Vivian Dawson masih berusaha duduk tenang menyimak informasi yang baru di sampaikan Victor Durant mengenai rencana Sky untuk tawaran kerja sama dengan perusahaan pertambangan milik Jeremy Loghan.
"Anak muda yang bergerak terlalu cepat!" ucap Vivian yang mulai ikut mencemaskan rencananya yang belum matang. "Bahkan sampai sekarang kita masih belum menemukan Alizia Moris!"
"Aku akan segera membayar lebih banyak orang untuk segera menemukanya."
"Kita benar-benar harus segera mendapatkannya atau semua rencana kita akan berantakan. Sky bisa bergerak lebih cepat dari pada kita dan seharusnya kita yang mendapatkan kontrak kerjasama bersama Jeremy Loghan!"
"Aku bisa mengatur waktu agar kau bisa bicara dulu dengan Jeremy Loghan
Suara pecahan vas kaca, guci-guci antik dan perabot kristal super mahal kembali terdengar mengerikan setelah Vivian Dawson memukulnya satu-persatu menggunakan tongkat baseball seperti wanita yang sedang sinting."Seharusnya kau melihat bagaimana pemuda pengkhianat itu mempermalukanku di depan Jeremy Loghan! "Vivian masih menggila dan kembali membanting beberapa benda dari atas meja. Dia merasa benar-benar dipermainkan oleh Sky Adington, karena ternyata selama ini justru dia sendiri yang telah meyembunyikan Alizia Moris."Kau tidak akan bisa mengalahkan Sky Adington jika hanya membanting barang ke lantai, dia tidak hanya cerdas dan licik dia juga memiliki Alizia Moris"Victor hanya bisa membujuk agar wanita itu bisa berpikir leb
Lizie kembali melihat Geby yang sedang berada di pantai tapi kali ini bersama suaminya. Tadinya Lizie tidak ingin mengganggu tapi karena Geby yang melambai kepadanya lebih dulu dia pun segera berlari kecil menghampiri mereka. Lizie baru keluar dari rumah, cuma memakai celana hotpants dan kaos longgar milik Sky sebab Sky melarangnya cuma memakai bikini jika keluar. Senyum cerah Lizie tetap terlihat cemerlang di bawah naungan topi lebarnya ketika langsung menyapa Geby dan suaminya. "Selamat siang Mr. Loghan senang bisa bertemu Anda lagi." Lizie sengaja menyapa Jeremy karena Geby sepertinya jauh lebih santai. "Geby mengatakan kalian akan makan malam bersama kami." "Oh, maaf sepertinya tapi aku belum bisa ikut makan malam di rum
"Aku tidak mau dia datang lagi kemari!" kata Lizie pada Sky yang dia tahu sedang bicara di telepon dengan Emma. "Kau butuh bantuan karena kau tidak akan bisa mengajarimu memakai gaun yang benar." Sky mendongak dari sofa melihat kepada Lizie yang baru turun dan berhenti di tengah anak tangga. "Geby akan membantuku, dia sudah berjanji." Ini untuk kesekian kalinya Lizie menolak kedatangan Emma. "Baiklah aku akan batalkan janjinya." Sky menyerah karena tidak ingin berdebat lagi dengan Lizie yang pasti akan tetap berkeras menolak kedatangan Emma. "Kau mau kemana?" heran Sky melihat Lizie yang langsung berjalan mengabaikannya. "Aku
Rumah keluarga Dawson merupakan rumah dengan pekarangan paling luas di semenanjung Long Island. Mansion megah itu kali ini sedang dihiasi oleh lampu-lampu malam bercahaya redup dan hangat di sepanjang garis pantai halaman belakangnya. Sebuah pesta kalangan atas yang mahal serta penuh kemewahan sedang digelar di dalam ballroom super luas yang kisi-kisinya dibuka lebar agar para tamu juga bisa ikut menikmati berjalan-jalan di halaman belakang dan pantai. Semua tamu dari kalangan sosial kelas atas, mereka hadir dalam acara amal untuk yayasan yang sudah sepuluh tahun didirikan oleh Vivian Dawson beserta rekan-rekan sosialitanya. Sama sekali tidak seperti pesta yang pernah Lizie lihat di manapun, pesta kalangan atas memang sangat berbeda. Semua orang terlihat begitu anggun dan cantik mengenakan gaun-gaun yang indah dari para perancang ternama. Semua saling bicara dengan kumpulan mereka masing-masing, tawa mereka pun sangat terjaga dan beretika meskipun sebagian yang lain juga ter
Lizie masih berdiri di lingkungan yang sama, di depan orang-orang yang juga masih sama, tapi rasanya seperti tiba-tiba ditarik ke dalam lobang dimensi yang berbeda dan diputar ulang. Kali ini mereka semua memberi senyum kepadanya dan mungkin jika Lizie tersandung hingga terjungkal sekalipun tidak akan ada lagi yang berani menyinggungnya. Sky mengajak Lizie menghampiri Jeremy Loghan dan istrinya. "Itu tadi sangat mengesankan," puji Geby untuk Lizie, dan kau juga sangat cantik. "AKu tahu ini karena siapa," Lizie balas memuji pilihan gaunnya yang memang cantik. "Aku serius kau terlihat luar biasa." Geby kembali menilai gadis muda di depannya dan tidak luput ikut memperhatikan cara Sky menggenggam tangan Lizie.
"Aku masih ingat semuanya, Sayang, semua detailnya." Lizie benar-benar jijik mendapati tubuhnya di pandangi dengan cara seperti itu. "Apa maumu?" Lizie langsung waspada menanggapi seringai jahat dan licik dari senyum Mark. Dengan santai pria itu mengeluarkan kartu nama dari kantongnya. "Simpan dulu nomorku, karena sepertinya ada yang sedang mencarimu." Pria itu mengedikkan pandanganya ke arah Sky yang memang sedang terlihat bertanya pada beberapa tamu untuk mencari Lizie. Jantung Lizie berdegup semakin kencang begitu melihat Sky. "Jangan lupa segera hubungi aku setelah nanti kalian sampai di rumah," pesan Mark sebelum kemudian berjalan pergi sambil memberi isyarat jari telunjukn
Sky terus mencumbu ke sekujur tubuh Lizie, tapi kali ini posisi Sky sudah berada di atas tubuh Lizie yang bergeliat lembut, hangat, dan penuh gairah. Seharusnya Sky tidak berbuat demikian namun desakan napas lembut Lizie membuat Sky ikut luluh untuk hancur bersama gairah gadis mudanya. "Sky...." Lize meraih rambut di kepala Sky dan mencengkeramnya dengan erat tapi juga tidak ingin pria itu berhenti meskipun pinggulnya sudah terangkat kaku berdenyut-denyut. Rasanya seperti lelehan dosa yang sangat tidak beradap, bagaimana Lizie membiarkan Sky berbuat seperti itu. Mereka memang pria dan wanita yang tinggal bersama dan hanya berdua tapi bukan berarti mereka boleh seperi ini. Sky mencumbu Lizie sampai lemas dan tidak berdaya, memberinya beberapa klimaks meskipun tanpa melakukan penetrasi.
"Sekali lagi aku ingin memastikan kau sudah mengirim foto kepada Mark apa belum?" "Belum, aku belum mengirimnya." Lizie buru-buru menggeleng setelah tadi sempat syok cukup lama. "Bagus lah, sekarang tenangkan dirimu dulu. Aku sudah tahu siapa di balik semua itu dan aku juga tahu siapa yang bisa membantu kita." Geby menyentuh bahu Lizie untuk memberikan kepercayaan padanya. "Jeremy akan membantu kita." Geby yakin itu semua pasti ulah Victor pria penjilat yang kemarin dia usir dari hadapan suaminya. "Dengarkan aku, Lizie..." Geby bicara pelan-pelan, " kau harus tenang jangan sampai Sky curiga dan aku bersumpah Sky tidak perlu tahu mengenai semua hal ini, kau cukup percaya padaku."
"Selamat ulang tahun. " Di musim semi ulang tahun Lizie yang ke sembilan belas. Sky mengangkat Lizie untuk duduk di atas pangkuannya, mereka hanya berdua memandang ke luar dari jendela kaca besar yang menghadap langsung ke sisi pegunungan Alpen. "Aku ingin kita seperti ini dulu," bisik Sky ketika mempererat lengannya di pinggang Lizie dan menghirup puncak kepalanya dengan tarikan napas dalam. "Aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri." Sky menyarukkan rahangnya yang terasa kasar dan menggelitik sisi leher gadis mudanya yang hangat dan lembut. "Aku adalah milikmu, kau boleh memilikiku sesuka hatimu." Sentuhan Sky adalah apa yang juga akan selalu Lizie inginkan.
Walaupun tangan kirinya masih di perban tapi Sky bersikeras bisa menyetir sendiri untuk membawa lizie pulang bersamanya. Sky memang keras kepala, padahal Tobias sudah sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan mereka pulang. Lizie terpaksa masuk ke dalam mobil Sky dan melambai pada Tobias Harlot untuk sekaligus minta maaf. Lizie benar-benar merasa tidak enak karena bagaimanapun selama ini Tobias sudah sangat baik pada mereka. "Tulangku hanya retak bukan cacat!" kata Sky setelah Lizie duduk di sampingnya. "Ya, aku percaya." Lizie pilih setuju saja dibanding harus berdebat karena dia tahu Sky tidak suka diremehkan dan hal itu sudah jadi sifat dasarnya yang sulit dirubah. Sky memang masih bisa mengemudi dengan baik, lengan kirinya j
Tobias Harlot sudah coba menjelaskan dengan tenang tapi nyatanya air mata Lizie tetap merembas hangat dari masing-masing sudut matanya. Lizie meraba kembali perutnya yang sudah kembali rata dengan jemari tangannya yang agak kurus. Rasanya tetap pedih walaupun sudah tidak ada yang terasa perih lagi. "Jadi bayiku tidak selamat? " Tobias hanya berani mengangguk pelan. "Anak-anak akan berada di surga kau tidak perlu cemas." "Aku bahkan tidak sempat melihatnya." "Kau sudah berjuang dengan hebat, Sky pasti juga akan tetap bangga padamu." Lizie mulai menunduk dan terisak pelan.
Sky berjalan kembali ke mobilnya, berusaha mencengkram kemudinya dengan mantap untuk menguatkan langkahnya. Sky tidak boleh menyerah karena Lizie juga sudah berjuang dengan sangat keras. Sky menoleh pada buket bungan matahari di samping tempat duduknya dan kembali menghela napas dalam untuk memenuhi paru-parunya yang sesak. Sky sudah bersumpah pada Gerald untuk menjaga putrinya. Walaupun mungkin sahabatnya itu sudah lebur bersama tanah tapi sumpah Sky akan tetap berlaku untuknya. Sky tidak akan menyerah dia harus tetap hidup demi Lizie dan demi putri mereka yang sudah pergi tanpa sempat menangis. Sky berjalan melalui lorong dingin yang juga sudah dia lalui setiap hari tanpa pernah berubah. Semuanya masih sama, tidak ada perubahan berarti sejak dua bulan berlalu. Sky mengganti bunga matahari di dalam vas kaca dengan yang baru dia bawa,
Sky menoleh kembali tempat tidur di sampingnya yang kosong dan dingin, hampir tiga bulan berlalu tapi rasanya masih sulit dipercaya ia harus menjalani hidup seperti ini. Ini adalah musim dingin paling beku di sepanjang hidupnya . Sky tidak pernah tahan tiap kali mulai memikirkannya, hidup tanpa Lizie dan tanpa bayi mereka. Sky masih tertelungkup di atas tempat tidurnya setelah semalam Tobias menyeretnya pulang dari kekacauan yang dia buat di klub. Tobias sampai harus memukul Sky karena Celine menemukanya mabuk di klub dan berkelahi. Ternyata bukan hanya kesendiriannya yang sulit untuk dijalani, tapi kewarasannya juga semakin sulit untuk dijaga belakangan ini. Sky benar-benar tidak sanggup menjalani hidup seperti ini. Seolah dia hanya berjalan dan bernapas tanpa pernah benar-benar bisa hidup lagi. Sky masih ingat di mana dia menyimpan senjata apinya yang selalu siap sedia untuk mengakhiri segala penderitaan, godaan itu semakin menggoda untuk dituruti dan akan segera menjadikannya pen
Selama Mark bicara dengan Lizie, Sky sudah membuat keributan. Sky mengancam akan menuntut pihak rumah sakit jika mereka tidak segera mengambil tindakan. Tapi pihak rumah sakit juga tidak bisa melakukan pembedahan paksa tanpa persetujuan pasien. Sky tahu Lizie memanggil Mark Walder untuk meminta pertolongannya dan Sky sudah benar-benar kehilangan akal karena sikap keras kepala Lizie. Begitu melihat Mark baru keluar dari kamar Lizie Sky langsung menghampiri pria itu dan memukulnya. Sky memukul cukup keras sampai sudut bibir Mark langsung berdarah. Mark tidak membalas pukulan Sky karena dia tahu pemuda itu sedang sinting. Mungkin dia pun juga akan demikian jika berada di posisi Sky sekarang. "Jangan pernah merasa kau bisa menjadi pahlawan untuk Lizie ku!" ancam Sky sambil menunjuk Mar
Persis seperti yang dikhawatirkan Sky, kondisi Lizie menurun dengan begitu cepat, Lizie tidak akan sanggup menunggu dua minggu lagi. Lizie sudah tidak bisa mengkonsumsi makanan, tidak bisa beristirahat, tenaganya juga habis untuk menahan rasa sakit yang tidak kunjung usai. Nutrisi tubuhnya hanya didapatkan dari selang infus yang tidak akan pernah cukup untuk dirinya sendiri apalagi bayinya. Dua minggu tidak akan membawa perubahan untuk bayi mereka kecuali hanya akan membunuh Lizie pelan-pelan. Sudah tiga hari berlalu dan kondisi Lizie masih juga belum membaik sama sekali, dia masih terus mengalami kontraksi. Lizie tidak akan kuat menanggungnya hingga dua minggu lagi sementara kondisi fisik Lizie juga semakin tidak berdaya. Lizie sudah tidak diijinkan turun dari ranjang, dia harus istirahat total. Sky sudah nyaris gila menghadapi sikap keras kepala Lizie yang tetap bersikukuh untuk
Sky baru kembali dari menemui Tobias Harlot ketika melihat apartemennya yang sunyi. Rasanya agak aneh karena biasanya Lizie akan langsung menyambut di depan pintu tiap kali Sky pulang. "Lizie," panggil Sky masih belum terlalu khawatir karena mengira Lizie hanya sedang tidur lebih awal atau mendengarkan musik dari ponselnya seperti yang sering dia lakukan akhir-akhir ini untuk mengusir rasa mual. "Lizie," Sky kembali memanggil karena tidak melihat Lizie di kamarnya. Sky buru-buru memeriksa di balkon yang ternyata juga tidak ada siapa-siapa. Malam sudah gelap dan mustahil Lizie keluar sendiri tanpa meminta ijin atau memberitahunya. Sky kembali ke kamar dan saat itu dia baru sadar jika lampu kamar mandinya sedang menyala. Sky segera memeriksa dan terkejut melihat Iizie yang sedang bere
Walau masih malas bergerak tapi seperti Lizie mulai terlihat gelisah, tidurnya semakin tidak tenang akhir-akhir ini. "Sky, " gumam Lizie. "Hemm .... " Sky merapatkan lengannya untuk menarik tubuh Lize. "Aku mual." Lizie semakin mendesak dan menenggelamkan wajahnya ke dada Sky. Tubuh Lizie terasa lembut dan hangat, bergelung meringkuk seperti bayi trenggiling kecil yang kedinginan. Rasanya memang sedang tidak nyaman bagi Lizie. "Apa kau mau kubuatkan minuman hangat?" Lizie menggeleng, Lizie juga sudah tidak mau minum susu lagi tiga hari terakhir ini karena susu justru membuatnya semakin mual. Memasuki trimester pertama Lizie mulai mengalami peningkatan hormon yang membuat tubuhnya semakin sensitif dan rewel karena tidak bisa sembarangan menelan makanan. "Kau mau apa akan kubuatkan." "Aku bel