Selly kembali datang ke Jakarta untuk memenuhi permintaan Amira. Wanita berwajah cantik itu merasa terancam dengan gertakan Amira padanya. Apalagi ia juga tak ingin terlibat dalam kasus yang menjerat Anton terkait dengan penggelapan dana yang dilakukan pria itu. Selly sangat kesal dan kecewa pada Anton karena telah membohonginya. Padahal ia sangat berharap banyak pada lelaki itu yang menurutnya lebih baik daripada Radit.Kini hubungannya dengan Radit sudah berakhir karena kebodohannya mempercayai laki-laki seperti Anton. Selly menyesalinya, tetapi semuanya sudah terjadi.Selain karena permintaan Amira untuk berbicara jujur di lingkungan keluarga Yudha, kedatangan Selly ke ibu kota juga untuk memperbaiki hubungannya dengan Radit. Selly berharap Radit mau memaafkannya. Ia juga ingin mengatur rencana untuk menghadapi Amira nantinya.Selly telah sampai di kediaman orang tuanya. Terlihat sang ayah yang kini berbaring lemah di kamarnya. Ayahnya sudah mulai sakit-sakitan. Selly pun mendeka
Amira berdiri di balkon kamarnya, ia memindai pemandangan yang terbentang di depannya. Terlihat rumah Radit masih dalam keadaan yang sama, meskipun tak terlihat jelas dari atas balkon itu. Seketika kenangan-kenangan Amira saat tinggal di rumah itu kembali menari dalam benaknya. Tiba-tiba ia ingin tahu kabar mantan mertua dan adik iparnya tersebut.Amira tersenyum, ia tak menyangka jika fitnahan keji yang diterimanya dulu telah mengubah jalan hidupnya sampai seperti ini.Setelah memastikan Gemilang tertidur lelap, Delia menghampiri Amira yang masih berdiri di balkon kamar mereka.Ia menepuk pelan bahu Amira, sehingga membuat perempuan berambut ikal itu menoleh padanya."Lo sedang mikirin apa, Mir?" tanya Delia."Kamu lihat Del, rumah bercat biru yang ada diujung jalan sana?" Amira menunjuk sebuah rumah bercat biru yang berada di komplek perumahan di bawah apartemennya. Meskipun jauh, tetapi rumah itu terlihat dari lantai lima kamar Amira."Yang letaknya tepat di ujung jalan itu kan?"
Rania terlihat menemui seorang lelaki yang sudah menunggunya di lobby. Wanita berambut blonde itu seketika langsung menggamit mesra lengan lelaki tersebut. "Sayang, maaf ya lama," ucap Rania pada pria itu. "Kamu kenapa? Matamu sembab?" tanya pria tersebut. "Gak kok, sayang. Tadi aku kelilipan. Ayok, lebih baik kita pulang saja," ajak Rania. "Pulang ke mana?" "Ke kosan kamu aja yang. Aku bete di rumah," jawab Rania. "Okey, yuk. Kita bisa senang-senang mumpung kosanku sepi." Pria itu menjawil pipi Rania kemudian sepasang sejoli itu berjalan keluar dari mall.Amira mengikuti mereka hanya sampai benar-benar keluar dari mall. Ia kemudian menghubungi seseorang yang sudah dipercaya untuk menyelidiki foto-foto vulgarnya dahulu. "Hallo, bagaimana hasil penyelidikanmu?" tanya Amira kepada seseorang yang diteleponnya. "Benarkah? Kau sudah ada bukti? Oke baiklah. Secepatnya kirim semua bukti itu padaku." Amira mematikan ponselnya. Senyum di bibirnya mengembang saat mengetahui informasi y
Sebuah pesan masuk dalam ponsel Amira. Wanita berlesung pipit itu melengkungkan senyum saat membaca deretan pesan yang masuk dalam ponselnya. Bukti-bukti bahwa foto-foto vulgar dirinya itu telah didapat.Ia juga mengetahui orang yang telah mengedit foto itu.Amira menutup ponsel memasukkan ke dalam tas kecil miliknya. Ia menatap wajahnya ke dalam cermin, melanjutkan mamakai lipstik yang tadi tertunda.. Hari ini, Amira berencana akan menemui Syahla. Amira ingin membujuk Syahla agar mau kembali ke rumah karena Ibunya sedang sakit. Untuk urusannya dengan ipar dan mantan mertuanya, ia kesampingkan terlebih dahulu. Amira hanya ingin Ibunya segera bertemu Syahla dan sembuh dari sakitnya."Del, titip Gemilang ya. Aku pergi sebentar." Amira berpamitan pada Delia yang masih meringkuk di atas kasur. Delia hanya mengangguk, Gemilang masih tertidur pulas di sampingnya.Amira melangkahkan kakinya keluar dari apartemen. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul enam pagi. Tetapi, Amira
"Syahla, bukankah itu, Kak Yudha?" tanya Amira."Iya, Mir. Mas Yudha atasanku di kantor," jawab Amira."Benarkah? Kebetulan sekali. Sepertinya kamu semakin dekat dengannya, ya?"Syahla hanya tersenyum tak menjawab pertanyaan Amira."Kak Yudha, apa kabar?" Amira bertanya saat dia sudah berada di dekat mobil Yudha."Baik," jawab Yudha, ia hanya tersenyum sekilas. Ada rasa sesak di hati Amira, saat tahu respon Yudha yang terlihat biasa saja. Bahkan terkesan cuek padanya."Kamu tinggal di mana, Mir?" tanya Syahla."Aku tinggal di apartemen itu." Amira menunjuk sebuah gedung apartemen yang tak jauh dari situ. Bangunannya terlihat jelas dari rumah Nisa."Oh, benarkah? Yuk sekalian bareng saja. Kita bakal lewat depan apartemen itu." Syahla menawarkan tumpangan pada Amira.Amira melirik Yudha, lelaki berjambang tipis itu terlihat sedang sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia lihat di ponsel itu, kedatangan Amira seolah tak dianggapnya. Ada yang nyeri di sudut hati Amira dengan sikap acuh Y
"Silahkan ikuti saya masuk ke ruangan, Pak." Sang sekretaris mempersilahkan Pak Gun dan Amira masuk ke ruangan Radit. Saat tiba di depan pintu, ponsel di tas Amira berdering, ia segera mengambilnya. Ternyata yang menelepon adalah Bu Syahnaz. Amira pun menyuruh Pak Gun untuk masuk ruangan terlebih dahulu karena dia akan mengangkat telepon dari Ibunya."Pak Gun, masuk duluan. Saya mau angkat telepon dulu. Nanti saya nyusul," ucap Amira yang dibalas anggukan oleh Pak Gun.Amira pun berbalik, melipir menuju balkon yang kebetulan berada tak jauh dari ruangan itu.Senyum melengkung terukir di bibir Radit. Ia menyambut dengan senang kedatangan Pak Gun di perusahaan ini. Pak Gun sudah sering ke sini semenjak perusahaan Selly bekerja sama dengan Abimanyu Group."Selamat pagi, Pak Gun. Silahkan duduk," ujar Radit setelah menyalami Pak Gun."Terima kasih, Pak Radit." Pak Gun kemudian duduk di sofa yang berada di situ.Selly pun beranjak dari tempatnya bekerja, ia kemudian menyusul Radit menya
"Bu Selly yang terhormat, bisakah Anda jelaskan pada suami Anda, siapa saya sebenarnya?Apakah benar, apa yang dituduhkan olehnya terhadapku?" Amira berujar pada Selly, dengan nada setenang mungkin.Selly mendongak, manik hitamnya bersirebok dengan manik hitam milik Amira. Selly tak bisa menyembunyikan kegugupannya."Aku tak tahu," jawab Selly berbohong."Yakin? Kau tak lupa kan dengan perjanjian kita di restoran kala itu?" Selly memiliki ujung bajunya, kali ini sepertinya ia tak bisa berkata hal macam-macam tentang Amira selain mengatakan yang sebenarnya pada Radit. Lama Selly terdiam, ia terlihat gugup dan merasa tidak nyaman. Berkali-kali melirik Radit dan Amira bergantian. Ingin rasanya kembali menyangkal semuanya tetapi sepertinya ia tak punya pilihan."Kenapa kamu diam saja, Sell?" tanya Amira. "Coba jelaskan pada suamimu itu, apa benar aku gundik Tuan Abimanyu?" "Dia bukan istriku, Mir. Kami sedang proses bercerai," timpal Radit. Ia ingin menjelaskan pada Amira jika dia dan
"Maaf?"Radit mengangguk, ia sebenarnya merasa malu pada Amira karena telah menuduhnya yang bukan-bukan. Hal yang selama ini terbesit dalam pikirannya tidak benar-benar terjadi."Abang tahu, Abang sudah menuduhmu yang tidak-tidak. Abang minta maaf, Mir."Amira menggeleng pelan. Ia tak menjawab ucapan Radit. Amira malah berbalik dan kembali melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu."Mir, tunggu! Kamu gak mau maafin, Abang?" tanya Radit setengah berteriak. Ia hendak mengejar Amira namun langkahnya terhenti karena Pak Gun segera melarangnya."Pak Radit, tolong jangan ganggu Nona Amira. Biarkan dia pergi!" ucap Pak Gun dengan tegas.Pak Gun kemudian kembali melangkahkan kakinya menyusul Amira. Sementara Radit hanya terdiam menatap kepergian Pak Gun dan Amira yang mulai masuk ke dalam lift.Radit masuk ke dalam ruangannya. Terlihat Selly yang luruh di lantai dengan tatapan kosong. Radit tak mempedulikan Selly, ia kembali ke meja kerjanya dan segera mengambil kunci mobil yang ia letakka
"Ayo, cerita, ada apa?" tanya Nisa kemudian setelah mereka duduk."Nis, apa keputusanku ini salah ya? Apa aku telah egois?" Syahla mulai bercerita."Keputusan buat nikah dengan Pak Yudha? Bukankah itu mimpi kamu?" Nisa merasa tak mengerti dengan ucapan Syahla."Maksud aku gini, aku pikir, aku akan bahagia mendapatkan Mas Yudha. Namun, hati kecilku merasa hampa karena aku tahu, Mas Yudha tak mencintaiku. Aku merasa Mas Yudha tak bahagia jika menikah denganku. Ia selalu bersikap dingin meskipun kami akan menikah. Aku pikir, Mas Yudha masih mencintai Amira," ujar Syahla."Terus, mau kamu apa, La? Apa kamu berpikir untuk melepaskan Yudha dan Amira untuk bersama? Bukankah, kau membenci Amira?" seloroh Nisa."Iya, sih. Namun, aku kembali merenung akhir-akhir ini. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah Amira. Ini hanya keegoisanku semata karena cemburu padanya. Aku bingung, Nis. Namun, untuk mundur dan melepas Mas Yudha, aku sudah terlanjur malu dengan foto-foto itu.""Hati kecilku juga me
Syahla baru saja sadar dari pingsannya. Setelah semalaman tak sadarkan diri. Terlihat Nisa yang sedang menjaganya. "Nisa," ucap Syahla lirih."Syahla, kamu udah sadar? Alhamdulillah ..." Nisa menangis haru, ia sangat takut kehilangan sahabatnya tersebut."Nis, aku masih hidup kan?" tanya Syahla."Iya, bod*h. Kau masih hidup, janji jangan kau ulangi perbuatan bod*hmu itu, La," ujar Nisa."Buat apa aku hidup, Nis. Semua kebahagiaanku sudah direnggut oleh Amira. Aku bahkan sudah tidak punya muka lagi sekarang. Hanya karena cinta, aku bertindak bod*h." Syahla menyesali perbuatannya."Aku benci Amira, Nis! Aku benci dia, karena dia hidup aku hancur seperti ini," sambungnya."Syahla, kamu yang tenang ya. Pak Yudha pasti akan menikahimu," ucap Nisa."Nggak mungkin, Nis. Mas Yudha tak akan menikahiku, ia pasti sangat membenciku saat ini.""A-aku akan menikahimu, Syahla." Suara seorang lelaki yang tak begitu asing di telinga Syahla.Syahla pun menoleh, mencari lelaki itu. Terlihat Yudha sudah
Malam hari.Syahla tengah melihat foto-foto di galeri ponselnya di dalam kamar. Foto-foto mesra yang ia ambil dengan dibantu Nisa, ketika Yudha tengah tak sadarkan diri di kamarnya. Ia sedang berpikir untuk mengirim foto-foto itu di media sosial miliknya. Juga, ia akan mengirim di grup pekerjaannya di kantor. Meskipun, hal itu akan sangat memalukan, tetapi Syahla sudah tak punya cara lain lagi.Ia kemudian mengirim foto-foto itu di grup kerjaanya. Tak lama, grup kerjaanya itu heboh dengan banyaknya komentar dari rekan-rekan karyawan di kantornya. Semua komentar hampir menanyakan apa maksud dari Syahla mengirimkan foto-foto ini. Serta, menanyakan apakah benar foto-foto itu adalah foto Yudha dan Syahla?Syahla hanya membaca kehebohan di grup kantor, ia tak berniat membalasnya. Deretan pesan pribadi pun memenuhi ponselnya. Rata-rata dari teman kantornya."La, kamu benar-benar gila ya? Kamu serius kirim foto itu di grup kantor?" Nisa menghampiri Syahla, ia tak percaya dengan tindakan nek
Amira begitu kecewa mendengar penuturan dari Yudha yang mengatakan, jika lelaki itu mengakui tidur di kamar yang sama dengan Syahla saat terbangun. Namun, Yudha sendiri merasa tak yakin jika melakukan hal itu, ia tak ingat apa pun."Aku tak begitu ingat, kenapa aku berada di kamar yang sama dengan Syahla. Aku juga merasa tak yakin jika aku melakukan hal itu. Hanya saja, aku merasa kecewa dengan diriku sendiri, Mir. Aku sudah menyakitimu, maafkan aku," sesal Yudha."Terus, apa yang akan kau lakukan, Kak? Apa kau akan menikahi Syahla?" tanya Amira datar.Yudha terdiam, entahlah dia tak tahu apa yang akan dia lakukan. Sebagai seorang lelaki yang dididik baik oleh keluarganya, ia tak ingin menjadi lelaki pengecut yang lepas dari tanggung jawab. Namun, ia tak yakin dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Syahla di kamar itu.Yudha kembali mengingat saat baru saja bangun dari pingsannya malam tadi. Ia memijit pelipisnya, merasa kepalanya begitu sakit. Pelan-pelan ia membuka matanya, terl
Syahla sedang pisisi tidur di samping Yudha. Meskipun tidak berpakaian seksi, Syahla melepas hijab yang menutup kepalanya."Nisa!" Syahla menoleh saat mendengar suara pintu terbuka dan Nisa masuk ke kamarnya."Syahla, aku berubah pikiran!" "Maksud kamu?"Nisa ke sisi Syahla kemudian menarik lengan wanita itu untuk segera bangun dari kasur."La, sadar, bukan seperti ini cara untuk mendapatkan Yudha! Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!" ujar Nisa memperingatkan."Aku tak peduli, Nis! Bagiku mendapatkan Mas Yudha adalah hal yang lebih penting. Aku bahkan rela jika harus tidur dengannya!" seloroh Syahla."Tapi aku tak bisa membantumu dalam hal ini. Aku seperti ini karena peduli padamu, La. Aku tak ingin kamu mempermalukan dirimu sendiri." Nisa berusaha menyadarkan Syahla dari ide konyolnya."Oke, tak masalah. Aku sudah punya rencana lain kalau kau tak mau membantuku. Tapi, untuk kali ini kau jangan ikut campur Nisa. Berhenti menasehatiku, kau cukup melihat saja dan jangan berit
"Gemilang? Itu ... Bukan apa-apa," jawab Syahla gugup. Ia khawatir Gemilang melihat aksinya memberikan beberapa tetes cairan ke dalam kopi milik Yudha."Tapi, aku pernah lihat itu di rumah Oma." Gemilang menunjuk sesuatu di tangan kiri Syahla.Syahla pun mengikuti pandangan Gemilang, ternyata yang dimaksud anak kecil itu adalah gelang yang dipake Syahla."Gelang ini?" tanya Syahla memastikan dengan menunjukkan gelang itu pada Gemilang.Gemilang mengangguk. "Gelangnya sama kaya punya Oma. Apa itu gelang punya Oma, Tan?"Syahla sedikit lega mendengar ucapan Gemilang. Ternyata benar, Gemilang menanyakan gelangnya."Ini gelang punya Tante. Oma membelikannya untuk Tante. Gelang Oma sama Tante samaan," jelas Syahla."Emang kenapa, kok Gemilang tanya gelang ini?" tanya Syahla kemudian karena penasaran."Dulu waktu di rumah Oma, aku ambil gelang Oma buat mainan. Habis itu, gelang Oma rusak. Oma marah sama aku, katanya itu gelang berharga punya Oma. Aku nggak boleh pegang gelang itu lagi." Gem
Yudha mendatangi apartemen Amira. Kali ini, ia datang bersama Syahla karena saat hendak pulang dari kantor, Syahla memaksa ikut bersama Yudha.Awalnya, Yudha enggan mengajak Syahla. Ia takut Amira akan salah paham padanya nanti."Aku hanya ingin meminta maaf pada Amira, Mas. Izinkan aku ikut denganmu. Bukankah, kau sudah tak marah denganku lagi? Aku janji tak akan mengganggu hubungan kalian," rengek Syahla saat Yudha hendak masuk ke dalam mobilnya.Yudha pun merasa tak enak. Ia akhirnya mengizinkan Syahla ikut dengannya datang ke apartemen Amira."Baiklah, ayo masuk!" perintah Yudha.Syahla pun tersenyum, gegas ia masuk ke dalam mobil Yudha dan duduk di samping lelaki itu.Sesampainya di apartemen, Yudha segera memarkirkan mobilnya. Berjalan beriringan dengan Syahla, menuju apartemen Amira. Yudha masih bersikap agak dingin pada Syahla, meskipun wanita itu mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Yudha mengobrol.Sementara itu, di dalam apartemen, sudah ada Radit yang juga baru saja
****Yudha tengah dilanda rasa bahagia karena hubungannya dengan Amira sudah jelas. Ia dan Amira sudah berencana untuk melakukan lamaran secara resmi dua minggu lagi dan selanjutnya menikah satu bulan setelahnya.Yudha teramat bahagia, ia selalu semangat dalam bekerja. Hari-harinya terasa indah dan rasanya sudah tak sabar untuk menuju hari itu. Namun, hal itu juga membuatnya sedikit posesif pada Amira karena takut kehilangan wanita itu.Seperti pagi ini, saat Amira menceritakan jika ia tak ke kantor karena akan mengurusi bayi Rania yang dititipkan oleh Radit padanya, seketika membuat hati Yudha merasa cemburu. Ia tak suka jika Amira masih berhubungan dengan Radit, karena takut cinta diantara mereka berdua bersemi kembali. Namun, Yudha menyembunyikan rasa cemburunya, ia mencoba bersikap tenang. Yudha tak mau gegabah karena takut Amira menjauh darinya."Maaf, Kak. Aku hari ini nggak ke kantor. Bang Radit menitipkan bayi Rania padaku. Aku tak tega jika tak membantunya," ucap Amira di tel
"Mengalami apa, Sus? Apa yang terjadi?" tanya Radit semakin merasa cemas."Sebelumnya, saya mohon maaf jika harus menyampaikan ini. Bayi pasien tidak sempurna, dia cac*t, anggota tubuhnya tak lengkap. Kedua tangannya tak ada. Tapi, bayinya sangat cantik, sama seperti ibunya," jawab suster itu menjelaskan."Ya Allah .... " Radit merasa lemas mendengar penjelasan dari suster."Boleh saya lihat keponakan saya, Sus? Saya ingin mengadzaninya," pinta Radit."Mari silahkan." Suster itu mempersilahkan Radit masuk ke dalam kamar bersalin.Terlihat Rania yang masih ditangani oleh bidan dan beberapa suster yang membantu. Radit melirik sekilas, ia tak tega melihat Rania.Suster kemudian menggendong bayi yang sudah dibersihkan itu, dan diberikannya pada Radit.Benar kata suster, bayi itu cantik, mirip dengan Rania. Hanya saja, anggota tubuhnya tak lengkap. Radit menerima bayi itu, dipeluknya bayi Rania dan dikecup keningnya. Radit teringat kembali momen di mana ia pernah mengadzani Gemilang saat