Di bawah siraman lampu teras yang tidak terlalu terang, Duncan bisa melihat perubahan warna di wajah tunangannya. Tunangan. Kata itu menonjok kepalanya dan memberi impak yang membuat Duncan nyaris terlengar. Efek yang selama ini diabaikannya. Kengerian pun menusuk hingga ke tulang.
Semua kata-kata adiknya terngiang di telinga lelaki itu. Terutama deretan pertanyaan yang diajukan Nina saat mereka berada di dapur Perisa tadi.
“Aku benci harus mengulang-ulang pertanyaan ini. Aku benci karena kamu selalu berpura-pura tidak ada masalah. Kalau cuma karena rasa bersalah sama Mama, kamu bisa menebusnya dengan cara yang lain. Kenapa mesti menikahi orang yang tak kamu cintai? Kamu pikir bisa bahagia kalau melakukan itu? Kamu yakin mau menikahi Nuke dan hidup bersamanya sampai mati? Kamu yakin, Duncan?”
Banyak kebenaran dalam kata-kata Nina selama berbulan-bulan ini. Akan tetapi, Duncan selalu mengabaikan opini adiknya. Dia me
Kalimat-kalimat Nuke yang diucapkan dengan suara membujuk itu malah membuat Duncan merasa jauh lebih sedih dibanding yang semestinya. Dia tahu, dirinya akan menyakiti perempuan ini. Namun dia mustahil menghindari hal itu. Sudah saatnya Duncan menyelamatkan dirinya sendiri. Demi Tuhan, dia sudah mencoba segala cara agar bisa mencintai Nuke. Namun dia gagal. Ini saatnya untuk berhenti sebelum Duncan mengambil langkah maju yang bisa saja akan membuat hidupnya makin tragis.“Tidak ada gunanya lagi terus berpura-pura. Ke. Kita sudah terlalu lama melakukannya, ini saatnya untuk berhenti. Aku berpura-pura merasa nyaman di dekatmu. Sementara kamu pun berpura-pura bahagia. Nyatanya, kita sama-sama tersiksa.”“Aku nggak tersiksa sama sekali,” tukas Nuke.Duncan menggeleng. “Kita harus menyelamatkan diri sebelum semuanya menjadi buruk. Sebelum kamu dan aku menghancurkan hidup kita berdua karena pilihan yang memang nggak bijak. Kurasa, kata maa
Kelly menahan diri agar tidak mendatangi Perisa dan memaki Duncan setelah mendengar pengakuan Nuke beberapa hari silam. Dia tahu, dirinya tak berhak melakukan itu. Duncan tidak menjanjikan apa-apa. Hanya bicara tentang perasaannya, yang justru kian diragukan oleh Kelly.Kabar tentang rencana pernikahan Duncan dan Nuke yang dimajukan, membuatnya luar biasa terperanjat. Namun, pengaruh kata-kata Duncan di dapur restorannya itu masih belum sepenuhnya lenyap dari kepala Kelly. Gadis itu sempat terjebak dalam kebimbangan yang menyusahkan dirinya.“Kenapa aku harus peduli dengan kata-kata Duncan waktu itu? Dia sudah akan menikah dengan Nuke. Bahkan rencana pernikahan mereka akan dimajukan. Aku luar biasa bodoh kalau percaya dia menyukaiku,” kata Kelly berkali-kali dalam hati.Akan tetapi, pengkuan Duncan itu memang tak bisa dilupakan begitu saja. Gadis itu bahkan curiga kalau dia takkan pernah melupakan momen itu, tersegel di memorinya. Dipadu dengan fakta
Kelly hanya duduk sembari memandangi wajah Duncan yang masih terlelap. Tatapannya sempat berhenti lama di kaki kanan lelaki itu dengan perasaan campur aduk yang membuatnya nyaris sesak napas. Dia berjuang untuk menerima kenyataan yang terpentang di depannya. Mungkin, inilah efek kecelakaan yang menurut Nina membuat Duncan membutuhkan waktu panjang untuk memulihkan diri.“Jujur saja, Kel, aku sempat mengira kalau Duncan akan berubah. Maksudku, karena efek kecelakaan itu, dia mungkin nggak akan pernah pulih. Entah itu karena depresi atau kehilangan semangat. Apa pun pilihannya, benar-benat membuatku ngeri,” aku Nina suatu kali. Namun seperti biasa, ketika Kelly ingin tahu lebih jauh soal efek yang dimaksud, Nina mengelak untuk menjawab.“Cuma Duncan yang berhak menjawabnya, Kel. Harapanku, kalau suatu hari nanti kamu tahu dari kakakku, kamu nggak akan terlalu kaget,” kata Nina sambil tersenyum tipis.“Kamu malah membuatku makin
“Kakimu itu me....” Kelly mendadak terdiam. Dia baru saja tersadar oleh kalimat terakhir yang diucapkan pria di depannya itu. Mata gadis itu membulat. Ditatapnya Duncan dengan penuh konsentrasi.“Apa maksudmu? Melamarku? Kamu kan bakalan menikah empat bulan lagi dengan Nuke,” cetus Kelly dengan perasaan kesal yang memenuhi dadanya. “Nah, kamu sudah membuatku ingat apa tujuanku datang ke sini. Aku cuma penasaran ingin tahu, kenapa kamu mengaku jatuh cinta padaku? Aku tahu, aku seharusnya melupakan kata-katamu itu. Menganggapmu gila, itu jauh lebih realistis. Tapi ... biarkan aku menyelesaikan kata-kataku!” sentak Kelly saat melihat Duncan bersiap membuka mulut.Lelaki itu menurut, batal mengucapkan kalimat apa pun. Kelly memejamkan mata. Lalu, gadis itu berdiri dari sofa yang didudukinya dan mulai berjalan mondar-mandir dengan hati tak keruan. Dia kesulitan berpikir dengan jernih. Bunyi hak sepatu Kelly yang membentur lantai, satu-sat
Duncan mengedipkan mata entah berapa kali, demi menegaskan bahwa pemandangan di depannya bukan sekadar ilusi optik. Kelly dengan lahap sedang menyantap makan malam yang sengaja dimasak oleh lelaki itu. Ayam goreng telur asin dan tumis kapri jamur kancing menjadi menunya. Masakan yang gampang diolah dengan bahan-bahan yang sudah tersedia.Usai Duncan membuat pengakuan tadi, Kelly sempat membelakangi lelaki itu cukup lama. Kelly memang urung membuka pintu dan meninggalkan ruangan itu, tapi gadis itu hanya berdiri mematung. Tentu saja Duncan sempat luar biasa cemas karenanya. Sebab, dia tak bisa melihat ekspresi Kelly. Duncan tak memiliki bayangan apa pun tentang perasaan yang berkecamuk di dada Kelly.Ketika akhirnya Kelly berbalik, gadis itu cuma berkata, “Aku lapar dan ingin makan. Tapi harus kamu yang masak. Aku nggak mau dimasakin koki lain. Aku baru sadar, sudah berhari-hari tidak makan dengan benar.”Kalimat sederhana itu mampu membuat Duncan sea
Duncan menatap Kelly lekat-lekat. Mendadak, dia teringat satu hal. “Oh ya, sebelum aku lupa. Dari mana kamu tahu tentang rencana pernikahanku dan Nuke yang dimajukan itu? Apa Nina yang bilang padamu?”Kelly menjawab dengan suara lirih. “Nuke yang bilang, saat aku datang ke kantornya. Aku ke sana untuk memintanya berhenti menjodoh-jodohkanku dengan teman-temannya. Aku sudah pernah beberapa kali bicara dengan Nuke via telepon atau saat bertemu di sini. Tapi Nuke sepertinya tak menganggap serius kata-kataku. Makanya aku sengaja mencari waktu untuk bicara dengannya secara khusus. ”Duncan mengernyit tak suka karena bayangan kencan berempat yang pernah mereka jalani, tergambar di benaknya. “Aku juga tidak suka bagian itu. Tiap kali kita menghabiskan kencan ganda, aku merasa sangat putus asa. Tapi di sisi lain, aku juga tidak berdaya....”“Aku tak mau membahas bagian itu,” suara Kelly nyaris tak terdengar.Duncan
Duncan tersenyum tipis mendengar kata-kata Kelly. Tentu saja tindakannya yang nekat memutuskan hubungan dengan Nuke mendapat reaksi keras. Namun Duncan tidak peduli. Dia sudah berjuang untuk mengubah perasaan pada Nuke. Namun semua upayanya gagal total. Duncan tak akan pernah bisa jatuh cinta pada perempuan itu.“Menurutmu?” guraunya.Kelly cemberut. “Kenapa malah balik bertanya, sih? Aku betul-betul ingin tahu.”“Iya, maaf. Aku cuma bercanda.” Senyum Duncan melebar.“Mamaku marah besar. Keluarga Nuke pun kurasa tak jauh beda. Hanya saja, aku belum tahu kondisinya seperti apa. Minggu lalu, Felix datang ke sini dan ikut-ikutan marah. Dia tahu dari Nuke soal keputusanku itu. Kami bertengkar dan belum berbaikan hingga sekarang. Aku tahu, belakangan ini Felix dan Nuke punya hubungan cukup baik. Tapi aku tidak mengira efeknya bisa seperti ini.“Felix biasanya tak suka terlalu jauh ikut campur urusan pribad
Duncan memandang gadis di depannya dengan penuh cinta. Kelly sudah memiliki hatinya tanpa melakukan sesuatu yang berlebihan. Kelly cuma menjadi dirinya sendiri, menebarkan keriangan dan senyum yang cantik. Mungkin, secara fisik Kelly tak semenawan Nuke. Namun Duncan menemukan keterikatan dengan gadis itu meski kesulitan untuk menguraikannya. Itu adalah perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan logika.Reaksi Kelly saat melihat protesenya, membuat Duncan kian mencintainya. Kelly adalah tipe gadis yang bisa menguasai diri dengan baik. Menghadapi kejutan dengan ketenangan yang pantas mendapat apresiasi. Kelly tidak histeris atau mencecarnya dengan berjuta pertanyaan. Kelly juga tidak lantas memandangnya dengan sorot mata iba yang sudah cukup dikenali Duncan selama ini.“Terima kasih karena kamu memutuskan untuk datang ke sini. Jujur, aku sedang bimbang. Kalau menuruti kata hati, aku ingin segera menemuimu setelah aku bicara dengan Nuke. Tapi aku tak mau kamu malah me
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har