“Lima belas menuju ke lokasi itu. Apa Anda ingin jalan sekarang?”
“Ya tentu saja. Kau pikir harus menunggu lagi?”
“Apa Anda yakin Grace ada di sana?”
“Yakin. Untuk apa mereka ke gedung terbengkalai itu?”
“Baiklah. Kita jalan sekarang.”
Sesampainya Edward dan ketiga kawannya di rumah, bukan sambutan hangat yang diterimanya. Beberapa anak buah Mr. Jason menyambut Edward di depan pintu dan langsung mengunci pergerakan Edward, mereka langsung menyekap Edward dari belakang, Edward tak sempat memberi perlawanan.
“Ed!” teriak Vanes melihat beberapa anak buah Mr. Jason memiting kedua tangan Edward ke belakang dan memperlakukannya seperti tahanan. Seorang pria bertubuh besar menahan Vanes untuk tak maju mendekati Edward.
Mr. Jason muncul dari arah ruang baca, dengan wajah penuh kemenangan dia tersenyum.
“Sudah cukup main-mainnya, Edward. Mulai hari ini kau tak kuijinkan pergi keluar. Kau diam di dalam kamar sampai aku melepaskan
“Jason,” panggil Cathy pada suaminya yang berdiri di depan pintu kamar Edward. “Ada apa?” “Edward. Aku—“ “Kau merasa iba?” “Bukan begitu, tapi aku seorang ibu. Ini kedua kalinya aku harus menyaksikan kejadian seperti ini yang terulang kembali. Aku takut Edward berbuat nekat,” ujar Cathy pelan. Wajahnya menunjukkan sebuah kecemasan dari seorang ibu. “Sudah pernah kukatakan, aku tak ingin memiliki putera yang membangkang. Biar mereka rasakan sendiri akibat perbuatannya,” jawab Mr. Jason dingin. Kemudian dia berlalu dan meninggalkan Cathy seorang diri di depan pintu kamar Edward. Edward mencakari pintu yang membuatnya tersiksa, sesekali dipukulnya, tak luput kepalanya ikut menghantam pintu tersebut. Hancur, semuanya sudah hancur. Edward tak bisa berpikir jernih, entah berapa kali kepalanya menghantam pintu dan tembok. Rasanya ingin mati saja. “Jika kalian tak membuka pintu ini dengan segera, kalian tak akan pernah melhatku lagi,”
Semua terdiam melihat Ethan mengarahkan pistol ke pelipis kirinya. Jason mendengus kesal, kemudian menarik tangan Cathy. Cathy mengikuti langkah Jason, keduanya tak mengatakan apa pun.Ethan menurunkan pistol itu, dan meletakkannya di atas meja.“Akan kusuruh Tom membawa kalian ke rumah sakit,” kata Ethan. Dibiarkannya Edward mendekati Grace yang tergolek tak berdaya. Dengan sisa tenaga yang ada, dipeluknya Grace.“Thanks, Ethan,” ujar Edward pelan.“Aku melakukannya bukan untukmu, tapi untuk Grace. Jika kedua orang itu masih juga bersikeras, aku benar-benar akan memecahkan kepalaku,” jawab Ethan dengan berat.Edward sadar, Ethan pun melakukan pengorbanan itu bukan untuk dirinya, tapi untuk satu gadis yang dicintai mereka berdua. Tapi bukan saatnya untuk memperdebatkan masalah perasaan, karena kondisi Grace sudah sangat payah.“Kau mengorbankan dirimu untuk kedua kalinya, untuk gadis yang berbeda,&rd
Grace tak peduli dengan semua ocehan Edward. Dia menghambur ke pelukan Edward, memeluknya dengan erat, semakin erat, tanpa ingin melepaskannya lagi.“Aku akan menunggu sampai kau siap mengatakannya padaku, Edward. Aku hanya ingin memastikan aku tak berjalan sendirian pada perasaan yang kurasakan padamu.”Edward membalas pelukan Grace, meski tak mengucapkannya, rasa cinta itu terlalu besar untuk Grace, sangat besar, membuatnya frustasi.Sudah seminggu lebih Grace dan Edward keluar dari rumah sakit. Semuanya kembali normal, tak ada yang mengganggu atau pun mencari gara-gara untuk mengacaukan hubungan Grace, Edward, dan Ethan.Edward yang tak ingin Grace digoda oleh laki-laki hidung belang di bar tempatnya bekerja, tanpa berpikir panjang membeli bar itu agar Grace lebih mudah diawasi dan tak ada yang bisa berbuat macam-macam.Hubungan keduanya pun tetap saja seperti sebelumnya, selalu bertengkar untuk hal-hal tak penting, lalu kembali berb
“Grace, besok kau libur, kan? Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat. Mungkin kita bisa refreshing?” Betul, selama ini Grace merasa kehidupannya hanya berputar-putar pada masalahnya dengan Edward dan Ethan, selama berbulan-bulan dia lupa bagaimana memanjakan diri, jalan-jalan ke tempat rekreasi, bahkan dia pun ingat sudah lama tak pergi keluar bersama Natalie atau teman-temannya yang lain. Ya, dia butuh hiburan. “Kita mau ke mana?” “Aku akan cari tempatnya nanti.” “Boleh. Kau tentukan saja di mana kita akan menghilangkan rasa bosan ini,” jawab Grace senang. Grace kembali bekerja setelah menghabiskan segelas cocktail kesukaannya. Sudah beberapa hari ini dia tak bertemu dengan Edward maupun Ethan, setiap Ethan atau Edward meneleponnya, dia hanya menjawab singkat tanpa banyak berbasa-basi lebih lanjut. Mungkin dia harus mencari kesibukan lain yang bisa mengalihkan perhatiannya, yang baginya lama-lama menjadi sangat monoton. Ketika Gra
“Apakah harus pergi?” “Maaf, aku harus pergi. Jika kau berubah pikiran, kau bisa menyusulku.” “Aku—“ “Jangan menangis. Bukankah mencintai seseorang tak harus selalu memilikinya? Aku menyerah bukan untuk melepasmu. Jika kau tak menemukan yang lebih baik dari aku, kau pasti akan kembali dengan sendirinya.” Grace menghambur kembali ke pelukan Kevin. Entah kenapa dia merasa malam ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Kevin. Mungkinkah Kevin benar-benar tersakiti dengan perasaan yang dirasakannya? Grace tak bisa menebaknya. “Sore made sayonara, Grace,” (Selamat tinggal sampai nanti, Grace) ujar Kevin. Kedua mata Kevin ikut berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat tersebut. Grey datang ke rumah Grace, karena keduanya sudah menyusun agenda untuk menghabiskan hari libur berdua. Edward sendiri masih sibuk dengan pekerjaan dan banyaknya rapat dengan para investor untuk perusahaan milik kedua orangtuanya, dia menjadi jarang untuk menghubungi Gra
“Aku paham maksudmu. Tapi ini keputusan Jason. Lagi pula kudengar Ethan juga dekat dengan gadis itu, apa kau sanggup bersaing? Bukankah lebih baik kau dan Karina saling mengenal lebih dekat dan—“ “Aku tak perlu mengenal lebih dekat gadis mana pun yang kau berikan padaku. Aku mau pergi! Jangan campuri urusanku lagi, Mrs. Jason!” bentak Edward. Dia bangkit dari tempat duduk, menendang sebuah kotak sampah hingga terpental lalu membanting pintu dengan kencang. “Karina, kejar Edward. Aku tak ingin malu pada kedua orangtuamu,” kata Cathy pada Karina. Karina memang cantik. Tubuhnya tinggi dan langsing, rambut pendek sebahu berwarna hitam pekat, dengan kulit putuh bak porselen, kedua bola mata berwarna biru terang yang terlihat sangat menggoda ketika dia melirik, akan membuat siapa pun dengan mudah jatuh hati padanya. Karina adalah anak dari rekan bisnis keluarga Madison, dan mereka sudah saling mengenal sejak lama. Alih-alih menjadi investor di perusahaan, tid
‘Jadi gadis ini akan dijodohkan? Tapi dengan siapa? Cathy memiliki dua orang putera, apakah Edward atau Ethan?’ batin Grace seraya memperhatikan wajah Karina yang baginya terlalu sempurna. Gadis itu memiliki segalanya; harta, kekuasaan, dan kecantikan yang bisa membuat gadis lain rela mati demi mendapatkan kecantikan yang menurut Grace sangat sempurna. “Berita juga mengatakan saat itu kau menyindir wanita tua itu karena dia tak menyetujui hubunganmu dengan puteranya, apa kau pernah atau masih memiliki hubungan dengan salah satu putera Cathy Madison?” Mulut Karina tak berhenti bertanya sepanjang jalan. Membuat Grace bingung dan tak tahu harus menjawab darimana. “Iya itu aku,” jawab Grace dengan nada pasti. Dia tak mungkin lagi mengelak. “Kalau boleh tahu, dengan siapa kau berhubungan? Karena di berita itu mengatakan Cathy menentang hubunganmu dengan puteranya.” “Ethan,” jawab Grace pelan. Sudah cukup baginya, dia lelah jika harus menimbulkan masalah ba
Ethan menendang paha Edward. Seenaknya saja menawarkan dirinya pada gadis yang sama sekali tak dia kenal. “Kau gegar otak? Kenapa harus aku? Kalau kau menikah dengan gadis itu, aku bisa dengan leluasa membawa Grace bersamaku. Sekali-kali harus menjadi anak yang berbakti.” “Seandainya semudah itu, Ethan. Perasaanku semakin hari semakin besar, bahkan aku sendiri takut dengan perasaan yang kumiliki. Tapi aku benar-benar mencintai Grace. Sudahlah, kupastikan aku akan mengatakannya pada Grace tak lama lagi. Aku mau tidur dulu, keluar kau dari kamar!” Ethan melompat turun dari tempat tidur Edward. Kemudian berlalu dari kamar Edward. Dia masih meraba-raba, rencana berikut pasti akan lebih rumit dari sebelumnya. Atau sebaiknya dia membawa Grace tanpa sepengetahuan Edward. “Arrgh! Kenapa begini rumit!” Ethan mengusap wajahnya dengan kasar, dia benar-benar butuh menghilangkan kekusutan di otaknya saat ini. “Lebih baik aku pergi menemui Grace.” E