Hayo tebak siapa yang udah hasut Mbak Endang...
"Ada apa ini rame-rame?" Pak RT yang baru saja datang sudah jauh ketinggalan info. Salah satu warga yang berdiri di luar gerbang langsung menceritakan detail kejadiannya kepada Pak RT. Tampak Pak RT manggut-manggut mengerti dan langsung mendatangiku. "Maaf saya baru datang, Mbak Maya!" Pak RT tampak kikuk karena ia hadir saat masalah sudah hampir selesai. "Ibu-ibu, Bapak-bapak!! Tolong bubar ya! Semua sudah clear, Mbak Maya gak berbuat tindakan asusila seperti yang bapak-bapak dan ibu-ibu tuduhkan tadi." Pak RT meng instruksikan warganya untuk bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Eits, tunggu dulu, Pak! Masalah ini masih belum clear. Masih harus ada orang yang bertanggung jawab atas terjadinya keributan ini. Aku harus mendapatkan jawaban dari Mbak Endang mengenai siapakah orang yang pertama kali menyebarkan gosip murahan ini. Loh, loh, kemana Mbak Endang pergi? Aku celingukan mencari keberadaan Mbak Endang. Ternyata, ia sudah melipir ke dekat tembok pagar untuk melarikan diri
Sebenarnya ada masalah apa Bu Rohimah sama Mas Indra? Kenapa aku dan anak-anak harus ikut terbawa-bawa?"Memangnya Ibu kesal apa sama suami saya?" Penasaran sekali rasanya. Apa yang diperbuat suamiku itu pada Bu Rohimah hingga menyebabkan wanita yang sudah berumur itu melampiaskan amarahnya kepada aku dan anak-anak.Semua warga yang masih berkumpul terdiam. Mereka juga ingin mendengarkan jawaban langsung dari mulut Bu Rohimah."Suami kamu itu pelit!! Beberapa bulan yang lalu saya lagi butuh banget duit buat masukin Fahri kerja di pabrik, saya pinjam ke suamimu, dia bilang lagi gak ada duit. Tapi selang dua hari kemudian dia malah beli motor sport gede, bayarnya cash lagi. Apa itu namanya kalau bukan pelit dan gak mau nolongin tetangga?" Cibir Bu Rohimah. Bibirnya mencebik kesal.Jangankan Bu Rohimah… saya yang istrinya aja juga dipelitin kok, Bu!! Apalagi kalau ingat kejadian dibalik pembelian motor sport gede itu, mungkin Bu Rohimah tidak akan tega mengganggu saya dan anak-anak karen
Aku semakin dilanda ketakutan. Siapakah gerangan hujan lebat begini bertamu ke rumah kami? Dalam kondisi begini aku harus minta tolong ke siapa? Mbak Titin? Waduh, aku takut jika orang yang datang mengetuk pintu itu orang jahat. Mbak Titin pasti gak akan bisa menanganinya. Mas soni? Ah jangan, jangan, Mas Soni. Dia suaminya Mbak Titin. Aku gak mau Mbak Titin salah paham padaku nanti. Bagas? Oke, Bagas saja… dia kan masih single dan juga masih brondong. Kemungkinan untuk orang salah paham itu kecil banget. Segera ku hubungi nomor ponsel Bagas untuk meminta pertolongan. Aku menunggu bantuan datang sambil meringkuk di pojokan kamar dalam pelukan kedua putri kembarku yang masih belum mengerti apa-apa. "Mbak… Mbak Maya, ini Bagas, Mbak!!" Tak berselang lama, Bagas sudah sampai di teras rumah kami dan mengetuk daun pintu dengan keras. Suara ketukan dan teriakannya masih kalah sama bunyi deras hujan yang disertai dengan petir menggelegar. "May!!! Buka pintunya! Kamu kenapa?!" Terdeng
POV Raden Angga Wijaya.Aku adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan dan diadopsi oleh keluarga kaya bernama Hadi Wijaya. Nama asliku adalah Angga. Setelah masuk ke dalam keluarga Pak Hadi Wijaya, mereka mengganti namaku dan menambahkan nama besar Wijaya kedalamnya.Mereka melimpahiku dengan kasih sayang dan harta yang banyak tanpa membeda-bedakan statusku dengan anak kandungnya, seorang gadis kecil yang terpaut usia lima tahun denganku. Namanya Maya, ia sangat lucu dan menggemaskan. Setiap hari selalu membuntuti aku dan merengek mengajakku bermain bersama.Dahulu, keluarga mereka sangat harmonis dan penuh kehangatan. Tapi setelah kecelakaan tragis itu terjadi, Papa Hadi menjadi murung dan sakit-sakitan. Kecelakaan yang menimpa istri dan anak kandung Papa Hadi membuatnya kehilangan semangat hidup. Pasalnya hingga kini tidak diketahui keberadaan anak dan istrinya, apakah selamat dari kecelakaan tunggal itu ataukah meninggal dunia. Jika meninggal dunia pun jasad kedu
POV Raden Angga Wijaya.Kenapa jiwaku merasakan seolah kembali terseret ke masa lalu? Kedua anak kembar di hadapanku ini mengingatkanku pada sosok adik kecil yang dulu selalu mengikutiku kemanapun."Mas Angga, temani Maya main masak-masakan, yuk!!" Suara rengekan itu masih terngiang dengan jelas di telingaku. Sebagai anak tunggal di keluarga kaya, gadis itu pastinya kekurangan teman bermain di rumahnya. Itulah sebabnya Papa Hadi dan Mama Rasti mau mengadopsi aku dari panti asuhan agar bisa menjadi teman bermain sekaligus pelindung anaknya.Aku juga harus selalu menuruti semua permintaannya walaupun aku tak suka bermain permainan anak-anak perempuan.Terkadang jika aku sedang malas atau sedang banyak tugas sekolah, aku akan menolak permintaannya."Mas lagi banyak PR, Maya. Nanti kalau sudah selesai, Mas temani main ya." Itu adalah kata-kata terakhir yang kuucapkan pada Maya. Gadis itu langsung cemberut dan menatap kecewa padaku. Tatapan mata itu adalah tatapan mata terakhir miliknya y
Tanganku gemetaran saat menerima pesan dari Mas Angga. Dia bilang ingin memesan catering makanan rumahan untuk papanya yang sedang sakit. "Semoga ini menjadi awal yang baik." Doaku dalam hati. Cita-cita ingin membuka restoran yang menyajikan menu masakan rumahan sepertinya mendapatkan jalan kemudahan. Dengan orderan pertama dari Mas Angga, aku berharap ini akan membuka peluang usaha bagiku. Orang kaya seperti Mas Angga pasti punya banyak koneksi dan jaringan. Tak banyak permintaan papanya Mas Angga. Hanya beberapa menu masakan simpel yang berhasil aku masak dalam waktu tak kurang dari satu setengah jam. Hari ini aku mematikan aplikasi warung online. Mas Angga memintaku untuk mengantarnya sendiri ke kantor tempatnya bekerja. Kebetulan kulihat alamatnya juga tak jauh dari kampung tempat tinggalku. "Loh, mie tek-teknya libur, May?" Mbak Titin yang baru saja datang menatapku heran karena aku sudah berpakaian rapi dan menenteng tas kresek putih. Oh iya.. aku sampai melupakan Mbak Ti
Susah payah berpura-pura tak melihatnya, ternyata ia masih mengenaliku juga. "Hai, calon mantan kakak ipar, kenapa kamu ada disini?" Ia langsung menghadang jalanku dan tak membiarkanku masuk kedalam lobby. Heh, kenapa harus menyebutku dengan sebutan calon mantan kakak ipar? Detik ini juga suruh abangmu talak aku! Aku sudah siap kok menjadi mantan iparmu. Tak usah sindir-sindir pakai kata calon lagi! Tapi aku hanya diam saja karena tak ingin menjawab pertanyaan orang yang punya andil besar dalam rusaknya rumah tanggaku. "Hm, pasti kamu mau nyari kerjaan disini, kan? Aku beritahu kamu sebelum kecewa, disini gak ada lowongan buat emak-emak! Semua karyawan disini itu masih muda-muda dan penampilannya modis, cantik, wangi, dan terawat, gak kayak kamu yang kusam dan kucel mirip gembel." Kali ini Irfan mulai menyerangku dengan hinaannya. Hahaha, mungkin dia salah mengira aku sedang melamar pekerjaan disini karena aku memang membawa sebuah map berisi file penawaran harga catering. Bisa ja
"Nyo-nyonya? Nyonya ada di sini?" Raut wajah Mas Angga keheranan melihat Bu Rosmala berbincang denganku di ruang tunggu. Mungkin ia baru sempat melihat pesanku yang mengabarkan bahwa aku sudah sampai di parkiran motor. Wanita tua bernama Rosmala itu sama sekali tak menjawab pertanyaan Mas Angga dan malah mengalihkan perhatiannya padaku. "Besok saya kabari lagi kalau cocok dengan menunya." Aku mengangguk dengan mengukir sebuah senyuman canggung. Jujur aku merasa ada sesuatu yang tak beres disini. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana wanita tua tadi membodohiku dengan berpura-pura melihat menu pesanan Mas Angga tapi di sela-sela jarinya menyembunyikan bubuk yang dibungkus seperti resep obat puyer dari puskesmas dan menaburkannya ke atas masakanku. Kalau ada apa-apa dengan Papanya Mas Angga, otomatis akulah yang menjadi tersangka utama. "Terima kasih, Bu Maya, saya pamit dulu ke ruangan. Masih banyak dokumen yang harus saya tanda tangani." Ia tak mau bersalaman denganku karena mas