Dadaku serasa terbakar memikirkan Mas Ibram ada main di belakangku. Entah Rena itu Maharani, atau Rena sebenarnya adalah selingkuhan Mas Ibram. Walaupun penampilan Rena seperti ondel-ondel begitu, tak menutup kemungkinan mereka berselingkuh.
Bukankah syarat menjadi selingkuhan itu tak harus cantik? Cukup menjadi murah saja. Itu sudah cukup.Besok pagi aku akan menemui ondel-ondel itu di minimarket. Akan kubongkar topeng yang ia pasang kemarin di hadapanku. Dia bilang pindah dari Kalimantan? Lalu pindah ke sini karena mau kerja atau buka usaha? Pintar sekali ia mengarang cerita. Tak tahunya selama ini ia bekerja di mini marketku. Benar-benar pembohong besar mereka berdua."Ma!" Aku tersentak saat terdengar Mas Ibram memanggilku. Lelaki itu mengakat kepalanya sembari masih berbaring."Lagi ngapain? Kok, belum tidur?" tanyanya."Ini lagi balas pesan," dustaku."Udah malam ini, lanjut besok aja!" titahnya.Aku beranjak dari sofa, kemudian mengganti handuk kimono dengan baju tidur. Setelahnya kurebahkan badan di samping Mas Ibram.Lelaki yang baru saja terbangun itu menunjukkan gelagatnya ingin menyentuhku. Namun, karena sekarang aku tahu ada yang tak beres dengannya, terpaksa aku berdusta. Aku bilang sedang berhalangan. Aku tak mau disentuhnya dulu, sebelum Mas Ibram terbukti setia dan Rena benar-benar bukan siapa-siapa.Mas Ibram menghela napas berat. Tampak ia kecewa, malam ini hasratnya tak bisa tersalurkan. Sementara aku langsung memejamkan mata, pura-pura langsung tertidur.Pagi hari berjalan seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Cahaya berpamitan untuk ke sekolah bersama pengasuhnya, Mbak Susi. Mereka berdua diantar oleh Pak Udin, supir keluarga kami. Beberapa saat setelah Cayaha berangkat, Mas Ibram belum juga keluar dari ruang kerjanya. Penasaran, aku naik ke lantai dua untuk menyusulnya. Aku tak langsung masuk. Kuamati dulu lelaki itu dari kaca lebar yang membentang sebagai dinding ruang kerjanya.Terlihat lelaki itu sedang sibuk mencari-cari sesuatu. Mengangkat-angkat tumpukan berkas. Bolak-balik membuka laci. Menghentak-hentakkan buku agenda yang kemarin dia pakai menutup foto yang telah kuamankan. Bahkan ia sampai menunduk mencari-cari di kolong meja."Sedang cari apa, Pa?" tanyaku begitu membuka pintu ruang kerjanya.Mas Ibram tampak terkejut melihat kedatanganku. "Ehm, ini, Ma. Ehm, ada berkas laporan yang terselip," jawabnya sembari merapikan berkas dan buku-buku yang berserak di mejanya.Benarkah berkas laporan yang kamu cari, Pa? Atau selembar foto yang kini ada padaku? Baru tahu aku. Ternyata selama ini kamu pandai sekali berdusta!"Laporan apa?" tanyaku pura-pura percaya. Padahal aku yakin, lelaki itu sedang mencari fotonya bersama Rani. "Aku bantu cari, ya?""Enggak usah!" serunya seketika. Wajah itu tampak terperangah.Aku sampai terkejut dengan reaksinya. Dalam hati aku tersenyum jahat. Pasti Mas Ibram takut sekali kalau aku yang menemukan apa yang sedang dicarinya."Loh, kenapa?" tanyaku pura-pura bingung. Kita lihat, Pa! Siapa yang akan menjadi juara dalam sandiwara ini? Kamu pikir aku tak bisa?"Ehm, itu, Ma. Nanti biar aku cari di kantor aja. Kayaknya kemarin tertinggal di sana," kilahnya."Ya, sudah. Kamu cari di kantor, aku cari di sini. Siapa tahu terselip di sini," ucapku sok peduli."Enggak, Ma! Enggak usah! Aku sudah ingat. Kemarin sudah kukasihkan ke Mona buat direvisi," ucapnya."Oh." Bibirku membulat cukup lama."Ya, sudah. Yuk, Ma! Aku mau berangkat!" ajak Mas Ibram sembari merangkulku berjalan keluar dari ruangan ini. Setelah sampai di depan pintu, lelaki itu menutup dan mengunci pintu ruang kerjanya."Kenapa dikunci, Pa?" protesku. Karena selama ini tak pernah Mas Ibram mengunci ruangan ini."Takut Mbok Sar atau Mbok Inul masuk, Ma. Nanti malah ada yang hilang," ujarnya."Biasanya juga mereka bersih-bersih, semuanya aman, Pa!" Sengaja aku tak setuju dengan perkataannya."Udah, aku mau berangkat dulu, ya!" pamitnya tampa peduli argumenku. Diciumnya keningku dengan terburu-buru kemudian tanpa kata ia berjalan cepat menuruni anak tangga. Aku sampai melongo melihatnya. Padahal biasanya aku mengantarnya sampai teras. Baru ia mencium keningku. Kemudian aku mencium tangannya dan ia berangkat.Meskipun Mas Ibram meninggalkanku, aku menyusulnya sampai teras. Aku ingin memastikan lelaki itu sudah pergi dari rumah. Karena hari ini aku akan mengunjungi mini market tempat Rena bekerja.Setelah melihat pintu gerbang ditutup Pak Sarno, aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Kupandangi pantulan diri di cermin. Aku mengenakan tunik polos warna navy dipadukan celana kulot berbahan jeans. Hari ini aku juga mengenakan pasmina warna hitam.Terlihat di cermin, kulitku yang putih begitu kontras dengan pakaian yang kukenakan. Meskipun usiaku sudah tak muda, namun tubuh dan wajahku tak ikut tua. Mataku masih sebening dulu, tanpa kerutan di sekitarnya. Hidungku juga runcing berpadu dengan bibir tipis warisan Mama. Dulu waktu gadis Mama selalu bilang aku mirip artis Fairus A. Rafiq.Benar-benar bodoh dan buta kalau sampai Mas Ibram berselingkuh dengan Rena. Kami seperti langit dengan bumi. Bukannya aku sombong, tetapi itu memang fakta setelah pertemuan kami kemarin.Setelah merasa puas cukup melihat penampilanku, segera aku mengambil kontak mobil dan keluar menuju garasi. Sebelumnya juga sudah kupastikan bahwa Mas Ibram hari ini tak ada jadwal berkunjung ke mini market tempat Rena bekerja.Kupacu mobil dengan bersemangat. Ingin kupermalukan ondel-ondel itu di depan umum. Berani sekali dia menipuku. Sedang ia ternyata bekerja di mini marketku. Dia pikir bisa bersembunyi di ketiak Mas Ibram.Oh, ya. Rumah itu. Darimana dia punya uang sebanyak itu untuk membeli rumah di perumahan yang cukup elit? Meskipun cuma satu lantai, tak seperti rumah Tania, tetapi harga tanah dan rumah di perumahan itu cukup tinggi. Tania saja sampai menjual dua kapling tanahnya untuk menambah kekurangan uang tabungannya.Lalu Rena? Dia cuma supervisor di mini marketku. Aku tahu gajinya berapa. Butuh waktu puluhan tahun untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak harga rumah itu.Jangan-jangan ...?Awas saja Mas Ibram kalau sampai dia ketahuan membelikan Rena rumah itu. Akan kutendang mereka ke asalnya.Tak sampai satu jam perjalanan, mobilku sudah terparkir di area parkir mini Market. Begitu turun dari mobil, salah seorang pramuniaga yang sedang mengecek barang dari mobil box mengangguk hormat kepadaku. Persis seperti Mas Ibram dulu.Aku melangkah menuju pintu masuk setelah tersenyum simpul pada pramuniaga tersebut. Kudorong pintu kaca. Sambutan serupa kuterima dari dua kasir dan dua orang pramuniaga lainnya.Setelah tersenyum simpul pada mereka, kulanjutkan langkah menuju pintu yang ada di pojok. Ruangan itu tempat supervisor mengolah laporan harian toko.Setelah mengetuk pintu, aku menekan handelnya. Seketika pintu terbuka. Ada seorang supervisor laki-laki duduk di depan komputer. Melihat kedatanganku, laki-laki itu berdiri."Selamat pagi, Bu!" sapanya sembari mengangguk hormat."Selamat pagi," jawabku. "Dimana temanmu?" tanyaku langsung pada intinya."Teman ...?" Supervisor itu tampak bingung."Iya, bukannya bukan cuma kamu supervisor di sini?" tegasku."Maksud Ibu?""Aku mau ketemu sama supervisor yang bernama Rena Andini!" jelasku tegas. Aku tak suka bertele-tele seperti itu."Supervisor Rena Andini?" Dia balik bertanya."Ya, dimana dia?" tanyaku tegas."Di sini supervisornya cuma saya, Bu. Riski Hermawan."Apa? Jadi supervisor bernama Rena Andini itu hanya fiktif? Itukah cara yang dilakukan Mas Ibram untuk mengambil uang dari usaha mini marketku?Tidak bisa dibiarkan! Aku harus secepatnya bertindak!Tak ingin membuang waktu, segera kuhubungi Mona. Memastikan sekali lagi kalau hari ini Mas Ibram hanya di kantor tidak ada kunjungan ke semua mini market kami. Setelah mendapat kepastian, segera kuhubungi Indra, kepala HRD.Aku meminta Indra untuk mengumpulkan semua karyawan di mini market tempatku berada secepatnya. Aku ingin mencocokkan jumlah real karyawan dengan data yang semalam Alvin kirim."Beri saya waktu satu jam, Bu!" pinta Indra.Aku menyetujuinya. Kutunggu kehadiran mereka di ruangan Riski. Pemuda itu mempersilahkan aku duduk di kursinya. Karena memang tidak ada kursi lain di ruangan ini.Setelahnya, Riski keluar untuk mempersiapkan ruangan, agar nanti bisa dipakai untuk mengumpulkan semua karyawanku kecuali yang berada di kantor Mas Ibram.Minimarket kami tutup sampai semua yang ingin kuketahui beres. Aku meminta Indra, agar Mas Ibram jangan sampai tahu soal ini.Sekitar satu jam kemudian, semua karyawan mini market seluruh cabang berkumpul. Aku lihat, rata-rata jumlah ka
Seketika aku berdiri melihat kedatangan Mas Ibram. Darahku serasa mendidih. Wajahku memanas. Kedua tanganku mengepal kuat. Dengan hati membara, aku melangkah hendak menghampiri mereka.Namun, seketika langkahku terhenti. Aku tak boleh gegabah. Yang ada nanti mereka akan kembali mengelak. Mencari seribu alasan untuk menutupi kebusukannya.Aku kembali mundur dan duduk di kursi semula. Aku akan mengamati mereka dan mengabadikan momen langka ini. Segera kuambil ponsel, kunyalakan perekam video kemudian mengarahkan ke posisi mereka. Kujaga agar ponselku cukup di meja. Terlalu kentara apabila aku memegangi dengan mengarah ke mereka."Sudah dari tadi?" Aku bisa mendengar suara Mas Ibram dari sini. Kebetulan di depan tempat dudukku berdiri tiang cukup besar, sehingga keberadaanku tak terlihat oleh mereka."Lumayan," jawab Rena.Fabian tampak mencium tangan Mas Ibram. Kemudian Mas Ibram mencium kepala anak itu. Setelahnya Rena juga mencium tangan Mas Ibram dan Mas Ibram mencium kening Rena. Se
Kubanting sekuat tenaga pintu mobil Tania. Dadaku rasanya mau meledak. Hatiku sakit, sangat sakit. Meskipun di depan mereka aku bisa terlihat kuat, tetapi sungguh, sebenarnya aku hatiku hancur. Aku benar-benar remuk. Tak berbentuk."Aaagrh!"Aku berteriak, menangis meluapkan semua rasa yang sejak tadi begitu sesak menghimpit dada. Saat ini aku tak lagi bisa menahannya. Ternyata seperti ini rasanya, ketika orang yang aku cinta, ternyata tidak menjadikan aku satu-satunya. Sakit. Sangat sakit. Seperti beribu-ribu anak panah menancap di dadaku secara bersamaan. Kemudian satu persatu dicabut dengan brutal."Ya Allah!" ratapku. "Ini sakit sekali ...."Bagaimana batinku tidak terkoyak, saat binar bahagia tergambar jelas di wajah Mas Ibram justru saat ia bersama Rena? Belum pernah aku melihat Mas Ibram sebahagia itu saat menghabiskan waktu bersamaku.Harga diriku hancur. Hatiku perih. Sangat perih. Apa yang bisa mengobati rasa ini, Tuhan?Aku tergugu dengan membenamkan wajah pada setir. Berb
Tania benar. Mas Ibram tak lebih dari seonggok sampah. Maka, memang sudah sepantasnya harus aku buang."Iya, Tan. Aku harus membuangnya. Sebelum dia mencemari yang lainnya," ucapku dengan yakin. Meski hatiku remuk, tetapi pikiranku harus tetap waras. Aku tidak mau dipermainkan seperti ini."Bagus!" ucap Tania sembari mengacungkan jempolnya. "Sekarang kamu harus kumpulkan bukti untuk gugat dia, Vi!" ucap Tania dengan berapi-api.Aku menghela napas. Rasanya ini seperti mimpi saja. Aku benar-benar tak menyangka kalau pernikahanku akan seperti ini akhirnya. Namun, apa hendak dikata, saat suratan Tuhan telah digariskan dan hanya bisa dihadapi semampuku."Bukan hanya untuk menggugat, Tan," ucapku dengan lemah karena rasanya saat ini aku benar-benar berada di titik terendah. "Tapi untuk Papa juga. Enggak mungkin Papa akan percaya sama aku begitu aja. Kamu tahu, kan, kayak gimana Mas Ibram di mata Papa?" ucapku tanpa semangat sama sekali. Kontras sekali dengan Tania yang begitu berapi-api."B
Aku dan Tania saling bertatapan. Beberapa saat kemudian aku mengangguk mantap."Panggil tukang kunci atau kalau perlu rusak sekalian pintu ini, Pak!" titahku tegas. Sekarang aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi menyelidiki Mas Ibram. Toh, dia sudah tahu kalau aku akan melakukan ini.Pak Hasim tampak ragu. Dia masih menatapku tanpa bicara."Cepat, Pak!" titahku."Ba-baik, Bu."Pak Hasim menyalakan lampu koridor tempat kami berdiri, kemudian beranjak pergi."Benar-benar niat Ibram, ya!" geram Tania."Aku sebenarnya masih bingung, Tan. Enggak ngerti sama apa yang sebenarnya terjadi. Ini kayak .... Rasanya kayak tiba-tiba semua berubah. Dan aku enggak tahu alasan Ibram apa?" Tania mengusap punggungku. "Kamu harus kuat! Apapun kenyataan yang terjadi nanti, kamu harus yakin itu yang terbaik.""Iya, Tan. Cuma rasanya ini kayak tiba-tiba banget. Awalnya cuma kemarin Ibram ketahuan bantu Rena pindahan, setelah itu satu persatu kebohongan dia terungkap. Dan ini terjadi cuma dalam hitungan hari
Aku dan Tania melangkah mendekati brankas tersebut dengan hati-hati. Aku melihat banyak tumpukan uang, emas, dan berkas-berkas lainnya."Ambil semua aja, Tan!" pintaku pada Tania. Wanita berjemari lentik itu berhati-hati memindahkan barang-barang dari brankas tersebut ke meja kerja Mas Ibram.Setelah brankas kosong, aku mengecek apa saja isi yang tadi telah kami pindahkan. Kuambil amplop cokelat besar untuk menyimpan uang tunai dan emas batangan. Tak lupa kuambil setumpuk uang bertulis nominal sepuluh juta untuk Pak Hasim. Sepertinya cukup untuk upahnya malam ini."Wah, terima kasih sekali, Bu!" ucap Pak Hasim dengan mata berbinar. Dipeluknya uang bonus tersebut.Selanjutnya aku dan Tania mengecek satu persatu berkas yang masih berserak di meja. Isinya berkas-berkas kantor dan mini market. Tak ada berkas yang berkaitan dengan kecurangan Mas Ibram. Namun, aku menemukan ada lima buah buku tabungan deposito atas nama Mas Ibram yang disimpan
"Vi, ada apa?" tanya Tania dengan suara terdengar panik.Sementara aku masih mematung dengan jemari gemetaran. Mataku menatap kosong ke depan dengan bibir setengah terbuka.Tania berusaha mengambil ponsel Mas Ibram yang kujatuhkan. Dari sudut mata aku bisa melihat mata lebar Tania bergantian memandangku dan juga ponsel Mas Ibram yang kini di tangannya.Kemudian Tania membuka ponsel Mas Ibram. Kedua mata lebarnya fokus di sana."Tan, tolong antar aku pulang sekarang juga!" pintaku pada Tania.Gemuruh di dadaku sudah seperti gulungan ombak yang siap menerjang karang. Aku akan tendang penipu itu sekarang juga. Tak ada ampun untuk manusia hina sepertinya.Tania buru-buru menaruh ponsel Mas Ibram di pangkuannya. Kemudian dengan lincah, memacu mobil ke arah rumahku."Sampai rumah kamu mau gimana?" tanya Tania sembari menyetir."Aku akan usir dia langsung, Tan. Dia bukan manusia. Aku akan kembalikan dia ke tempat asalnya!" tekadku. Aku tak menangis, bersedih atau perasaan galau lainnya. Yan
Langkahku tak selebar tadi. Kuseret kakiku mendekati sofa dengan nyali tinggal separuh. Sejak dulu aku memang takut dengan Papa. Aku tak pernah berani melawan laki-laki itu. Papa terlalu keras untuk dijadikan lawan. Ucapannya tak terbantahkan."Viona bisa jelasin, Pa!" ucapku masih berusaha tenang."Duduk!" titah Papa.Sembari duduk, aku bertanya-tanya. Ada apa? Kenapa Papa terlihat begitu marah? Tak mungkin hanya karena aku pulang malam Papa semarah itu."Pa, Viona habis ....""Diam!" bentak Papa sembari kedua bola matanya melotot. "Dengar baik-baik! Sampai kapanpun, Papa enggak akan setuju kamu cerai dengan Ibram!"Mataku melebar mendengar itu. Aku menatap tak percaya pada wajah lelaki yang masih berdiri di depanku. Apa maksud Papa berkata begitu? Aku bahkan belum mengatakan apa-apa. Apalagi tentang perceraian."Maksud Papa?" Aku menuntut penjelasan kepada lelaki berkac
Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe
Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku
"Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha
"Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat
"Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke
"Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa
"Kamu benar-benar harus hati-hati, Vi!" pesan Wildan. "Kita enggak tau pasti, Rena dan Ibram itu seperti apa. Jangan sekali-kali sepelekan mereka!" Wildan menatapku serius. Lelaki itu tampak begitu peduli kepadaku.Aku menghela napas berat. Rasanya kepalaku pusing menghadapi permasalahan ini. Ini benar-benar seperti mimpi. Beberapa waktu lalu semua baik-baik saja. Ibram sosok suami dan lelaki terbaik yang pernah aku miliki, tetapi ternyata itu hanya topeng. Dan setelah semua terbuka, ternyata laki-laki itu semengerikan itu."Bantu aku, Wil. Aku benar-benar ...." Aku menggantung kalimatku. Memijit pelipis yang berdenyut karena memikirkan ini. Aku bahkan sampai tidak tahu harus berkata apa."Pasti." Wildan menoleh beberapa saat kepadaku sembari tersenyum. Lalu kembali fokus pada jalanan. "Kamu pasti bisa melalui ini. Aku yakin, kamu wanita tangguh!"Aku tersenyum merespon support dari Wildan. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku
Wildan memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Sehingga tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di area parkir mall.Segera aku menelepon Papa menanyakan keberadaannya. Kemudian aku dan Wildan bergegas menemuinya.Lelaki yang telah memasuki usia senja itu dari kejauhan tampak duduk dengan gelisah. Berkali-kali ia tampak mengedarkan pandangan. "Pa!" panggilku saat jarak kami sudah cukup dekat.Lelaki yang selama ini mendidikku dengan keras itu menoleh."Gimana?" tanyanya. "Kita langsung ke kantor polisi sekarang?"Aku menghela napas. Teringat kembali kondisi Fabian. Kalau Ibram dipenjara, bagaimana dengan mereka. Mereka tak punya siapa-siapa selain Ibram.Namun, lelaki itu sudah sangat jahat padaku."Gimana ya, Pa, baiknya?" Aku meminta pendapat Papa. "Kenapa?" tanya Papa."Anak Ibram, kan, sakit."Pa
Mendengar kabar Cahaya menghilang aku langsung menghubungi Wildan. Entah kenapa, yang terpikir di kepalaku pengacara itu. Aku yakin ini ulah Ibram. Siapa lagi yang mencari masalah denganku kalau bukan laki-laki itu."Wil, Aya menghilang," ucapku setelah terdengar sapaan dari Wildan di ujung ponsel."Gimana bisa, Vi?" Suara Wildan terdengar terkejut."Enggak tahu, barusan Papa telepon." Aku berusaha menjelaskan dengan tenang meski sebenarnya aku sangat panik. Aku takut Ibram nekat melakukan hal yang tidak-tidak."Kamu dimana sekarang?" tanya Wildan. Sepertinya laki-laki itu mau langsung menemuiku."Aku ...." Aku menoleh ke arah Rena. Aku bahkan sampai lupa kini ada di mana dan sedang bersama siapa saking paniknya. "Aku di rumah sakit permata, Wil. Kamu ke sini?""Oke. Tunggu jangan kemana-mana!" Tanpa berkata-kata lagi, Wildan mematikan sambungan teleponnya."Aya menghilang, Mbak?" tanya Rena setelah aku menurunkan ponsel dari telinga. Raut wajahnya terlihat cemas. Sepertinya pikiran