengan sorot matanya yang nyalang, dan benar-benar buas. Aku keluar dari lift, saat gadis itu menyadari kehadiranku. Bertambah-tambahlah rasa takut itu, dan nyaris berjalan mundur.Elena. Apa yang dia lakukan di hotel tempat Mama menginap. Apa dia, sedang tertangkap basah oleh wanita yang telah merebut Papanya itu? Aku mengitari ruangan di sekitar, tak banyak orang yang berlalu lalang. Hampir tak ada, bahkan pria tua yang seharusnya bersama Elena di tempat ini."Hai, sweety. Lihat siapa yang ada di sini," sapa Mama, begitu tahu aku sudah berdiri di belakangnya.Wajahnya tampak sumringah, seolah-olah baru saja memenangkan sebuah undian. Mataku
Tak jauh berbeda dengan Erik. Ia sudah mengakui perbuatannya dulu pada Papa. Mengakhiri hubungannya denganku begitu saja, hanya agar tak ada halangan yang membuat Papa membatalkan niat untuk menikahi Mamanya.Ia mengakui, saat itu hidup mereka benar-benar sedang terpuruk. Papanya mengusir mereka dari rumah dan tak mendapatkan apapun karena Tante Winda tetap bersikukuh meminta cerai.Ya, wanita mana yang sanggup hidup seperti itu. Selalu diperlakukan kasar dan juga di khianati. Dan keputusan Papa untuk menikahi dan kembali mengangkat derajat mereka, benar-benar perbuatan yang mulia. Sayangnya, aku baru menyadari hal itu sekarang.Erik mengakui semua penyesalannya. Bahwa ia telah mengorbankan rasa cintanya dan juga telah melukai perasaanku. Hubungan yang kami jalin sejak masa pubertas harus hancur karena takutnya ia akan kemiskinan. Dan itu sangat menyakitiku hatiku saat itu.Penyesalan? Ya. Dia begitu menyesal karena a
Huek... huek...Aku mengeluarkan semua isi perutku. Kegiatan rutin yang selalu menyiksaku setiap pagi. Ouch... ini menyebalkan. Aku kembali ke kamar dan berbaring. Menghirup aroma minyak kayu putih yang tak bisa lepas dari genggamanku."Minumlah." Kahfi membawakan segelas air hangat seperti biasa. Aku bangkit dan meraih pemberiannya."Sampai kapan aku seperti ini, Fi?" rintihku, meneguk air yang dibawanya."Sabarlah. Paling lama hanya tiga bulan. Setelah itu kau akan baik-baik saja," ucapnya lembut sembari memijat keningku."Tiga bulan? Itu terlalu lama, Fi. Ini bahkan baru beberapa minggu saja," rengekku manja, menjatuhkan kepala di bahunya.Dia tertawa kecil."Memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau bisa minta padaku. Nanti aku yang bawakan." Ia merangkul dan mengusap bahuku."Aku ingin jalan-jalan keluar. Tapi setiap aku berdiri, rumah ini terasa seperti berputar. Apa semua
"Apa yang kau lakukan dengan pakaian seperti ini?" geramnya, dengan setengah berbisik."Mengantarkanmu makan siang," sahutku, sembari menepis pegangannya."Pulanglah! Ada banyak pria di sini."" Memangnya kenapa, Fi?" Aku pura-pura tak mengerti."Kau tidak lihat cara mereka memandangmu?""Tentu saja. Aku memang cantik, bukan? Wajar kalau mereka tertarik melihatku.""Aku bilang pulang!" perintahnya lagi."Tidak mau!"Aku menjauh dan duduk di kursi bambu di antara kedua pria yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi."Punya rokok?" tanyaku dengan suara menggoda.Mereka tersenyum. Lalu keduanya bergerak cepat merogoh kantong masing-masing. Aku tersenyum lebar, saat kedua bungkus rokok berbeda merek itu kini berada di hadapanku. Tanganku mulai menyentuh benda itu, sampai sebuah tangan besar menyambar, dan mengambil keduanya."Kami akan tutup. Kalian pulanglah!" ucap Kahfi ket
Aku berjalan gontai keluar dari Rumah Sakit. Pembicaraan dengan dokter Satya bagai suatu hal yang tak masuk di akal bagiku. Apa dia sudah tahu selama ini, jika Elena telah mengalami gangguan. Itukah yang ia dapat dari konsultasi mereka beberapa waktu yang lalu?Kupikir semua baik-baik saja, dan berjalan dengan lancar. Tanpa kutahu, Dokter muda itu telah menangkap gelagat aneh dari dirinya. Ditambah lagi dengan pengakuanku yang tak sengaja didengarnya waktu itu.Oh my God, ini benar-benar gila. Si jalang itu benar-benar gila telah berani merayu suami orang, dan tak ingin melepaskannya begitu saja.Bitchi!Aku terduduk lemas begitu sampai di balik kemudi mobil. Menyandarkan punggung demi merenggangkan urat syarafku yang dari tadi menegang. Teringat apa yang dikatakan Dokter Satya di ruangan tadi."Awalnya memang benar ini soal hutang piutang. Papaku menangguhkan pinjaman karena Elena memohon. Papa tak tega melihatnya,
"Yes, Dokter?" jawabku tanpa berbasa-basi."Bisa kita bertemu?" pintanya dari kejauhan.Oh, shit. Kenapa dia harus memanggilku di saat yang tidak tepat. Membuatku merasa dilema, antara mengantarkan makan siang Kahfi atau mengurus Elena.Aku segera mengganti pakaian dan mengambil tasku. Aku harus tahu bagaimana nasib Elena selanjutnya. Jika Dokter itu tak bisa mengatasi bajingan itu, aku sendiri yang akan datang mengancamnya.Baru saja aku hendak keluar menuju teras depan, saat kulihat Kahfi sudah masuk dan kembali menutup pintu. Sudah hampir jam dua. Dan ini terlalu lambat untuk makan siang.Kedua mata kami saling bertemu. Membuatku rindu dan ingin sekali memeluknya. Lalu bagaimana jika tiba-tiba ia menolak dan mendorongku? Tidakkah hal itu sangat memalukan untuk wanita sepertiku?"Aku keluar sebentar," ucapku memberi tahu. "Hanya sebentar saja.""Bukankah sudah kubilang lakukan sesukamu?" s
"No, Kahfi. Kau tidak bisa bicara seperti itu padaku. Kau sudah berjanji. Kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini."Dia langsung membuang pandangan. Membuat hatiku terasa begitu perih. Tidak. Ini tidak nyata. Kahfi pasti sedang bercanda."Pulanglah! Aku tak ingin kita saling menyakiti lagi," ucapnya tanpa berbalik."Aku tidak mau. Itu rumahku. Kau tidak punya hak mengusirku," ucapku dengan bibir bergetar.Dia kemudian berbalik dan memandangku. Menatapku dengan tatapan kosong."Jangan lagi bohongi dirimu sendiri, Key. Sandiwara ini tak akan pernah berhasil. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Pulanglah, aku melepasmu.""Tutup mulutmu, sialan! Aku tak mau mendengar kata-kata itu lagi. Kau jahat. Aku membencimu. Kalau kau tak ingin bersamaku lagi, kau saja yang pergi. Aku akan tetap tinggal di rumah itu." Dadaku kembang kempis menahan sesak."Hentikan omong kosongmu, Key. Untuk apa kau
Aku mengangkat pelan tangan ke udara. Bergerak perlahan mendekati kembali untuk mengusap wajahnya."Maaf," ucapku setengah berbisik. Ia mundur selangkah, sebelum tangan ini berhasil menyentuhnya.Aku tertunduk dengan tangis yang tak dapat lagi kutahan. Menjatuhkan kembali tanganku dan mengepalnya dengan kuat. Apa yang telah kulakukan? Bukan hanya hatinya yang kini telah kulukai. Ia berlalu pergi. Meninggalkanku yang kini terduduk lemas menangisi diri..Malam telah larut. Namun mata masih belum dapat terpejam. Aku berbaring di atas karpet, menanti suamiku yang belum juga pulang. Berharap ia mulai tenang, dan melupakan semua kejadian ini. Bahkan aku berharap ini semua bagian dari sebuah mimpi.Kulirik jam analog di dinding kamar. Sudah hampir tengah malam. Apa yang ia lakukan di luaran sana. Mungkin dia sedang berada di kiosnya. Ini sudah terlalu malam. Aku harus menyusul dan mengajaknya pulang.Baru sa
Aku bergegas menghubunginya kembali. Dan sekarang ponselnya benar-benar tidak aktif sama sekali. Ada apa lagi dengannya? Aku bergegas masuk dan menemui Papa di ruang kerjanya. Ia harus menjelaskan semuanya padaku saat ini juga."Apa yang Papa bicarakan dengan Kahfi?" Aku langsung bertanya begitu melihat Papa bersandar di kursi kerjanya. Tempat dimana aku dan dia baru saja berdamai pagi tadi.Kulirik kunci mobil Kahfi terletak begitu saja di atas meja. Apa ini? Perasaanku benar-benar terasa kacau."Papa hanya menuruti apa yang membuatmu bahagia, Key. Tak akan pernah lagi membuatmu kehilangan orang yang kau cintai.""What?""Ada apa? Apa Papa telah membuat kesalahan lagi?"Oh my God!Tentu saja Papa telah membuat kesalahan besar. Ia sangat berterima kasih pada Kahfi karena telah rela mengorbankan kebebasannya untuk menikahiku.Papa juga menceritakan apa yang diucapkan Erik saat mabuk, dan semua perca
Mereka berdua sesenggukan menahan tangis. Kulihat Tante Winda tertunduk dengan isakan yang juga tertahan. Tak perlu lagi aku bertanya, apakah sikapnya tulus atau tidak. Aku tak butuh jawaban. Aku tak harus tahu. Dan aku sama sekali tak peduli."Jangan ikut campur urusan keluargaku, Key!" Erik kembali berbalik dan menantangku."Mereka juga bagian dari keluargaku," balasku, ikut menantang ucapannya. Dia berdecih."Drama apalagi kali ini? Bukankah seharusnya kau senang? Akhirnya kau bisa bebas dari benalu seperti kami.""Seharusnya memang seperti itu. Tapi sudah terlambat. Kalau ingin menyingkir kenapa tak dari dulu saja? Begitu ada masalah, kau langsung melarikan diri. Kau sama sekali tak pernah berubah. Pengecut. Dasar lemah!" sinisku.Matanya menyipit memandangku. Mungkin merasa terhina karena aku benar-benar telah merendahkannya. Ya, sama seperti waktu itu. Mundur teratur dan melarikan diri dari hubungan kami.