Kelly menghabiskan waktu di kamar mandi kurang dari sepuluh menit. Ketika dia selesai mandi, Cilla sudah tampil rapi dan menawan seperti biasa. Kelly mengenakan celana jins yang tadi dipakainya. Namun dia mengganti blusnya yang dipadankan dengan sweter tebal berkancing depan. Gadis itu hanya membubuhkan bedak di wajahnya supaya tidak tampak berkilat. Kelly juga menambahkan lisptik agar tak terlihat pucat.
Kelly dan Cilla memasuki restoran Prodigious Hotel menjelang pukul sembilan malam. Tidak banyak orang yang berada di sana karena jam makan malam memang sudah lewat. Di ambang pintu, dua orang karyawan hotel menyapa ramah. Setelahnya, salah satu karyawan memandu Cilla dan Kelly menuju meja untuk dua orang.
“Kita harus mencicipi makanan khas sini, Kel. Jangan sampai sudah jauh-jauh ke Auckland, kamu malah mencari nasi padang,” goda Cilla saat mereka berjalan bersisian.
Kelly tergelak. “Selama kita berada di sini, aku akan melupakan semua menu ma
Sepanjang sisa malam itu tidak ada lagi yang menyebut nama Sherwin. Namun bukan berarti hati Kelly menjadi tenang. Dia justru kesulitan memejamkan mata, memikirkan keputusan yang terlontar di depan Cilla tadi. Akan tetapi, semakin lama Kelly justru merasa dia sudah memilih arah yang tepat. Arah yang selama ini tak pernah ingin dilaluinya. Bahkan sekadar memikirkannya pun tak pernah. Lalu seakan semua beban yang diam-diam memberati hatinya, pecah begitu saja.Mana pernah Kelly berpikir kalau akan tiba saatnya dia merasa sudah tak sanggup lagi bersisian dengan Sherwin, menjalani hari di masa depan hingga napas terakhirnya tiba? Sejak bersama Sherwin, dia selalu meyakini bahwa mereka akan menghabiskan amsa depan berdua. Jadi, keputusan yang tadi disinggungnya dengan Cilla itu membuat Kelly kewalahan dan takut sudah bertindak impulsif.“Aku nggak akan membuatmu kecewa, Kel. Aku akan menjadi laki-laki yang tepat buatmu, yang akan membahagiakanmu. Pokoknya, kamu nggak
Bel berbunyi. Cilla buru-buru beranjak dari kursi yang didudukinya dan melangkah ke arah pintu. Perempuan itu sempat berhenti untuk mengamati dari lubang intip sebelum membuka pintu. Seorang karyawati hotel menyapa Cilla dengan ramah, mengantarkan sarapan yang sudah dipesan.Sementara itu, Kelly bangun dari ranjang yang nyaman itu. Dia sempat menggeliatkan tubuh sembari menatap Cilla yang mendorong troli berisi sarapan mereka. Kelly melangkah ke arahu jendela dan menarik gorden berwarna snowbell itu. Gadis itu menahan napas melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Selain menyuguhkan pemandangan kota yang indah, di kejauhan dia bisa melihat warna biru berkilau dari air laut.“Kamu sudah melihat pemandangan di luar, Cil?” tanya Kelly tanpa mengalihkan tatapan. Gadis itu menggumamkan kekaguman akan keindahan yang ada di hadapannya itu dengan suara lirih.“Sudah. Hal pertama yang kulakukan begitu membuka mata adalah melihat ke luar je
Kelly sedang membuat catatan di ponselnya seraya berdiri di depan sebuah maneken dengan gaun pengantin berpotongan A-line saat seorang perempuan mendadak limbung di dekatnya. Refleks, Kelly meraih lengan perempuan asing itu, mencegahnya jatuh. Suara tertahan yang meluncur dari bibir gadis itu pun diakhiri dengan tarikan napas yang dianggap Kelly sebagai tanda kelegaan.“Terima kasih, kamu sudah menyelamatkan harga diriku. Sepatu ini memang cantik tapi menyusahkan,” kata perempuan itu dengan gaya jenaka. Refleks, mata Kelly tertuju pada sepatu platform berwarna shocking pink yang mencolok itu. Bahasa Inggris orang yang baru ditolongnya itu terdengar unik karena diselipi aksen sengau yang khas. Sejak tiba di Auckland, telinga Kelly mulai terbiasa dengan aksen itu.“Sepatu yang cantik,” puji Kelly dengan tulus, meski dia sendiri tidak akan pernah mengenakan sepatu dengan tumit lebih dari lima sentimeter. Tinggi tubuhnya yang sudah
Kelly melongo lagi. Imogen tampaknya tak sungkan membagi informasi yang bersifat pribadi padanya. Atau, bisa jadi Imogen merasa bahwa memberi tahu orang asing bahwa dia baru menikah selama dua hari, bukanlah hal yang aneh. Binar di kedua mata Imogen sudah bicara begitu banyak. Perempuan ini jelas-jelas sedang bahagia luar biasa.“Selamat, kalau begitu. Berarti kamu dan suamimu adalah pengantin baru, ya? Hmm ... seharusnya sekarang kalian sedang berbulan madu. Tapi kenapa kamu malah berada di pameran gaun pengantin?” Kelly tak mampu menyembunyikan keheranannya. Sedetik kemudian gadis itu baru menyadari bahwa kata-katanya yang cenderung lancang. “Ups, maafkan aku! Tak seharusnya aku bicara seperti itu. Aku....”“Kamu sama sekali tidak salah bicara. Jadi, tak perlu minta maaf,” komentar Imogen. “Kami memang sengaja menunda untuk berbulan madu.”“Hei, kamu sudah punya teman baru, ternyata,” tegur Cilla dala
“Kamu membuatku cemas. Kukira, terpaksa membuat laporan orang hilang pada pihak berwajib karena tak kunjung menemukanmu,” komentar Duncan dengan nada gurau. Napas lelaki itu agak terengah. Ada rasa nyeri samar di kaki kanannya.Duncan menatap Imogen dengan rasa lega yang membuatnya bernapas dengan normal. Lebih dari sepuluh menit dia harus berkonsentrasi untuk menemukan ibu tirinya di antara lautan manusia yang memenuhi ballroom Prodigious Hotel ini. Andai tidak ada masalah dengan kaki kanannya, Duncan mungkin tak terlalu keberatan.Masalahnya, dia harus bergerak hati-hati agar kakinya tak kian sakit. Duncan terpaksa memanjangkan leher demi mencari-cari bayangan ibu tirinya. Jika dia berada di Indonesia, tinggi badannya memberi keuntungan tersendiri. Masalahnya, dia sedang berada di Auckland yang juga dipenuhi dengan manusia-manusia sejangkung dirinya. Bahkan tak sedikit yang lebih tinggi dibanding Duncan.Tadi, saat mereka baru tiba di hala
Bibir Kelly membulat sementara Cilla berusaha menyembunyikan tawanya dengan sopan. Bagi kedua perempuan itu, kemungkinan besar berita yang disampaikan Imogen tersebut cukup mengejutkan.“Duncan baru datang tiga hari lalu, untuk menghadiri pernikahanku. Dia juga berasal dari negara kalian. Duncan tinggal di kota ... apa namanya?” Imogen menatap putra tirinya dengan kening berkerut.“Bogor.”“Kami juga tinggal di Bogor,” beri tahu Kelly. Mata agak sipit milik gadis itu menatap Duncan saat bicara lagi. Namun Kelly tampaknya tak terlalu kaget mendengar kota asal Duncan. Mungkin karena Imogen sudah menyinggung sebelumnya tentang Jerome dan kaitannya dengan Indonesia. “Kebetulan yang luar biasa, ya. Di Bogor yang tidak terlalu luas, kita tidak pernah bertemu. Tapi justru berkenalan di Auckland,” Kelly menambahkan.Imogen akhirnya bersepakat dengan kedua gadis itu untuk bertemu kurang dari seten
Lima belas menit kemudian, mereka kembali bertemu Kelly yang sedang berdiri mengamati sebuah setelan berwarna putih. Di mata Duncan, pakaian itu sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai gaun pengantin. Pakaian untuk bekerja, lebih masuk akal.“Serius, setelan ini dipakai oleh mempelai perempuan?” tanya Duncan, memberi penekanan pada kata terakhir. Kali ini, dia menggunakan bahasa Indonesia. Kelly sempat menoleh dengan ekspresi kaget sebelum akhirnya tergelak pelan. Tawa yang menjalari hingga ke pupil mata serupa obsidian milik gadis itu.“Ini memang nggak ... tradisional,” ucap Kelly sambil mengulum senyum.“Bukan cuma nggak tradisional. Tapi juga aneh,” tegas Duncan. Matanya menyipit memandangi maneken di depannya selama tiga denyut nadi sebelum mulai bicara lagi. “Aku belum pernah melihat pengantin perempuan mengenakan pakaian semacam ini. Atau yang berwarna hitam seperti di area itu,” tunjuknya ke satu ar
Duncan mendengarkan uraian dari Kelly yang tampak begitu bersemangat menggambarkan model gaun pengantin yang sedang populer.“Tahun ini, para perancang banyak menggunakan bateau necline. Yaitu, garis leher tinggi yang melintang lurus dari bahu ke bahu, emngikuti lengkungan tulang selangka. Floral prints dan cropped tops pun banyak muncul saat ini. Selain itu, gaun berpotongan sheath atau A-Line juga kian banyak. Sheath itu maksudnya gaun ramping mengikuti bentuk tubuh yang sudah mulai populer sejak tahun 1930-an. Sepertinya, para perancang masa kini menyiapkan gaun pengantin yang terkesan ‘ringan’ dan santai. Aku pribadi sih....” Kelly tiba-tiba berhenti dengan wajah yang terlihat memerah.“Ada apa?” Duncan tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.“Maaf, aku bicara terlalu bersemangat. Kamu pasti nggak mengerti apa yang tadi kuocehkan.” Gadis itu tampak merasa serb
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har