"Mas Dika mau ke mana?" tanya Yumna begitu melihat Dika menyambar kunci motor padahal tadi pagi dia mengaku sakit perut.
"Bukan urusan anak kecil!" ketus Dika, kemudian melangkah pergi.
Yumna merasa sedih, semua orang kini telah menjauhinya. Namun, dia selalu berusaha yakin bahwa setiap mereka akan terbuka hatinya.
Sementara Dika, dia melajukan motornya langsung ke rumah Amel. Waktu tidak boleh terbuang sia-sia dengan hanya rebahan di rumah, lagi pula sekarang adalah masa terakhir cuti dari tempat kerja.
Dalam perjalanan dia menyesal juga karena sudah ketus pada adik kandung sendiri, tetapi semua sudah terlanjur dan jika kembali akan memakan waktu lama karena harus membujuk dulu. Untung kalau langsung dimaklum, bagaimana jika minta traktir?
"Mel," sapa Dika ketika melihat perempuan itu berdiri di depan rumah.
"Mas Dika." Amel tersenyum. "Silakan duduk, Mas!"
Mereka berdua duduk di depan rumah. Dika langsung menanyakan bagaimana Amel b
POV YUMNA."Ada urusan apa, Mas Ilham?""Mana Dika?!""Bisa pelanin suara gak? Aku gak mau ya orang-orang pada salah paham lagi gara-gara kamu datang marah gak jelas gitu!""Dika mana aku tanya!"Aku membuang napas kasar, kemudian melangkah masuk rumah tanpa mengindahkan pertanyaan Mas Ilham. Siapa juga yang mau berurusan sama orang kasar seperti dia. Seenak jidat berbicara padahal aku bukan istri yang bisa dibentak sesuka hati.Istri saja harus dimuliakan selagi masih menurut kepada suami dan tidak melakukan maksiat. Aku malah semakin bersyukur kemarin tidak jadi menikah dengan Mas Ilham. Namun, hmmm ... hati dan pikiran masih berantakan.Di rumah tidak ada ibu karena beliau menyusul ayah yang sedang bekerja. Saat ini benar-benar kesepian apalagi tidak bisa berinteraksi dengan al-qur'an. Oh Tuhan.Pintu rumah terketuk. Aku melangkah malas ke depan dan membuka pintu. "Ada apa sih ganggu orang ter ... maafkan
Aku membuka mata ketika seseorang menyentuh pundak ini. Pandangan yang masih samar membuatku tidak bisa menebak siapa seseorang yang tengah tersenyum itu. Barulah pada detik ke lima dia bersuara."Mas Dika?" Dengan cepat aku bangun ketika melihat hari sudah gelap. Jendela kamar bahkan tidak tertutup. Ketika mata melirik ke arah jam dinding, rupanya sudah menunjuk pukul delapan malam."Makan! Sejak tadi ibu sama ayah bangunin kamu malah gak bisa. Giliran mas langsung aja bangun. Ada apa?"Aku tidak mengindahkan kalimat Mas Dika barusan. Ingatanku mencoba mengingat sesuatu. Tadi rasanya bertemu Mas Ilham, telepon ustazah dan mama Amel yang ikut menghujatku karena fitnah bahkan ada Gus Qabil. Namun, menyadari aku yang tidur lama jadi berpikir mungkin semua ini hanya mimpi.Sungguh, ini membingungkan. Aku geleng-geleng kepala karena tidak tahu harus merasa lega atau entahlah."Yumna?" Mas Dika menggerakkan tangannya di depan wajahku."Tadi Mas D
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.""Mas tahu apa yang aku pikirkan?" Aku mendekat selangkah. "Sudahlah, Mas lebih baik jujur saja kalau sering ketemu dan teleponan sama Amel. Ya, perasaan suka itu wajar tandanya normal cuman gak usah malu karena hubungan kami lagi renggang.""Iya, Yum." Mas Dika terlihat masih menyembunyikan sesuatu."Tapi aku kepo deh sama obrolan kalian. Rencana busuk apa sih yang kalian lakukan tanpa bisa kuketahui?"Mas Dika tidak menjawab, dia langsung masuk ke dalam rumah. Baiklah jika seperti itu, aku akan menyelidiki kasus ini sendirian. Pada akhirnya kita akan tahu siapa yang benar-benar peduli. Itulah yang paling dinanti.***Hujan mengguyur bumi begitu tiba-tiba padahal aku sedang di jalan. Suka atau tidak tetap saja harus berteduh. Angin berembus menusuk kulit yang terbungkus gamis dan jilbab. Aku memeluk diri yang semakin menggigil.Kalau saja bukan karena ibu yang minta dibelikan sandal, aku tidak a
Aku menggaruk dahi sekilas. "Itu tidak disengaja, Mas. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba ada Mas Ilham di sana tanpa kendaraan. Kami tidak macam-macam, kok.""Memang mas menuduhmu macam-macam dengan Ilham?"Benar juga, sih. Tanpa menjawab, aku langsung menuju kamar siap-siap mandi. Sekitar 30 menit, aku sudah siap. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, aku menyeduh teh di depan televisi ditemani Mas Dika.Tiba-tiba teringat payung Mas Ilham yang dipinjaminya. Hujan yang sudah reda membuatku hendak beranjak, tetapi Mas Dika menahan. Dia bertanya, "kamu mau ke mana?""Ngembaliin payung Mas Ilham, Mas. Takutnya malah disangka nyuri sama Nurul kalau gak segera dikembalikan."Sayang sekali, rasa kantuk tiba-tiba menyelimuti jiwa ketika aku berdiri dalam kamar. Tanpa aba-aba, kaki melangkah dan langsung merebahkan diri di tempat tidur.Sore hari, aku sudah berdiri di depan rumah Mas Ilham. Sebenarnya Mas Dika memaksa besok saja, tetapi aku nek
Jika seperti ini keadaannya di mana fitnah juga cacian menghujam tanpa kenal lelah, aku jadi teringat kata seorang penulis terkenal sebut saja Tere Liye, dia berkata 'Tidak masalah sering dihina, dicaci. Banyak orang mulia lahir dari seluruh penghinaan dan cacian'.Semoga aku mampu bersabar dengan ujian yang diberikan Tuhan. Tidak perlh menulis skenario hidup sendiri karena semua sudah diatur dalam garis takdir setiap insan. Kita hanya perlu ikhlas dan bersabar, tetapi jangan lupa ikhtiar lahir batin."Pelakor mending ngaku aja!" sorak salah satu dari mereka yang aku tidak tahu namanya."Anakku bukan pelakor. Jangan mentang kami miskin kalian seenak jidat memberi hinaan. Nurul hanya bersandiwara agar Yumna kalian benci untuk menutupi kesalahan sebelumnya. Apa tidak ingat? Apa lupa kalian lebih mengenal Yumna ketimbang Nurul yang bukan orang sini?" Ibu berdiri di depanku laiknya pahlawan. Suaranya gemetar seperti menahan luka yang terus menghantam dada."P
Gus Qabil datang dengan seorang temannya mungkin, aku tidak tahu. Dia melangkah cepat dan berhenti tepat di depan ibu. Para tetangga semakin riuh dan saling bertanya siapa dan apa hubungannya lelaki itu denganku.Nurul tersenyum. "Siapa yang merebut suami siapa?" beonya menatap Gus Qabil tajam. "Tanyakan pada perempuan yang ada di dekatmu.""Apa maksudmu?""Yumna telah mencoba menggoda suamiku Mas Ilham. Kemarin dia sengaja pura-pura terjebak hujan, lalu meminjam payung. Sorenya sengaja mengembalikan sendirian padahal niat hati ingin merebut."Ketika melirik ponsel, rupanya sudah hampir masuk waktu zuhur. Mereka betah berdiri karena cuaca yang mendadak mendung sejak tadi. Namun, aku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Tuduhan yang kamu beri itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Apa kamu siap?" Dalam keadaan seperti ini, Gus Qabil terlihat mampu menguasai diri."Tidak usah ikut campur!" timpal Nurul, lalu melenggang pergi se
Karena penasaran, aku duduk di samping ibu ingin mendengarkan semua cerita beliau. Namun, kepala sedikit menunduk takut tidak bisa menahan gejolak hati untuk selalu mengagungkan cinta. "Innā lillahi wainnā ilaihi rāji'ūn, terus anaknya sekarang diasuh siapa, Nak Gus?" "Sama umi." Air mata Gus Qabil menggenang ketika aku melihat padanya. Rasa penasaran yang semakin meraja membuatku enggan beranjak. Ibu meminta mereka minum dulu. Sejujurnya ingin bertanya sedang membahas siapa, tetapi takut juga malu. Aku bahkan belum melihat wajah orang yang datang bersama Gus Qabil karena terus menunduk. Setelah menarik napas panjang berulang kali, bibir atasku mulai terangkat. "S-siapa yang meninggal, Bu?" "Istrinya Gus Qabil, Nduk." Spontan aku menutup mulut dengan tangan kiri. Pantas saja beliau terluka sampai ingin menitikkan air mata ketika bercerita. Akan tetapi, aku masih bingung kenapa beliau memberitahu kami. Ah, mungkin karena ibu yang bertan
Pukul empat sore Mas Dika benar sudah pulang, dia langsung membuat kopi dan menyambar cemilan yang ada di meja makan. Aku ingin bertanya hal apa yang membuatnya pulang secepat itu, tetapi dia bilang tidak ingin ditanya apa pun dulu.Mereka mungkin menganggap aku tidak penting sampai seperti ada rahasia yang disembunyikan. Mereka semua bertindak tanpa aku ketahui apalagi melibatkan untuk ikut mengambil peran. Semuanya penuh sandiwara."Mereka datang!" tukas Mas Dika tanpa menatapku."Siapa, Mas?"Tidak ada jawaban, aku langsung mengekor di belakang Mas Dika yang sedang membuka pintu. Rupanya mereka berdua. Baru saja hendak ke kamar, tangan dicekal kuat.Mas Dika menyeret tangan ini dan membuatku duduk di sampingnya. Dia seperti ingin melindungi. Aku hanya diam, tidak ingin pula menatap salah satu dari keduanya. Skenario Tuhan memang tidak bisa kita tebak, kesedihan berganti bahagia dan kini ketegangan."Minta maaf sama Yumna!" titah Mas
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san