Vania melenggang masuk dengan perasaan penuh tanda tanya. Apa sebenarnya yang terjadi sampai-sampai dirinya dipanggil ke ruangan HRD. Sementara itu, Reyvan gegas ke ruangan Evan untuk mengupdate kondisi terkini. Vania mengetuk pintu kaca ruangan sang manager, lalu mengangguk sopan ketika diberikan kode untuk masuk dari dalam. Didorongnya pintu itu perlahan lalu dirinya melangkah masuk. “Pagi Pak Ramdan! Tumben sepagi ini nyari saya?” Vania berbasa-basi seraya mendekat ke arah Pak Ramdan. Selama ini memang dirinya bukan karyawan bermasalah yang sering keluar masuk ruangan HRD untuk mendapatkan teguran. “Pagi Vania! Silakan duduk, Vani!” tukas Ramdan seraya mempersilakan Vania untuk duduk di depannya. “Makasih, Pak. Hmmm ada apa, nih? Jangan-jangan saya mau naik gaji, ya?” kekeh Vania yang sama sekali tak merasakan jika dirinya akan diberhentikan secara tidak hormat. “Sebentar, saya ambil dulu berkasnya, ya!” tukasnya seraya membuka lacinya yang masih dia kunci. Lalu dia mengeluark
Vania merasakan seluruh dunianya hancur. Hangga seolah mengangkatnya tinggi-tinggi lalu menjatuhkannya. Kedatangan Diandra yang beberapa saat lalu membuat hatinya berbunga-bunga, kini membuat rasa itu patah sepatah-patahnya. Setelah dia bisa mengendalikan tangisnya, Vania berdiri lalu melangkah gontai meninggalkan resto makanan cepat saji itu. Menuju ke parkiran dengan hati tercabik-cabik. Ingin rasanya dia berteriak agar semua orang tahu seburuk apa lelaki yang sering kali memamerkan pecitraan itu. Namun, akal sehatnya masih memiliki sedikit kewarasan. Vania mengendarai mobilnya tanpa arah, mengikuti jalanan yang entah akan membawanya ke mana. Rasa malu dan hancur membuatnya tak memiliki keberanian untuk pulang. Apalagi Ayah sudah dengan sangat bangga bercerita pada para tetangga jika Vania tak kalah beruntung dari adiknya. Vania dilamar satu-satunya pewari perusahaan Wijaya Grup yaitu Diandra. Kabar itu sempat membuat hari-hari Vania menyenangkan. Pujian demi pujian dia terima da
Alunan melodi mengiringi langkah Kasih yang beberapa saat lalu dipanggil ke atas pentas. Dia berjalan menunduk sambil mendengarkan irama untuk memulai mengambil nada. Evan, lelaki yang sejak tadi menggenggam tangannya tampak sudah berada pada kursi VVIP. Dia mengacungkan dua jempol padanya dan tersenyum. Ah, senyuman yang begitu tulus dan menyejukkan hati Kasih. Hingga perlahan wajahnya yang penuh ketegangan berubah sumringah. Kasaih memulai bait pertama dengan memandang Evan yang tampak tersenyum dan lekat memandangnya.Suara merdunya diiringi riuh tepukan tangan para fansnya yang terdengar memekik, bersorak sora menyarakan kata ter-kasih. Spanduk bertebaran pada beberapa deretan tempat duduk yang kebanyakan dipenuhi oleh para remaja. Kasih menyanyi dari hati, karena lagu itu dia tujukan untuk suami tercinta. Sebuah lagi yang di dalam liriknya mengungkapkan betapa beruntungnya dia dicintai oleh lelaki yang begitu sempurn, diangkat dari keterpurukan dan dibimbing meraih puncak kebah
Rasa sakit menjalar pada sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa berat dan berdenyut. Vania mengerjap, menyesuaikan dengan pijar lampu yang merambat. “Aduh!” Vania melenguh. Rasa ngilu pada pundak sebelah kanan dan kepala membuatnya tak bisa menyembunyikan rasa sakit. Namun tiba-tiba dia mengedar pandang. Sekelebat bayangan wajah bengis tiga orang yang memburunya berlarian. Vania memekik ketakutan dan menutup wajahnya. “Pergi! Pergi! Pergi!” Derit pintu kamar di mana dia dibaringkan terdengar terbuka. Vania masih menjerit-jerit seraya menutup wajahnya. “Sudah sadar rupanya, Mbaknya … tenang … di sini kamu aman.” Terdengar suara seorang perempuan yang membuat Vania membuka mata dan menoleh ke arahnya. “K--kamu siapa?!” bentak Vania masih dalam kondisi ketakutan. Perempuan dengan kerudung lebar itu mendekat. Lalu dia menuju ke atas meja rias di mana ada satu gelas ceret di sana berdampingan dengan air bening. “Saya Masitoh, Mbak … kemarin malam putra saya yang menyelamatkan Mbaknya.”
"Aku tahu semua hal tentang kamu, bahkan hal yang sengaja kamu sembunyikan,” bisik Evan seraya tersenyum. Tatapannya membuat Kasih salah tingkah dan menunduk. Namun dia tetap mengikuti langkah lelaki yang menggamit jemarinya itu menuju lift. Hatinya bertanya-tanya, apakah benar Evan tahu semua tentang dirinya? Apakah lelaki itu juga tahu terkait perasaan yang tumbuh subur di hatinya?Kamar yang mereka tuju sudah di depan mata. Evan mengetuk daun pintu sebelum masuk. Namun jemari mereka tak terlepas dan masih saling bertaut. Kasih yang merasa malu, membukanya paksa. Membuat kekehan Evan dan lelaki itu mengacak pucuk kepalanya. “Malu?” bisiknya.Kasih tak menjawab karena dia harus mengucap salam ketika pintu sudah tak lagi menjadi penghalang. Tampak Handoyo yang terbaring di ranjang rawat. “Ibu, Ayah ….” Kasih mendekat dan mencium punggung tangan mereka. “Kasih, alhamdulilah kamu sudah datang ….” Ibu memeluk Kasih dan menumpahkan tangis pada bahu putrinya. Kasih membiarkan Ibu menang
Sudah hari kelima, Vania tinggal di tempat Umi Masitoh. Siang itu, Umi Masitoh merasa kurang enak badan. Karenanya dia meminta Azzam mengantar Vania ke pasar. Dia tetap harus berjualan, katanya kasihan yang pada mencari sarapan. Sudah biasa berlangganan nasi uduknya. “Maaf ya, Nia. Ini uangnya … ini catatan belanjanya.” “Iya, Umi. Gak apa. Aku juga bosen sebetulnya di rumah terus.” Azzam meraih kunci motor dan jaketnya. Lalu dia memegang dahi Umi Masitoh. “Demamnya belum reda, Umi. Paracetamolnya masih?” “Iya, Zam … habis. Beli sekalian, ya!” “Iya, Umi. Paling pulangnya nanti. Sekarang masih shubuh. Belum pada buka apoteknya.” Waktu memang baru menunjukkan pukul empat lewat empat puluh lima menit. Beberapa menit lalu baru saja mereka menyelesaikan ibadah dua rakaat. Azzam pun menyalakan sepeda motornya, tetapi butuh beberapa kali Azzam menyalakan manual sepeda motornya. Maklum sepeda motor tua yang starternya sudah tak lagi hidup. Vania duduk di teras seraya memperhatikan par
“Sepertinya Nia depresi, Mas Evan. Dia hampir atau sudah diperkosa ketika saya tolong waktu itu!” Azzam menatap Vania dengan iba.“Astaghfirulloh ….” Kasih hampir saja tumbang ketika mendengar kalimat yang Azzam ucapkan. Beruntung Evan sigap menangkap tubuhnya yang gemetar menahan isak. “Sayang! Kamu duduk dulu, ya!” Evan menggandeng Kasih lalu mendudukkannya pada sebuah kursi. “Apakah Mas Azzam sudah buat laporan terkait kejadian itu?” Evan menatap Azzam dengan lekat. Lelaki yang ditatapnya menggeleng. “Saya rasa yang lebih berhak membuat laporan, Mbak Vanianya sendiri atau dari pihak keluarga dan bukan saya, Mas. Namun Mbak Vania sendiri menolak diperiksa ke dokter apakah benar mereka telah berhasil melakukannya atau belum. Hanya saja ketika saya dan teman-teman datang waktu itu, Mbak Vania memang sudah tak sadarkan diri dan maaf, nyaris tanpa pakaian.” “Pergi! Pergi!” Vania menjerit-jerit lagi mendengar kalimat yang Azzam paparkan. Sementara itu, Kasih yang sudah tak tahan, dia
Vania masih menolak untuk pulang. Dia masih berkeras untuk tinggal bersama Umi Masitoh. Kondisinya sekarang sudah sedikit tenang setelah tadi diberikan obat oleh tim yang datang. “Aku belum siap bertemu Ayah dan Ibu. Kalian pulanglah. Aku masih belum mau pulang.” Kasih melirik pada Evan. Namun suaminya itu tampak menyerahkan kembali keputusan padanya.“Ayah sakit, Mbak. Setidaknya jenguklah dia. Dia sakit karena memikirkanmu.” Kasih menatap Vania. Meminta kakaknya itu memikirkan juga kondisi ayahnya. “Enggak, aku gak bisa ketemu mereka dulu. Berikan aku waktu. Aku butuh sendiri.” Vania menolak. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali luruh. Kasih menghela napas panjang. Namun genggaman tangan Evan membuatnya menoleh. “Berikan dia waktu, Sayang.” Kasih kadang geram dengan sikap sok romantis Evan. Namun dia tetap mengangguk saja mempersingkat perdebatan. Akhirnya, Evan memutuskan untuk mengantar Azzam dan Vania dulu pulang. Dia menurunkan Azzam di mana sepeda motornya tadi
Sepulang dari Bali, butuh waktu untuk Kasih berdamai dengan trauma yang menggelayuti. Berulang kali dia berusaha mengalihkan pikirannya tetapi rentetan kejadian itu selalu terbayang. Hingga pada akhirnya, Kasih meminta izin pada Evan untuk menyibukkan diri sendiri dengan beragam kegiatan. Evan pun paham, Kasih butuh pengalihan pikiran. Bulan madu yang rencananya akan memberikan kesan indah, rupanya hanya menjadi mimpi buruk yang harus dilupakan. “Aku sudah menelpon Mama, dia akan minta Evelyn untuk mengatur job kamu lagi, Dek.” Evan meneguk cappuccino panas yang Kasih sajikan. “Semoga segera ya, Mas. Aku ingin lupa. Aku ingin melupakan semuanya.” Kasih menghela napas kasar. “Iya, Sayang! Hmmm … sementara aku sudah sibuk ngantor dan jadwal kamu belum padat, boleh ke rumah Mama atau Ibu saja biar ada teman.” Evan memberikan solusi. “Sepertinya aku akan ke rumah Ibu saja, Mas. Kasihan juga dia pasti merasakan kesepian sepeninggalnya Mbak Vania.” Kasih tersenyum hambar. “Ok, nanti se
Pencarian sudah menginjak hari ketiga ketika mereka menemukan jejak-jejak. Rupanya Diandra sengaja mempersiapkan kehidupan di tengah hutan tersebut. Para polisi yang bergerak dalam penyamaran mengikuti Diandra yang tengah mengambil barang-barang kebutuhan harian dari pinggiran hutan. Sepertinya dia memang sengaja membawa Kasih hidup berdua di pedalaman hutan, berharap polisi terkecoh dan tak akan mencarinya. Evan mengeratkan kepal ketika mendengar kabar yang disampaikan para polisi itu, dia tak sabar untuk menunggu rencana penangkapan esok hari. Malam itu sekelompok pasukan penyergapan merapat ke tepian hutan dengan pakaian biasa. Lalu bermalam seperti para pecinta alam menggunakan tenda-tenda. Mereka sengaja melakukannya agar jika ada mata-mata dari Diandra tak curiga. Evan tak turut serta, dia akan ikut dengan rombongan susulan esok hari. Hal ini demi menyamarkan rencana. Sementara itu di dalam hutan, Diandra baru saja selesai mengupas buah-buahan. Barang-barang tersebut, Diandra b
Gps yang terpasang pada mobil rental yang dibawa kabur tim penculik sudah terlacak. Mereka bergerak cepat. Evan di jemput di TKP untuk ikut terlibat dalam pencarian langsung. Sementara itu, dia pun mengirimkan kabar pada orang tuanya terkait insiden yang terjadi di sana. Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat, mencari titik di mana gps itu berhenti. Evan tak berhenti mengucap doa, berharap istrinya baik-baik saja. Rasanya di Bali ini, dia tak membuat masalah dengan siapapun, tetapi kenapa justru malah mendapatkan serangan mendadak seperti ini. Jika di Jakarta mungkin, banyak pesaing bisnis yang mungkin terlibat dendam. Evan dan beberapa orang polisi bergerak cepat melihat mobil yang teronggok di tepi jalan. Hati Evan berdebar hebat, takut-takut mereka meninggalkan istrinya dalam keadaan tak selamat. Ditengah rasa carut marut, Evan gegas menarik pintu mobil bagian belakang, sedangkan para polisi memeriksa bagian depan. Namun tak ada siapapun di sana selain ponsel Kasih yang tergele
Kasih merasakan kepalanya yang terasa cukup berat. Matanya mengerjap melihat sekitar. Dia berada di sebuah ruangan, sementara itu kaki dan tangannya terikat. Bibirnya pun ditutupi lakban. Sekilas terlintas detik-detik dirinya harus kehilangan kesadaran. Tadi itu, dia hendak melompat dari mobil yang melaju cepat, tetapi sayang salah satu dari komplotan penjahat itu malah membekuknya lalu membekapnya dengan sapu tangan yang berbau menyengat. Helaan napas kasar Kasih hembuskan, tetapi dirinya benar-benar merasa takut sekarang. Ini Bali, tempat yang baru beberapa hari mereka kenal. Pastinya suaminya tak memiliki banyak kenalan di sini. Suara derit pintu ruangan terbuka bersama cahaya yang masuk, Kasih yang benar-benar merasa takut, berpura-pura masih tak sadarkan diri. Dia memejamkan mata dan, tetapi sesekali membuka sedikit untuk mengintip para lelaki berpakaian serba hitam itu. Tampak dua orang itu membawa orang lain ke ruangan, tangannya terikat dan mulutnya sama-sama dibekap. Bebe
Diandra baru saja menapakkan kakinya di bandara I Ngurah Rai Bali ketika dering telepon dari anak buahnya terdengar. “Hallo, Bos. Rencananya berubah?” tanyanya memastikan. “Lo ikutin saja apa yang gue titahkan. Gak usah banyak bac*t!” hardiknya. Kantuk dan lelah membuat emosinya kembali meluap.“Oke, Bos.” Diandra pun akhirnya memesan taxi Bandara setelah mendapatkan lokasi yang dikirimkan oleh rekanannya. Rencana yang sudah dia pikirkan matang-matang sudah siap dia eksekusi. Diandra akan mendapatkan Kasih dengan caranya sendiri. Diandra gegas turun dari taxi yang mengantarnya ke sebuah resort di mana tempat terdekat dengan pantai seminyak. Berdasarkan informasi dari orang suruhannya, Kasih dan Evan pun menginap di hotel yang sama. Dia gegas check in, tubuhnya sudah lelah akibat perjalanan yang mendadak. Lagi pula malam kian beranjak membuat ingin segera dia beristirahat. Selama dalam pesawat yang ditempuhnya dalam waktu kurang dari dua jam, pemikirannya sedikit tenang hingga akh
Senja menggeliat, menampakkan wajah manisnya pada sepasang pengantin baru yang tengah saling menggenggam jemari. Sudah setengah jam mereka di sini, menyaksikan semburat jingga dari ufuk barat menyapu mayapada. Ya, Evan dan Kasih tengah berada di tepian pantai, menunaikan bulan madu yang dulu sempat terbengkalai.Kasih dan Evan berselonjor pada hamparan pasir putih yang lembut di pantai seminyak Bali. Menunggu momen matahari terbenam, membiarkan riak-riak kecil gelombang menyentuh kaki mereka yang telanjang.Hembusan angin menyapu pipi Evan, menerbangkan ujung kerudung Kasih yang menjuntai. Jemari mereka saling menumpuk di atas pasir, sedangkan mata mereka searah memandang ke depan.“Ay ….” Evan memanggil Kasih dengan panggilan barunya.“Hmmm.” Kasih hanya menggumam.“Kamu gak ada gitu panggilan sayang buat aku?” Evan menoleh.“Gak ada.”Kasih menjawab singkat.“Kok?”Evan melepas tautan jemari mereka lalu membaringkan tubuhnya yang hanya terbungkus kaos oblong dengan celana pantai. Kep
Kasih dan Bianca berjabat tangan, sudut mata Bianca seolah tengah menilai. Beradu dengan tatapan mata Kasih yang mengandung seribu pertanyaan. Sedang apa perempuan itu di kantor suaminya sekarang?Evan mengerti arti tatapan sang istri. Usai Kasih melepaskan jabat tangannya dengan Bianca. Evan menarik lengan Kasih untuk mendekat. Lalu merangkul pinggangnya di depan Bianca. Seolah hendak mempertontonkan jika Kasih adalah miliknya, begitupun dengan dia.“Sayang, Bianca ini baru saja selesai interview dengan bagian HRD dan business development tadi. Kebetulan Reyvan mereferensikannya untuk menjadi pengganti Vania. Dan mereka akan segera meresmikan hubungannya.”Bianca tersenyum dan mengangguk.“Oh, semoga betah ya, Mbak Bianca dan semoga segera naik pelaminan.” Kasih tersenyum dan menatap Bianca.“Bi, gimana mau pulang sekarang? Eh ada Mbak Kasih!” Suara Reyvan membuat perhatian Kasih beralih. Lelaki yang pernah menjadi atasan kakaknya itu muncul dan mendekat dari arah samping.“Iya lah, M
Azzam yang baru saja memarkirkan sepeda motornya di halaman gedung perusahaan Gasendra Grup, gegas memutar arah sepeda motornya. Ayah menelpon jika Vania mengurung diri di kamar setelah pagi-pagi dia mengamuk dan melempar-lempar barang.Lelaki yang sengaja izin tidak masuk kerja itu, mau tak mau harus gegas pulang. Meskipun hubungannya dengan Vania tak seperti kebanyakan suami istri lainnya, tetapi saat ini, Vania masih tanggung jawabnya.Usai berpamitan pada security, Azzam gegas mengemudikan sepeda motornya. Melaju dengan kecepatan sedang menuju kediaman mertuanya.Setibanya di depan rumah milik keluarga Vania, Azzam memarkirkan sepeda motor jadul miliknya. Kebetulan ada tukang sayur yang tengah mangkal di depan rumah. Jarak yang tak terlalu jauh akhirnya mampu membuat kuping Azzam menangkap desas-desus dari para Ibu yang tengah berbelanja.“Tuh, itu, tuh … itu mantunya Bi Asih. Lihat tampangnya saja kumal kayak gitu. Asal kalian tahu, ya … dia itu cuma kuli bangunan.”“Oalaaah … sua
“Semua perjanjian kita sudah berakhir dan aku tak ingin melihatmu menjadi orang lain. Aku ingin, mulai saat ini kamu harus belajar untuk mencintaiku dan menjadi istriku yang sesungguhnya! Mengakhiri perjanjian bodoh yang kita sepakati! Pernikahan ini suci dan betulan, Sayang! Aku ingin memulai semuanya dari awal lagi bersamamu! Apakah kamu mau?”Kalimat yang terlontar dengan begitu tegas dan jelas membuat tenggorokan Kasih tercekat. Berulang dia mencoba menelan saliva. Bahkan Kasih menarik tangan yang digenggam Evan dan berulang mencubit pipinya.“Cewek aneh!” Evan mengedik lalu ikut mencubit pipi Kasih. Suasana yang sekejap romantis tadi seketika berubah.“Ih kamu kok nyubit aku, sih?”Kasih melempar protes. Debuman dalam dada masih bergemuruh hebat bak ombak tsunami yang menyapu daratan. Meluluh lantakkan semua kecemasan. Namun entah kenapa, dia masih ingin menyembunyikan riak bahagia yang sebetulnya sudah berlompatan.“Aku cuma bantuin kamu.”“Bantuin apa?”“Bantuin kalau buktiin sem