"Silahkan ikuti saya masuk ke ruangan, Pak." Sang sekretaris mempersilahkan Pak Gun dan Amira masuk ke ruangan Radit. Saat tiba di depan pintu, ponsel di tas Amira berdering, ia segera mengambilnya. Ternyata yang menelepon adalah Bu Syahnaz. Amira pun menyuruh Pak Gun untuk masuk ruangan terlebih dahulu karena dia akan mengangkat telepon dari Ibunya."Pak Gun, masuk duluan. Saya mau angkat telepon dulu. Nanti saya nyusul," ucap Amira yang dibalas anggukan oleh Pak Gun.Amira pun berbalik, melipir menuju balkon yang kebetulan berada tak jauh dari ruangan itu.Senyum melengkung terukir di bibir Radit. Ia menyambut dengan senang kedatangan Pak Gun di perusahaan ini. Pak Gun sudah sering ke sini semenjak perusahaan Selly bekerja sama dengan Abimanyu Group."Selamat pagi, Pak Gun. Silahkan duduk," ujar Radit setelah menyalami Pak Gun."Terima kasih, Pak Radit." Pak Gun kemudian duduk di sofa yang berada di situ.Selly pun beranjak dari tempatnya bekerja, ia kemudian menyusul Radit menya
"Bu Selly yang terhormat, bisakah Anda jelaskan pada suami Anda, siapa saya sebenarnya?Apakah benar, apa yang dituduhkan olehnya terhadapku?" Amira berujar pada Selly, dengan nada setenang mungkin.Selly mendongak, manik hitamnya bersirebok dengan manik hitam milik Amira. Selly tak bisa menyembunyikan kegugupannya."Aku tak tahu," jawab Selly berbohong."Yakin? Kau tak lupa kan dengan perjanjian kita di restoran kala itu?" Selly memiliki ujung bajunya, kali ini sepertinya ia tak bisa berkata hal macam-macam tentang Amira selain mengatakan yang sebenarnya pada Radit. Lama Selly terdiam, ia terlihat gugup dan merasa tidak nyaman. Berkali-kali melirik Radit dan Amira bergantian. Ingin rasanya kembali menyangkal semuanya tetapi sepertinya ia tak punya pilihan."Kenapa kamu diam saja, Sell?" tanya Amira. "Coba jelaskan pada suamimu itu, apa benar aku gundik Tuan Abimanyu?" "Dia bukan istriku, Mir. Kami sedang proses bercerai," timpal Radit. Ia ingin menjelaskan pada Amira jika dia dan
"Maaf?"Radit mengangguk, ia sebenarnya merasa malu pada Amira karena telah menuduhnya yang bukan-bukan. Hal yang selama ini terbesit dalam pikirannya tidak benar-benar terjadi."Abang tahu, Abang sudah menuduhmu yang tidak-tidak. Abang minta maaf, Mir."Amira menggeleng pelan. Ia tak menjawab ucapan Radit. Amira malah berbalik dan kembali melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu."Mir, tunggu! Kamu gak mau maafin, Abang?" tanya Radit setengah berteriak. Ia hendak mengejar Amira namun langkahnya terhenti karena Pak Gun segera melarangnya."Pak Radit, tolong jangan ganggu Nona Amira. Biarkan dia pergi!" ucap Pak Gun dengan tegas.Pak Gun kemudian kembali melangkahkan kakinya menyusul Amira. Sementara Radit hanya terdiam menatap kepergian Pak Gun dan Amira yang mulai masuk ke dalam lift.Radit masuk ke dalam ruangannya. Terlihat Selly yang luruh di lantai dengan tatapan kosong. Radit tak mempedulikan Selly, ia kembali ke meja kerjanya dan segera mengambil kunci mobil yang ia letakka
"Rania, kenapa kamu tega memfitnah Amira? Kenapa tega kamu edit foto itu? Kenapa, Ran?" tanya Radit dengan gigi yang bergemeretak dan mengepalkan kedua tangannya. Radit sangat emosi, hingga ia takut tak bisa mengendalikan dirinya.Degh! Perasaan Rania menjadi tak menentu. Ia sangat takut dengan Radit yang sudah terlihat murka. 'Apa maksud ucapan Bang Radit? Apa dia sudah tau semuanya tentang foto itu?' tanya Rania dalam hati."Jawab, Rania!" teriak Radit, saat melihat Rania malah terdiam menatapnya."A-aku gak tahu, Bang. Aku gak ngerti maksud Abang!" jawab Rania salah tingkah."Jangan pura-pura gak ngerti. Abang sudah tahu semuanya, kau menyuruh Reno pacarmu kan yang mengedit foto itu, dulu?" cecar Radit."Bang, a-aku--" Rania terbata, rahasia yang selama ini ditutupinya akhirnya terbongkar."Radit, ada apa denganmu, Nak? Kenapa kamu bahas masalah yang sudah berlalu lama?" Bu Retno mencoba menenangkan Radit yang terlihat menahan Amarah."Amira, dia datang ke kantor. Dia memberikan
"Bagaimana, Mir? Kamu ikut ya, ke rumah Yudha." Selly kembali bertanya untuk memastikan agar Amira mau diajaknya ke rumah Yudha.Amira menghela napasnya sejenak, kemudian menjawab pertanyaan Syahla. "Baiklah. Aku akan ikut denganmu.''Syahla mengukir senyum di bibir tipisnya, begitu mendengar Amira mau diajaknya makan malam bersama keluarga Yudha. Amira pun sama, ia berpikir ini adalah kesempatan untuknya memperbaiki nama baik yang sudah tercoreng di lingkungan tempat tinggal Yudha."Aku kabarin Yudha sekarang ya, kalau kamu jadi ikut makan malam di sana." Syahla mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Yudha.[ Amira jadi ikut makan malam, aku sudah mengajaknya. ] Pesan pun dikirim untuk Yudha. Tak berapa lama, Yudha pun membalas pesannya.[ Baiklah, Minggu besok, ba'da Maghrib aku jemput kalian berdua. ][ Ok. ]Syahla meletakkan kembali ponselnya, ia kemudian berucap pada Amira tentang pesannya pada Yudha."Aku sudah kirim pesan pada Yudha, Mir. Dia bilang, minggu besok akan je
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam karena macet, rombongan Amira tiba di depan rumah keluarga Yudha.Amira turun dari mobil, ia berdiri dan menatap rumah yang dulu sempat menjadi tempat tinggalnya itu. Amira merasa masalah dirinya harus cepat diselesaikan. Maka dari itu, ia menyuruh Delia menunggu di mobil bersama Gemilang dan sang sopir."Del, kamu dan Gemilang tunggu di sini saja ya. Aku berubah pikiran untuk membawa kamu masuk. Bukan apa-apa, aku hanya sebentar saja. Aku tak akan lama," ucap Amira pada Delia."Baiklah, Lo hati-hati ya. Kalo ada apa-apa telepon gue." Delia pun mengangguk, ia juga merasa canggung jika ikut masuk ke dalam. Karena bagaimanapun juga yang diundang hanya Amira seorang diri.Bu Zaenab yang mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya, segera beranjak dan melongok keluar. Ia penasaran dengan ucapan Syahla yang menunggu seseorang datang ke rumahnya."Siapa wanita itu? Sepertinya familiar?" gumam Bu Zaenab yang berdiri di depan pintu."Itu Amira,
"Ya Allah, jahat sekali mantan mertua dan Iparmu, Mir. Bu Yati juga, awas saja kalau nanti ketemu sama aku!" Bu Zaenab terlihat geram setelah melihat bukti-bukti itu. Terlebih saat melihat dan mendengar pengakuan Bu Yati yang sengaja menyebarkan foto-foto vulgar Amira.Pak Abdullah menghirup napas sejenak, ia menatap Amira, perasaan bersalah karena tak mempercayainya dulu kini mengusik hatinya."Mir, Bapak minta maaf, ya. Dulu, Bapak gak percaya sama kamu dan lebih percaya foto itu." Pak Abdullah berucap tulus. "Nanti, Bapak minta bukti ini untuk Bapak tunjukkan pada RT dan warga. Bapak juga akan buat perhitungan dengan Bu Yati, agar dia jera.""Alhamdulillah ... Berarti Bapak sudah percaya kan sama saya? Saya juga minta maaf, Pak. Mungkin saya dulu pernah merepotkan keluarga ini." Amira mengulas senyum di bibirnya. Ada perasaan lega di hatinya setelah Pak Abdullah berucap seperti itu."Insha Allah Bapak percaya. Apalagi setelah melihat bukti-bukti yang kamu bawa ini, dan juga kamu ad
Mobil melaju membelah jalanan kota Jakarta. Kelap-kelip lampu jalanan serta gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi membuat kota Jakarta begitu indah dengan pesonanya ditengah hiruk pikuk kemacetan yang mendera.Amira tengah memangku Gemilang di dalam mobil, perasaannya kini sudah lega. Masalahnya satu per satu sudah bisa dia atasi."Alhamdulillah, semua masalah sudah teratasi sedikit demi sedikit, Del. Aku lega," ucap Amira."Syukurlah kalau begitu, Mir. Gue ikutan seneng. Tapi tadi, Yudha ngomong apa sama lo?" Amira menggeleng, "Gak ngomong apa-apa, dia cuma bilang hati-hati.""Gue lihat dari dalam mobil, gue rasa Yudha masih suka sama lo, Mir.""Mungkin saja. Tapi, aku tak yakin.""Kenapa?" tanya Delia."Ya, dia kan sekarang dekat dengan Syahla. Aku juga gak mau rusak kebahagiaan Syahla, bagaimanapun juga, dia sudah membuat aku kembali pada orangtuaku, Del," jawab Amira."Iya, sih. Tapi, perasaan lo sendiri dengan Yudha, gimana? Apa gak ada sedikit rasa untuk lelaki ya