Safira segera keluar setelah memberikan kopi pada Dexter, dan itu membuat Angelina menatap tak percaya padanya. Entah apa yang terjadi barusan, tapi wanita itu seperti tidak mengenali keduanya.
“Dexter, apa itu Safira?”Dexter yang hendak meminum kopinya terhenti, udara panas membuat dia meniup air hitam dalam gelas itu. “Seperti yang kamu lihat!”“Tapi kenapa dia tidak mengenaliku? Sombong sekali dia.”“Dia tidak sombong—hanya tidak ingat pada kita.”“Memang apa yang terjadi padanya?” tanya Angelina penasaran.“Amnesia.” Dexter menaruh minuman dan menyalakan laptop guna kembali bekerja, hari ini terlihat dari jadwal banyak pertemuan yang harus ia hadiri, termasuk nanti malam.Angelina terdiam lalu berjalan pergi.“Jangan ganggu dia! Jika kamu melakukan sesuatu yang tidak-tidak, aku tidak akan membiarkanmu berada di sampingku lagi!’ ujar Dexter pada Angelina sebelum wanita itu benar-benar pergi dari ruangannya.Brak! Pintu di tutup dengan keras, membuat Dexter hanya dapat menghembuskan nafas kasar, hal itu sudah biasa terjadi jika Angelina marah padanya. Dan entah berapa kali juga ia harus memperbaiki pintu karena ulah wanita itu.Saat sedang bersabar, sebuah telepon membuat Dexter menatap ponselnya, ketika tau siapa yang menelpon dia segera mengangkatnya. “Hallo!”.Sedangkan di sisi lain Angelina turun ke bawah menuju lantai dimana, Safira turun. Ia tak mendengarkan ancaman Dexter, karena sifat keras kepalanya yang sudah mendarah daging.Safira yang sekarang membawa kain pel juga ember, terkejut dengan tarikan tangan yang tiba-tiba ia dapatkan. Saat ia tau siapa yang berbuat hal itu, Safira hanya menatap diam bingung.“Lo pura-pura atau gimana sih?” tanya Angelina yang tak sabar, membuat kerutan di dahi wanita itu semakin bertambah banyak saja.“Ma-maksudnya apa ya, saya gak paham!”“Lo Safira kan?”“Iya nama saya Safira, lalu mbaknya yang ada di ruangan Tuan muda bukan?” tanya Safira dengan tatapan polos, sehingga membuat Angelina mendorong tangannya dan berakhir Safira yang jatuh bersama ember yang dirinya bawa.Sekarang kaki Safira basah karena air pelan yang ia bawa, wanita itu menatap Angelina dengan mimik heran. Kesalahan apa yang dia buat hingga wanita berbaju seksi itu mendorongnya hingga seperti ini.“Gue benci sikap lo yang gak tau diri itu!”Resepsionis memperhatikan itu dan segera merekamnya, ada yang cuma memperhatikan dari jauh karena tak mau terkena masalah dengan sekertaris bos mereka itu.“Mbak, salah saya apa?”“Halah pura-pura lupa kan Lo? Bilang aja Lo mau ngedeketin Dexter lagi biar dapet hartanya, Lo denger ya Lo gak bakal dapet sepeserpun dari dia! Lo denger itu!”Safira semakin tak paham dengan arah pembicaraan ini, apa mungkin dia dulu berteman dengan Dexter dan wanita ini menganggap dia hanya mengincar hartanya.“Mbak, saya bukan orang seperti itu! Apapun saya di masa lalu, saya yakin saya gak pernah mengincar uang Tuan muda.”“Halah omong kosong, maling mana ada yang ngaku sih? Kalau ngaku penjara penuh tau gak?”Safira menggeleng, dia berusaha bangkit hingga sebuah tangan, membuat wanita itu melihat ke atas kembali. Angelina yang tau kalau pria itu akan kemarin tak terkejut sama sekali namun Safira iya.“Mas Dexter!?”Angelina melipat tangannya kesal. “Terus aja belain cewek busuk itu!”Orang yang melihat pertengkaran ini, seperti melihat istri sah melabrak pelakor yang tersakiti. Sedang Dexter hanya bisa menghembuskan nafas kasar, wanita di depannya ini tak pernah tau apa itu ancaman.“Angelina, kamu udah buat saya muak. Mulai sekarang, saya pindahkan kamu tugas di luar kota.”“Gak mau.”“Pindah atau dipecat?” tanya Dexter dengan penekanan penuh di bagian akhir, dia sudah cukup sabar selama ini.Angelina yang kesal, segera mendorong lagi Safira yang sudah berdiri, membuat Dexter menatapnya marah. “ANGELINA.”“Kemana aja Lo Safira selama ini? Gue tau Lo itu cuma pura-pura lupa, masih suka kan Lo sama Dexter? Ngaku deh?” tanya Angelina yang membuat pria berumur 26 tahun itu segera menarik tubuhnya menjauh dari Safira yang berusaha mencerna apa yang dia dengar.Setelah keluar dari kantor, Dexter melepaskan cengkraman tangannya yang membuat Angelina tampak meringis tapi mimiknya masih sama kesal.“Ngapain sih kamu bawa aku keluar? Dan ngapain juga kamu bela si jalang itu? Selama ini yang ada untuk kamu, aku Dexter, cuma aku!”Mata Angelina sedikit berkaca-kaca, karena Dexter selalu menganggapnya sebelah mata.“Memang kamu mendekati aku karena apa? Karena kepopuleran juga uang bukan?” Angelina terdiam karena ucapan itu, sejak dulu Dexter memang amat populer, itupun tak luput dari wajah tampan juga harta yang berlimpah.Hanya saja tak ada yang berhasil mendekati Dexter, karena pria itu cenderung pribadi yang tertutup, namun Angelina berhasil karena kerap membantunya, yang membuat Dexter akhirnya menjadikan wanita itu teman.Walau Angelina mengaku pada semua orang bahwa dia adalah kekasihnya, tapi Dexter tak pernah menanggapi hal itu. Hingga sekarang, asal wanita itu masih berguna maka dia tak masalah, namun sikap cemburunya yang membuat Dexter selalu geram.Terlihat saat ini.“Lalu apa bedanya dengan jalang itu?” tanya Angelina yang tak terima dengan keterpojokan ini.“Bagaimanapun kamu tidak akan pernah sama dengan Safira, dia jauh lebih baik dari kamu!”Dexter segera pergi dari hadapan Angelina, dan terlihat di balik pintu kaca itu banyak orang yang mengerubungi Safira yang pingsan.Dengan cepat pria itu berlari ke arahnya, dan segera membawa Safira menuju rumah sakit, Angelina mengepalkan tangannya kesal. Kenapa harus Safira, kenapa harus gadis itu?Lihat saja apa yang ia lakukan nanti...Mata Safira terbuka perlahan, bau obat cukup menyengat membuat wanita itu sadar dia dimana, kepalanya terasa sakit.Berpikir keras selalu membuatnya berakhir seperti ini, namun ia tak pernah menyangka kalau Dexter akan selalu membawanya ke rumah sakit seperti sekarang.Cklek! Terdengar pintu terbuka, membuat Safira menoleh. Terlihat Dexter yang mantap gusar kearahnya, lalu segera berjalan mendekati wanita itu.“Sudah mendingan?”Safira berusaha bangkit, di bantu Dexter yang membuat detak jantung wanita itu tak beraturan, apa selama ini kebaikan pria itu ada hubungan dengan masa lalunya, bahkan mereka bukan sekedar teman lama?Pletak! Sebuah sentilan di kening, berhasil menyadarkan lamunan Safira. “Jangan berpikir terlalu keras!”Sekarang wanita itu menatap atas dengan mimik polos. Hal itu membuat Dexter hanya bisa menghembuskan nafas. “Jika kamu tidak banyak mengingat, pasti ingatan itu akan muncul dengan sendirinya! Maka nanti kamu akan tau aku siapa.”Dexter mengeluarkan kantung plastik yang berisikan obat dari sakunya, lalu dia meletakkan di meja samping ranjang rumah sakit.“Apa hubungan kita lebih dari teman?”“Apa hubungan kita lebih dari teman?” “Memangnya kamu berharap apa?” Safira hanya menunduk setelahnya. “Maaf mas, saya selama ini sudah sering merepotkan.” Dexter duduk di sofa yang ada di ruangan itu, kacamata yang terpasang di wajahnya ia lepaskan. “Gak usah di pikirin! Yang terpenting kamu sehat! Dokter bilang kamu minum itu kalau-kalau kepala kamu sakit lagi!” “Saya janji akan bekerja dengan tekun, demi membalas kebaikan, mas,” ucap Safira dengan penuh yakin, membuat Dexter mengangguk tanpa banyak bicara. “Laper gak?” “Sedikit sih mas,” balas Safira yang malu-malu, dia merasa semua kebaikan pria itu pasti ada alasannya, apa mungkin mereka sahabat, jadi pria itu amat baik seperti ini? “Aku sudah bilang jangan banyak berpikir!” ujar Dexter yang sekarang terlihat, memainkan ponselnya entah sedang apa. “Habis semua ini kayak teka-teki yang harus di pecahin gitu mas, saya penasaran banget soalnya.” Mata pria itu sekarang melihat kearahnya, yang membuat Safira merasa agak cangg
Safira bangun dari tidurnya, kala mendengar suara ketukan pintu, dia pikir jika Dexter sudah pulang, padahal pria itu bilang paling lambat malam nanti atau lusa, tapi kenapa tiba-tiba menjadi pagi. Pintu terbuka lebar, dengan Safira yang mengucek matanya, karena sedikit silau oleh cahaya matahari. "Mas, kok pulangnya cepet banget sih?" "Kamu?!" ucap Seorang wanita yang membuat Safira, melihat kedepannya dengan lebih teliti lagi. Ternyata itu bukan Dexter namun wanita berbibir merah dengan gelang emas banyak tak lupa dengan pakaian yang terlihat mahal juga mencolok itu. "Maaf, ibu siapa ya?" tanya Safira yang tak tau kalau di depannya ini, ibu Dexter. Tiba-tiba wanita itu menarik rambut, Safira dengan cukup kencang, tentu saja hal itu membuat Safira merasa kesakitan dan tak paham. "Aw aduh sakit, Bu." "Dasar jalang sialan, hilang selama bertahun-tahun sekarang kamu balik lagi dengan muka gak tau malu ya?" tanya wanita itu marah dan terus menarik rambut Safira. "Sa-saya salah apa
Suara petir yang tiba-tiba juga kilatannya membuat Safira memeluk tubuhnya dengan takut, dia tak pernah membayangkan akan berjalan tanpa arah tujuan seperti ini. Niat hati ingin membantu ibunya, malah dia yang sekarang butuh di bantu.Mengingat ibunya dia jadi rindu, bagaimana kabar wanita itu? Apa dia baik-baik saja? Suara derasnya hujan tiba-tiba juga tetesan air itu membuat Safira terpaksa berteduh di depan toko yang tutup.Dia melihat keatas langit, dimana bunga api yang menjalar itu membuat langit tampak seperti siang hari, terang, namun setelah kembali gelap. Apa itu yang dinamakan bahagia sesaat, kala ia sudah merasa cukup puas dengan hidup ada saja hal yang membuat semua itu luntur. Air mata menetes begitu saja, bersama dingin malam yang semakin lama semakin menusuk kulitnya. Safira memeluk tubuh sendiri guna menghangatkan badan, ia ingin pulang tapi kemana?Sedangkan uang yang ia pegang sudah habis, untuk makan hari ini. Lalu bagaimana sekarang dan ke depannya? Dia harus me
Matahari nampak begitu cerah bagi sebagian orang, namun bagi pria berumur 19 tahun itu sama sekali tak ada cahaya yang terlihat, hidupnya selalu kosong. Bahkan kala melihat semua anak tahun ajaran baru yang berjejer rapih di lapangan, dia masih merasa kalau di dunia tak pernah ada orang di sana. Saat ini Dexter muda sedang berada di balkon sekolah, telah di lantai tiga dimana seluruh murid kelas 12 berada. Dexter tak pernah tertarik pada acara sekolah, dia cenderung menutup diri dan hanya tau menyibukkan hidup dengan belajar. Banyak piala yang dia dapatkan karena olimpiade atau perlombaan lainnya, itu pun para guru yang selalu menyuruhnya, kalau tidak dia tak akan mau. Sekaleng soda sudah dia tenggak habis, sambil terus menatap ke bawah. Manik matanya tak sengaja mengarahkan pada gadis yang menatap ke sana-kemari dengan mimik polos. "Dor!" ucap Angelina muda, yang mengangetkan Dexter, namun seperti biasa pria itu tak pernah terkejut, malah bersikap santai sambil melempar kaleng d
Beberapa hari kemudian, setelah di rasa benar-benar sembuh keduanya berangkat ke kantor agak siangan, walau sudah mengontrol dari rumah tapi tetap saja kerjaan nyata menumpuk semua di kantor pusat milik keluarganya.Saat baru masuk ke dalam lantai satu, tubuh Safira di peluk seseorang dari belakang. "Dor!" Dexter yang ada di belakang menoleh termasuk Safira yang kaget. "Aduh Neneng, ngagetin saya aja, kalau saya punya penyakit jantung Gimana?" Neneng teman baru Safira tak berani menjawab karena sang majikan ada di depannya, tepatnya sedang memperhatikan keduanya dengan serius. Karena tak ada jawaban, Safira menatap arah penglihatan teman barunya tersebut."Tuan muda, mau kopi pait atau apa? Nanti saya antar keruangan," ujar Safira, tapi Dexter malah mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. "Beli sesuatu, nanti bagi ke semua karyawan!" ujar Dexter. Mata keduanya menatap tak percaya pada uang yang diberikan oleh bos mereka.Ada sekitar 3 juta di tangannya, tapi mereka bingung denga
Mereka menaruh kue bolu yang sudah mereka bawa, ini baru sebagian sisanya masih banyak lagi, tapi kedua orang itu sudah sangat capek. "Gila rasanya kayak mau mati, udah mirip hajatan aja ini kalau di lihat-lihat," ucap Neneng yang ingin sekali mengangkat tangan ke arah kamera, kalau ada. "Mau gimana lagi? Sisanya masih banyak lagi, untung aja tukang kuenya garcep banget, kalau enggak sampai sore kayak gini." "Gini amat nyari duit, untung aja pakek motor kalau enggak udah gempor nih kaki." "Udah jangan ngeluh Mulu! Gak baik." "Intinya gue minta jatah ini mah," balas Neneng yang membuat Safira menggeleng, dia membawa kue-kue itu ke lantai selanjutnya, nanti mereka akan balik lagi untuk mengambil sisanya. "Kak, beli bunganya kak!" ucap seseorang yang membuat keduanya menoleh. Terlihat beberapa tangkai mawar merah yang sangat cantik di bungkus dengan plastik yang hias sedemikian rupa. "Maaf dek, gak minat bunga," ucap Neneng, tapi Safira menatap kasihan pada gadis muda yang mencond
"Anda menyukainya?" tanya Orlando tiba-tiba.Dexter menatapnya dengan tajam, Orlando sebenarnya tak menyukai Safira. Namun kecantikan yang natural dan sederhana, membuat dia tertarik saat tak sengaja menabrak wanita itu. "Bukan urusanmu!" balas Dexter yang kembali menatap layar laptopnya, sesekali tangan itu mengetik sesuatu. "Kamu di terima! Bilang pada papa jangan memata-mataiku! Terutama mama! Urusan Safira itu urusanku, dia tak harusnya mengatur itu!" Orlando terdiam sambil mengangguk, pria ini ternyata tau. Tugasnya bukan hanya sebagai pendamping namun juga ada tugas sebenarnya dibalik itu. "Baik Tuan muda." "Kamu boleh keluar! Mulai sekarang kamu yang akan mengatur semua jadwal saya, juga menjadi wakil jika saya tak ada." "Baik, saya paham." Dexter mengangguk, dia masih sibuk melihat apa yang ada di layar laptopnya, tanpa niat untuk melihat Orlando lagi. Setelah menunduk sebentar pria itu berjalan ke luar, membuat Dexter menatap kepergian dengan tatapan tak suka. ..Malam
Di dalam mobil Safira hanya menatap jalan, lagipula Dexter tak pernah mengajak ngobrol dan hanya fokus menyetir. Kejadian kemarin rupanya pria itu tak mengingatnya, membuat dia sedikit sedih. Ia kira pria itu memiliki rasa padanya, atau dia cuma iseng saja? Tapi bagaimana pun itu ciuman pertamanya, bagaimana orang yang sudah merebutnya bisa lupa. Sedari tadi Dexter merasa suasana hati Safira tak baik, walau ia hanya diam dan tak memperhatikan, namun terlihat dari gerakannya yang hanya melamun dan tak minat menatap apapun seperti biasanya membuat Dexter menebak hal itu. "Ada apa?" tanya Dexter yang membuat Safira menoleh, namun wanita itu menggeleng setelah. "Gak ada apa-apa mas." "Saat pagi, kamu terlihat begitu bersemangat dan sekarang senyuman itu luntur, apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Dexter, sedangkan Safira bergerutu di dalam hatinya, orang yang membuat dia seperti ini malah tidak merasa bersalah atas apa yang dia perbuat. "Beneran kok mas." "Laper?" tanya Dexter,
"Kamu sedang apa?" tanya Dexter heran, Safira yang tertangkap basah tersenyum lebar dengan mulut penuh dengan anggur. Saat ini pria itu berada di hadapan Safira, ia menggeleng heran karena tingkah tak jelas dari wanita itu yang memasukkan anggur ke mulutnya hingga penuh, hal itu mengingatkannya pada tupai. Tangannya melebar di depan mulutnya, yang membuat Safira mau tak mau mengeluarkan buah itu ke tangan Dexter. Alangkah terkejutnya pria itu mendapatkan banyak buah anggur di tangannya. "Kamu kayak gak pernah makan anggur aja." "Habis enak, kak." "Kalau enak kita beli anggur di kota ini, kamu kayak orang susah aja." "Lah emang kapan aku kayanya?" tanya Safira tanpa basa-basi, membuat Dexter menatapnya. Dimana gadis hilang ingatan yang lemah lembut padanya itu, wanita ini memang besar Safira yang dulu. "Aku yang akan beli apapun yang kamu mau," balas Dexter dengan percaya diri. "Tapikan itu duit kakak, bukan duit aku." "Kamu kok ngeselin sih sekarang?" tanya Dexter, pa
Saat ini keduanya berada di apartemen Safira, suara televisi yang menyiarkan berita tak membuat mereka bosan, malah dua orang itu semakin serius melihatnya. Pizza, burger, popcorn, serta makanan dan minuman lainnya turut melengkapi tontonan mereka. "Gila, pembunuhan semakin meraja rela aja, serem gak sih kak Deket orang-orang kayak gitu," ucap Safira yang membuat Dexter terdiam, ia tak menyangka wanita itu akan bicara demikian. Jika wanita itu tau kalau dia juga seorang pembunuh yang bahkan pernah masuk rumah sakit jiwa, apa wanita itu akan meninggalkannya. "Safira." "Hhhmmm?" tanya Safira sambil menoleh kearah pria itu. "Kalau aku salah satu pembunuh itu, apa kamu akan takut dan meninggalkanku?" Safira terdiam sebentar, lalu tak lama suara gelak tawa terdengar dari bibirnya. Hal itu yang membuat Dexter serius menjadi heran. "Kenapa kamu tertawa?" "Hahaha, kakak pembunuh? Muka lawak kayak kakak. Denger ya kak Dexter kakak itu cocoknya jadi badut bukan psikopat, hahaha,
Hampir 1 bulan berlalu sejak kejadian itu, Dexter benar-benar memilih menjaga jarak dari Safira walau ia masih memantaunya dari kejauhan. Walau berusaha sebisanya untuk tidak mengingat tentang wanita itu, ia tak bisa. Wajahnya selalu terbayang walau ia sesibuk apapun dalam pekerjaannya.Dikabarkan Safira sudah pulih dari sakitnya, tapi untuk masalah ingatan ia tak menanyakan hal itu. Ia tak cukup kuat hati untuk mendengar diagnosa dokter yang akan mengatakan hal buruk tentang ingatan Safira. Baginya asal wanita itu sehat, maka itu juga bisa tenang dalam segala hal. Saat sedang mengecek data penjualan, sebuah suara ketukan pintu membuyar konsentrasinya. Saat ini ia sedang berada di kantor, karena masalah kesehatan, ayah dan ibunya terpaksa harus mengurus pekerjaannya juga sampai ia sehat seperti sekarang. Walau ibunya sudah banyak membantu dan memberikan semua yang dia inginkan, namun itu semua tak bisa menggoyahkan hati Dexter untuk mencintai ibunya. Hatinya sudah beku untuk wani
Saat ini Safira menatap ke jendela mobil dengan pipi yang masih memerah dan tak berani melihat sang majikan, apa yang baru saja Dexter lakukan itu benar-benar membuat dia terkejut juga perasaan menjadi tak karuan. Dexter yang saat ini menyetir menatap kearah Safira, lalu kembali memperhatikan jalan, sejak tadi dia hanya melakukan itu tanpa berniat bicara. Intinya setelah adegan ciuman tanpa sadar itu, Safira berlari ke mobil, dan diam dengan keadaan seperti sekarang. Ia yang bodoh karena terlalu tergoda dengan senyuman yang dulu sering di perlihatkan wanita itu padanya, Safira terlihat amat cantik dengan sinar yang tidak dia tolak. “Safira!” panggil Dexter namun Safira terlihat tak merespon. “Aku benar-benar minta maaf, aku tidak sengaja melakukan itu, ayolah jangan diam seperti ini? Katakan jika aku salah!” Wanita berumur 24 tahun itu masih terdiam, Safira ingat dimana saat Dexter mencium pipinya dan melupakan kejadian itu keesokan harinya, ia merasa senang seperti sekaran
Kembali ke masa sekarang…!!!Sinar matahari menyinari tangan Dexter, terlihat di sana ada sebuah cincin emas yang terukir pemilik di balik cincin itu, namun tak ada orang yang tau tentang itu. Yang mereka tau bahwa Dexter memakai benda tersebut karena iseng, padahal cincin itu memiliki arti yang dalam yang tak pernah mereka bayangkan. Saat ini Dexter berjalan menuju ruangan dokter yang akan memeriksa Safira, dengan wanita itu di belakangnya, lelaki itu tampak gugup karena berharap hasilnya sesuai yang dia inginkan. Sedangkan Safira melihat cincin yang tadi sempat mencuri perhatiannya, ia tak tau kalau pria itu memakai cincin? Sejak kapan?“Mas!” “Hhhmm?” tanya Dexter yang menoleh, lalu kembali berjalan. “Kapan mas pakai cincin?” Dexter mengambil lengannya yang memakai benda polos itu, lalu memasukkan tangannya ke dalam kantung celana. “Sejak lama?” “Apa itu tanda kepemilikan ya mas?” tanya Safira, dia penasaran, tapi di sisi lain hatinya sakit. Walau kadang pria ini memperlihat
"Saya ibu Dexter, dan saya ingin membicarakan kesepakatan di sini." "Kesepakatan?" Dengan wajah angkuhnya dia mengambil sesuatu dari tas hitam mewah itu, lalu meletakan amplop coklat besar yang entah apa isinya ke meja di depan wanita itu. "Ini berisi 200 juta, dan saya minta kamu jauhi anak saya!" "Maaf, saya gak bisa," balas Safira secara spontan, membuat wanita itu tersenyum remeh. "Saya tau, kamu mendekati anak saya karena dia tampan juga kaya, tapi uang ini sudah cukup untuk kamu yang seorang gadis kampung." Tangan Safira mengepal, sejak dulu orang miskin apalagi yang dari kampung selalu mendapatkan hinaan, semenjijikan itukah mereka hingga diperlukan seperti ini. "Maaf Tante, saya memang gadis desa tapi rasa suka saya tulus pada kak Dexter, saya gak mungkin meninggalkannya hanya karena uang." "Ya itu karena kamu mendapatkan anak saya, maka kamu akan mendapatkan semua harta kami, iyakan?" tanyanya dengan wajah marah, membuat beberapa penumpang di sana menatap kearah mer
"Siapa kau? Mengapa kau mengganggu pacarku?" tanya Dexter dengan menggunakan bahasa inggris, Safira yang melihat sang kekasih marah, segera berdiri dan bersembunyi dibelakang Dexter.Sejak Dexter pergi ke kamar mandi, bule yang entah dari mana asalnya ini malah mengganggunya, apalagi dengan bahasa asing yang tidak ia paham membuat Safira merasa semakin tak nyaman saja. "Kak." "Apa dia mengganggumu?" tanya Dexter, yang dibalas anggukan kepala Safira. Tapi karena tak ingin ada keributan, Safira menarik baju bagian belakang kekasihnya itu untuk pergi. "Kak, jangan buat keributan kita pergi aja yuk!" Dexter yang merasa kemarahan memuncak, mendengar ucapan Safira yang sedikit bergetar menandakan gadis itu takut berusaha menetralkan emosinya. Ia takut kalau ia benar-benar menghajar orang yang sedang di bantu orang-orang sekitar itu, membuat Safira malah semakin takut dan menjauhinya. "Ayo kita pergi!" ujar Dexter yang berbalik, sebelum bena
Setelah itu mereka beristirahat di tempat tidur masing-masing, hingga keesokan harinya sepasang kekasih itu keluar guna menikmati pemandangan kota, yang ditutupi salju. Safira berjalan dengan tangan yang memeluk tubuhnya, walau sudah pakai pakaian tebal, rasa dinginnya masih menusuk kulit, sungguh luar biasa orang-orang yang tinggal di sini. Dulu ia kira, tinggal di wilayah bersalju itu enak, karena bisa bermain salju kapan saja dan tak akan takut kegerahan karena cuacanya dingin, namun sekarang ia paham kalau Tuhan pencipta alam itu adil, karena setelah tau apa yang kita lihat enak, belum tentu ada semua kebaikan di sana. Pasti semua ada sisi positif dan negatifnya. Entah kenapa ia jadi rindu negara asalnya, dia jadi bersyukur dengan apa yang ia miliki di sana tanpa berpikir kalau dunia luar itu pasti enak. "Kenapa dingin?" tanya Dexter yang dibalas anggukan juga senyuman dari gadisnya itu. "Iya dingin kak, tapi kakak mau kuliah dim
Safira menatap Dexter dengan sedikit berkaca-kaca, lalu dia tersenyum dan mengangguk mau, siapa yang tidak mau bersanding dengan pria ini. Entah kenapa dia bisa menjilat ludahnya sendiri, karena dulu ia amat benci dengan lelaki ini. Tapi lambat laut, dia menyukainya, sikapnya pura-pura dingin di depan namun peduli dibelakang memberikan kesan lucu padanya, dia juga sangat menyukai pria ini, jauh di lubuk hatinya. "Iya kak, aku mau."Dexter tersenyum sambil menghela nafas, dia merasa lega juga bahagia mendapatkan jawaban dari Safira, bahkan rasanya ia tak pernah mendapatkan perasaan seperti sepanjang hidupnya. "Tapi kayaknya kita harus LDR deh," ucap Dexter yang membuat Safira yang tadinya tersenyum bahagia menatapnya bingung."Maksud kakak?" "Mama sama papa minta aku kuliah di luar negeri." Mendengar hal itu suasana hati Safira langsung berubah, dia menjatuhkan diri dari lelaki itu karena kesal, yang benar saja dia merasa sudah di bawa terbang tinggi namun pada akhirnya di hempasan