Bu Sinta pulang dari sanggar dengan perasaan yang campur aduk, beliau merasa bersalah karena telah meninggalkan Zahra sendirian di rumah, dan di lain sisi bu Sinta juga merasa menemukan kebahagiaan yang sudah lama beliau impikan dari Sanggar Seni Kenangan.
Di sana, bu Sinta merasa seperti telah menemukan kembali jati dirinya yang sempat hilang semenjak beliau menikah. Sejak bu Sinta menikah dengan pak Helmi, bu Sinta tidak pernah sempat menemukan kebahagiaannya sendiri, karena beliau terlalu sibuk memberikan kebahagiaan untuk keluarga kecilnya itu.
Bu Aliyah selalu berusaha dengan keras untuk memberikan kebahagiaan dan rasa puas terhadap keluarga kecilnya, sehingga beliau sudah lupa dengan apa yang bisa membuatnya merasa bahagia.
“Lagi-lagi Bunda terlalu asik di sanggar sampai lupa sama anak.” Lontaran pedas itu datang dari pak Helmi ketika melihat bu Sinta masuk ke rumah.
Bu Sinta semaki
Selang berjalannya waktu, hubungan antara bu Sinta dan pak Helmi semakin merenggang. Pak Helmi mulai jarang pulang ke rumah, dan bu Sinta pun hanya ke rumah ketika ingin bertemu dengan Zahra. Sejujurnya hal ini menyiksa batin bu Sinta, karena beliau harus berpisah dengan anak semata wayangnya yang sangat dicintainya melebihi siapapun, bahkan melebihi dirinya sendiri pun.“Bu, kemarin saya niatnya mau mampir ke rumah bu Sinta, soalnya mumpung lewat, tapi kata bibinya Zahra, ibu lagi ada perlu di luar selama beberapa hari ini,” bu Niken memberitahu tentang rencananya yang gagal karena beliau tidak bisa bertemu dengan bu Sinta di hari itu.Bu Sinta terlihat kikuk ketika mendengar ucapan bu Niken tersebut. “Memangnya kapan bu Niken ke rumah?” bu Sinta mencoba sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan sikap salah tingkahnya.“Kapan ya?” bu Niken mempertanyakan hal itu ke diri sendiri. “2
Bu Niken pulang ke rumah dengan tidak sabar, karena beliau ingin menceritakan tentang kejadian tadi kepada suaminya. Bu Niken merasa percaya diri karena menurut beliau hubungannya dengan pak Surya sudah membaik, dan sudah tidak aneh jika mereka berdua saling bertukar cerita semacam itu.Bu Niken bersenandung dengan riang, sambil menunggu kemacetan yang ada habisnya. Jika biasanya bu Niken uring-uringan pada saat terkena kemacetan panjang seperti ini, kali ini bu Niken menikmatinya dengan baik.Tiba-tiba ponsel milik bu Niken berbunyi, dan layar menunjukkan nomor yang tidak dikenal oleh bu Niken. Sebenarnya bu Niken sempat ragu untuk menjawab telepon tersebut, tapi karena takut telepon tersebut merupakan hal yang penting, jadi beliau mengangkatnya.“Halo?” bu Niken menjawabnya dengan penuh tanda tanya.Sempat terjadi kesunyian sejenak di seberang sana, namun samar-samar bu Niken bisa mende
Setelah kurun waktu 12 jam telah terlewati, akhirnya pak Surya sadar dan begitu beliau membuka kedua matanya, ada sosok bu Niken di depannya. Pak Surya segera meminta maaf kepada bu Niken, karena beliau melihat kedua mata istrinya itu berkaca-kaca.Setelah itu beliau menceritakan kronologi bagaimana beliau bisa sampai menjadi korban tabrak lari. Dan ternyata, pada saat itu pak Surya hendak menyeberang untuk bertemu dengan temannya yang sudah menunggu di kafe dekat kantornya. Namun, celakanya ketika pak Surya menyeberang, tiba-tiba ada sebuah motor yang dikendarai secara ugal-ugalan oleh seorang anak yang sepertinya masih berusia di bawah umur.“Terus bagaimana bisa Ayah luka sampai separah ini?” kedua mata bu Niken masih berkaca-kaca.“Pada saat aku hendak menghindar, sudah terlambat, dan kepalaku terbentur di aspal dengan cukup kencang, untungnya semua warga yang ada di sekitar situ langsung berusaha k
Setelah merasa semua barang sudah dibawa, bu Niken kembali ke mobilnya dan berangkat ke rumah sakit lagi untuk menemui dan menjaga suaminya. Di perjalanan, bu Niken melihat toko-toko yang ada di sekelilingnya, karena memang sekarang jalanan seperti biasa sedang macet-macetnya.Sambil menunggu jalanan kembali lancar, bu Niken bersenandung pelan. Bu Niken sudah agak tenang dibanding semalam, karena beliau merasa kondisi pak Surya sudah mendingan.Tadi pagi, bu Sinta sempat mengajak bertemu bu Niken, tentu saja bu Niken menolak ajakan tersebut dengan cara yang sopan. Bu Niken menolak ajakan bu Sinta, yang katanya juga akan bertemu dengan bu Tia untuk saling sharing.“Ini ada apaan sih di depan, lama banget,” keluh bu Niken, karena sudah lebih dari 30 menit mobil yang dikendarainya tidak bergerak sama sekali. Meskipun awalnya bu Niken terlihat tenang, tetapi lama-kelamaan bu Niken mulai mengkhawatirkan kondisi su
Sepulang dari rumah sakit untuk menjenguk suami bu Niken yaitu pak Surya, bu Tia langsung menuju rumahnya tanpa mampir ke suatu tempat lagi. Sejujurnya, bu Tia termakan omongan bu Niken, yang beliau tahu hanya diucapkan untuk memanas-manasi bu Tia. Bu Tia sempat berpikir, mengapa tiba-tiba bu Niken berusaha memanas-manasi dirinya, padahal menurut beliau, dirinya tidak melakukan sesuatu yang bisa menjadi alasan untuk bu Niken berlaku seperti itu.Bu Tia sampai di rumahnya, dan karena beliau melihat pak Andrian belum pulang, jadi bu Tia menghampiri kamar Bita terlebih dahulu untuk bermain dengan anak semata wayangnya itu.Namun, pada saat bu Tia hendak membuka pintu kamar Bita, sosok pengasuh Bita keluar dari kamar tersebut.“Oh Ibu sudah pulang? Bita barusan tertidur Bu,” pengasuh Bita memberitahu bu Tia bahwa Bita saat ini sedang tidur.Bu Tia tersenyum mendengar kalimat tersebut, karena
Bu Sinta datang ke sanggar dengan mengendarai mobilnya sendiri. Tadi pagi, bu Sinta sempat mampir ke rumahnya yang dulu, untuk menjenguk Zahra sejenak. Yang sangat disyukuri adalah, ketika bu Sinta baru sampai di depan rumah, Zahra ada di depan rumah untuk menunggu mobil antar-jemputnya, bersama bibi pengasuhnya.“Zahra,” sapa bu Sinta ketika turun dari mobilnya. Begitu melihat bundanya ada di depannya, tentu langsung membuat Zahra menghambur ke pelukan bu Sinta. Zahra dan bu Sinta saling berpelukan dengan cukup lama, sampai pelukan tersebut dipisahkan oleh bibi pengasuh Zahra, dengan alasan Zahra sudah waktunya berangkat sekolah. Padahal, bu Sinta sangat tahu kalau mobil antar-jemput anaknya itu belum sampai.“Maaf Bu, tapi Zahra sudah rapi jadi tolong jangan dibuat berantakan lagi,” meskipun bibi pengasuh Zahra berusaha dengan keras untuk berpura-pura bersikap sopan, akan tetapi tetap saja bu Sinta merasa apa yang d
Bu Sinta tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Hani tadi, bagaimana bisa urusan rumah tangganya diketahui oleh semua guru Zahra. Bu Sinta mencoba mencari alasan yang paling masuk akal dari hal tersebut. Dan ketika bu Sinta mencari alasan tersebut, bu Sinta hanya bisa berpikir pak Helmilah yang mengatakan tentang permasalahan itu ke salah satu guru Zahra. Karena, menurut sepengetahuan bu Sinta, pak Helmi cukup dekat dengan salah satu guru Zahra yang bernama bu Yolinda. Tanpa sadar, bu Sinta tidak pulang ke rumah orang tuanya, tapi beliau justru memasuki area parkir hotel yang sering beliau kunjungi. Ketika sadar akan sikap dan keputusan bawah sadarnya itu, bu Sinta sempat berpikir apakah yang dilakukannya ini sudah benar. Bu Sinta tak kunjung keluar dari mobilnya, beliau terus menundukkan kepalanya ke setir mobil. Tak lama kemudian, bu Sinta akhirnya turun dari mobil dan semakin membulatkan tekadnya untuk terus mengikuti isi hatinya. Seba
Hari ini bu Aliyah ada janji dengan salah satu ibu dari temannya Dania, meskipun awalnya bu Aliyah merasa sedang tidak ingin bertemu orang lain, tapi akhirnya bu Aliyah memilih tetap menemui ibu teman Dania tersebut.Sesampai di tempat mereka bertemu, ternyata bu Aliyah datang lebih dulu. Cukup lama bu Aliyah menunggu sampai ibu dari teman Dania tersebut datang. Bu Aliyah terus meminum minumannya sambil melamun ke arah depan kafe. Ketika bu Aliyah sedang melamun itu, terlihat sosok bu Sinta yang sepertinya sedang berteleponan dengan suaminya, karena bu Sinta terlihat sangat bahagia.Ketika bu Aliyah berniat untuk menyapa bu Sinta, bu Aliyah mengurungkan niatnya itu karena ternyata ibu dari teman Dania sudah tiba. Dan begitu bu Aliyah menoleh kembali ke arah tempat bu Sinta tadi, bu Aliyah sudah tidak bisa melihat sosok bu Sinta disana.“Maaf ya Bu, saya telat.” Ucapan yang dilontarkan oleh ibu teman Dania itu
Setelah sekian lama tidak pernah berkumpul di Sanggar Seni Kenangan, akhirnya bu Sinta, bu Aliyah, bu Niken, dan bu Tia kembali berkumpul di tempat yang sangat berarti bagi mereka itu. Bu Sinta datang terlebih dulu dan menunggu kedatangan teman-temannya itu sambil bermain HP.“Bagaimana Bu? Rencana bu Sinta sudah berjalan dengan sesuai?” tiba-tiba muncul sosok Hani di samping bu Sinta.Bu Sinta menoleh ke arah Hani sejenak, lalu beliau kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan kehadiran Hani di sampingnya itu. Meskipun tidak dianggap oleh bu Sinta, tapi Hani tidak menyerah, dia terus mengucapkan semua yang ada di pikirannya tanpa menyaring apakah ucapannya tersebut ada yang menyinggung.Semua ucapan yang diutarakan Hani tidak digubris sedikit pun oleh bu Sinta, sehingga Hani sempat berniat untuk menyerah. Namun, ketika Hani mengucapkan kalimat terakhirnya, bu Sinta langsung menoleh dan menatap Hani dengan tajam.“Apa maksudmu?” ucap bu Sinta dengan panik dan dingin.“Bu Sinta belum
Malam ini bu Tia berniat memberikan kejutan kepada suami tercintanya, karena pak Andrian telah berhasil menandatangani kontrak penting bersama dengan perusahaan luar negeri. Tadi pagi bu Tia berkata kepada pak Andrian untuk langsung pergi ke Hotel Saviya sepulangnya dari kerja, dan pak Andrian mengiyakan permintaan bu Tia tersebut tanpa banyak bertanya.“Malam ini Bita tidur sama Bibi Arum dulu ya, mama sama papa lagi ada urusan.” Bu Tia mengatakan kalimat tersebut dengan selembut mungkin.“Kenapa? Mama sama papa mau meninggalkanku?” tanya Bita dengan raut wajah yang sangat polos.Bu Tia cukup terkejut mendengar ucapan polos dari anaknya itu, sehingga beliau sempat bingung untuk menjawabnya. Namun, tidak lama kemudian bu Tia akhirnya bisa menjawab perkataan anaknya itu. “Mama sama papa tidak akan bisa meninggalkan Bita. Bita sudah jadi jiwa mama sama papa, jadi kalau tidak ada Bita, mama sama papa tidak akan bisa hidup.” Bu Tia mengucapkannya sambil menatap langsung ke kedua mata cant
Malam dari pertemuan yang sangat menegangkan itu, pak Rio mencoba menghubungi bu Sinta. Namun, bu Sinta secara tidak sengaja tidak mengangkat telepon dari pria yang sedang dicintainya itu. Tentu hal ini membuat perasaan pak Rio gelisah.“Tadi ponselmu bunyi, kurasa ada yang meneleponmu.” Tanpa menyadari bahwa sosok yang tadi menelepon istrinya adalah pak Rio, pak Helmi memberitahu bu Sinta akan hal itu.Tanpa menjawab ucapan pak Helmi, bu Sinta langsung melihat siapa sosok yang sudah meneleponnya itu. Dan begitu beliau melihat nama pak Rio yang disamarkan menjadi “Bu Aliyah New” di layar ponselnya, bu Sinta langsung mengambil ponselnya dan pergi keluar kamarnya.Bu Sinta mencoba menelepon kembali nomor pak Rio, tapi pak Rio cukup lama mengangkatnya. Meski begitu, bu Sinta dengan sabar menunggu. Sampai akhirnya, pak Rio mengangkat telepon dari bu Sinta tersebut.“Halo,” ucap pak Rio di seberang sana. Sesudah pak Rio mengucapkan kata itu, sempat terdengar suara anak-anak kecil yang seda
Bu Sinta, bu Aliyah, pak Helmi, dan pak Rio saling duduk berhadapan menunggu pesanan datang. Tersirat raut wajah yang tegang dari bu Sinta, dan pak Rio pun tidak tahu harus berbuat seperti apa. Tadinya, pak Rio sudah mengajak istrinya untuk pergi ke restoran lain dengan alasan yang tidak masuk akal, dan tentu saja alasan itu langsung ditolak oleh bu Aliyah, sehingga sekarang mereka berempat bersama di posisi yang sama.“Baru kali ini saya melihat kalian berdua sama-sama lagi setelah liburan dulu,” bu Aliyah memecah keheningan di antara mereka.Pak Helmi tersenyum, lalu beliau berkata, “Iya Bu, dulu saya tidak punya waktu untuk keluarga, tapi setelah saya pikir-pikir ternyata keluarga adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan saya.” Jawab pak Helmi.Di sela-sela mereka berdua berbicara, bu Sinta dan pak Rio hanya bisa saling mencuri-curi pandang sampai tiba salah satu pesanan yang datang ke meja mereka. Setelah pelayan yang mengantar pesanan tersebut sudah kembali pergi, bu Ali
Malam harinya, bu Sinta dan pak Helmi sudah berpakaian rapi, sedangkan Zahra sudah siap untuk main ke rumah Ibrahim, teman barunya yang baru saja pindah ke sebelah rumah. Beberapa hari yang lalu, Zahra bercerita bahwa dirinya mendapatkan teman baru yang tampan, dan dia ingin menikah dengannya ketika sudah besar nanti. Tentu mendengar ucapan polos dari putri semata wayangnya itu, membuat bu Sinta tertawa geli, bagaimana bisa putrinya yang masih sangat kecil itu memikirkan tentang kehidupan pernikahan? Begitu batin bu Sinta.Setelah menitipkan Zahra ke rumah Ibrahim, bu Sinta dan pak Helmi mulai berangkat. Sampai saat ini, bu Sinta masih belum tahu hendak diajak kemana oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suami itu.“Kita mau kemana?” tanya bu Sinta kemudian.Sambil kedua tangannya masih memegang setir mobil, pak Helmi menoleh ke arah bu Sinta. “Sebenarnya aku juga masih belum tahu mau mengajakmu kema
Hari demi hari terus berjalan dengan semestinya, dan bu Sinta sudah lama tidak ikut kelas di Sanggar Seni Kenangan, karena beliau harus kembali ke rumahnya untuk merawat Zahra sampai kondisinya benar-benar sudah pulih. Selama bu Sinta pulang ke rumahnya yang dulu, rumah pak Helmi, suaminya itu tidak pernah berhenti bersikap baik kepada bu Sinta. Tentu perubahan sikap pak Helmi ini membuaf bu Sinta bingung, malas, dan enggan untuk menanggapinya. “Hari ini kamu ada keperluan ke luarkah?” tanya pak Helmi ketika sedang makan bersama dengan bu Sinta dan Zahra di ruang makan. Bu Sinta yang sedang menyuapi putri semata wayangnya itu, menoleh ke arah pak Helmi, lalu beliau bertanya, “Memangnya kenapa?” tanya bu Sinta. Pak Helmi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat, aku lupa mengabarimu sebelumnya,” sikap yang tidak pernah diberikan pak Helmi selama masa menikah dengan bu Sinta in
“Halo,” bu Sinta mengangkat telepon tersebut dengan suaranya yang terdengar lirih, beliau masih terbawa perasaan ucapan suaminya tadi dan beliau juga masih tidak tahu bagaimana bisa suaminya itu tahu tentang hubungannya dengan pak Rio. “Tidak ada masalah kan? Kamu dimana?” suara pak Rio terdengar penuh kekhawatiran yang menggebu-gebu. “Aku di rumah sakit,” jawab bu Sinta dengan singkat, dan masih dengan suaranya yang lirih. “Ada apa? Dia memukulmu? Apa aku kesana sekarang?” suara pak Rio semakin menggebu-gebu, beliau benar-benar merasa khawatir pak Helmi berani main tangan dengan wanita yang sedang dicintainya itu. “Bukan, Zahra sakit, makanya tadi dia menjemputku langsung,” bu Sinta sempat terdengar seperti ragu untuk melanjutkan omongannya lagi, dan pak Rio menyadari akan hal itu, sehingga beliau dengan sengaja memberikan waktu kepada bu Sinta untuk mengolah pikirannya terlebih dahulu denga
Bu Sinta tak melepaskan pelukannya sedikitpun dari tubuh anak semata wayangnya. Begitu bu Sinta masuk ke rumah mertua, bu Sinta melihat sosok Zahra yang tertidur dengan tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Jujur, ketika melihat sosok Zahra terlihat kesakitan seperti itu, membuat bu Sinta marah kepada dirinya sendiri, karena sudah membiarkan anaknya itu jauh dari pelukannya.“Kita langsung ke rumah apa rumah sakit?” tanya pak Helmi dengan jujur. Pak Helmi memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ketika Zahra sakit pun, beliau hanya bisa meminta tolong ibunya untuk merawat anak kesayangannya itu.“Apa kamu masih tanya meski sudah melihat kondisi Zahra yang seperti ini?” tanya bu Sinta dengan ketus.Tak seperti biasanya, pak Helmi sedikit takut dengan respon bu Sinta yang terlihat sangat marah itu. Sehingga, pak Helmi tidak mengatakan sepatah katapun dan langsung mengemudikan mobilny
Bu Tia dan bu Niken memilih untuk mengunjungi kafe sejenak, sepulangnya dari Sanggar Seni Kenangan. Sejujurnya, bu Tialah yang mengajak bu Niken untuk pergi sejenak ke kafe seperti ini, karena mereka ingin membahas tentang permasalahan bu Sinta dan bu Aliyah. Bu Tia merasa ada yang aneh, meski beliau tidak tahu apa sebenarnya yang membuat aneh itu.Bu Tia dan bu Niken sudah duduk dengan saling berhadapan, dan sekarang mereka sedang menunggu minuman yang mereka pesan datang. “Ibu juga merasa ada yang aneh nggak?” tanya bu Tia tak lama dari setelah mereka duduk.Bu Niken sempat menaikkan kedua alisnya sejenak, lalu beliau berkata, “Masalah bu Sinta dan bu Aliyah?” tanya bu Niken.Bu Tia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi beliau menjawabnya dengan anggukan kepala.“Saya merasa biasa saja, kalo berumah tangga memang seperti itu, pasti ada aja masalah yang bisa membuat