Gus Qabil datang dengan seorang temannya mungkin, aku tidak tahu. Dia melangkah cepat dan berhenti tepat di depan ibu. Para tetangga semakin riuh dan saling bertanya siapa dan apa hubungannya lelaki itu denganku.
Nurul tersenyum. "Siapa yang merebut suami siapa?" beonya menatap Gus Qabil tajam. "Tanyakan pada perempuan yang ada di dekatmu."
"Apa maksudmu?"
"Yumna telah mencoba menggoda suamiku Mas Ilham. Kemarin dia sengaja pura-pura terjebak hujan, lalu meminjam payung. Sorenya sengaja mengembalikan sendirian padahal niat hati ingin merebut."
Ketika melirik ponsel, rupanya sudah hampir masuk waktu zuhur. Mereka betah berdiri karena cuaca yang mendadak mendung sejak tadi. Namun, aku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Tuduhan yang kamu beri itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Apa kamu siap?" Dalam keadaan seperti ini, Gus Qabil terlihat mampu menguasai diri.
"Tidak usah ikut campur!" timpal Nurul, lalu melenggang pergi se
Karena penasaran, aku duduk di samping ibu ingin mendengarkan semua cerita beliau. Namun, kepala sedikit menunduk takut tidak bisa menahan gejolak hati untuk selalu mengagungkan cinta. "Innā lillahi wainnā ilaihi rāji'ūn, terus anaknya sekarang diasuh siapa, Nak Gus?" "Sama umi." Air mata Gus Qabil menggenang ketika aku melihat padanya. Rasa penasaran yang semakin meraja membuatku enggan beranjak. Ibu meminta mereka minum dulu. Sejujurnya ingin bertanya sedang membahas siapa, tetapi takut juga malu. Aku bahkan belum melihat wajah orang yang datang bersama Gus Qabil karena terus menunduk. Setelah menarik napas panjang berulang kali, bibir atasku mulai terangkat. "S-siapa yang meninggal, Bu?" "Istrinya Gus Qabil, Nduk." Spontan aku menutup mulut dengan tangan kiri. Pantas saja beliau terluka sampai ingin menitikkan air mata ketika bercerita. Akan tetapi, aku masih bingung kenapa beliau memberitahu kami. Ah, mungkin karena ibu yang bertan
Pukul empat sore Mas Dika benar sudah pulang, dia langsung membuat kopi dan menyambar cemilan yang ada di meja makan. Aku ingin bertanya hal apa yang membuatnya pulang secepat itu, tetapi dia bilang tidak ingin ditanya apa pun dulu.Mereka mungkin menganggap aku tidak penting sampai seperti ada rahasia yang disembunyikan. Mereka semua bertindak tanpa aku ketahui apalagi melibatkan untuk ikut mengambil peran. Semuanya penuh sandiwara."Mereka datang!" tukas Mas Dika tanpa menatapku."Siapa, Mas?"Tidak ada jawaban, aku langsung mengekor di belakang Mas Dika yang sedang membuka pintu. Rupanya mereka berdua. Baru saja hendak ke kamar, tangan dicekal kuat.Mas Dika menyeret tangan ini dan membuatku duduk di sampingnya. Dia seperti ingin melindungi. Aku hanya diam, tidak ingin pula menatap salah satu dari keduanya. Skenario Tuhan memang tidak bisa kita tebak, kesedihan berganti bahagia dan kini ketegangan."Minta maaf sama Yumna!" titah Mas
"Selama ini kamu mandang rendah aku karena dianggap orang ketiga antara Mas Ilham dan Yumna padahal kamu sadar gak sih kalau kamu itu sudah bersikap munafik!" cerca Nurul, matanya merah. Tidak jarang ketika kita sudah berserah diri, merelakan segalanya, justru di sanalah keajaiban datang dengan tiba-tiba. Meskipun pada kenyataannya pasrah itu tidak semudah membalikkan tangan, tetap harus belajar karena seperti inilah hakikat kehidupan sesungguhnya. Masalah datang untuk membuat kita dewasa. "Tidak usah membela diri, Nurul. Selama ini kamu salah menilaiku dan membuka semua kedokmu. Bahkan sebelum aku mengajakmu bersahabat, bukankah sudah lebih dulu bersikap munafik?" "Apa maksudmu, Amel?" Mas Ilham turut membuka suara. Amel tersenyum sambil mengotak-atik ponselnya, lalu menunjukkan sebuah video. "Video itu aku rekam ketika bersama Yumna dan dia tidak tahu itu. Kamu sendiri bisa melihat Nurul yang melepas jilbab, kan? Dia bersama seorang lelaki dan bukan hanya sekal–" "Cukup!" potong
"Ibu ini memang suka ngerjain anak sendiri. Lihat, Yumna sudah baper padahal cuma bercanda!" tegur ayah membuat senyumku pudar."Tunggu! M-maksud Ayah apa?""Ibumu bercanda, Nduk. Tadi itu Gus Qabil datang bertamu saja, terus bertanya tentang duduk masalah yang kamu alami."Mas Dika terbahak mendengar penuturan ayah. Bibir manyun lima senti karena kecewa, sementara ibu tetap diam seakan tidak ada yang terjadi. Aku merutuki diri sendiri yang mudah dikerjain.Siapa yang tidak bahagia jika dilamar pemuda seperti Gus Qabil. Walaupun sudah duda, tetap saja keren. Menikah dengan pemuda salih nan gagah adalah impian setiap perempuan beragama. Namun, sepertinya hanya sebatas angan."Makanya, jangan ngarep! Gus Qabil gak mungkin suka sama kamu, Yum!" tukas Mas Dika, kemudian kembali melanjutkan tawa."Sudah-sudah, lebih baik sekarang kita semua tidur atau besok akan kesiangan." Kini ibu mulai membuka suara.Aku beranjak masuk kamar. Setelah me
"Ada apa, Amel?" tanyaku setengah berbisik ketika kami berada di kamar yang sudah terkunci.Amel diam, berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. Aku jadi semakin khawatir merasa ada sesuatu yang terjadi, terlebih ketika mengingat mimpi tadi malam.Bahkan hingga satu menit berlalu, Amel masih mengatup bibir rapat. Matanya terus menatapku seperti mencari jawaban. Aku tidak suka seperti ini karena jantung tidak berhenti berdegup kencang."Amel, ada apa? Terjadi sesuatu?" tanyaku tidak sabar."Aku pikir masalah sudah selesai, Yum," lirih Amel setelah beberapa saat."Maksudnya masalah apa? Aku tidak mengerti."Perempuan berjilbab biru itu mendesah pelan, aku tahu sekarang kalau ada beban yang sedang dibawanya. Seseorang yang memakai ekspresi itu merasa dadanya seperti dihantam batu besar. Aku tahu karena sudah berulang kali merasakan.Tangannya terlihat gemetar, aku semakin tidak sabar. Kenapa Amel mengulur
"Mel, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan tubuh Amel. "Kenapa?" "Ada pesan dari Mas Ilham." Tanpa kata, Amel gegas bangun dan menyambar ponselku. Dia membaca tanpa suara. Air mukanya jelas terkejut. Aku saja sampai shock beberapa detik. "Mas Ilham mengaku kalau yang membajak akun itu adiknya sendiri?" "Lah iya, itu dia tulis sendiri." Amel membaca ulang pesan Mas Ilham, kali ini suaranya terdengar walau pelan. "Yumna, maaf karena aku baru mengirim pesan ini padamu. Sebenarnya yang membajak akun kamu itu adik aku sendiri si Latifah. Dia diajak Nurul dengan janji bakal dibeliin hp baru. Maaf banget, apa kamu marah?" Jelas aku marah karena merusak harga diriku apalagi sampai melibatkan Gus Qabil. Aku yakin Nurul sengaja karena jengkel pada beliau pasal kemarin. Dendam yang terus tumbuh dalam hati memang membinasakan. Amel berdiri dengan berkacak pinggang, dia memaksaku untuk mendatangi Nurul langsung. Memang tebakan kami sebelumnya benar, tetapi aku tidak ingin melabrak karena hanya
Beruntung kami tidak menabrak langsung karena Amel menjatuhkan motornya. Hanya luka sedikit, tidak sampai berdarah. Aku lega, kemudian membantu Amel berdiri."Kamu baik-baik saja, Mel?" tanyaku khawatir."Tidak. Aku tidak baik-baik saja melihat pelipismu berdarah begitu."Aku memegang pelipis dan ada jejak darah di telapak tangan. Amel masih belum kuat berdiri hanya bisa duduk di pinggir jalan, mungkin ada sakit yang tidak bisa ditahannya. Aku memahami.Sembilan menit berlalu, ada mobil putih berhenti di samping kami. Seseorang ke luar dari kursi depan dengan sedikit menundukkan kepala. Dia memakai sarung hitam bermotif, baju kemko dan pecih putih."Kalian baik-baik saja?""Tadi kami hampir menabrak mobil, Gus," jawabku menatap Gus Hanan."Innalillāhi, kalau begitu ikut mobil kami saja, Mbak. Pelipismu juga ada lecet begitu.""Terimakasih, Gus, tapi kami baik-baik saja." Amel ikut menjawab ketika aku menoleh padanya.Tid
"Gak bilang apa-apa, cuma ngetik bacot pakai kapital semua.""Pantas saja!"Saat merasa cukup baikan, Amel pamit pulang. Aku mencegah memintanya istirahat dulu sampai Mas Dika pulang, dia menolak. Entah, sekarang Amel seperti menghindari masku."Kalau begitu aku yang antar! Nanti dijemput Mas Dika sepulang kerja," tawarku lagi.Amel tetap kekeh dengan penolakannya. Aku tidak bisa berbuat banyak selain hanya mengangguk pasrah. Sejujurnya hati merasa tidak tenang kalau Amel pulang sendirian, tetapi dia sangat keras kepala.Lihat saja, dia sudah berada di motornya. Pandai sekali mengambil kesempatan di saat tidak ada ibu di rumah. Amel pulang dengan senyum manisnya. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran perempuan itu.***Saat makan siang bersama ibu, ponsel di kamar berdering. Aku gegas menyudahi makan dan melangkah cepat. Takut-takut terjadi sesuatu. Gelas yang sejak tadi aku bawa tanpa sadar jatuh ke lantai hingga pecah berk
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san