Share

Rena atau Rani

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2022-09-23 13:35:40

Aku menyetir ugal-ugalan saat pulang dari rumah baru Tania. Aku yakin ada yang tidak beres pada Mas Ibram. Aku tak bisa percaya begitu saja kalau mereka itu sepupunya.

"Aku harus mencari tahu!" tekadku.

Tiba di halaman rumah, tampak mobil Mas Ibram terparkir asal. Sehingga mobilku tak bisa masuk ke garasi. 

Apakah dia ingin menunjukkan padaku kalau dia sedang marah?Siapa yang harusnya lebih marah di sini? 

Aku tentunya. Ayah dari anakku dipanggil Ayah oleh anak wanita lain. Benar-benar tak bisa dipercaya.

Kuparkir asal juga mobilku di belakang Mas Ibram. Biar nanti Pak Tejo yang memasukkan ke garasi. Ubun-ubunku seperti mendidih. Aku harus melampiaskan pada Mas Ibram. 

Lampu-lampu taman menerangi halaman menyamarkan pekatnya malam. Lampu mobilku terpantul pada body mobil samping Mas Ibram. Kubanting pintu mobil dengan keras. Kemudian melangkah dengan menghentakkan kaki ke dalam rumah.

Tiba di kamar, tampak Mas Ibram sudah berbaring dengan memejamkan mata. Lengan kirinya berada di keningnya. Aku yakin laki-laki ini pasti belum tidur. Dia hanya ingin menghindariku.

"Aku masih menunggu penjelasanmu!" ucapku sembari berdiri di sisi ranjang menatapnya marah.

"Penjelasan apalagi, Ma?" Lelaki itu menurunkan tangannya yang tadi di kening kemudian beringsut duduk.

"Aku enggak percaya kalau Rena sepupumu."

"Terus aku harus gimana?" tanya Mas Ibram sembari menatapku malas. "Aku harus bilang Rena itu siapa? Heh?"

Aku tak bisa menjawab. Karena aku pun ragu kalau Mas Ibram berselingkuh dengan Rena. Lihat saja penampilannya. Ia persis ondel-ondel yang diarak keliling kampung. Berbeda 180 derajat denganku. 

Apa mungkin Mas Ibram yang sudah punya segalanya dengan menikahiku dengan bodoh berselingkuh dengan wanita seperti itu?

Secara fisik, bukannya sombong, tapi aku memang perfect. Aku rajin perawatan, diet ketat untuk menjaga penampilan. 

Secara pendidikan, aku di atas Mas Ibram. Dia lulus sarjana saja setelah menikah denganku. Sebelumnya dia lulusan SMA yang bekerja jadi pramuniaga di salah satu cabang mini market papaku. 

Lelaki itu jadi karyawan kesayangan Papa. Karena ia rajin bekerja, rajin ibadah, jujur, dan patuh sekali dengan semua titah Papa. Sehingga dengan mantap Papa mengenalkannya padaku. 

"Papa merasa menemukan penerus Papa dijiwa Ibram," ucap Papa saat itu.

Aku yang sejak kecil terbiasa apapun dipilihkan oleh Papa, menurut saja saat Papa mengenalkan pada Mas Ibram. Kebetulan saat itu aku sudah putus dengan Rian. Dia bekerja di perusahaan asing di Singapore, dan hubungan LDR kami tak berjalan mulus. 

Sehingga aku dengan mudah membuka hati saat dikenalkan dengan Mas Ibram. Meskipun dia duda, secara fisik dia masuk kriteria. Dia lelaki rapi, bertingkah laku baik, dan ... penurut. Itu poin paling penting. Usia kami juga tak terpaut jauh. Mas Ibram saat itu 33 tahun, aku 28 tahun.

"Ma!" 

Aku tersentak ketika Mas Ibram memanggil dan menyentuh jemariku. Aku menatap lelaki yang kini menatapku.

"Udah, kamu enggak usah mikir yang aneh-aneh!" pintanya. "Kalau kamu enggak setuju anak-anak Rena panggil aku ayah, besok aku bilang ke mereka," ucapnya lagi sembari menarikku ke tempat tidur.

"Kalau memang dia sepupumu, kenapa kamu enggak pernah cerita ke aku?" Kutatap matanya dengan tajam. Lelaki yang kini duduk di hadapanku mengalihkan pandangannya.

"Aku pikir ... itu enggak penting buat kamu. Mereka hanya saudaraku dari kampung. Bukankah selama ini kamu tak terlalu peduli dengan saudara-saudaraku?"

Mas Ibram benar. Aku jarang sekali mau diajaknya saat pulang ke kampung. Selain karena orang tuanya sudah meninggal, dia pulangnya ke rumah adik dari ibunya. Jadi aku merasa tak nyaman di sana.

Rumah orang tuanya, dia bilang sudah dijual. Jadi bisa dibilang Mas Ibram sudah tidak punya tempat pulang lagi.

"Apa aku tak sepeduli itu?" Aku masih tak mau kalah.

"Ya!" tegas Mas Ibram.

"Tapi tetap saja, harusnya kamu bilang!"

"Kalau aku bilang, apa kamu bakal peduli? Apa kamu bakal datang ke rumah Rena dan bantu-bantu dia? Tangan kamu terlalu halus untuk melakukan hal seperti itu." 

Entah Mas Ibram menyindirku atau bagaimana. Yang jelas, semua yang dia katakan memang benar. Aku tak mungkin mau bantu-bantu di rumah baru Rena, sedang di rumah saja aku selalu dilayani.

"Tapi seenggaknya kamu harus bilang sama aku kalau hari ini kamu enggak kerja tapi bantuin dia!" Aku masih berusaha mencari kesalahannya.

"Iya, aku salah. Aku minta maaf. Besok-besok aku bakal bilang sama kamu. Ya, sudah. Ayo, kita tidur!" ajaknya. Kemudian lelaki itu menarik selimut untuk menutupi tubuhku.

Aku mengerjapkan mata yang masih berat saat merasakan pipiku dicium dan dibelai dengan lembut. Cara Mas Ibram membangunkanku sejak kami awal menikah.

"Selamat pagi, Sayang. Assalamualaikum," ucapnya saat mataku akhirnya terbuka.

"Jam berapa ini?" tanyaku malas.

"Jam lima bentar lagi. Ayo, buruan bangun terus solat subuh!" titahnya.

Meski berat, aku menurut saja. Aku mulai melaksanakan solat sejak menikah dengan Mas Ibram. Meski awalnya itu berat sekali untuk kulakukan, tetapi lama-lama aku terbiasa. Meskipun aku masih buka tutup jilbab. Karena lingkunganku memang kurang mendukung.

Aktivitas pagi, kami lakukan seperti biasa. Setelah Mas Ibram berangkat ke kantornya dan Cahaya berangkat ke sekolah, aku segera menghubungi Tania untuk menemaniku ke kampung Mas Ibram.

Setelah Tania siap, aku langsung memacu mobil ke rumahnya. 30 menit kemudian, aku sampai di rumah Tania. Kuparkir mobil di depan pagar rumahnya.

Aku tak langsung turun. Sengaja aku ingin mengamati rumah Rena. Siapa tahu Mas Ibram mampir ke sana tanpa izin kepadaku. Cukup lama aku mengamatinya, tetapi tak ada tanda-tanda apa-apa. Rumah itu tampak sepi-sepi saja.

"Vi!" Aku terkejut saat tiba-tiba Tania mengetuk kaca pintu mobilku. "Ngapain kamu? Kok enggak langsung masuk?"

Kulepas sabuk pengaman, kemudian turun dari mobil. "Lagi liatin rumah tetangga baru kamu," jelasku setelah berdiri di depan pemilik beberapa butik ini.

"Ngapain?" ucapnya sembari tersenyum lebar. "Tenang aja, aku siap jadi CCTV kamu."

"Oke, deh! Aku percaya sama kamu."

"Ya, udah, yuk langsung berangkat aja!" ajak Tania sembari memutari kap mobilku menuju pintu sebelah.

Segera saja aku masuk kembali ke mobil. Memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin.

"Gimana Ibram?" tanya wanita yang mengenakan dress selutut berbahan jeans yang kini duduk di sampingku.

Aku menoleh sekilas, kemudian kembali fokus ke jalanan. "Sama. Dia tetap bilang kalau Rena sepupunya."

Dari sudut mata tampak Tania mendecih tak percaya. Aku hanya tersenyum getir mengingatnya.

Perjalanan yang kami tempuh memakan waktu cukup lama. Hampir lima jam. Kampung Mas Ibram berada di pelosok. Untung sekarang jalannya sudah bagus. Dulu pertama kali aku datang, jalannya rusak parah. Itu salah satu sebab aku malas saat diajaknya ke kampung ini.

Suasana asri cukup memanjakan mata. Kanan kiri jalan penuh dengan rumpun bambu. Kemudian kebun dan sawah. Saat tiba di kampung, mataku di suguhi pemandangan beberapa rumah yang terbuat dari papan. Meskipun ada juga rumah gedong berlantai dua. 

"Yang mana rumah bibinya Mas Ibram, ya?" 

Aku bingung dengan suasana kampung yang sudah banyak berubah. Meskipun masih banyak unggas-unggas berkeliaran. Suara kambing dan sapi pun tak ketinggalan.

Namun, kampung ini sudah banyak berubah. Jalan ini menjadi lebar dan muat dilalui mobil, padahal dulu saat aku terakhir ke sini masih jalan setapak yang berbatu.

"Tanya aja, Vi!" usul Tania.

"Oke."

Kutepikan mobil kemudian berjalan ke arah segerombolan wanita yang sedang duduk di teras.

"Maaf, Bu, numpang tanya. Rumahnya Bu Lasmi sebelah mana, ya?"

"Lasmi istri Pak Samin?" tanya salah seorang dari mereka.

"Saudaranya Mas Ibram," jelasku. Karena aku lupa nama suami bibi Mas Ibram.

"Owh, Mas Ibram yang sukses itu?" sahut beberapa wanita itu. "Itu, lurus aja terus sampai mentok baru belok kiri. Rumahnya tembok warna kuning."

"Makasih, Bu."

Segera aku kembali ke mobil dan mengikuti petunjuk ibu-ibu tadi. Mobil terparkir di pinggir jalan. Karena rumah bibi Mas Ibram halamannya sempit.

"Ini rumahnya?" tanya Tania.

"Iya, yuk!"

Saat kami turun dari mobil, aku sangat terkejut. Tiba-tiba Tania menjerit ketakutan.

"Auw! Viona! Tolong!"

Bergegas aku berlari ke arah Tania. "Ada apa?"

Tania yang berlari tak langsung menjawab. Setelah sampai di teras rumah bibi Mas Ibram, dia mengusap-usap kakinya.

"Aku dipatok ayam!" teriaknya manja.

Mataku langsung melebar dan mencari keberadaan ayam yang dimaksud Tania. Ternyata ada induk ayam beserta anak-anaknya. Tampak salah satu anak ayam itu berjalan pincang.

"Kamu injak anaknya, ya?" tebakku.

"Iya, aku enggak tahu. Aduh!" Tania masih mengusap-usap kakinya.

Tak berselang lama pintu rumah bibi Mas Ibram terbuka. Muncul wanita yang wajahnya masih kukenali. Dia menatap bingung pada Tania. Kemudian dahinya mengernyit saat menatapaku.

"Bi Lasmi!" seruku. Mas Ibram yang mengajariku memanggilnya Bibi.

Wanita itu menautkan kedua alisnya sembari masih menatapku. Mungkin dia tak mengenaliku.

"Aku Viona, Bi!" Aku mendekat, menjabat tangannya dan memeluk wanita yang masih mematung itu.

"Viona istri Ibram?" Ia tampak masih berpikir. Kedua tangannya memegang bahuku dan memandang wajahku lekat. "Ya Allah!" serunya. "Istri Ibrahim?"

Aku mengangguk sembari tersenyum lebar. Nama Mas Ibram memang Ibrahim, Ibrahim Husein lengkapnya. Namun, ia biasa dipanggil Ibram. Lebih simpel juga.

"Ya Allah, mimpi apa aku semalam?" ucap Bibi Lasti. "Ayo, ayo, masuk!"

Aku dan Tania memasuki rumah Bibi Lasmi. Rumah ini juga sudah banyak berubah. Lantainya sekarang keramik. Dulu terakhir aku ke sini masih lantai berwarna hitam. Isi rumahnya juga lebih lengkap. Ada televisi tabung, kipas angin dan barang-barang lainnya. Ternyata aku sudah cukup lama tidak ke sini.

"Gimana kabar Ibrahim dan Cahaya?" tanya Bi Lasmi tanpa melepaskan tangannya dari lenganku. "Kenapa enggak ikut?"

"Mas Ibram dan Aya baik, Bi. Mas Ibram kerja, Aya sekolah," jelasku.

Kami berbasa basi cukup lama. Bi Lasmi membuatkan kami teh panas. Kalau di sini tehnya tidak pakai gula. Mereka membuat teh ini dari tanaman teh langsung. Jadi aromanya lebih wangi. Bi Lasmi sudah menyediakan gula di meja. Untuk tamu yang sukanya teh manis sepertiku dan Tania.

"Ada apa, Mbak Viona, kok, kayanya ada sesuatu ini? Enggak biasanya Mbak Viona ke sini. Enggak sama Ibrahim lagi," tanya Bi Lasmi setelah saudara-saudara lain yang menemuiku pergi. Bi Lasmi penasaran dengan maksud kedatanganku jauh-jauh ke sini.

"Aku ingin tahu, Bi. Apa ada Bibi lain yang belum aku kenal?" tanyaku. "Maksudku adiknya ibu Mas Ibram."

"Loh, ya enggak ada, to, Mbak. Kami cuma tiga bersaudara. Almarhum Mbak Sumi, aku, sama Lik Parjan," jelasnya.

Waow! Mas Ibram sudah bohong. Lalu siapa Rena?

"Apa ada saudara yang bernama Rena?" tanyaku lagi.

"Rena ... Rena ... Rena ...," lirih Bi Lasmi sembari mengingat-ingat. "Enggak ada, Mbak."

Awas Mas Ibram!

"Lalu gimana dengan almarhum istri Mas Ibram? Dimana makamnya?" tanyaku.

Bi Lasmi kemudian bercerita tentang Mas Ibram dan almarhum istrinya, Maharani. Kata Bi Lasmi, dulu Mas Ibram kawin lari karena orang tua Mas Ibram tak setuju dia menikah dengan Maharani.

Maharani terkenal sebagai gadis badung. Ia sering menjual barang-barang milik orang tuanya. Entah uangnya untuk apa. Namun, Mas Ibram sepertinya cinta mati sama Maharani. Sampai mereka nekat kawin lari.

Lima tahun tahun kemudian Mas Ibram pulang. Dia bilang Maharani yang biasa dipanggil Rani meninggal saat melahirkan. Dan dia minta restu untuk menikah denganku.

"Jadi, almarhum enggak dimakamkan di sini?" tanyaku.

"Enggak. Ibrahim bilang di Kalimantan. Tapi, Kalimantan mana Bibi enggak tahu."

"Kalimantan?" lirihku. 

Kenapa aku jadi teringat dengan Rena? Mungkinkah sebenarnya Rani belum meninggal dan dia itu Rena?

Jantungku seperti mau meloncat memikirkan itu. Segera kuambil foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Kemudian menanyakannya pada Bi Lasmi.

"Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?" 

Related chapters

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Nama Tanpa Biodata

    "Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?"Kuangsurkan foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Bi Lasmi menerima foto itu. Kedua alisnya bertaut memandangi foto tersebut. Cukup lama. Karena memang gambar di kertas foto tersebut sudah cukup pudar. Tinggal menyisakan warna hitam keabuan dan putih kekuningan."Ini Ibrahim," ucapnya sembari menunjuk gambar Mas Ibram. "Yang ini Rani kayanya. Dulu anak itu rambutnya ikal dan ngembang begini," jelasnya saat menunjuk gambar wanita yang berdiri di samping Mas Ibram. "Tapi anak ini, Bibi belum pernah lihat.""Oke, Bi. Makasih, ya." Kuambil kembali foto tersebut. Akan kutunjukkan ini pada Mas Ibram nanti ketika bukti yang kukumpulkan sudah cukup. Berbicara tanpa bukti akan sangat mudah membuat Mas Ibram mengelak. Tak mungkin maling akan mudah mengaku ketika masih ada celah untuk berbohong.Kutanyakan juga perihal rumah orang tua Mas Ibram. Ternyata memang benar. Rumah dan sawah peninggalan orang tuanya telah habis terjual sesaat setelah orang

    Last Updated : 2022-09-23
  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Data Fiktif

    Dadaku serasa terbakar memikirkan Mas Ibram ada main di belakangku. Entah Rena itu Maharani, atau Rena sebenarnya adalah selingkuhan Mas Ibram. Walaupun penampilan Rena seperti ondel-ondel begitu, tak menutup kemungkinan mereka berselingkuh. Bukankah syarat menjadi selingkuhan itu tak harus cantik? Cukup menjadi murah saja. Itu sudah cukup.Besok pagi aku akan menemui ondel-ondel itu di minimarket. Akan kubongkar topeng yang ia pasang kemarin di hadapanku. Dia bilang pindah dari Kalimantan? Lalu pindah ke sini karena mau kerja atau buka usaha? Pintar sekali ia mengarang cerita. Tak tahunya selama ini ia bekerja di mini marketku. Benar-benar pembohong besar mereka berdua."Ma!" Aku tersentak saat terdengar Mas Ibram memanggilku. Lelaki itu mengakat kepalanya sembari masih berbaring."Lagi ngapain? Kok, belum tidur?" tanyanya."Ini lagi balas pesan," dustaku."Udah malam ini, lanjut besok aja!" titahnya.Aku beranjak dari sofa, kemudian mengganti handuk kimono dengan baju tidur. Sete

    Last Updated : 2022-09-23
  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Bertemu di Mall

    Tak ingin membuang waktu, segera kuhubungi Mona. Memastikan sekali lagi kalau hari ini Mas Ibram hanya di kantor tidak ada kunjungan ke semua mini market kami. Setelah mendapat kepastian, segera kuhubungi Indra, kepala HRD.Aku meminta Indra untuk mengumpulkan semua karyawan di mini market tempatku berada secepatnya. Aku ingin mencocokkan jumlah real karyawan dengan data yang semalam Alvin kirim."Beri saya waktu satu jam, Bu!" pinta Indra.Aku menyetujuinya. Kutunggu kehadiran mereka di ruangan Riski. Pemuda itu mempersilahkan aku duduk di kursinya. Karena memang tidak ada kursi lain di ruangan ini.Setelahnya, Riski keluar untuk mempersiapkan ruangan, agar nanti bisa dipakai untuk mengumpulkan semua karyawanku kecuali yang berada di kantor Mas Ibram.Minimarket kami tutup sampai semua yang ingin kuketahui beres. Aku meminta Indra, agar Mas Ibram jangan sampai tahu soal ini.Sekitar satu jam kemudian, semua karyawan mini market seluruh cabang berkumpul. Aku lihat, rata-rata jumlah ka

    Last Updated : 2023-07-24
  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Duri

    Seketika aku berdiri melihat kedatangan Mas Ibram. Darahku serasa mendidih. Wajahku memanas. Kedua tanganku mengepal kuat. Dengan hati membara, aku melangkah hendak menghampiri mereka.Namun, seketika langkahku terhenti. Aku tak boleh gegabah. Yang ada nanti mereka akan kembali mengelak. Mencari seribu alasan untuk menutupi kebusukannya.Aku kembali mundur dan duduk di kursi semula. Aku akan mengamati mereka dan mengabadikan momen langka ini. Segera kuambil ponsel, kunyalakan perekam video kemudian mengarahkan ke posisi mereka. Kujaga agar ponselku cukup di meja. Terlalu kentara apabila aku memegangi dengan mengarah ke mereka."Sudah dari tadi?" Aku bisa mendengar suara Mas Ibram dari sini. Kebetulan di depan tempat dudukku berdiri tiang cukup besar, sehingga keberadaanku tak terlihat oleh mereka."Lumayan," jawab Rena.Fabian tampak mencium tangan Mas Ibram. Kemudian Mas Ibram mencium kepala anak itu. Setelahnya Rena juga mencium tangan Mas Ibram dan Mas Ibram mencium kening Rena. Se

    Last Updated : 2023-07-24
  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Seonggok Sampah

    Kubanting sekuat tenaga pintu mobil Tania. Dadaku rasanya mau meledak. Hatiku sakit, sangat sakit. Meskipun di depan mereka aku bisa terlihat kuat, tetapi sungguh, sebenarnya aku hatiku hancur. Aku benar-benar remuk. Tak berbentuk."Aaagrh!"Aku berteriak, menangis meluapkan semua rasa yang sejak tadi begitu sesak menghimpit dada. Saat ini aku tak lagi bisa menahannya. Ternyata seperti ini rasanya, ketika orang yang aku cinta, ternyata tidak menjadikan aku satu-satunya. Sakit. Sangat sakit. Seperti beribu-ribu anak panah menancap di dadaku secara bersamaan. Kemudian satu persatu dicabut dengan brutal."Ya Allah!" ratapku. "Ini sakit sekali ...."Bagaimana batinku tidak terkoyak, saat binar bahagia tergambar jelas di wajah Mas Ibram justru saat ia bersama Rena? Belum pernah aku melihat Mas Ibram sebahagia itu saat menghabiskan waktu bersamaku.Harga diriku hancur. Hatiku perih. Sangat perih. Apa yang bisa mengobati rasa ini, Tuhan?Aku tergugu dengan membenamkan wajah pada setir. Berb

    Last Updated : 2023-07-24
  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Menantang Perang

    Tania benar. Mas Ibram tak lebih dari seonggok sampah. Maka, memang sudah sepantasnya harus aku buang."Iya, Tan. Aku harus membuangnya. Sebelum dia mencemari yang lainnya," ucapku dengan yakin. Meski hatiku remuk, tetapi pikiranku harus tetap waras. Aku tidak mau dipermainkan seperti ini."Bagus!" ucap Tania sembari mengacungkan jempolnya. "Sekarang kamu harus kumpulkan bukti untuk gugat dia, Vi!" ucap Tania dengan berapi-api.Aku menghela napas. Rasanya ini seperti mimpi saja. Aku benar-benar tak menyangka kalau pernikahanku akan seperti ini akhirnya. Namun, apa hendak dikata, saat suratan Tuhan telah digariskan dan hanya bisa dihadapi semampuku."Bukan hanya untuk menggugat, Tan," ucapku dengan lemah karena rasanya saat ini aku benar-benar berada di titik terendah. "Tapi untuk Papa juga. Enggak mungkin Papa akan percaya sama aku begitu aja. Kamu tahu, kan, kayak gimana Mas Ibram di mata Papa?" ucapku tanpa semangat sama sekali. Kontras sekali dengan Tania yang begitu berapi-api."B

    Last Updated : 2023-07-24
  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Brankas

    Aku dan Tania saling bertatapan. Beberapa saat kemudian aku mengangguk mantap."Panggil tukang kunci atau kalau perlu rusak sekalian pintu ini, Pak!" titahku tegas. Sekarang aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi menyelidiki Mas Ibram. Toh, dia sudah tahu kalau aku akan melakukan ini.Pak Hasim tampak ragu. Dia masih menatapku tanpa bicara."Cepat, Pak!" titahku."Ba-baik, Bu."Pak Hasim menyalakan lampu koridor tempat kami berdiri, kemudian beranjak pergi."Benar-benar niat Ibram, ya!" geram Tania."Aku sebenarnya masih bingung, Tan. Enggak ngerti sama apa yang sebenarnya terjadi. Ini kayak .... Rasanya kayak tiba-tiba semua berubah. Dan aku enggak tahu alasan Ibram apa?" Tania mengusap punggungku. "Kamu harus kuat! Apapun kenyataan yang terjadi nanti, kamu harus yakin itu yang terbaik.""Iya, Tan. Cuma rasanya ini kayak tiba-tiba banget. Awalnya cuma kemarin Ibram ketahuan bantu Rena pindahan, setelah itu satu persatu kebohongan dia terungkap. Dan ini terjadi cuma dalam hitungan hari

    Last Updated : 2023-07-25
  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Isi Ponsel

    Aku dan Tania melangkah mendekati brankas tersebut dengan hati-hati. Aku melihat banyak tumpukan uang, emas, dan berkas-berkas lainnya."Ambil semua aja, Tan!" pintaku pada Tania. Wanita berjemari lentik itu berhati-hati memindahkan barang-barang dari brankas tersebut ke meja kerja Mas Ibram.Setelah brankas kosong, aku mengecek apa saja isi yang tadi telah kami pindahkan. Kuambil amplop cokelat besar untuk menyimpan uang tunai dan emas batangan. Tak lupa kuambil setumpuk uang bertulis nominal sepuluh juta untuk Pak Hasim. Sepertinya cukup untuk upahnya malam ini."Wah, terima kasih sekali, Bu!" ucap Pak Hasim dengan mata berbinar. Dipeluknya uang bonus tersebut.Selanjutnya aku dan Tania mengecek satu persatu berkas yang masih berserak di meja. Isinya berkas-berkas kantor dan mini market. Tak ada berkas yang berkaitan dengan kecurangan Mas Ibram. Namun, aku menemukan ada lima buah buku tabungan deposito atas nama Mas Ibram yang disimpan

    Last Updated : 2023-07-25

Latest chapter

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Ending

    Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Jambret

    Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Hasil Persidangan

    "Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Tania

    "Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Perkiraan Pelaku

    "Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Kebakaran

    "Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Berdebar

    "Kamu benar-benar harus hati-hati, Vi!" pesan Wildan. "Kita enggak tau pasti, Rena dan Ibram itu seperti apa. Jangan sekali-kali sepelekan mereka!" Wildan menatapku serius. Lelaki itu tampak begitu peduli kepadaku.Aku menghela napas berat. Rasanya kepalaku pusing menghadapi permasalahan ini. Ini benar-benar seperti mimpi. Beberapa waktu lalu semua baik-baik saja. Ibram sosok suami dan lelaki terbaik yang pernah aku miliki, tetapi ternyata itu hanya topeng. Dan setelah semua terbuka, ternyata laki-laki itu semengerikan itu."Bantu aku, Wil. Aku benar-benar ...." Aku menggantung kalimatku. Memijit pelipis yang berdenyut karena memikirkan ini. Aku bahkan sampai tidak tahu harus berkata apa."Pasti." Wildan menoleh beberapa saat kepadaku sembari tersenyum. Lalu kembali fokus pada jalanan. "Kamu pasti bisa melalui ini. Aku yakin, kamu wanita tangguh!"Aku tersenyum merespon support dari Wildan. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Ancaman

    Wildan memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Sehingga tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di area parkir mall.Segera aku menelepon Papa menanyakan keberadaannya. Kemudian aku dan Wildan bergegas menemuinya.Lelaki yang telah memasuki usia senja itu dari kejauhan tampak duduk dengan gelisah. Berkali-kali ia tampak mengedarkan pandangan. "Pa!" panggilku saat jarak kami sudah cukup dekat.Lelaki yang selama ini mendidikku dengan keras itu menoleh."Gimana?" tanyanya. "Kita langsung ke kantor polisi sekarang?"Aku menghela napas. Teringat kembali kondisi Fabian. Kalau Ibram dipenjara, bagaimana dengan mereka. Mereka tak punya siapa-siapa selain Ibram.Namun, lelaki itu sudah sangat jahat padaku."Gimana ya, Pa, baiknya?" Aku meminta pendapat Papa. "Kenapa?" tanya Papa."Anak Ibram, kan, sakit."Pa

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Tebusan

    Mendengar kabar Cahaya menghilang aku langsung menghubungi Wildan. Entah kenapa, yang terpikir di kepalaku pengacara itu. Aku yakin ini ulah Ibram. Siapa lagi yang mencari masalah denganku kalau bukan laki-laki itu."Wil, Aya menghilang," ucapku setelah terdengar sapaan dari Wildan di ujung ponsel."Gimana bisa, Vi?" Suara Wildan terdengar terkejut."Enggak tahu, barusan Papa telepon." Aku berusaha menjelaskan dengan tenang meski sebenarnya aku sangat panik. Aku takut Ibram nekat melakukan hal yang tidak-tidak."Kamu dimana sekarang?" tanya Wildan. Sepertinya laki-laki itu mau langsung menemuiku."Aku ...." Aku menoleh ke arah Rena. Aku bahkan sampai lupa kini ada di mana dan sedang bersama siapa saking paniknya. "Aku di rumah sakit permata, Wil. Kamu ke sini?""Oke. Tunggu jangan kemana-mana!" Tanpa berkata-kata lagi, Wildan mematikan sambungan teleponnya."Aya menghilang, Mbak?" tanya Rena setelah aku menurunkan ponsel dari telinga. Raut wajahnya terlihat cemas. Sepertinya pikiran

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status