Kalimat yang digumamkan Duncan itu membuat Kelly terperanjat luar biasa hingga gadis itu menahan napas selama beberapa detik. Dia yakin jika telinganya sudah menangkap kata-kata yang keliru. Namun sorot di mata abu-abu Duncan mengubah opini Kelly. Kebulatan hati lelaki itu tergambar sejernih kristal. Dia sendiri tidak tahu, kenapa pertanyaan lancangnya meluncur tanpa sensor.
Pagi ini Nina menyerbu ke tempat indekos Kelly tanpa pemberitahuan. Setengah memaksa saat mengajak gadis itu ke Perisa. Setelah mengikuti beberapa sesi kelas memasak cake, mereka berdua memang menjadi lebih dekat. Meski belum bisa dimasukkan ke dalam kategori teman baik, apalagi sahabat. Kelly menyukai Nina yang periang dan suka bicara apa adanya. Ada beberapa kemiripan antara gadis itu dengan Cilla.
“Ayolah! Ketimbang kamu cuma di tempat kos seharian, mending mengikutiku ke Perisa. Kita bisa lebih produktif hari ini. Sekaligus mencari makan siang gratis yang sudah pasti enak. Eits,
Nina tersenyum mendengar pertanyaan itu tapi Kelly justru menangkap kesedihan yang merayap di wajah gadis itu. Seketika, Kelly merasa tak nyaman. Namun dia menahan diri agar tak mengajukan pertanyaan baru dan menunggu Nina memberi respons saja.“Kalau soal itu, aku nggak bisa menjawab detailnya. Itu jatahnya Duncan, kalau dia tidak keberatan membaginya padamu. Maaf ya, Kel. Yang pasti, dia butuh waktu lebih dari setahun untuk memulihkan diri.”Kelly cuma bisa menyimpan kengeriannya diam-diam. Sudah pasti kecelakaan yang dilewati Duncan bukanlah peristiwa sederhana. Namun jika melihat kondisi fisik lelaki itu saat ini, tidak ada tanda-tanda bahwa Duncan pernah mengalami musibah separah itu. Dan dia tidak berhenti bersyukur untuk itu. Duncan tampak baik-baik saja tanpa masalah berarti.Sejujurnya, Kelly masih terlalu bingung menghadapi perasaannya. Tatkala gadis itu melihat Duncan datang ke Kirana Mahardika bersama Nuke, dia tersadarkan oleh satu hal.
Kelly menyapa Nuke sehangat yang dia mampu. Meski dia merasa tak nyaman karena merasa sedang menjadi orang yang munafik.“Kurasa, sebaiknya kita menunggu cake-nya matang di luar,” Kelly tak sanggup lagi tetap membatu di tempatnya. Dia menarik tangan Nina tanpa menunggu gadis itu memberikan persetujuan.Nina malah mengajak Kelly ke sebuah ruangan yang lebih mirip kantor. Terlihat jelas bahwa gadis itu mengabaikan calon iparnya dengan hati ringan. Justru yang jadi merasa kian tak nyaman.Ruangan yang mereka datangi itu tidak terlalu luas, tapi ditata dengan akurasi yang pantas mendapat aplaus. Ada sebuah meja tulis dan kursi yang tampak empuk di salah satu sudut. Sebuah sofa two seater dan daybed mengisi kekosongan di dekat pintu masuk, disusun berhadapan. Keduanya berwarna off-white. Bantal kursi bermotif hitam putih menjadi aksen yang menarik. Sebuah meja pendek bundar yang dipenuhi majalah kuliner, melengkapi ruan
Gurauan Nina itu mampu membuat senyum Kelly mekar. “Ya, kukira kamu benar. Duncan baru menyadari kriteria perempuan favoritnya,” canda Kelly. Nina terbahak-bahak setelah mendengar ucapan temannya itu.Saat itulah tatapan Kelly mendadak berhenti pada sebuah benda yang terlihat tidak cocok berada di ruangan itu. Sebuah kruk yang disandarkan di dinding, tepat di belakang meja tulis.Pertanyaan yang nyaris meluncur dari bibir Kelly pun mendadak terlupakaan saat pintu terbuka tanpa aba-aba. Sedetik kemudian, Nuke masuk ke ruangan itu. Nuke hanya mengenakan terusan lengan pendek selutut berwarna merah lembayung polos dan sepasang peep toe berwarna senada. Meski demikian, penampilannya sudah pasti menyita tatapan orang yang melihatnya.“Ternyata kalian di sini,” Nuke duduk di depan Kelly dan Nina. “Kel, kamu masih ingat Beno? Kakak kelas kita yang pernah menjadi wakil ketua OSIS dan sempat bermasalah dengan narkoba?” Tatapan
“Ah, bisakah kita tidak membahas soal itu? Yang tadi itu memang bukan momen emasku” pinta Kelly, dengan nada gurau.Gadis itu meregangkan tubuh, menolak memikirkan lebih jauh kecanggungan yang tak nyaman tadi. Dia duduk di jok depan. Nina mengaku, dia jarang menyetir ke mana-mana. Hanya saat-saat tertentu saja Nina membawa mobil.Beno adalah pria yang cukup menawan secara fisik. Sama sekali tidak tergolong jelek. Nuke pun tampaknya begitu bersemangat mempromosikan teman sekaligus atasannya yang saat ini sudah memiliki jabatan bergengsi.Masalahnya, Kelly tidak memiliki ketertarikan apa pun pada pria itu. Meski gadis itu bisa melihat bahwa Beno menunjukkan perhatian pada dirinya. Lelaki itu juga meminta nomor ponselnya. Kendati sebenarnya tak ingin memberikannya pada Beno, Kelly terpaksa mengalah. Lagi pula, walau dia tak memberi tahu, lelaki itu bisa saja mendapat nomor telepon genggam Kelly dari Nuke.“Kamu dulu akrab dengan Nuke, nggak
Nuke mendadak berubah rajin menelepon Kelly dalam beberapa kesempatan, menunjukkan keseriusan untuk mencarikan pasangan untuk gadis itu. Kelly bukannya tak menghargai perhatian Nuke itu. Hanya saja dia merasa temannya terlalu bersemangat menjadi makcomblang. Padahal, Kelly tidak berniat mencari pasangan sesegera mungkin. Dia masih ingin sendiri dulu.Apalagi, Sherwin masih belum menunjukkan tanda-tanda untuk menyerah. Lelaki itu memang tak pernah lagi mendatangi Kirana Mahardika setelah diusir oleh Cilla. akan tetapi, Sherwin masih membombardir Kelly dengan teleponnya, terutama saat gadis itu berada di tempat indekos atau di rumah ibunya.“Aku nggak akan menyerah dengan mudah, Kel. Kamu nggak bisa meninggalkanku begitu saja,” komentar Sherwin beberapa hari silam. “Aku yakin, kamu sedang berada di fase tak masuk akal, mungkin karena terlalu banyak mendengarkan omongan orang. tapi aku yakin, kamu akan kembali padaku,” tambahnya dengan penuh percay
“Kamu benar-benar akan memajukan jadwal pernikahanmu?” Seseorang masuk ke dapur dan mengajukan pertanyaan tak terduga. Tanpa berbalik pun Duncan tahu siapa yang berdiri di belakangnya. Nina. Dapur sudah rapi, karyawan terakhir baru akan meninggalkan ruangan itu. Duncan menunggu hingga semua pegawainya pulang sebelum menjawab pertanyaan adik tercintanya.“Kenapa kamu berkeliaran mengganggu ketenangan hidupku, Sis? Aku capek dan tidak berminat membahas masalah pribadi dengan siapa pun.” Duncan melepas celemeknya dengan gerakan cepat. Rasa nyeri samar terasa di kaki kanannya.Hari ini Perisa menjadi tempat resepsi dan harus menyajikan makanan untuk tiga ratus lima puluh orang tamu. Bukan jumlah yang spektakuler. Namun karena mereka juga harus menyiapkan banyak menu, cukup menyita waktu dan tenaga. Apalagi, Daud tidak bekerja karena ada urusan keluarga yang mengharuskannya keluar kota.“Duncan, aku serius! Kamu setuju untuk memajukan ta
Nina mendekatkan terlinga kirinya ke ponsel, menempel di sebelah kakaknya. Duncan tidak punya waktu untuk melarang adiknya melakukan hal tak sopan semacam itu. Dia berkonsentrasi untuk mendengarkan dengan saksama semua kalimat yang meluncur dari bibir sang ibu.Setelah cukup lama melakukan itu, Duncan akhirnya menegaskan, “Aku akan bicara dengan Nuke. Tapi aku tetap pada keputusanku, tidak ada perubahan jadwal. Kalau Nuke ingin memajukan pernikahan kami, sebaiknya dia mencari pria lain untuk dijadikan mempelai prianya.”Tanpa menunggu respons ibunya, Duncan memutus sambungan telepon. Dia kembali menghela napas dengan darah terasa memanas. Rasa nyeri di kepalanya tak kunjung membaik.“Mama bilang apa?” Nina mendesak dengan raut penuh keingintahuan begitu Duncan kembali mengantongi ponselnya. “Aku tidak bisa mendengar dengan jelas.”Duncan merasa bahwa dia membutuhkan oksigen murni agar paru-parunya bisa mengembang
Di bawah siraman lampu teras yang tidak terlalu terang, Duncan bisa melihat perubahan warna di wajah tunangannya. Tunangan. Kata itu menonjok kepalanya dan memberi impak yang membuat Duncan nyaris terlengar. Efek yang selama ini diabaikannya. Kengerian pun menusuk hingga ke tulang.Semua kata-kata adiknya terngiang di telinga lelaki itu. Terutama deretan pertanyaan yang diajukan Nina saat mereka berada di dapur Perisa tadi.“Aku benci harus mengulang-ulang pertanyaan ini. Aku benci karena kamu selalu berpura-pura tidak ada masalah. Kalau cuma karena rasa bersalah sama Mama, kamu bisa menebusnya dengan cara yang lain. Kenapa mesti menikahi orang yang tak kamu cintai? Kamu pikir bisa bahagia kalau melakukan itu? Kamu yakin mau menikahi Nuke dan hidup bersamanya sampai mati? Kamu yakin, Duncan?”Banyak kebenaran dalam kata-kata Nina selama berbulan-bulan ini. Akan tetapi, Duncan selalu mengabaikan opini adiknya. Dia me
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har