Selama beberapa saat, Kelly hampir yakin jika Sherwin akan melompat maju dan mencekiknya. Dia benar-benar bersyukur karena itu cuma imajinasinya belaka karena Sherwin tak melakukan apa pun kecuali bertanya dengan nada ketus yang begitu menakutkan. “Kamu akan menikah? Dengan siapa?”
“Aku ma....”
Nina yang tidak pernah bisa berdiam diri lebih dari lima menit, tampaknya tidak memerhatikan bagaimana sikap Sherwin berubah kaku. Dia malah memotong kata-kata Kelly dengan penuh semangat. Dan Kelly tak punya waktu untuk memperingatkan temannya agar tetap menutup mulut saja.
“Kamu sudah berapa lama tidak bertemu Kelly, sih? Dia akan menikahi koki Perisa, yang kebetulan adalah kakak kandungku. Mereka punya kisah romantis yang unik. Bertemu di Auckland, tapi malah benar-benar saling tertarik saat su....”
Sherwin menggeram, memotong kata-kata Nina dengan tatapan penuh kemarahan yang ditujukan pada mantan kekasihnya. “Berarti s
Tidak ada yang bisa dilakukan Duncan untuk mengembalikan masa lalu dan mencegah Kelly pulang bersama Nina. Atau menunda kepergian mereka selama satu menit saja. Jika itu terjadi, tentulah semuanya akan berbeda. Namun, mana ada manusia yang bisa menebak masa depan?Pikiran itulah yang mendominasi benak Duncan saat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jantungnya seolah berhenti memompa darah dan tubuh Duncan berubah sedingin es hanya dalam hitungan sepersekian detik.“Ya Tuhan, suara apa itu?” teriak entah siapa yang baru saja memasuki dapur. Saat itu memang terdengar suara mengerikan yang mirip tabrakan kencang, diikuti jeritan banyak orang di luar sana.Tanpa menunggu jawaban yang sudah pasti disuarakan semua orang, Duncan buru-buru membuka celemek dan melemparkan benda itu ke salah satu meja Dia meninggalkan dapur dengan dada berdegum-degum. Lelaki itu berdoa sungguh-sungguh semoga tidak ada masalah yang dialami oleh salah satu pelanggannya. Akan tetap
Demi menjaga kewarasan dan kesabarannya karena Nina masih menangis dan belum membuka mulut lagi, Duncan tidak berhenti melafalkan doa. Dia harus menunggu hingga adiknya siap untuk kembali bercerita. Karena meski sudah memiliki dugaan tertentu di kepalanya, Duncan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.Lelaki itu memanfaatkan waktu untuk mengontak restoran, memastikan semua baik-baik saja meski dia harus pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru. Duncan bahkan tak membawa dompet. Untungnya dia selalu mengantongi ponselnya. Setelah itu, dia menunggu Nina berhenti menangis.“Sherwin itu jahat, Duncan. Semua kata-katanya itu benar-benar mengerikan. aku tidak tahu bagaimana Kelly bisa tahan dan mendengarkan laki-laki itu mengoceh tak keruan. Aku pun tak bisa membela Kelly karena takut membuat situasi makin parah. Karena jujur saja, Sherwin itu marah gara-gara ucapanku,” urai Nina. “Apa kamu pernah bertemu dengan laki-laki itu, Duncan?”“
Kalimat Nina itu membuat Duncan kian terpana. Tampaknya Sherwin benar-benar ingin memastikan Kelly celaka. “Mobilnya sampai berhenti?” ulang Duncan.“Iya. Makanya kubilang, kalau saja nggak terpental ke depan mobil, dia pasti tak akan keberatan melindas tubuh Kelly.” Nina bergidik. “Dia cuma berhenti beberapa detik. Karena setelah itu orang-orang mulai ribut dan berdatangan. Kurasa, dia takut dihajar massa.”Duncan tak lagi berkomentar. Jika memang kejadiannya seperti itu, betapa cinta sudah berubah rupa menjadi kebencian yang pekat. Bagaimana bisa seseorang bisa berubah sedrastis itu? Jangankan pada seseorang yang pernah dicintai, pada orang asing sekalipun hal semacam itu tak akan mampu dilakukan oleh manusia normal.“Kamu di sini saja, kan? Aku pulang dulu tapi mungkin agak lama baru bisa kembali ke sini. Karena aku juga harus mengabari ibu Kelly,” kata Duncan.“Nggak masalah. Kamu hati-hati di jala
“Kamu sudah lapor polisi? Kamu tahu siapa yang menabrak Kelly, Duncan? Apa pelanggan Perisa juga? Kenapa bisa sampai menabrak orang di area parkir yang nggak terlalu luas itu?” cerocos Lanni lagi.“Aku sudah lapor polisi sebelum pulang ke sini. Tapi aku belum tahu pasti identitas si penabrak,” kata Duncan. Dia memilih untuk menunda memberi tahu Lanni tentang Sherwin. Lebih baik nanit saja, saat semua informasi sudah terkumpul. Duncan tak mau mendengar kalimat-kalimat bernada negatif untuk saat ini. Apalagi jika Sherwin dikait-kaitkan dengan Kelly. Lelaki itu ingin fokus pada kondisi kekasihnya untuk saat ini.“Jadi, rencanamu selanjutnya apa?”“Aku mau mandi dulu sebelum mengabari ibunya Kelly. Setelah itu, baru kembali ke rumah sakit. Mudah-mudahan segera ada kabar baik dari Nina. Tolong doakan Kelly ya, Ma,” pinta Duncan sungguh-sungguh.Lanni bangkit dari tempat duduknya sebelum memeluk putranya. “T
“Duncan, Ibu mau ikut ke Bogor,” putus Tanti saat Duncan hendak pamit. Lelaki itu cuma mengangguk, tak sanggup melarang perempuan itu yang pastinya sedang luar biasa sedih karena kondisi putrinya. Tadinya Duncan berniat akan menjemput Tanti besok pagi. Namun jika dipikir lagi, manalah mungkin perempuan ini bisa terlelap malam ini.“Sebentar ya, Ibu mau bawa baju ganti untuk Kelly,” kata Tanti.Tak lama setelah ditinggal sendiri di ruang tamu, telepon Duncan berbunyi. Mendadak, lelaki itu merasa tubuhnya lunglai luar biasa. Jantungnya berdebar kencang. Ada rasa takut luar biasa yang mencengkeram dadanya. Bagaimana jika telepon ini mengabari tentang kondisi Kelly tapi bukan seperti harapannya? Itulah ketakutan terbesar Duncan.Namun, dia tahu tak bisa menghindar. Dengan jari-jari gemetar, lelaki itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Nama adiknya tertera di layar. Duncan mengumpulkan keberanian sebelum menjawab panggilan itu.&ldq
Perjalanan ke rumah sakit terasa begitu lamban. Duncan sudah tak sabar ingin segera bertemu kekasihnya. Dia dan Tanti nyaris berdiam diri selama di dalam taksi online yang membawa keduanya menuju Bogor. Masing-masing tentu sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun Duncan lega karena melihat Tanti sudah lebih rileks dan tak lagi menangis.“Kamu dari mana? Kondisi Kelly bagaimana?” Itu pertanyaan yang meluncur begitu Duncan bertemu adiknya. Nina sudah memberi informasi tentang ruang rawat inap yang ditempati Kelly. Nina dan Duncan bertemu di koridor menuju ruang perawatan. Duncan menyerahkan tas kertas berisi pakaian ganti untuk adiknya yang dibawa lelaki itu dari rumah.“Kamu tidak perlu cemas, Kelly baik-baik saja,” sahut Nina.Duncan berpaling pada Tanti. Sejak turun dari taksi, dia mengambil alih tas yang dibawa calon ibu mertuanya itu. “Bu, ini Nina, adik saya.” Lalu, dia memandang ke arah sang adik. “Nin, pe
Nina menyeringai. “Ajaibnya, iya. Padahal kemarin itu Kelly sampai memapahku saat berjalan menuju mobil. Aku kesakitan dan tak bisa berjalan normal.”“Sstt ... suaramu terlalu kencang,” Duncan mengingatkan karena saat itu masih dini hari dan mereka berada di depan deretan ruang perawatan.“Maaf,” balas Nina. Kali ini, dengan suara yang sengaja direndahkan. “Jadi, apa polisi sudah menangkap Sherwin?” tanya Nina ingin tahu.“Belum. Karena aku baru mengirim identitas lengkap Sherwin saat masih di Depok. Itu pun aku mengirimkannya pada polisi yang sering makan di Perisa. Dan hampir pasti baru beberapa jam lagi akan ditindaklanjuti.” Dia memicingkan mata. “Aku berharap, laki-laki itu bisa segera mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.”“Aku pun berharap begitu,” kata Nina. “Aku masih tak habis pikir, ada mantan pacar yang sanggup berbuat sejauh itu. Benar-b
Sambil mengisi perutnya dengan dua buah roti abon dan roti isi kacang tanah, Duncan memikirkan kondisi Tanti. Perempuan itu baru saja tertidur saat Duncan mengetuk pintu rumahnya dengan salah satu berita paling buruk yang ditakuti oleh setiap orang tua. Kini, sudah hampir pukul tiga dini hari dan Tanti belum terlelap lagi. Bahkan sekarang sedang menunggui putri bungsunya.“Nin, mending kamu pesan kamar di hotel yang ada di depan rumah sakit. Temani Bu Tanti. Biar aku yang menjaga Kelly,” usul Duncan pada sang adik.Meski awalnya Nina ingin menolak, tapi akhirnya gadis itu setuju. Setelah Duncan mengungkapkan alasannya. Yang terpenting, dia tak ingin Tanti malah jatuh sakit karena kurang tidur sekaligus mencemaskan putrinya. Saat seperti sekarang, cukup Kelly saja yang sampai harus dirawat di rumah sakit.Tanti pun akhirnya setuju dengan usul Duncan. Apalagi perempuan itu mendapat dorongan dari putrinya. Kelly pun lebih suka jika ibunya beristirahat d
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har