Grace membetulkan pakaiannya yang sempat diacak-acak kelima pemuda sinting yang kini saling bersitegang dengan Ethan, entah kenapa Ethan terlihat begitu jantan di mata Grace ketika sedang membelanya.
“Kau pergi saja duluan,” ujar Ethan bergerak mundur berusaha menghampiri Grace yang berdiri di belakangnya, kemudian menuntun Grace dan membuka pintu dengan satu tangannya.
“Aku tak mau, aku mau pergi bersama-sama,” jawab Grace.
“Gadis berkepala batu, pergilah, orang-orangku akan menjagamu. Kelima cecunguk ini biar aku yang menjaganya dan memberikan sedikit pelajaran.”
Grace berbisik ke telinga Ethan, “Kau yakin? Mereka bertubuh sama sepertimu, apa kau mau mati konyol?”
“Sshht, kau tak percaya denganku?”
Salah seorang pemuda maju ke depan dan langsung memberikan salam perkenalan di rahang kiri Ethan, membuat Ethan terhuyung dan hampir terjatuh, oke ... baru pemanasan, dan Ethan mulai mempersiapkan diri untuk menerima serangan berikutnya.
Pelipis kiri Ethan berdarah, belum lagi bibirnya, pasti sangat sakit, dan Grace tak bisa membayangkan rasanya. Ethan bergerak pelan, sembari mengerang, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Kedua mata Ethan berusaha membuka, dilihatnya Grace sedang menangis sambil memanggil namanya. "Gadis idiot, buat apa menangis?" Grace mengusap airmata yang membasahi kedua pipinya dan memaksakan dirinya untuk tertawa, "Heh, kau membuatku khawatir. Kenapa kau berkorban seperti ini? Kau bisa mati," jawabnya, dan Grace tetap tak bisa menahan tangisannya. Ethan berusaha mengangkat satu tangannya, kemudian perlahan mengusap pipi Grace yang basah dengan airmata, "Se-seandainya, aku mati pun karena berkorban untukmu... aku tak akan pernah menyesal. Grace... ikutlah denganku," kata Ethan terpatah-patah. "I-ikut ke mana?" "Pergi bersama ke Italia, kau pasti paham maksudku, aku--" Belum sempat Ethan melanjutkan kalimatnya, dia pun terdiam. Pi
“Ka-kau ... kenapa dengan ma-matamu?” tanya Ethan terbata-bata. “Tidak apa, aku hanya mengkhawatirkanmu, aku takut kau tiba-tiba mati, Ethan,” ujar Grace. “Heh, mati? Jadi kau berharap aku mati?” “Bu-bukan begitu, maksudku, bagaimana kalau kau tiba-tiba mati?” “Gadis bodoh, aku tak semudah itu mati,” jawab Ethan sembari mengacak rambut Grace lalu berusaha tersenyum. Jika saja tadi Ethan tak mengalah, dipukuli sampai babak belur, para pemuda itu pasti akan berbuat nekat, mungkin mereka akan menyakiti Grace atau bahkan lebih dari itu. Dia tak akan pernah bisa merelakan jika sesuatu terjadi pada Grace, tidak akan pernah! Edward tak benar-benar pergi, tak ada yang tahu dia berada di luar kamar dan melihat keduanya dari celah pintu, dia bisa melihat perlakuan Ethan pada Grace, dia yakin Ethan sudah memiliki rasa pada Grace, tapi dia sendiri tak bisa mundur, ataupun menyerah, karena baginya ...Grace tak bisa dimiliki siapa pun kecuali dirinya!
Grace terdiam sejenak berusaha mengingat-ingat sesuatu, “Iya, dia mengatakan sesuatu yang membuatku bertanya-tanya sampai saat ini, dia ...,” Grace tak melanjutkan kalimatnya. “Dia mengatakan apa?” desak Kevin. “Dia ... mengajakku pergi ke Italia, tapi tak mengatakan alasannya kenapa mengajakku ke sana, menurutmu apa dia ingin mengajakku jalan-jalan?” tanya Grace polos. Kevin sudah menduganya, Ethan mengajak Grace ke Italia? Hanya berdua? Apalagi! Ethan telah memiliki perasaan lebih kepada Grace, dan dengan ajakannya yang entah serius atau pun tidak, berarti Ethan ingin mendului dirinya dan Edward, dan berusaha memiliki Grace sepenuhnya, tanpa atau dengan persetujuannya Edward dan dirinya. “Jadi ... begitu ya?” Grace mengangguk, “Iya, dia bilang, ‘Grace, kau mau ikut bersamaku ke Italia?’ dia hanya berkata seperti itu, setelahnya dia pingsan dan tak sadarkan diri.” “Grace,” panggil Kevin dan menatap kedua mata Grace den
Ethan meremas jari-jarinya, dilepasnya selang infus dibiarkannya darah mengalir dari tangannya, kemudian dengan susah payah dia beranjak turun dari tempat tidur, menepis tangan Mark yang berusaha menahannya. Dihampirinya Edward, dan mencengkram leher kemeja Edward. “Meski aku habis babak belur seperti ini, jangan kaukira ... aku tak sanggup menghabisimu,” kata Ethan menggertakkan gigi-giginya, cengkeramannya di leher kemeja Edward semakin mengetat. “Kukira ... kau memberiku waktu, tapi rupanya kau lebih licik dari yang kukira, dan kau mendahuluiku,” bisik Edward. “Kau tak akan pernah bisa memanfaatkan waktu yang kuberikan, sifat kasarmu tak akan pernah bisa berubah. Kau menyukainya tapi yang kaulakukan justru kebodohan yang akan menjauhkanmu darinya,” balas Ethan dengan berbisik juga. “Bangsat kau, Ethan,” kata Edward pelan. Suasana di dalam kamar lagi-lagi memanas, Mark bersiap-siap untuk memisahkan kedua kakak beradik yang sedang bersitegang
“Thanks,” Grace membaca name tag yang ada di sebelah kiri seragam bartender itu, “sekali thanks, Grey.” Grey tertawa ketika mendengar Grace menyebut namanya. “Kau memang hebat, setiap kau tampil para pengunjung akan berteriak histeris.” “Aku suka menari di bawah lampu sorot panggung, membuat adrenalinku semakin terpacu, dan semua masalahku seakan hilang begitu saja.” “Grace, itu kan namamu?” Grace mengangguk. “Benar, namaku Grace Collins. Kenapa, Grey?” Grey tersenyum. “Apakah lain waktu, di luar jam kerja aku bisa mengajakmu pergi?” tanya Grey dengan sopan. Grace tertawa renyah, kemudian menjawab, “Tentu saja. Hari minggu ini aku libur.” “Pas sekali. Hari minggu juga aku libur. Mungkin kita bisa jalan-jalan ke pantai? Atau kau yang menentukan tempatnya,” ujar Grey. Grace tak langsung menjawab, diperhatikannya Grey dengan seksama. Pemuda yang sedang berbicara padanya saat ini terlihat menarik. Tubuh Grey
“Lagi-lagi dengan pemuda yang berbeda, harus berapa banyak pria yang mengejarmu? Apa yang kurang dariku, Grace?” ujar Edward seorang diri. Di dalam restoran, Grey dan Grace tertawa-tawa tanpa menyadari kalau Edward masih memperhatikan keduanya. Rasanya Edward ingin segera masuk ke dalam restoran, meghardik Grey dan melemparkan wajahnya dengan sebuah bangku. “Besok, aku akan menjemputmu di kampus, lalu mengajakmu pergi sebentar sebelum kau ke bar, apa boleh?” tanya Grey dengan sopan. “Boleh, kau tahu kan di mana kampusku?” “Winston University sudah sangat terkenal, siapa yang tak tahu kampus itu. Lagi pula aku heran, kau berasal dari keluarga berada kenapa kau mau bekerja di bar?” “Aku kebetulan mendapatkan beasiswa di kampus, dan rumah beserta fasilitasnya bukan milikku, itu semua milik pamanku. Aku—“ “Paman?” Grace melonjak kaget dari bangkunya melihat Edward sudah berada di samping meja dan memelototinya. “Kau mau apa
“Ed, kau pulang saja. Sudah kubilang aku tak mau melihatmu!” “Aku tak akan pulang tanpamu. Seandainya kau sadar, kau yang membuatku seperti ini. Selama ini aku tak pernah memohon hanya demi seorang gadis. Kau selalu membuatku sakit, kau selalu membuatku marah, apa kau tak sadar?!” Grace terdiam, didengarnya Edward terus berbicara. Sampai saat ini pun dia masih tak mengerti kenapa Edward begitu ngotot. Edward selalu marah jika dia berdekatan dengan pria lain. Edward selalu mengamuk jika melihat pria lain berbicara atau menyentuhnya, sebenarnya apa yang dia mau. “Kumohon. Kau selalu mengulik amarahku dengan berdekatan dengan laki-laki lain, apa kau tak mengerti apa yang kurasakan saat ini?” “Karena aku tak mengerti, maka jelaskan!” jawab Grace. Dia pun keluar dari balik punggung Grey dan menatap Edward dengan lantang, menantang Edward sebuah penjelasan. Grey mundur ke belakang membiarkan Grace saling berhadapan dengan Edward, dia merasa bukan ra
Edward terhenyak seakan baru saja terbangun dari lamunan panjang begitu mendengar nama Ethan. Bagaimana kalau sampai Ethan sampai membawa Grace ke Italia meski dia masih memiliki waktu? “Aku bisa gila jika Ethan berani melakukannya.” “Tapi kau terlalu lambat.” “Sudahlah, sekarang bantu aku.” “Kurasa yang kau rasakan saat ini lebih dari sekadar rasa suka,” kata Vanes. “Maksudmu?” “Kau mencintainya?” Menyatakan suka saja tak sanggup, apalagi harus menyatakan cinta? Vanes terus menanyakan pertanyaan yang Edward tak mampu untuk jawab. “Aku tak tahu.” “Sebentar lagi kau akan kehilangannya kalau kau terus ragu seperti ini, Ed. Rivalmu selain Kevin, Ethan sangat kuat. Kau dan Ethan sama-sama keras kepala, hanya bedanya Ethan lebih mampu menyatakan perasaannya, makanya dia bisa mendapatkan Karen.” “Tunggu, aku akan menyatakan perasaanku saat ulang tahun Grace. Apakah itu cukup?” “Tidak cukup bagiku
Lindsay berencana pergi menemui Tuan Besar Dupont, untuk menagih sesuatu yang telah dijanjikannya. Setidaknya, meski Michael Dupont kurang menyukainya, wanita itu mampu mengerjakan pekerjaan yang terkadang tak mungkin dilakukan orang lain. Apa pun demi uang dia akan melakukannya meski melakukan hal terkotor sekalipun.Lindsay merayap naik ke atas tempat tidur, dilihat Travis masih tertidur pulas dan mendengkur. Semalam dia tak bisa melupakan betapa jantan Travis di atas ranjang, membuatnya kewalahan melayani nafsu liar pria itu.Travis dan Lindsay, kedua berencana untuk menikah tak lama lagi. Sayang, tampaknya pernikahan itu harus tertunda atau mungkin tak akan pernah benar-benar terwujud.Lindsay menyentuh wajah Travis yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ketampanan serta keperkasaan pria itu benar-benar membuat Lindsay tergila-gila.“Sayang, kenapa kau selalu mampu membuatku memohon kepadamu untuk menikmati setiap cumbuanmu di tubuhk
“Kalau kau tak paham, mungkin senjata ini mampu membuatmu mengingat kembali kejadian di pelabuhan.”Tak perlu berbicara panjang bagi Timothy. Dia menodongkan sebuah pistol ke arah kening Eric dan bersiap untuk menarik pelatuknya.Tubuh Eric seketika menegang dan membeku di tempat, begitu melihat raut wajah Timothy yang benar-benar menyeramkan baginya. Awalnya dia mengira Timothy hanya sekadar mengancamnya, nyatanya ... dia siap menearik pelatuk itu kapan saja, jika Eric berani membantahnya!“Aku ... sungguh tak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Tuan. Kejadian di pelabuhan? Mungkin kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin?” tanya Eric, berusaha bernegosiasi, agar setidaknya Timothy berbaik hati menurunkan senjata itu dari kepalanya.Beberapa wanita yang sedang bersama Eric di dalam ruangan itu perlahan keluar dari dalam ruang VIP, mereka seketika merasakan seperti dewa kematian berada di dalam ruangan. Tak ada yang berani
Ethan langsung memahami maksud dari perkataan Timothy barusan. Jadi siapa yang akan diburu Timothy saat ini?Sebelumnya Timothy tak mengatakan apa pun pada Ethan, dia mengira-ngira apa yan akan dilakukan Timothy, dan siapa yang menjadi targetnya kali ini. Ethan mengajak Grace ke sebuah restoran mahal, dia mengajak gadis yang dicintainya itu untuk menikmati makan siang di sana.Grace yang biasanya manja pada Ethan, kini terlihat kaku dan canggung, perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Dia merasa benar-benar bodoh, kalau saja dia tak mabuk saat itu, tentu tak akan menjadi seperti ini suasananya. Meski Ethan mencoba bersikap biasa saja, tetap perasaan ganjil itu ada di dalam hatinya.“Apa kau ingin memesan sesuatu?” tanya Ethan.“Kau saja yang memesannya untukku,” jawab Grace,Besok dia harus menemui John karena harus menemui seorang klien spesial, seorang produser yang tertarik padanya, dan ingin memakai dir
Kevin merasa pria tua yang menolongnya benar-benar misterius, senyuman yang diberikan padanya seperti memiliki kesan tersendiri yang dia sendiri tak bisa mengerti apa maksudnya.Tetapi dia tak terlalu memikirkannya, karena pria itu setidaknya telah menyelamatkan hidupnya. Jika bukan karena dirinya, bisa dipastikan dia sudah mati jauh sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana caranya membalas hutang budi pada Cornelius, hanya saja begitu dia bisa kembali ke kota, dia akan memberikan sesuatu pada pria tua itu.Kevin mencoba mengingat nomor telepon milik Timothy. Hanya nomor milik Timothy yang bisa diingatnya, karena nomor itu memiliki beberapa angka yang sama.Panggilan tersambungkan.Timohty melihat sebuah nomor tak dikenal muncul di layar ponsel meminta jawaban darinya.“Ya, dengan siapa?” tanya Timothy dengan kening berkerut. Biasanya dia malas untuk menjawab panggilan tak dikenal, tapi kali ini dia mengikuti kata hatinya untuk
Baru kali ini dia merasa jatuh cinta itu menyesakkan perasaan dan dia paham apa yang dirasakan Edward dulu kini dirasakan olehnya. Berkali-kali dia menyakiti Edward, mengacuhkan perasaannya, mengabaikan perhatian yang diberikan, dan saat Edward melupakan kenangan bersamanya dia merasa sakit yang didapat berkali lipat dari apa yang dirasakan Edward sebelumnya.Grace pun berjalan meninggalkan Edward, berusaha untuk tak mengabaikan Edward.“Asal kau tahu, sewaktu ingatanmu belum hilang, aku tak pernah mencintaimu!”Begitu mendengar apa yang baru saja dilontarkan dari mulut Grace, Edward terdiam dan mematung di tempat. Dia tak menyangka kalimat yang baru saja didengarnya mampu membuat dadanya terasa ditusuk oleh sebilah pisau tajam, dan membuatnya berdarah-darah.Ethan telah menunggu Grace di luar, begitu dilihatnya Grace telah keluar dengan wajah yang terlihat sedih, dia mengerti sesuatu memang telah terjadi di antara kedua or
“Jason, kumohon jangan gegabah. Michael Dupont sekarang berbeda dengan yang dulu. Aku rasa keluarganya telah mendapatkan dukungan yang cukup kuat di Paris. Lagi pula, tak semudah itu membalasmu.”Jason hampir saja menepis cangkir kopi yang berada di atas meja, karena terbakar oleh amarah pada Keluarga Dupont.“Aku tak pernah semarah ini, Cathy. Kau lihat apa yang telah diperbuatnya? Mereka benar-benar telah membuatku terbakar amarah. Mereka sengaja sepertinya menggunakan Edward untuk memancingku keluar. Cepat atau lambat aku menemuinya jika itu yang mereka inginkan!”Cathy memeluk suaminya, dia tak pernah menyangka, masa lalu yang seharusnya berlalu kembali menghantui kehidupannya yang disangkanya telah benar-benar tenang.Sedangkan di tempat lain, Ethan merasakan sedikit perubahan terjadi pada Grace semenjak dia kembali ke apartemen. Gadis itu terlihat lebih pendiam, bahkan dia tak lagi begitu perhatian pada Ethan. M
Lily tak percaya, Edward bisa sedemikian kasar pada dirinya. Selama ini dia percaya, rahasia yang dipendamnya akan tetap aman, ternyata ... tak semudah yang dipikirkan olehnya.“Kau percaya dengan kebohongan yang mungkin kau dengar dari orang lain?” tanya Lily, masih berusaha menutupi kebenaran yang sudah mulai terbuka dikit demi sedikit.“Bagaimana jika orang lain yang kau katakan berbohong padaku, ternyata telah menunjukkan sebuah kebenaran padaku?”Lily terdiam, wajahnya menjadi pucat, sepucat kapas. Lily menjadi ragu jika Edward benar-benar masih lupa ingatan. Melihat cara Edward memandangnya, dia yakin ada sesuatu yang tak beres saat semalaman Edward tak kembali ke apartemen.Sebetulnya siapa yang ditemui Edward? Pikiran-pikiran seperti itulah yang kini memenuhi kepala Lily.“Ma-maksudmu apa?” tanya Lily terlihat semakin gugup. Edward kian menatap tajam ke arah Lily. Dia yakin, apa yang dikatak
Ethan terkejut melihat Grace yang telah kembali dengan penampilan yang sangat berantakan, dia berdiri di depan pintu dan menatap Ethan. “Kau ke mana, semalaman kau tak kembali membuatku khawatir, Grace,” ucap Ethan. Ethan menghampiri Grace dan langsung memeluknya. Grace sama sekali tak merapikan diri saat akan pulang. Dia tak tahan dengan rengekan Edward yang terus memaksa untuk pergi bersamanya. Sedangkan dia tak bisa meninggalkan Ethan. Meski dia tahu, dia tak mencintai Ethan, tapi perasaan bersalah karena telah tidur dengan Edward terus menghantuinya. Melihat wajah Ethan yang begitu mencemaskan dirinya, semakin memperkuat rasa bersalah yang dirasakan Grace. “Aku pergi ke bar, lalu karena merasa pusing, aku menyewa hotel untuk tidur di sana. Maafkan aku, karena aku tak menghubungimu sama sekali, Ethan.” “Aku senang kau kembali, aku pikir kau akan meninggalkanku,” jawab Ethan. Seandainya saja Ethan tahu, jika Grace telah mengkhianatin
Apakah Grace tak salah mendengar dengan permintaan Edward padanya?Pria itu menginginkannya pergi bersama, dan hanya berdua?Jika saja dia tak bersama Ethan, mungkin dengan senang hati Grace akan menerima tawaran Edward barusan. Perasaan cinta itu masih ada dan masih sama seperti sebelumnya. Tak ada yang bisa mematikan rasa yang tak pernah padam di dalam hati Grace.Grace meraih selimut yang berada di atas ranjang, dengan segera ditutupi tubuhnya. Edward menatap liar ke arah Grace dengan sesungging senyum penuh arti di wajahnya.“Aku ... tak bisa menerima tawaranmu. Biar bagaimanapun, aku telah membuat keputusan untuk meninggalkanmu saat di Detroit dan pergi bersama Ethan. Lagi pula kau tak mengingat siapa diriku, apa yang bisa kuharapkan dari pria yang sama sekali tak mengingat masa lalunya?”Edward terdiam begitu mendengar kalimat Grace yang cukup tajam menusuk perasaannya.Dia memang lupa ingatan.Dia memang tak menging