"Ibu ini memang suka ngerjain anak sendiri. Lihat, Yumna sudah baper padahal cuma bercanda!" tegur ayah membuat senyumku pudar.
"Tunggu! M-maksud Ayah apa?"
"Ibumu bercanda, Nduk. Tadi itu Gus Qabil datang bertamu saja, terus bertanya tentang duduk masalah yang kamu alami."
Mas Dika terbahak mendengar penuturan ayah. Bibir manyun lima senti karena kecewa, sementara ibu tetap diam seakan tidak ada yang terjadi. Aku merutuki diri sendiri yang mudah dikerjain.
Siapa yang tidak bahagia jika dilamar pemuda seperti Gus Qabil. Walaupun sudah duda, tetap saja keren. Menikah dengan pemuda salih nan gagah adalah impian setiap perempuan beragama. Namun, sepertinya hanya sebatas angan.
"Makanya, jangan ngarep! Gus Qabil gak mungkin suka sama kamu, Yum!" tukas Mas Dika, kemudian kembali melanjutkan tawa.
"Sudah-sudah, lebih baik sekarang kita semua tidur atau besok akan kesiangan." Kini ibu mulai membuka suara.
Aku beranjak masuk kamar. Setelah me
"Ada apa, Amel?" tanyaku setengah berbisik ketika kami berada di kamar yang sudah terkunci.Amel diam, berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. Aku jadi semakin khawatir merasa ada sesuatu yang terjadi, terlebih ketika mengingat mimpi tadi malam.Bahkan hingga satu menit berlalu, Amel masih mengatup bibir rapat. Matanya terus menatapku seperti mencari jawaban. Aku tidak suka seperti ini karena jantung tidak berhenti berdegup kencang."Amel, ada apa? Terjadi sesuatu?" tanyaku tidak sabar."Aku pikir masalah sudah selesai, Yum," lirih Amel setelah beberapa saat."Maksudnya masalah apa? Aku tidak mengerti."Perempuan berjilbab biru itu mendesah pelan, aku tahu sekarang kalau ada beban yang sedang dibawanya. Seseorang yang memakai ekspresi itu merasa dadanya seperti dihantam batu besar. Aku tahu karena sudah berulang kali merasakan.Tangannya terlihat gemetar, aku semakin tidak sabar. Kenapa Amel mengulur
"Mel, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan tubuh Amel. "Kenapa?" "Ada pesan dari Mas Ilham." Tanpa kata, Amel gegas bangun dan menyambar ponselku. Dia membaca tanpa suara. Air mukanya jelas terkejut. Aku saja sampai shock beberapa detik. "Mas Ilham mengaku kalau yang membajak akun itu adiknya sendiri?" "Lah iya, itu dia tulis sendiri." Amel membaca ulang pesan Mas Ilham, kali ini suaranya terdengar walau pelan. "Yumna, maaf karena aku baru mengirim pesan ini padamu. Sebenarnya yang membajak akun kamu itu adik aku sendiri si Latifah. Dia diajak Nurul dengan janji bakal dibeliin hp baru. Maaf banget, apa kamu marah?" Jelas aku marah karena merusak harga diriku apalagi sampai melibatkan Gus Qabil. Aku yakin Nurul sengaja karena jengkel pada beliau pasal kemarin. Dendam yang terus tumbuh dalam hati memang membinasakan. Amel berdiri dengan berkacak pinggang, dia memaksaku untuk mendatangi Nurul langsung. Memang tebakan kami sebelumnya benar, tetapi aku tidak ingin melabrak karena hanya
Beruntung kami tidak menabrak langsung karena Amel menjatuhkan motornya. Hanya luka sedikit, tidak sampai berdarah. Aku lega, kemudian membantu Amel berdiri."Kamu baik-baik saja, Mel?" tanyaku khawatir."Tidak. Aku tidak baik-baik saja melihat pelipismu berdarah begitu."Aku memegang pelipis dan ada jejak darah di telapak tangan. Amel masih belum kuat berdiri hanya bisa duduk di pinggir jalan, mungkin ada sakit yang tidak bisa ditahannya. Aku memahami.Sembilan menit berlalu, ada mobil putih berhenti di samping kami. Seseorang ke luar dari kursi depan dengan sedikit menundukkan kepala. Dia memakai sarung hitam bermotif, baju kemko dan pecih putih."Kalian baik-baik saja?""Tadi kami hampir menabrak mobil, Gus," jawabku menatap Gus Hanan."Innalillāhi, kalau begitu ikut mobil kami saja, Mbak. Pelipismu juga ada lecet begitu.""Terimakasih, Gus, tapi kami baik-baik saja." Amel ikut menjawab ketika aku menoleh padanya.Tid
"Gak bilang apa-apa, cuma ngetik bacot pakai kapital semua.""Pantas saja!"Saat merasa cukup baikan, Amel pamit pulang. Aku mencegah memintanya istirahat dulu sampai Mas Dika pulang, dia menolak. Entah, sekarang Amel seperti menghindari masku."Kalau begitu aku yang antar! Nanti dijemput Mas Dika sepulang kerja," tawarku lagi.Amel tetap kekeh dengan penolakannya. Aku tidak bisa berbuat banyak selain hanya mengangguk pasrah. Sejujurnya hati merasa tidak tenang kalau Amel pulang sendirian, tetapi dia sangat keras kepala.Lihat saja, dia sudah berada di motornya. Pandai sekali mengambil kesempatan di saat tidak ada ibu di rumah. Amel pulang dengan senyum manisnya. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran perempuan itu.***Saat makan siang bersama ibu, ponsel di kamar berdering. Aku gegas menyudahi makan dan melangkah cepat. Takut-takut terjadi sesuatu. Gelas yang sejak tadi aku bawa tanpa sadar jatuh ke lantai hingga pecah berk
"Hidup tidak selalu sesuai rencana karena ada Tuhan yang paling berkuasa. Namun, aku tidak ingin lagi berputus asa atau mencoba jalan yang salah karena pada hikatnya kita akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatan." —Yumna Alishba Nazafarin. *** Kabar Amel masih belum ada, begitu juga dengan Mas Dika. Aku bisa merasakan bagaimana khawatirnya masku itu. Ya, semua karena cinta jadi pasti tidak akan kembali atau bisa tidur tenang jika belum menemukan sosok yang dicarinya. Bukan hanya itu, kehadiran Gus Hanan dan buku yang diserahkan pada ibu turut menambah pikiran. Pasalnya sejak menerima buku itu, ibu masih mengurung dalam kamar. Aku tahu beliau sedang membaca semua isinya. Sebuah amanah agar tidak memberitahu yang lain menjadikan ibu pelit berbagi. Aku penasaran dengan dua kakak beradik itu. Apa yang terjadi sampai menyerahkan buku segala? Bersamaan pula dengan hilangnya Amel. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal karena belum bisa memecah teka-teki. Ponsel masih hening, tidak ad
Mas Dika mengantarku pulang ketika mendengar Mama Amel menyampaikan maksud anak sambungnya. Aku tahu ada rasa tidak enak di raut wajahnya. Mau bagaimana lagi karena orang sakit memang harus dituruti.Aku seperti musafir yang mengembara tanpa tujuan. Teman di rumah sakit dan tidak mau dijenguk, masa libur beribadah belum usai, pun masa mengaji di Ustaz Hasan belum dimulai. Ke mana kaki melangkah seharusnya sementara selain Amel, aku tidak punya teman."Turun, mas mau ke toko dulu, kerja lembur malam ini karena izin tadi."Aku turun dari motor tanpa merespons Mas Dika. Hati terasa hampa bahkan hampir saja muntah karena kepala pusing. Bagaimana jadinya jika Amel tidak mau bertemu dalam kurun waktu panjang? Dulu banyak kesibukan karena masih mahasiswi, setelah Mas Ilham datang menghancurkan segalanya aku jadi seperti pengangguran banyak acara.Patutkah menyalahkan Mas Ilham atas keputusan yang aku buat dahulu? Apakah penyesalan ini akan mendapat sesuatu yang
"Setelah ditelfon Mas Dika aku pikir semuanya sudah berakhir, Bu. Mas Dika marah-marah karena Amel hilang, aku jadi takut dan menyangka sudah tidak dianggap penting lagi. Ketika sendiri tak ada yang mengingatkan, iman memang mudah goyah. Akhirnya, keputusan untuk bunuh diri sudah bulat. Beruntung Gus Hanan datang dan mengingatkanku yang sudah putus asa.""Apa pun yang terjadi, jangan pernah melakukan itu lagi atau ibu tidak akan pernah menganggapmu anak dunia akhirat, tidak akan pernah rida dengan setetes air susu yang kamu minum."Aku mengangguk lemah, kemudian membuang napas kasar. Berarti tadi Gus Hanan berperan sebagai pahlawan karena menyelamatkanku dari murka Allah dan orangtua. Entah bagaimana caraku nanti membalas kebaikannya."Bu, tadi Mas Ilham menelfonku."Ibu yang baru saja berdiri kembali duduk. "Apa katanya?"Aku ceritakan semua tanpa menyembunyikan apa-apa. Mata ibu langsung berair, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau menasihati u
"Yumna!" panggil ayah membuatku berteriak karena kaget. Pintu kamar terbuka lebar, aku jadi ketahuan telah menguping. Ayah menautkan kedua alis menatap ibu yang terkejut melihatku. Asli, tertangkap basah itu sangat memalukan. "Kamu nguping pembicaraanku dengan ibu?" tanya Mas Dika seperti sengaja membuatku kena marah. "Pembicaraan apa?" Ayah ikut bertanya. Ibu mendekat pada ayah dan membisikkan sesuatu. Aku kesal karena hanya sendirian yang tidak tahu perkara ini. Mereka berdua langsung pergi meninggalkanku sendirian yang masih diselimuti rasa kesal. Mas Dika tertawa menang dari kejauhan, aku sampai ingin melayangkan tinju kalau saja mampu. Mereka curang dan aku dianaktirikan. Cahaya matahari sudah menembus masuk rumah, Mas Dika dan ayah pun pamit pada ibu, sekali lagi tidak untukku. Mereka bertiga kompak sekali membuat si Cantik penasaran. Kalau aku mati, pasti ada rasa menyesal di hatinya. "Ibu, jadi Gus Qabil bakal nikah sama siapa?" tanyaku semakin penasaran begitu melihat ib
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san