“Vi, apakah di dalam toilet sana lebih nyaman dibanding di ruanganku? Sampai-sampai kamu betah di dalam lebih dari delapan menit. Aku cemas kamu pingsan atau mengalami sesuatu,” ucap Quinn begitu Violet membuka pintu kamar mandi. Gadis itu terpaksa harus menahan jengah karena ucapan Quinn itu. Di saat bersamaan, Violet bahkan sangat yakin jika dirinya sedang terserang hipertermia.
“Aku suka main air,” balas Violet asal-asalan.
“Daftarmu?” Quinn mengingatkan. “Aku sudah selesai sejak kemarin, sepulang dari rumahmu,” aku pria itu.
Fokus Violet kembali lagi ke tempat yang seharusnya. “Aku belum membuatnya sama sekali. Hmmm, akan kutulis sekarang.”
Quinn kembali bekerja sementara Violet mengambil buku catatan dan pulpen dari dalam tas. Dengan cekatan dia mulai menulis serangkaian poin seputar dirinya. Hal yang disukai dan tidak disukai.
Quinn bicara di telepon lagi, tapi Violet tidak memperhat
Seperti iklan yang meluncur dari bibir Quinn tadi, pangsit pengantin hotel berbintang lima itu memang layak menjadi jagoan. Rasanya sangat enak. Violet hampir yakin, dia belum pernah mencicipi pangsit pengantin selezat ini. Karenanya, Violet tak mampu menahan diri begitu mangkuknya licin. Ibu jarinya terangkat ke udara.“Quinn, makanannya benar-benar enak. Lain kali kalau aku tidak punya uang dan ingin makan enak, boleh aku datang ke sini untuk mencarimu?” kelakarnya. “Aku tak bisa hidup tanpa makanan lezat.”Quinn terkekeh geli mendengar gurauan Violet. “Vi, walaupun kamu sedang punya banyak uang, boleh kok datang ke sini dan mencariku.”“Aku iri padamu,” gumam Violet terus terang.“Iri? Kenapa?” Quinn yang sudah bersiap untuk bangkit dari sofa, mengurungkan niatnya. Mereka bertatapan selama beberapa saat.“Pekerjaanmu bagus, ruang kerjamu nyaman. Bahkan kamu punya kamar tidur di si
Keduanya berdebat dan meributkan hal-hal kecil selama bermenit-menit, dalam suasana hangat nan akrab. Violet dan Quinn sama-sama takjub saat tahu mereka penggila novel dan betah berlama-lama di toko buku. Violet tidak pernah mengalami situasi serupa ini saat bersama Jeffry. Atau pria lain. Bahkan, di mata Violet. Menemukan pria penggila novel tergolong agak langka.Saat gadis bersama Jeffry, mereka tak pernah membahas hal-hal apa saja yang disukai atau dibenci masing-masing. Mereka lebih banyak membicarakan pekerjaan dan teman-teman.Teman-teman Jeffry.Quinn kembali ke mejanya dan bekerja lagi. Meninggalkan Violet yang duduk bersandar dengan nyaman di sofa. Diam-diam Violet terpukau oleh suasana saat itu. Meski Quinn sibuk, Violet tak merasa diabaikan. Padahal sangat wajar jika Quinn melakukan itu.Di sela-sela kesibukannya, Quinn menyempatkan diri mendatangi Violet. Entah itu untuk makan, membicarakan daftar aneh mereka, menanyakan apakah Viole
Andai tidak ada Eirene di dunia ini.Andai Jeffry adalah lelaki setipe Quinn yang tak suka “memanjakan” matanya dengan memandangi gadis-gadis menawan.Andai Violet memiliki kepercayaan mutlak kepada kekasihnya.Andai Quinn tidak pernah merapat dalam hidup Violet dalam seminggu terakhir.Maka sudah pasti saat ini Violet lebih memilih tidur di kamar indekosnya yang lumayan nyaman ketimbang terjebak dalam kemacetan menuju Puncak. Kegelapan sudah jatuh sejak tadi, sementara perut Violet mulai berbunyi. Saat ini sudah hampir pukul setengah delapan dan mobil yang dikendarai Jeffry baru melewati pertigaan Taman Safari. Masih tersisa beberapa kilometer lagi sebelum mereka tiba di tempat tujuan.Kamu sudah sampai mana?Violet tersenyum tanpa sadar membaca pesan WhatsApp kiriman Quinn itu. Dengan cekatan dia membalas.Baru lewat Cisarua. Macet parah. Kamu sudah sampai, ya? Kalau sedang menyetir,
Ketika mereka tiba di vila, waktu menunjukkan sudah lewat pukul delapan malam. Mobil-mobil sudah berjajar rapi di halaman parkir sebuah bangunan berukuran besar berlantai dua. Violet sempat melihat ke sana dan kemari.“Kamu yakin ini vilanya?” tanyanya pada Jeffry.Lelaki itu mengangguk sambil membuka sabuk pengamannya. “Yakin, Sayang! Karena aku sendiri ikut survei minggu lalu.”“Oh.” Violet pun melepas sabuk pengaman sebelum meraih tas berukuran sedang yang ada di jok tengah. Tas itu berisi pakaian ganti untuknya selama menginap di Puncak.Vila itu diberi nama warna, Biru Langit. Menurut tebakan Violet, dinding luarnya dicat biru. Namun kegelapan malam tidak bisa membuktikan teorinya. Sebelumnya mereka sudah melewati vila dengan nama warna berbeda, Merah dan Jingga. Berlokasi di sebuah bukit yang cukup tinggi dengan jalan masuk mendaki yang lumayan terjal, vila-vila ini tidak terlihat dari jalanan. Kondisinya yang jau
Jeffry tak terlihat curiga. Wajahnya malah mengisyaratkan “oh, ternyata begitu” saat mendengar kalimat Quinn.“Ayo masuk! Vi, kamu sudah kedinginan,” tukas Quinn. Violet menurut, mengekor Jeffry yang sudah berjalan lebih dulu. Sementara Quinn memilih menahan langkah dan menunggu Violet melewatinya.Hati Violet menghangat tanpa terduga.Lalu semuanya hanya samar-samar diingatnya. Sambutan Eirene yang antusias terutama saat melihat Jeffry. Keramahan Sheila yang segera memeluk Violet seakan mereka teman lama dan meminta gadis yang baru datang itu untuk tidur sekamar dengannya. Lalu, ada wajah-wajah asing teman Jeffry yang baru dua kali ditemui Violet. Ezra, Winston dan Rifka, Jo dan Elisa, serta Bertrand dan Devan. Semua berpasangan.Violet merasa sulit untuk mengalihkan pandangannya dari Quinn. Lelaki itu paling jangkung di antara yang lain. Meski hanya mengenakan kaus polos berwarna biru tua dan celana longgar denim berwarna hitam,
Dengan kesadaran yang rasanya mengapung, Violet menarik mangkuk milik Quinn. Tanpa diminta, Quinn mengambil irisan tomat. Sementara Violet mencari irisan-irisan kol. Mereka sibuk saling memindahkan bahan makanan yang tidak disukai ke mangkuk yang lain.“Hei, kamu makan sendirian? Aku juga kelaparan.” Jeffry ternyata menyusul ke dapur. Ada Eirene di belakangnya. Jeffry dan Eirene kemudian menarik kursi dan duduk di depan Violet serta Quinn.“Aku menemaninya makan,” kata Quinn tenang. Semangkuk soto lagi tersaji. Jeffry menawari Eirene, tapi perempuan itu menjawab bahwa dia sudah makan bersama yang lain.“Kalian sedang apa?” tanya Eirene heran tatkala melihat kekasihnya dan Violet bertukar mangkuk.Quinn yang menjawab. “Aku tidak suka kol, Violet memindahkan semua kol ke mangkuknya. Sementara Violet tidak suka tomat, jadi ada tambahan irisan tomat untukku.”Eirene dan Jeffry tak berusaha men
Saat itu Violet melihat Eirene duduk menempel di samping Quinn. Kepalanya diletakkan di bahu pria itu dengan santai. Ada yang tercubit di dada Violet. Pada detik itu juga dia baru merasakan jika sejak tadi tangan Jeffry menggenggam jemarinya.“Kalian belum menikah saja sudah berisik seperti ini. Ayolah Ezra, apa kamu yakin mau memancing? Aku tidak suka,” sergah Jo di saat keadaan kian memanas. Jeffry pun mendukungnya.Belakangan Violet merasa bahwa teman-temannya sangat menyayangi Sheila. Mereka membela gadis itu meski Ezra juga bagian dari lingkaran pertemanan. Tahu bahwa dirinya takkan menang, Ezra akhirnya menyerah.Alhasil, sejak pukul sembilan pagi mereka berjalan kaki ke lapangan voli mini yang letaknya tidak jauh dari vila. Berdekatan dengan lapangan tenis dan kolam renang indoor. Matahari Puncak yang diselimuti awan membuat suasana lebih nyaman. Tidak panas. Violet dan Rifka memilih untuk duduk di pinggir lapangan saja.
Udara makin dingin, tapi Violet merasakan hatinya menghangat. Tanpa sadar, dia melihat ke arah lapangan voli dan mendapati wajah menawan Quinn yang berkeringat dan memerah. Lelaki itu ternyata cukup ahli bermain voli.“Kenapa kamu tidak percaya?”Rifka menyergah dengan suara rendah. “Dari bahasa tubuh, Nona! Aku melihat sendiri bagaimana dia mengajakmu makan malam sementara Jeffry malah asyik mengobrol dengan Eirene. Dia juga yang menyalakan perapian karena khawatir kamu kedinginan.”Violet tak bisa menyangkal kalau wajahnya kembali memanas. “Bukankah semua orang memang kedinginan?” dia balik bertanya.Rifka menggeleng. “Tapi dia memperhatikanmu! Dia memintamu mendekat ke perapian, kan? Makanya aku mengira kalau kalian teman lama. Setidaknya....” Rifka berdeham.“Apa?” Violet penasaran. Rifka menggelengkan kepalanya. “Katakan saja apa yang sudah di ujung lidahmu itu, Rif! Ada a
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har