Duncan memandang gadis di depannya dengan penuh cinta. Kelly sudah memiliki hatinya tanpa melakukan sesuatu yang berlebihan. Kelly cuma menjadi dirinya sendiri, menebarkan keriangan dan senyum yang cantik. Mungkin, secara fisik Kelly tak semenawan Nuke. Namun Duncan menemukan keterikatan dengan gadis itu meski kesulitan untuk menguraikannya. Itu adalah perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Reaksi Kelly saat melihat protesenya, membuat Duncan kian mencintainya. Kelly adalah tipe gadis yang bisa menguasai diri dengan baik. Menghadapi kejutan dengan ketenangan yang pantas mendapat apresiasi. Kelly tidak histeris atau mencecarnya dengan berjuta pertanyaan. Kelly juga tidak lantas memandangnya dengan sorot mata iba yang sudah cukup dikenali Duncan selama ini.
“Terima kasih karena kamu memutuskan untuk datang ke sini. Jujur, aku sedang bimbang. Kalau menuruti kata hati, aku ingin segera menemuimu setelah aku bicara dengan Nuke. Tapi aku tak mau kamu malah me
Duncan sempat mengira bahwa dirinya sedang tersesat di alam mimpi. Dia mengerjap beberapa kali demi memastikan bahwa ini memang nyata. Sampai kemudian Kelly mengulangi kata-katanya. Mungkin gadis itu menduga Duncan tak mendengar ucapannya karena lelaki itu cuma terbengong.Duncan pun nyaris melompat dan mengguncang bahu Kelly. Akan tetapi, akal sehatnya melarang keras. Untuk menegaskan bahwa dia memang tidak sedang berhalusinasi, dipandanginya gadis di depannya dengan konsentrasi penuh.“Kamu serius, kan? Jangan menakuti, Kel! Tadi kamu sendiri yang bilang, butuh waktu.” Duncan masih tak sepenuhnya percaya.“Ada yang salah dengan itu? Aku kan nggak bilang kalau butuh waktu lama. Memangnya kamu kira aku akan butuh waktu berapa lama sebelum mengambil keputusan? Aku cuma perlu lima menit saja.”Duncan tak kuasa menahan kelegaan yang pecah dalam bentuk tawa. Dia tak pernah mengira jika Kelly akan merespons dengan cara seperti itu
Nina memutar matanya. “Kamu memang tidak paham atau cuma pura-pura saja?”Duncan menatap Kelly. Gadis itu pun memberi isyarat dengan gelengan. “Kami berdua benar-benar tidak paham,” katanya.“Hubungannya adalah, aku melihat caramu memandangnya waktu Kelly pertama kali ke sini. Aku langsung berpikir, ada yang tidak beres dengan kakakku. Tapi dalam artian positif. Dan aku tentu saja tak punya pilihan kecuali ikut campur. Supaya kamu tak membuat pilihan keliru lagi. Menyukai Kelly tapi menikahi yang lain. Aku tak mau itu yang terjadi. Meski untuk itu aku terpaksa ikut les membuat cake.”Duncan membelalak. “Astaga! Jadi kamu les bukan karena tertarik untuk belajar membuat cake?”“Maaf ya, tapi aku kayaknya memang tak mewarisi bakat di keluarga kita. Nah, setelah kursus cake kelar, Kelly bahkan berencana untuk mendaftar di kelas pasta. Sumpah, aku benar-benar sudah tak tahan lagi.
Hari ini, sudah pasti Kelly mendapat kejutan hingga berkali-kali. Mulai dari memergoki Duncan yang tidur dengan melepas protesenya. Hingga kata cinta yang terucap lagi. Tidak seperti yang tergambar dalam benak Duncan, Kelly menghadapi semuanya dengan ketenangan yang mengagumkan. Tidak ada drama atau histeria yang mungkin terjadi jika gadis di depannya itu bukan Kelly.Setidaknya, begitu respons Nuke saat tahu kaki Duncan harus diamputasi. Gadis itu menangis kencang sekali seraya menggumamkan ketidakpercayaannya kenapa hal seperti itu terjadi pada Duncan. Diikuti ratapan beberapa kalimat yang justru membuat Duncan merasa tak nyaman.“Ah, kenapa aku malah memikirkan Nuke?” tanya Duncan pada dirinya sendiri. “Aku tak mau didera rasa bersalah yang cuma akan menyiksa saja.”Duncan mencoret nama Nuke dari kepalanya secepat mungkin. Baru mengingat gadis itu saja sudah membuatnya merasa bersalah pada Kelly. Berlebihan? Mungkin saja. Entah karena
“Mau tanya soal apa?”“Itu ... soal reaksi mamamu akan keputusan Duncan untuk berpisah dari Nuke. Kamu pernah cerita kalau mamamu sangat menyukai Nuke, kan?” Kelly ingin tahu.“He-eh. Nuke mungkin calon menantu favorit Mama. Tapi yang menjalani hidup adalah Duncan. Aku tidak bilang kalau Nuke itu punya banyak kekurangan. Karena, siapa sih yang tidak? Mencari manusia sempurna, mana ada? Tapi yang jelas, aku tidak bisa dekat dengan dia. Seakan ada yang menahanku untuk menyukai Nuke.”“Kenapa bisa begitu? Pasti ada penjelasannya,” tebak Kelly.“Entahlah. Mungkin karena aku tahu kalau dia berusaha terlalu keras untuk mendapatkan Duncan. Terutama setelah kecelakaan itu. Mungkin pikiranku terlalu rumit, ya? Aku cuma merasa dia memanfaatkan semua hal buruk yang dialami kakakku. Menempatkan diri menjadi pahlawan atau semacamnya. Membuat Mama -tidak bisa tidak- menilainya sebagai gadis hebat yang dibut
Itu kalimat yang terdengar sangat berlebihan. Namun Kelly akhirnya tahu alasan Nina mengucapkan kalimat itu saat Duncan tersenyum lebar seraya menyalakan mesin mobil dan bicara pada dirinya.“Kamu membawa keberuntungan untukku, Kel. Ini kali pertama Nina membiarkanku menyetirinya setelah kecelakaan. Biasanya, dia selalu memaksa untuk menguasai setir. Padahal, aku cuma kehilangan kaki, bukan kemampuan untuk menyetir. Tapi dia tak percaya kalau aku bisa mengendalikan mobil dengan baik seperti dulu.”Kelly terpesona saat menyadari bagaimana sebuah peristiwa mengerikan bisa dibicarakan dengan nada ringan seperti itu. Seumur hidup, Kelly biasanya berhadapan dengan orang-orang yang memilih menghindar untuk menyentuh topik sensitif seperti itu. Bahkan kecacatan lebih sering disembunyikan dan tidak dibahas sama sekali untuk alasan kenyamanan.“Kenapa kamu memandangku dengan kening berkerut, Kel? Oh, aku tahu! Kamu mungkin merasa kalau kata-kataku mengerikan,
Berminggu-minggu kemudian, Kelly kian menyadari bahwa dia dan kekasihnya memiliki harmoni yang mengejutkan. Hubungan keduanya berjalan alamiah, begitu lentur, dan membahagiakan dengan cara yang sederhana. Sejak awal, tidak ada yang berpura-pura. Kelly atau Duncan tampil apa adanya, menunjukkan jati diri mereka di depan pasangan. Meski gadis itu masih terganggu saat mengingat hubungan Duncan dan Felix yang berubah memburuk.“Aku senang karena kamu akhirnya menemukan pria yang menurutku lebih sesuai denganmu,” aku Cilla saat Kelly mengakui hubungannya dengan Duncan. “Akhirnya, kamu mendapatkan orang yang tepat.”“Kamu merasa begitu?” Kelly balik bertanya. “Tapi, kalau mengingat lagi soal Duncan yang hampie menikah dengan Nuke, aku....”Cilla menukas cepat. “Jangan merasa bersalah! Apalagi sampai menempatkan dirimu sebagai orang ketiga di antara Duncan dan Nuke. Waktu mereka datang ke sini, sudah terlihat kalau
Kelly sudah sampai di titik tidak mau peduli andai dianggap egois seputar hubungannya dengan Duncan. Dia pun mengabaikan Nuke yang mungkin sedang patah hati luar biasa karena berpisah dari lelaki itu. Kelly juga tidak terlalu ambil pusing dengan ketidaksetujuan Lanni pada hubungan mereka yang diisyaratkan dengan cukup jelas. Karena semua itu berada di luar kontrol gadis itu. Bukan dia yang meminta Duncan untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Nuke, kan?“Kamu bersedia? Ini nggak bercanda, kan?” tanya Duncan dengan pupil melebar. “Apa kamu nggak buruh waktu untuk berpikir atau semacamnya?”“Aku yakin dengan jawabanku,” tukas Kelly.Duncan langsung mendekat dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Kelly pun menautkan jari-jarinya di belakang pinggang sang kekasih. Dia tak keberatan Duncan memeluknya karena hanya ada mereka berdua di dapur Perisa yang sudah sepi itu.“Aku cinta padamu, Kelly. Aku bahagia ka
“Kamu kenapa? Ada masalah dengan Felix?” tebak Kelly tanpa basa-basi. Dia menarik tangan Cilla, meninggalkan pantri untuk menuju ruangan sang manajer toko.“Kita kan tadi membahas soal rencana masa depanmu. Kenapa malah membahas tentang Felix, sih?” protes Cilla. Meski demikian, perempuan itu tetap mengekori Kelly.“Pasti ada sesuatu yang nggak beres. Ada apa?” tanya Kelly setelah mereka berada di ruang kerja yang biasa ditempati Cilla.Untungnya perempuan itu tidak bersusah payah untuk membantah. Setelah duduk di kursinya, Cilla menelungkupkan wajah di atas meja. Bahunya berguncang dengan suara isak lirih terdengar samar. Kelly menahan diri untuk mendesak Cilla memberi jawaban. Dia membiarkan sahabatnya menuntaskan kesedihannya. Gadis itu menarik kursi di depan Cilla dan bersabar menunggu hingga temannya bersedia bicara.Ketika Cilla akhirnya mengangkat wajah dan duduk bersandar di kursinya, sudah berlalu beberapa meni
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har