Di dinding yang letaknya berseberangan dengan pintu, dipasang semacam layar berukuran sedang. Mungkin ukurannya hanya sekitar 1 x 1,2 meter. Layar tersebut dipasang tepat di bagian tengah dinding. Sementara di bagian tengah langit-langit, ada sebuah LCD proyektor yang diarahkan ke layar tayang tersebut.
Di tengah ruangan ada meja bundar yang panjang. Beberapa kursi mengelilinginya. Kuhitung, ada lima orang lelaki dan dua orang perempuan yang duduk di sana. Ketika Leon mendekat, mereka terlibat obrolan yang serius. Leon menunjuk ke arah Danang yang tadi menunggunya di depan pintu.
Saat itu, demi merintang waktu, Wynona sempat terpikir untuk menyalakan ponselnya. Dia ingin mengontak Kemala. Namun sesaat kemudian, gadis itu mengurungkan niatnya. Dia tak mau terpaksa harus mematikan ponsel kembali karena menolak panggilan telepon dari David, misalnya.
Leon menepati janjinya. Lelaki itu hanya menghabiskan waktu sekitar enam menit, sebelum membubuhkan tanda tangan beb
Entah apa yang membuat Wynona tidak berusaha melepaskan tangan dari genggaman Leon yang hangat. Dia membiarkan lelaki itu menggenggam jemarinya. Padahal, semestinya, itu adalah hal yang terlarang untuk mereka berdua.Pikiran gadiss itu dipenuhi kabut, hingga membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. Dia bahkan nyaris tidak bisa memilah perasaan yang sedang berkecamuk di kepalaku. Andai saja Leon tidak membimbing Wynona untuk memasuki lift, pasti dia akan tersandung-sandung dan mungkin menabrak sesuatu.Dengan dada berdentam-dentam, Wynona melirik ke arah Leon sembari agak mendongak. Ketika itu, hanya ada mereka berdua di dalam lift. Wajah lelaki itu tampak memerah, jejak sisa-sisa emosinya yang memuncak dan bergolak.“Aku sudah menyebabkan banyak masalah, ya?” kata Wynona. Suaranya bahkan nyaris tak terdengar.“Nggak,” tegas Leon. “Kamu kan tahu kalau aku sudah sampai di rumah waktu kamu meneleponku. Tadi mema
Kecanggungan membungkus udara yang melingkupi mereka berdua. Leon dan Wynona meninggalkan gedung berlantai lima yang sudah sepi itu nyaris tanpa bicara. Namun Leon masih menggenggam tangan Wynona hingga dia membukakan pintu mobil untuk gadis itu. Setelah duduk di jok penumpang dan memasang sabuk pengaman, Wynona meremas jari-jarinya yang berada di atas pangkuan.Gadis itu berada dalam pusaran kebimbangan yang berkekuatan dahsyat. Dia tidak menemukan pijakan untuk menentukan sikap. Wynona tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia memiliki bayangan dan ketakutan tersendiri. Gadis itu tak berani membayangkan semua dugaan yang ada di kepalanya akan menjadi nyata.Dia sempat melirik Leon yang sedang menyalakan mesin mobil. Pria ini tampak begitu santai dan tenang, seolah tak terpengaruh akan apa pun yang terjadi malam ini. Leon hanya tampak marah saat menjawab kata-kata Kikan yang memang keterlaluan itu.“Kenapa kamu jadi sangat pendiam?” Leon mencoba
Wynona mengangkat wajah dan mencoba menantang mata milik Leon. “Tolong....”“Ya?” Leon mengangkat alis.“Jangan bicara berputar-putar. Langsung saja ke intinya. Karena aku benar-benar ingin tahu,” pinta Wynona dengan nada memohon. “Sebenarnya ada apa?” imbuhnya.Ekspresi Leon mendadak berubah jauh lebih lembut dari yang biasa dilihat Wynona. Senyum tipisnya melengkung indah, mengisyaratkan pemahaman dan pengertian. Lalu, dia membuat pengakuan yang diucapkan dengan suara jernih tapi membuat Wynona malah kehilangan oksigen. “Aku jatuh cinta padamu, Wyn.”Meski hati Wynona sudah membuat dugaan, tak urung bibirnya terbuka. Terpana dan tak percaya. Di saat yang sama, gadis itu menyaksikan sebuah transformasi di depannya. Leon yang sebelumnya agak tegang, mendadak berubah rileks begitu pengakuan itu meluncur mulus dari bibirnya.“Tolong jangan tanya alasannya. Aku sendiri tidak tahu. Aku h
Wynona tak memiliki kekuatan sama sekali untuk mengatakan tidak. Kepala gadis itu pun terangguk sebagai jawaban untuk permintaan Leon. Sementara bibirnya terkelu dan tak sanggup bersuara. Selama sesaat, Wynona hanya mampu berdoa, meminta kekuatan dari Tuhan. Agar dia tidak telanjur pingsan saat Leon membuat pengakuan.“Aku sangat mengenal diriku, Wyn. Aku pun sangat mampu membedakan perasaan-perasaanku. Karena itu, aku yakin kalau sudah jatuh cinta padamu. Ini bukan perasaan sesaat atau kekaguman belaka. Bukan juga sebuah kegilaan karena kamu sudah punya pacar dan aku menjadi penasaran untuk mendapatkan sesuatu yang mustahil. Sama sekali bukan itu. Tak ada kaitannya dengan tantangan untuk menguji apakah aku bisa mendapat sesuatu yang sudah dimiliki orang lain atau semacamnya. Perasaanku padamu tidaklah sedangkal itu. Sungguh!”“Leon,” Wynona tercekat. Saat ini pastilah dia berubah memucat karena gadis itu bisa merasakan surutnya darah dari wajah
“Wyn, kamu tidak perlu mengingatkanku berkali-kali tentang posisimu. Sungguh, aku tidak punya niat sedikit pun untuk menggoyahkan hubunganmu dengan David. Meskipun misalnya aku mampu untuk melakukan itu. Kalau kamu mengenalku dengan baik, kamu akan tahu bahwa aku bukan tipe orang yang berbuat sampai sejauh itu. Aku masih tahu batasan yang pantas dan tidak. Dan aku tidak berencana membuat siapa pun patah hati dalam waktu dekat ini,” Leon tersenyum patah. “Aku bukannya ingin dianggap bermoral atau apa. Tapi memang beginilah aku. Tujuanku bicara denganmu pun hanya karena ingin kamu tahu perasaanku yang sesungguhnya.”Wynona sungguh ingin menangis. Ada yang teremas kencang di dadanya karena kata-kata Leon barusan. Ada yang terasa sakit dan perih di sana. Dan gadis itu juga terpukul saat menyadari bahwa sebuah rasa menakutkan sedang menyelimuti hatinya. Rasa putus asa.“Aku nggak akan berpisah dari David.”Kata-kata itu te
Wynona menghabiskan malam itu dengan membolak-balikkan ttubuh di ranjang. Gadis itu kesulitan memejamkan mata. Obrolannya dengan Leon tadi sudah merenggut jam tidurnya. Kantuknya tak jua muncul meski sudah lewat tengah malam. Dia juga tidak mampu mengurai perasaan apa saja yang sedang berdesak-desakan di bawah permukaan kulitnya.Dugaannya benar, tadi David mendatangi rumah gadis itu. Tentu saja Kemala keheranan karena David datang untuk mencari Wynona. Padahal tadi mereka berangkat dari rumah berdua. Wynona belum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya berjanji akan memberi tahu ibunya jika sudah merasa siap. Kemala yang pengertian, tak mendesak.Namun, bukan masalah David yang membuat Wynona kesulitan untuk terlelap. Melainkan Leon.“Maukah kamu berjanji dua hal padaku, Wyn?” tanya Leon sesaat sebelum mereka berpisah. Seharusnya, Wynona langsung menolak saja. Demi kebaikan mereka berdua. Namun dia justru mengajukan pertanyaan lain.
Leon dan semua kepekaan serta perhatiannya yang tanpa sadar telah merengkuh bagian tertentu dari diri Wynona. Membuat gelombang kejut yang tak bisa dikendalikan dan melepaskan beragam perasaan yang seharusnya tak pernah dimiliki Wynona untuk orang lain kecuali David. Semua itu membuat gadis itu tersesat di belantara perasaannya sendiri.Dia sungguh tak tahu mengapa bisa begini. Wynona merasa ini hal terberat yang pernah dijalaninya sejal memacari David. Sebelum ini, mereka berdua tak pernah menemukan kendala serius. Dalam artian, Wynona tak pernah bertemu pria penggoda yang berhasil menarik perhatiannya. Meski dia tak bisa memastikan hal yang sama dari sisi David.“Oh Tuhan, tolong aku! Apa yang harus kulakukan saat ini?” doa Wynona dengan sungguh-sungguh.Sebenarnya Wynona tahu apa kehendak hatinya. Yang menjadi masalah terbesar adalah, apakah dia harus mengikuti kata hati dan mengabaikan kelogisan dan akal sehat? Atau justru mengambi
Wynona kembali ke kamarnya dan mengabaikan pekerjaan di dapur yang ditangani oleh Kemala dan para pegawai mereka. Dia benar-benar tak memejamkan mata semalaman dan membuat kepalanya luar biasa sakit.Wynona memeriksa jadwal kerja di buku khusus sembari duduk di ranjang. Hingga pelan-pelan gadis itu mulai merasakan matanya memberat. Entah efek dari obat atau kebutuhan biologis untuk tidur. Gadis itu pun akhirnya menyerah dan menyingkirkan buku catatannya. Tak lama kemudian, begitu kepalanya menyentuh bantal, kesadaran gadis itu memudar dengan cepat. Wynona tertidur lelap.Gadis itu bermimpi. Namun ketika dia bangun beberapa jam kemudian, Wynona tidak ingat memimpikan apa. Anehnya, perasaan gadis itu sangat sedih dan tertekan. Jauh lebih parah dibanding sebelumnya. Yang disyukuri Wynona cuma satu. Sakit kepalanya sudah membaik.Seakan menjadi jawaban atas perasaan Wynona yang tak menentu, David datang ke rumah sorenya. Masih berseragam kantor, wajah le
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har