“Bagaimana rasanya? Apa sesuai dengan seleramu? Enak, tidak?” tanya Leon ingin tahu sembari melirik mangkuk milik Wynona yang sudah licin.
Gadis itu buru-buru mengangguk. Sebenarnya, dia ingin mengajukan protes tapi mulutnya masih dipenuhi suapan terakhir soto mi yang lezat itu. Tentu saja makanan ini enak. Kalau tidak, mustahil Wynona menghabiskan soto mi itu dalam waktu singkat.
Leon malah tertawa melihat gadis itu. Tangan kirinya terangkat untuk memberi isyarat yang sama sekali tak dipahami oleh Wynona.
“Ada apa?” tanya Wynona tak mengerti. Dia sudah bisa bicara dengan leluasa sekarang. “Rasanya sangat enak. Kalau nggak, mustahil aku menghabiskan satu mangkuk soto mi dalam waktu singkat. Pertanyaanmu itu aneh,” komentarnya.
Leon mengabaikan kata-kata gadis itu. “Ada sesuatu di dagumu,” ucap Leon seraya membuat gerakan memutar di depan wajahnya.
Wynona buru-buru menyeka bibir dan dagunya dengan pung
“Kamu melamun. Apa yang mengganggumu? Masih memikirkan acara resepsi tadi?” tanya Leon, memecah monolog di kepala Wynona.“Nggak,” sahutnya pendek.“Kalau masih ingin ke suatu tempat, jangan ragu untuk memberitahuku,” ulang Leon.Sesungguhnya, saat itu ada yang terlintas di kepala Wynona. Dia ingin melihat bintang lagi bersama Leon. Akan tetapi, kondisinya tidak memungkinkan. Selain gaunnya yang tidak praktis, bekas hujan seharian pasti meninggalkan sisa-sisa air di atap. Belum lagi hal yang paling serius, ketiadaan bintang malam ini. Dan yang tak kalah penting, kondisi area dada Wynona yang mengalami perubahan mendadak, tidak memungkinkan kedekatan fisik dengan Leon kurang dari satu meter. Karena itulah, gadis tidak berani mengucapkan hasratnya itu. Dia memilih menutup mulut dan mengatupkan rahang.“Tadinya aku pengin buru-buru pulang, tapi aku berubah pikiran,” kata Wynona. Gadis itu tak bisa memahami diri
“Wow, nanti dulu! Aku kan tadi cuma bertanya karena nggak menyangka kamu mau ikut ke Cianjur. Oke, kita langsung ke kantorku saja. Jangan mimpi aku akan mengantarmu pulang sekarang, Wynona,” tukas Leon dengan penuh semangat. “Kita tidak akan lama, kok! Aku janji. Karena cuma menandatangi dokumen saja. Padahal sebenarnya bisa saja kutandatangani hari Senin. Tapi atasanku yang perfeksionis itu tak mau menunda-nunda meski imbasnya membuat karyawannya harus kembali ke kantor.”“Oke,” sahut Wynona, tak tahu harus mengucapkan kalimat apa.“Tidak apa-apa, kan? Kamu sungguh-sungguh nggak merasa keberatan, Wyn?”Yang ditanya pun menggeleng, “Nggak. Kan aku yang pengin ikut ke kantormu. Jadi, jangan bolak-balik bertanya apakah aku merasa keberatan atau tidak. Kalau sekali lagi kamu tanya, aku akan lompat dari mobilmu,” seloroh Wynona.Leon tak sanggup meredam gelaknya. “Oke,” sahutnya setelah t
Saat mereka keluar dari lift di lantai empat, barulah Leon menurunkan tangannya. Mereka berdua berjalan bersisian melintasi deretan kubikel yang memenuhi ruangan. Wynona terkenang pada kantornya dulu. Suasananya tak jauh berbeda dengan tempat ini.“Ruang rapatnya di ujung sana,” Leon menunjuk ke satu arah. Wynona hanya mengangguk sebagai respon.s “Kalau ruanganku yang pintunya tertutup itu,” Leon kembali mengarahkan telunjuknya ke arah lainnya.Wynona segera melihat ruangan yang dimaksudnya. Entah seperti apa isi ruang kerja lelaki ini. Pintunya memang tertutup dan tidak ada lampu yang menyala di sana. Mendadak, kepala Wynona dipenuhi oleh pertanyaan aneh. Kira-kira seperti apa kondisi kantor David? Tak sekalipun kekasihnya pernah mengajak Wynona ke kantornya. Namun jika diingat lagi, itu adalah hal yang wajar.“Kamu tidak tertarik untuk kembali bekerja kantoran? Pernah merindukan masa-masa saat masih di Bogor?” tanya Leon tib
Di dinding yang letaknya berseberangan dengan pintu, dipasang semacam layar berukuran sedang. Mungkin ukurannya hanya sekitar 1 x 1,2 meter. Layar tersebut dipasang tepat di bagian tengah dinding. Sementara di bagian tengah langit-langit, ada sebuah LCD proyektor yang diarahkan ke layar tayang tersebut.Di tengah ruangan ada meja bundar yang panjang. Beberapa kursi mengelilinginya. Kuhitung, ada lima orang lelaki dan dua orang perempuan yang duduk di sana. Ketika Leon mendekat, mereka terlibat obrolan yang serius. Leon menunjuk ke arah Danang yang tadi menunggunya di depan pintu.Saat itu, demi merintang waktu, Wynona sempat terpikir untuk menyalakan ponselnya. Dia ingin mengontak Kemala. Namun sesaat kemudian, gadis itu mengurungkan niatnya. Dia tak mau terpaksa harus mematikan ponsel kembali karena menolak panggilan telepon dari David, misalnya.Leon menepati janjinya. Lelaki itu hanya menghabiskan waktu sekitar enam menit, sebelum membubuhkan tanda tangan beb
Entah apa yang membuat Wynona tidak berusaha melepaskan tangan dari genggaman Leon yang hangat. Dia membiarkan lelaki itu menggenggam jemarinya. Padahal, semestinya, itu adalah hal yang terlarang untuk mereka berdua.Pikiran gadiss itu dipenuhi kabut, hingga membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. Dia bahkan nyaris tidak bisa memilah perasaan yang sedang berkecamuk di kepalaku. Andai saja Leon tidak membimbing Wynona untuk memasuki lift, pasti dia akan tersandung-sandung dan mungkin menabrak sesuatu.Dengan dada berdentam-dentam, Wynona melirik ke arah Leon sembari agak mendongak. Ketika itu, hanya ada mereka berdua di dalam lift. Wajah lelaki itu tampak memerah, jejak sisa-sisa emosinya yang memuncak dan bergolak.“Aku sudah menyebabkan banyak masalah, ya?” kata Wynona. Suaranya bahkan nyaris tak terdengar.“Nggak,” tegas Leon. “Kamu kan tahu kalau aku sudah sampai di rumah waktu kamu meneleponku. Tadi mema
Kecanggungan membungkus udara yang melingkupi mereka berdua. Leon dan Wynona meninggalkan gedung berlantai lima yang sudah sepi itu nyaris tanpa bicara. Namun Leon masih menggenggam tangan Wynona hingga dia membukakan pintu mobil untuk gadis itu. Setelah duduk di jok penumpang dan memasang sabuk pengaman, Wynona meremas jari-jarinya yang berada di atas pangkuan.Gadis itu berada dalam pusaran kebimbangan yang berkekuatan dahsyat. Dia tidak menemukan pijakan untuk menentukan sikap. Wynona tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia memiliki bayangan dan ketakutan tersendiri. Gadis itu tak berani membayangkan semua dugaan yang ada di kepalanya akan menjadi nyata.Dia sempat melirik Leon yang sedang menyalakan mesin mobil. Pria ini tampak begitu santai dan tenang, seolah tak terpengaruh akan apa pun yang terjadi malam ini. Leon hanya tampak marah saat menjawab kata-kata Kikan yang memang keterlaluan itu.“Kenapa kamu jadi sangat pendiam?” Leon mencoba
Wynona mengangkat wajah dan mencoba menantang mata milik Leon. “Tolong....”“Ya?” Leon mengangkat alis.“Jangan bicara berputar-putar. Langsung saja ke intinya. Karena aku benar-benar ingin tahu,” pinta Wynona dengan nada memohon. “Sebenarnya ada apa?” imbuhnya.Ekspresi Leon mendadak berubah jauh lebih lembut dari yang biasa dilihat Wynona. Senyum tipisnya melengkung indah, mengisyaratkan pemahaman dan pengertian. Lalu, dia membuat pengakuan yang diucapkan dengan suara jernih tapi membuat Wynona malah kehilangan oksigen. “Aku jatuh cinta padamu, Wyn.”Meski hati Wynona sudah membuat dugaan, tak urung bibirnya terbuka. Terpana dan tak percaya. Di saat yang sama, gadis itu menyaksikan sebuah transformasi di depannya. Leon yang sebelumnya agak tegang, mendadak berubah rileks begitu pengakuan itu meluncur mulus dari bibirnya.“Tolong jangan tanya alasannya. Aku sendiri tidak tahu. Aku h
Wynona tak memiliki kekuatan sama sekali untuk mengatakan tidak. Kepala gadis itu pun terangguk sebagai jawaban untuk permintaan Leon. Sementara bibirnya terkelu dan tak sanggup bersuara. Selama sesaat, Wynona hanya mampu berdoa, meminta kekuatan dari Tuhan. Agar dia tidak telanjur pingsan saat Leon membuat pengakuan.“Aku sangat mengenal diriku, Wyn. Aku pun sangat mampu membedakan perasaan-perasaanku. Karena itu, aku yakin kalau sudah jatuh cinta padamu. Ini bukan perasaan sesaat atau kekaguman belaka. Bukan juga sebuah kegilaan karena kamu sudah punya pacar dan aku menjadi penasaran untuk mendapatkan sesuatu yang mustahil. Sama sekali bukan itu. Tak ada kaitannya dengan tantangan untuk menguji apakah aku bisa mendapat sesuatu yang sudah dimiliki orang lain atau semacamnya. Perasaanku padamu tidaklah sedangkal itu. Sungguh!”“Leon,” Wynona tercekat. Saat ini pastilah dia berubah memucat karena gadis itu bisa merasakan surutnya darah dari wajah
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har