Pagi harinya, suara masakan membuat Dexter yang baru saja bangun langsung beranjak pergi kebawah guna mengetahui apa yang dimasak wanita itu untuknya.
Aroma semerbak masakan membuat perutnya lapar, Dexter tak pernah menyewa pembantu di rumahnya. Kadang kalau dia sedang rajin, dia akan memasak makanan yang ia inginkan.Dan kalau malas, maka roti dengan salai coklat adalah pilihan yang paling menjanjikan. “Masak apa kamu?”Safira yang memakai celemek pink yang tak sengaja ia temukan menoleh pada sang majikan, ia melirik jam yang ada di dapur. Masih jam setengah enam, apa dia terlalu kencang menggoreng masakannya?“Ah ini mas, masak capcay sama ayam goreng, mas mau sarapan?”“Rajin banget kamu,” ucap Dexter yang duduk di kursi, sambil menatap masakan Safira.“Hehehe tangan saya gatel mas, mau langsung masak. Di kampung ibu saya jualan apapun yang ada dan di kreasikan gitu.”Dexter mengangguk, dia segera mengambil piring dan memakan masakan Safira. Wanita yang baru saja membuat wedang jahe menatapnya dengan penuh harap. “Gimana mas? Enak?”Dexter mengangguk. “Lumayan.”Safira memberikan minuman hangat itu padanya. Tentu saja membuat Dexter tak paham. “Apa ini?”“Wedang jahe mas, suhu dingin gini bagus buat tubuh kalau minum itu, biar hangat!”Setelah makan, Dexter merasa sangat kenyang. Dia duduk sebentar sambil memegangi perut yang sedikit membuncit karena kekenyangan.Safira tertawa kecil melihat itu, dia puas dengan hasil kerjanya. “Gak mau nambah lagi mas? Masih banyak loh lauknya.”“Bungkus aja! Bawa ke kantor!” ujar Dexter, yang membuat Safira mengangguk dan segera menyiapkan semuanya.Tangan pria itu segera mengambil ponselnya sambil bersantai dengan kondisi tubuhnya sekarang. Terlihat di layar segi panjang itu sebuah pesan. “Cepat banget, tumben!”“Kenapa mas?” tanya Safira yang berpikir pria itu berbicara dengannya.“Ah ini dari sekertaris saya, kamu lanjutin aja kerjaan kamu!” ujar Dexter yang segera membalas pesan, sambil beranjak dari tempat duduknya...Seorang wanita cantik dengan pakaian seksi dan tatapan serius, berjalan seirama yang membuat semuanya menunduk hormat, seakan wanita itu adalah bos di kantor.Resepsionis yang sudah menunduk takut, guna tak di hampiri wanita yang cukup berkuasa setelah Dexter dan keluarga, ternyata malah datang mendekati mereka dengan mimik tajam.Brak! Beberapa lembar kertas yang di putar menjadi bundar itu, di pukul di meja mereka yang membuat kedua resepsionis itu terkejut.“Eh Bu Angelia, ada apa Bu?” tanya salah satu dari mereka, sambil tersenyum seramah mungkin pada sekertaris Tuan muda Dexter ini.“Saya dengar Tuan muda kalian, membawa seorang wanita ya?” tanya Angelina penasaran, dia mendapatkan kabar dari mata-mata di kantor.“Iya Bu, dia cuma ob kok, iyakan?” tanya orang itu lagi pada teman di sebelahnya. Tentu saja temannya mengangguk mengiyakan.“Iya kok Bu, cuma OB gak lebih. Cuma saya dengar dia pembantu di rumah Tuan muda, jadi sebab itu mereka berangkat bareng!”Angelina meremas kerasa yang ada di tangan dan sekali lagi gebrakan meja itu membuat keduanya terkejut. Setelah Angelina pergi dari sana, membuat kedua resepsionis itu menghela nafas lega sambil mengelus dada mereka.“Sumpah baru juga bebas selama seminggu, udah balik lagi aja tuh nenek lampir!”“Iya, mana belagu banget lagi tampangnya, kalau bukan karena Tuan muda, mana bisa dia di posisi itu.”“Semoga aja Safira gak kenapa-kenapa.”Sedangkan di depan Dexter berjalan lebih dulu, di susul Safira yang tampak merapihkan pakaiannya guna terkesan rapih di depan kepala OB.Dia yang sudah tau, akan berpisah saat masuk kedalam, memilih kabur ke dapur guna membuat kopi untuk dirinya juga Dexter.Sedangkan Dexter yang baru saja ingin masuk kedalam lift terkejut dengan Angelina yang terdiam di depannya dengan mimik kesal. Pria itu melihat ponselnya sebentar lalu masuk dengan acuh tak acuh.Banyak pesan juga telepon yang tak ia angkat dari wanita itu, Dexter tak tau karena ponselnya dalam mode senyap.“Siapa wanita itu?” tanya Angelina tiba-tiba, sontak saja Dexter menoleh sebenarnya lalu kembali melihat ponselnya, posisi Dexter di depan membelakangi Angelina.“Untuk apa kamu tau?”Angelina menatap kesal pria di depannya, Dexter adalah teman lamanya, sejak jaman smp dan sejak itu lah ia menyukai namun tak ada sedikitpun di hatinya membalas perasaannya.Walau tau bagaimana perasaan, Dexter tampak tak perduli dan tetap menganggapnya sebagai teman baik.“Kamu tau tentang perasaan aku kan Dexter?!”“Tau, Angelina kita sudah membicarakan ini selama lebih 10 tahun,” balas Dexter tanpa menoleh sedikitpun.“Dan selama itu kamu mengabaikannya!”“Kamu akan menemukan yang lebih baik dari aku! Hanya saja dia belum nampak!”Angelina menoleh ke samping dengan mimik yang sama. “Aku cuma mau kamu, Dexter.”Dexter Jackson adalah pewaris resmi dari Jackson Grup, dimana nama belakangnya itu ialah sesuatu yang turun-temurun dari kakek buyutnya, dan begitupun perusahaan yang berdiri di bisnis makanan juga minuman, tapi tak jarang mereka menginvestasikan uang mereka untuk membangun resort, hotel dan restoran.Itulah kenapa Dexter di sebut sebagai anak bersendok emas, karena terlahir di keluarga Jackson. Setiap generasi memiliki bisnisnya masing, namun keluarga Dexter yang paling unggul di bandingkan dengan saudara yang lain.Karena Dexter adalah anak semata wayang, maka ayah Dexter menaruh harapan yang besar pada anak laki-lakinya, dan diluar dugaan Dexter bisa menyamakan kesuksesannya, membuat keluarga sang bangga, tapi bagi Dexter semua ini hanya kesibukan yang membuat dia lupa sesuatu hal.Sesampainya di lantai tempat kerja Dexter, Angelina masih mengikuti hingga masuk, memang sudah menjadi rutinitas utama hal itu Angelina lakukan, entah untuk memberitahu kegiatan atau data perusahaan.Ketika masuk sebuah bingkai di atas meja, membuat Angelina kembali kesal. “Lagi?”Dexter segera mengambil barang itu dan menaruhnya di laci. Ini pagi yang amat cerah, sangat di sayangkan bila mana harus di mulai dengan percekcokan.“Gadis itu meninggalkanmu, tapi kamu masih terus mengingatnya.”Pria itu beruntung, karena semalam Safira tidak melihatnya, jika ia mungkin sakit kepala hebat itu akan terjadi lagi.“Bisakah aku kerja dengan tenang? Jika kamu tidak nyaman denganku, kenapa tidak pergi saja, Angelina! Lama-lama aku muak denganmu.”Angelina tak dapat berkata-kata, karena ucapan Dexter yang seperti biasa mengancamnya. Jika ia memiliki kekayaan yang sama dengan pria itu, dia akan meminta orang tuanya melamar Dexter sejak dulu kala.“Aku hanya tidak suka kamu memilih rasa pada orang lain, Dexter.”“Ini tubuhku, untuk apa kamu terus mengatur itu? Lebih baik fokus bekerja atau aku panggil satpam untuk mengusirmu.”Saat tengah kesal, sebuah ketukan di pintu membuat keduanya menoleh, tak lama pintu terbuka memperlihatkan Safira yang membawa segelas kopi pait. “Maaf mas, kopinya.”Angelina terkejut dengan Safira yang ada di sana, lalu ia menatap Dexter.“Taro saja di sini!” ujar pria itu dengan santai, membuat Safira segera datang, lalu menunduk sebentar di depan Angelina sebagai tanda hormat.Safira segera keluar setelah memberikan kopi pada Dexter, dan itu membuat Angelina menatap tak percaya padanya. Entah apa yang terjadi barusan, tapi wanita itu seperti tidak mengenali keduanya. “Dexter, apa itu Safira?” Dexter yang hendak meminum kopinya terhenti, udara panas membuat dia meniup air hitam dalam gelas itu. “Seperti yang kamu lihat!” “Tapi kenapa dia tidak mengenaliku? Sombong sekali dia.” “Dia tidak sombong—hanya tidak ingat pada kita.” “Memang apa yang terjadi padanya?” tanya Angelina penasaran. “Amnesia.” Dexter menaruh minuman dan menyalakan laptop guna kembali bekerja, hari ini terlihat dari jadwal banyak pertemuan yang harus ia hadiri, termasuk nanti malam. Angelina terdiam lalu berjalan pergi. “Jangan ganggu dia! Jika kamu melakukan sesuatu yang tidak-tidak, aku tidak akan membiarkanmu berada di sampingku lagi!’ ujar Dexter pada Angelina sebelum wanita itu benar-benar pergi dari ruangannya.Brak! Pintu di tutup dengan keras, membuat Dexter hanya dapat meng
“Apa hubungan kita lebih dari teman?” “Memangnya kamu berharap apa?” Safira hanya menunduk setelahnya. “Maaf mas, saya selama ini sudah sering merepotkan.” Dexter duduk di sofa yang ada di ruangan itu, kacamata yang terpasang di wajahnya ia lepaskan. “Gak usah di pikirin! Yang terpenting kamu sehat! Dokter bilang kamu minum itu kalau-kalau kepala kamu sakit lagi!” “Saya janji akan bekerja dengan tekun, demi membalas kebaikan, mas,” ucap Safira dengan penuh yakin, membuat Dexter mengangguk tanpa banyak bicara. “Laper gak?” “Sedikit sih mas,” balas Safira yang malu-malu, dia merasa semua kebaikan pria itu pasti ada alasannya, apa mungkin mereka sahabat, jadi pria itu amat baik seperti ini? “Aku sudah bilang jangan banyak berpikir!” ujar Dexter yang sekarang terlihat, memainkan ponselnya entah sedang apa. “Habis semua ini kayak teka-teki yang harus di pecahin gitu mas, saya penasaran banget soalnya.” Mata pria itu sekarang melihat kearahnya, yang membuat Safira merasa agak cangg
Safira bangun dari tidurnya, kala mendengar suara ketukan pintu, dia pikir jika Dexter sudah pulang, padahal pria itu bilang paling lambat malam nanti atau lusa, tapi kenapa tiba-tiba menjadi pagi. Pintu terbuka lebar, dengan Safira yang mengucek matanya, karena sedikit silau oleh cahaya matahari. "Mas, kok pulangnya cepet banget sih?" "Kamu?!" ucap Seorang wanita yang membuat Safira, melihat kedepannya dengan lebih teliti lagi. Ternyata itu bukan Dexter namun wanita berbibir merah dengan gelang emas banyak tak lupa dengan pakaian yang terlihat mahal juga mencolok itu. "Maaf, ibu siapa ya?" tanya Safira yang tak tau kalau di depannya ini, ibu Dexter. Tiba-tiba wanita itu menarik rambut, Safira dengan cukup kencang, tentu saja hal itu membuat Safira merasa kesakitan dan tak paham. "Aw aduh sakit, Bu." "Dasar jalang sialan, hilang selama bertahun-tahun sekarang kamu balik lagi dengan muka gak tau malu ya?" tanya wanita itu marah dan terus menarik rambut Safira. "Sa-saya salah apa
Suara petir yang tiba-tiba juga kilatannya membuat Safira memeluk tubuhnya dengan takut, dia tak pernah membayangkan akan berjalan tanpa arah tujuan seperti ini. Niat hati ingin membantu ibunya, malah dia yang sekarang butuh di bantu.Mengingat ibunya dia jadi rindu, bagaimana kabar wanita itu? Apa dia baik-baik saja? Suara derasnya hujan tiba-tiba juga tetesan air itu membuat Safira terpaksa berteduh di depan toko yang tutup.Dia melihat keatas langit, dimana bunga api yang menjalar itu membuat langit tampak seperti siang hari, terang, namun setelah kembali gelap. Apa itu yang dinamakan bahagia sesaat, kala ia sudah merasa cukup puas dengan hidup ada saja hal yang membuat semua itu luntur. Air mata menetes begitu saja, bersama dingin malam yang semakin lama semakin menusuk kulitnya. Safira memeluk tubuh sendiri guna menghangatkan badan, ia ingin pulang tapi kemana?Sedangkan uang yang ia pegang sudah habis, untuk makan hari ini. Lalu bagaimana sekarang dan ke depannya? Dia harus me
Matahari nampak begitu cerah bagi sebagian orang, namun bagi pria berumur 19 tahun itu sama sekali tak ada cahaya yang terlihat, hidupnya selalu kosong. Bahkan kala melihat semua anak tahun ajaran baru yang berjejer rapih di lapangan, dia masih merasa kalau di dunia tak pernah ada orang di sana. Saat ini Dexter muda sedang berada di balkon sekolah, telah di lantai tiga dimana seluruh murid kelas 12 berada. Dexter tak pernah tertarik pada acara sekolah, dia cenderung menutup diri dan hanya tau menyibukkan hidup dengan belajar. Banyak piala yang dia dapatkan karena olimpiade atau perlombaan lainnya, itu pun para guru yang selalu menyuruhnya, kalau tidak dia tak akan mau. Sekaleng soda sudah dia tenggak habis, sambil terus menatap ke bawah. Manik matanya tak sengaja mengarahkan pada gadis yang menatap ke sana-kemari dengan mimik polos. "Dor!" ucap Angelina muda, yang mengangetkan Dexter, namun seperti biasa pria itu tak pernah terkejut, malah bersikap santai sambil melempar kaleng d
Beberapa hari kemudian, setelah di rasa benar-benar sembuh keduanya berangkat ke kantor agak siangan, walau sudah mengontrol dari rumah tapi tetap saja kerjaan nyata menumpuk semua di kantor pusat milik keluarganya.Saat baru masuk ke dalam lantai satu, tubuh Safira di peluk seseorang dari belakang. "Dor!" Dexter yang ada di belakang menoleh termasuk Safira yang kaget. "Aduh Neneng, ngagetin saya aja, kalau saya punya penyakit jantung Gimana?" Neneng teman baru Safira tak berani menjawab karena sang majikan ada di depannya, tepatnya sedang memperhatikan keduanya dengan serius. Karena tak ada jawaban, Safira menatap arah penglihatan teman barunya tersebut."Tuan muda, mau kopi pait atau apa? Nanti saya antar keruangan," ujar Safira, tapi Dexter malah mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. "Beli sesuatu, nanti bagi ke semua karyawan!" ujar Dexter. Mata keduanya menatap tak percaya pada uang yang diberikan oleh bos mereka.Ada sekitar 3 juta di tangannya, tapi mereka bingung denga
Mereka menaruh kue bolu yang sudah mereka bawa, ini baru sebagian sisanya masih banyak lagi, tapi kedua orang itu sudah sangat capek. "Gila rasanya kayak mau mati, udah mirip hajatan aja ini kalau di lihat-lihat," ucap Neneng yang ingin sekali mengangkat tangan ke arah kamera, kalau ada. "Mau gimana lagi? Sisanya masih banyak lagi, untung aja tukang kuenya garcep banget, kalau enggak sampai sore kayak gini." "Gini amat nyari duit, untung aja pakek motor kalau enggak udah gempor nih kaki." "Udah jangan ngeluh Mulu! Gak baik." "Intinya gue minta jatah ini mah," balas Neneng yang membuat Safira menggeleng, dia membawa kue-kue itu ke lantai selanjutnya, nanti mereka akan balik lagi untuk mengambil sisanya. "Kak, beli bunganya kak!" ucap seseorang yang membuat keduanya menoleh. Terlihat beberapa tangkai mawar merah yang sangat cantik di bungkus dengan plastik yang hias sedemikian rupa. "Maaf dek, gak minat bunga," ucap Neneng, tapi Safira menatap kasihan pada gadis muda yang mencond
"Anda menyukainya?" tanya Orlando tiba-tiba.Dexter menatapnya dengan tajam, Orlando sebenarnya tak menyukai Safira. Namun kecantikan yang natural dan sederhana, membuat dia tertarik saat tak sengaja menabrak wanita itu. "Bukan urusanmu!" balas Dexter yang kembali menatap layar laptopnya, sesekali tangan itu mengetik sesuatu. "Kamu di terima! Bilang pada papa jangan memata-mataiku! Terutama mama! Urusan Safira itu urusanku, dia tak harusnya mengatur itu!" Orlando terdiam sambil mengangguk, pria ini ternyata tau. Tugasnya bukan hanya sebagai pendamping namun juga ada tugas sebenarnya dibalik itu. "Baik Tuan muda." "Kamu boleh keluar! Mulai sekarang kamu yang akan mengatur semua jadwal saya, juga menjadi wakil jika saya tak ada." "Baik, saya paham." Dexter mengangguk, dia masih sibuk melihat apa yang ada di layar laptopnya, tanpa niat untuk melihat Orlando lagi. Setelah menunduk sebentar pria itu berjalan ke luar, membuat Dexter menatap kepergian dengan tatapan tak suka. ..Malam
"Kamu sedang apa?" tanya Dexter heran, Safira yang tertangkap basah tersenyum lebar dengan mulut penuh dengan anggur. Saat ini pria itu berada di hadapan Safira, ia menggeleng heran karena tingkah tak jelas dari wanita itu yang memasukkan anggur ke mulutnya hingga penuh, hal itu mengingatkannya pada tupai. Tangannya melebar di depan mulutnya, yang membuat Safira mau tak mau mengeluarkan buah itu ke tangan Dexter. Alangkah terkejutnya pria itu mendapatkan banyak buah anggur di tangannya. "Kamu kayak gak pernah makan anggur aja." "Habis enak, kak." "Kalau enak kita beli anggur di kota ini, kamu kayak orang susah aja." "Lah emang kapan aku kayanya?" tanya Safira tanpa basa-basi, membuat Dexter menatapnya. Dimana gadis hilang ingatan yang lemah lembut padanya itu, wanita ini memang besar Safira yang dulu. "Aku yang akan beli apapun yang kamu mau," balas Dexter dengan percaya diri. "Tapikan itu duit kakak, bukan duit aku." "Kamu kok ngeselin sih sekarang?" tanya Dexter, pa
Saat ini keduanya berada di apartemen Safira, suara televisi yang menyiarkan berita tak membuat mereka bosan, malah dua orang itu semakin serius melihatnya. Pizza, burger, popcorn, serta makanan dan minuman lainnya turut melengkapi tontonan mereka. "Gila, pembunuhan semakin meraja rela aja, serem gak sih kak Deket orang-orang kayak gitu," ucap Safira yang membuat Dexter terdiam, ia tak menyangka wanita itu akan bicara demikian. Jika wanita itu tau kalau dia juga seorang pembunuh yang bahkan pernah masuk rumah sakit jiwa, apa wanita itu akan meninggalkannya. "Safira." "Hhhmmm?" tanya Safira sambil menoleh kearah pria itu. "Kalau aku salah satu pembunuh itu, apa kamu akan takut dan meninggalkanku?" Safira terdiam sebentar, lalu tak lama suara gelak tawa terdengar dari bibirnya. Hal itu yang membuat Dexter serius menjadi heran. "Kenapa kamu tertawa?" "Hahaha, kakak pembunuh? Muka lawak kayak kakak. Denger ya kak Dexter kakak itu cocoknya jadi badut bukan psikopat, hahaha,
Hampir 1 bulan berlalu sejak kejadian itu, Dexter benar-benar memilih menjaga jarak dari Safira walau ia masih memantaunya dari kejauhan. Walau berusaha sebisanya untuk tidak mengingat tentang wanita itu, ia tak bisa. Wajahnya selalu terbayang walau ia sesibuk apapun dalam pekerjaannya.Dikabarkan Safira sudah pulih dari sakitnya, tapi untuk masalah ingatan ia tak menanyakan hal itu. Ia tak cukup kuat hati untuk mendengar diagnosa dokter yang akan mengatakan hal buruk tentang ingatan Safira. Baginya asal wanita itu sehat, maka itu juga bisa tenang dalam segala hal. Saat sedang mengecek data penjualan, sebuah suara ketukan pintu membuyar konsentrasinya. Saat ini ia sedang berada di kantor, karena masalah kesehatan, ayah dan ibunya terpaksa harus mengurus pekerjaannya juga sampai ia sehat seperti sekarang. Walau ibunya sudah banyak membantu dan memberikan semua yang dia inginkan, namun itu semua tak bisa menggoyahkan hati Dexter untuk mencintai ibunya. Hatinya sudah beku untuk wani
Saat ini Safira menatap ke jendela mobil dengan pipi yang masih memerah dan tak berani melihat sang majikan, apa yang baru saja Dexter lakukan itu benar-benar membuat dia terkejut juga perasaan menjadi tak karuan. Dexter yang saat ini menyetir menatap kearah Safira, lalu kembali memperhatikan jalan, sejak tadi dia hanya melakukan itu tanpa berniat bicara. Intinya setelah adegan ciuman tanpa sadar itu, Safira berlari ke mobil, dan diam dengan keadaan seperti sekarang. Ia yang bodoh karena terlalu tergoda dengan senyuman yang dulu sering di perlihatkan wanita itu padanya, Safira terlihat amat cantik dengan sinar yang tidak dia tolak. “Safira!” panggil Dexter namun Safira terlihat tak merespon. “Aku benar-benar minta maaf, aku tidak sengaja melakukan itu, ayolah jangan diam seperti ini? Katakan jika aku salah!” Wanita berumur 24 tahun itu masih terdiam, Safira ingat dimana saat Dexter mencium pipinya dan melupakan kejadian itu keesokan harinya, ia merasa senang seperti sekaran
Kembali ke masa sekarang…!!!Sinar matahari menyinari tangan Dexter, terlihat di sana ada sebuah cincin emas yang terukir pemilik di balik cincin itu, namun tak ada orang yang tau tentang itu. Yang mereka tau bahwa Dexter memakai benda tersebut karena iseng, padahal cincin itu memiliki arti yang dalam yang tak pernah mereka bayangkan. Saat ini Dexter berjalan menuju ruangan dokter yang akan memeriksa Safira, dengan wanita itu di belakangnya, lelaki itu tampak gugup karena berharap hasilnya sesuai yang dia inginkan. Sedangkan Safira melihat cincin yang tadi sempat mencuri perhatiannya, ia tak tau kalau pria itu memakai cincin? Sejak kapan?“Mas!” “Hhhmm?” tanya Dexter yang menoleh, lalu kembali berjalan. “Kapan mas pakai cincin?” Dexter mengambil lengannya yang memakai benda polos itu, lalu memasukkan tangannya ke dalam kantung celana. “Sejak lama?” “Apa itu tanda kepemilikan ya mas?” tanya Safira, dia penasaran, tapi di sisi lain hatinya sakit. Walau kadang pria ini memperlihat
"Saya ibu Dexter, dan saya ingin membicarakan kesepakatan di sini." "Kesepakatan?" Dengan wajah angkuhnya dia mengambil sesuatu dari tas hitam mewah itu, lalu meletakan amplop coklat besar yang entah apa isinya ke meja di depan wanita itu. "Ini berisi 200 juta, dan saya minta kamu jauhi anak saya!" "Maaf, saya gak bisa," balas Safira secara spontan, membuat wanita itu tersenyum remeh. "Saya tau, kamu mendekati anak saya karena dia tampan juga kaya, tapi uang ini sudah cukup untuk kamu yang seorang gadis kampung." Tangan Safira mengepal, sejak dulu orang miskin apalagi yang dari kampung selalu mendapatkan hinaan, semenjijikan itukah mereka hingga diperlukan seperti ini. "Maaf Tante, saya memang gadis desa tapi rasa suka saya tulus pada kak Dexter, saya gak mungkin meninggalkannya hanya karena uang." "Ya itu karena kamu mendapatkan anak saya, maka kamu akan mendapatkan semua harta kami, iyakan?" tanyanya dengan wajah marah, membuat beberapa penumpang di sana menatap kearah mer
"Siapa kau? Mengapa kau mengganggu pacarku?" tanya Dexter dengan menggunakan bahasa inggris, Safira yang melihat sang kekasih marah, segera berdiri dan bersembunyi dibelakang Dexter.Sejak Dexter pergi ke kamar mandi, bule yang entah dari mana asalnya ini malah mengganggunya, apalagi dengan bahasa asing yang tidak ia paham membuat Safira merasa semakin tak nyaman saja. "Kak." "Apa dia mengganggumu?" tanya Dexter, yang dibalas anggukan kepala Safira. Tapi karena tak ingin ada keributan, Safira menarik baju bagian belakang kekasihnya itu untuk pergi. "Kak, jangan buat keributan kita pergi aja yuk!" Dexter yang merasa kemarahan memuncak, mendengar ucapan Safira yang sedikit bergetar menandakan gadis itu takut berusaha menetralkan emosinya. Ia takut kalau ia benar-benar menghajar orang yang sedang di bantu orang-orang sekitar itu, membuat Safira malah semakin takut dan menjauhinya. "Ayo kita pergi!" ujar Dexter yang berbalik, sebelum bena
Setelah itu mereka beristirahat di tempat tidur masing-masing, hingga keesokan harinya sepasang kekasih itu keluar guna menikmati pemandangan kota, yang ditutupi salju. Safira berjalan dengan tangan yang memeluk tubuhnya, walau sudah pakai pakaian tebal, rasa dinginnya masih menusuk kulit, sungguh luar biasa orang-orang yang tinggal di sini. Dulu ia kira, tinggal di wilayah bersalju itu enak, karena bisa bermain salju kapan saja dan tak akan takut kegerahan karena cuacanya dingin, namun sekarang ia paham kalau Tuhan pencipta alam itu adil, karena setelah tau apa yang kita lihat enak, belum tentu ada semua kebaikan di sana. Pasti semua ada sisi positif dan negatifnya. Entah kenapa ia jadi rindu negara asalnya, dia jadi bersyukur dengan apa yang ia miliki di sana tanpa berpikir kalau dunia luar itu pasti enak. "Kenapa dingin?" tanya Dexter yang dibalas anggukan juga senyuman dari gadisnya itu. "Iya dingin kak, tapi kakak mau kuliah dim
Safira menatap Dexter dengan sedikit berkaca-kaca, lalu dia tersenyum dan mengangguk mau, siapa yang tidak mau bersanding dengan pria ini. Entah kenapa dia bisa menjilat ludahnya sendiri, karena dulu ia amat benci dengan lelaki ini. Tapi lambat laut, dia menyukainya, sikapnya pura-pura dingin di depan namun peduli dibelakang memberikan kesan lucu padanya, dia juga sangat menyukai pria ini, jauh di lubuk hatinya. "Iya kak, aku mau."Dexter tersenyum sambil menghela nafas, dia merasa lega juga bahagia mendapatkan jawaban dari Safira, bahkan rasanya ia tak pernah mendapatkan perasaan seperti sepanjang hidupnya. "Tapi kayaknya kita harus LDR deh," ucap Dexter yang membuat Safira yang tadinya tersenyum bahagia menatapnya bingung."Maksud kakak?" "Mama sama papa minta aku kuliah di luar negeri." Mendengar hal itu suasana hati Safira langsung berubah, dia menjatuhkan diri dari lelaki itu karena kesal, yang benar saja dia merasa sudah di bawa terbang tinggi namun pada akhirnya di hempasan