POV AmiraAku baru saja tiba di kediaman Syahla. Rumah berlantai dua tersebut membuat aku merasa takjub. Benarkah ini rumah di mana kedua orangtuaku berada?Aku tak berhenti menatap rumah bercat putih yang berada di hadapanku. Harusnya aku lah yang tinggal di sini bersama kedua orangtuaku. Mengingat itu, membuat hatiku merasa tak menentu.Syahla memang sudah memberitahukan semuanya padaku tentang kegundahan hatinya. Ia sendiri merasa belum siap jika harus meninggalkan semua yang ia miliki dan bertukar peran denganku.Aku tahu, dan aku memahami itu. Aku sendiri merasa belum siap jika harus berada di posisi Syahla sekarang. Aku takut, kedua orangtua kandungku tak menerima kehadiranku. Aku pun masih butuh waktu, maka dari itu aku sarankan Syahla untuk tak mengungkapkan dulu kebenarannya pada orangtuaku.Hari ini adalah hari yang paling penting dalam hidup Syahla. Kami menjadi dekat semenjak bertemu waktu itu. Namun, Syahla dan aku seperti sahabat yang telah lama berpisah. Syahla tak cang
Kak Yudha terdiam, ia masih menatapku penuh arti. Aku sendiri tak tahu apa yang aku ucapkan. Namun, untuk sekarang aku tak ingin memikirkan laki-laki. Aku hanya ingin fokus pada keluargaku dan kembali menjadi diriku yang sesungguhnya. Kurasa Kak Yudha sudah berlebihan, aku sangat takut jika hal ini akan menjadi masalah baru untukku nanti."Amira, Mas Yudha, sedang apa kalian di sini?" tanya Syahla yang tiba-tiba datang menghampiri kami.Hal itu membuat aku menjadi salah tingkah. Aku pun segera memikirkan alasan yang tepat untuk aku ucapkan pada Syahla."Aku hanya ingin pulang, La," jawabku sekenanya. Aku takut Syahla bertanya yang macam-macam terhadapku dan Kak Yudha."Lho, kok pulang? Aku kan belum ngenalin kamu sama Papa," ucap Syahla."Emm ... Gemilang rewel, tadi baru saja aku ditelepon Delia." Aku beralasan."Delia? teman kerja kamu yang dulu, bukan?" Tiba-tiba Kak Yudha menimpali dan bertanya.Aku dan Syahla menatap Kak Yudha secara bersamaan. Ternyata Kak Yudha masih ingat deng
POV AuthorSeorang wanita cantik dan seorang pria tengah masuk ke dalam sebuah restoran tempat Amira bekerja.Ia lalu duduk tak jauh dari Amira yang sedang mengelap meja. Wanita itu pun memanggil Amira tanpa menoleh hanya melambaikan tangan."Mbak, sini!" penggil wanita itu pada Amira.Gegas Amira menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Ia pun menoleh dan menghampiri pelanggan wanita yang baru saja datang tersebut."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya Amira saat sudah dekat.Wanita itu kemudian menoleh pada Amira. Ia memperhatikan Amira beberapa saat sebelum ia membuka kacamata hitam yang dipakainya."Amira?" tanya wanita itu terkejut.Begitupun dengan Amira yang sama merasa terkejut dengan kedatangan wanita itu yang ternyata adalah Selly. Selly datang di restoran ini bersama seorang pria yang tak Amira kenal."Selly?"Selly tersenyum sinis menatap Amira. Ia menatap Amira dengan seksama, kemudian meremehkan pekerjaan Amira yang hanya sebagai pramusaji."Oh, masih gak berubah juga
"Ibu gak nyangka loh, Pak. Ternyata Amira tinggal di Surabaya. Dia juga kenal lagi sama calon mantu kita," ujar Bu Zaenab di suatu pagi. Ia sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya.Keluarga Pak Abdullah masih tinggal di Surabaya. Mereka tinggal di salah satu rumah milik keluarga Tuan Abimanyu yang tak jauh letaknya dari rumah utama.Keluarga Pak Abdullah berencana akan tinggal seminggu lagi. Mereka akan mendaftarkan kuliah Yuni di Surabaya."Ya mungkin kebetulan saja kali, Bu." Pak Abdullah terlihat acuh, ia tak tertarik bercerita tentang Amira."Tetap saja, Pak. Ibu itu khawatir, Ibu takut Yudha berubah pikiran. Bapak lihat sendiri, sepulang dari lamaran kemaren lusa, Yudha jadi pendiam." Bu Zaenab terlihat khawatir."Anak kita itu kan, memang sedikit pendiam, Bu. Cuma perasaan Ibu saja, yang penting kan sekarang, anak kita resmi bertunangan dengan Syahla." Pak Abdullah mencoba berpikir positif.Yudha keluar dari kamarnya, ia kemudian menarik kursi di samping Pak Abdullah. Yudha
"Kamu bermasalah? gak mungkinlah, buktinya Gemilang jadi anak kamu sama Amira," ucap Bu Retno yang secara tidak sadar keceplosan."Maksud Ibu?" tanya Radit seketika yang terkejut dengan ucapan Ibunya tadi.Bu Retno dengan serta merta menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia baru saja sadar, jika ucapannya tersebut malah akan memancing kecurigaan Radit kembali."Ah gak, Ibu cuma asal bicara," ucap Bu Retno gugup, ia mengalihkan pandangannya dari tatapan Radit."Tapi, dari ucapan Ibu, menyiratkan jika Gemilang itu anak kandungku, benar?" Radit mencoba mencari jawaban dengan terus bertanya pada Ibunya."Kamu salah denger kali, Dit. Ibu hanya pengen cucu saja dari kamu dan Selly. Udah ya, Ibu mau lanjut jemur baju dulu." Bu Retno gegas pergi meninggalkan Radit, ia mencoba menghindar dari pertanyaan yang kemungkinan akan ditanyakan oleh Radit.Radit membiarkan Ibunya melanjutkan pekerjaannya karena tiba-tiba ponselnya berbunyi. Meskipun dalam hati ia bertanya-tanya tentang ucapan dari Ibun
Syahla menarik tuas pintu rumah, dan ternyata tidak dikunci. Pintu rumah pun terbuka, ia dan Amira bergegas masuk untuk menemui Nek Warsih.Syahla dan Amira terkejut, saat dilihatnya Nek Warsih yang tengah tergeletak di lantai rumahnya dengan posisi terlentang. Syahla seketika berteriak panik."Ya Allah, Nek. Apa yang terjadi?" Syahla kemudian memeriksa Nek Warsih. Ia mengecek denyut nadi Nek Warsih, masih berdenyut. Badannya pun masih hangat, tetapi kepala bagian belakangnya ada darah yang mengalir. Sepertinya Nek Warsih terjatuh dan pingsan. Ada tumpahan minyak yang tercecer di lantai, yang membuat Syahla berasumsi jika Nek Warsih jatuh terpeleset."Bagaimana, La? Nek Warsih kenapa?" tanya Amira, ia pun tak kalah panik melihat kondisi Nek Warsih."Gak tahu, Mir. Sepertinya terpeleset, kamu lihat kan ada minyak yang tercecer di lantai?""Iya, terus bagaimana kondisinya?""Nadinya masih berdenyut, badannya juga masih hangat. Cuma ini ada luka di kepalanya, lebih baik kita cepat bawa
Syahla menarik napas dalam, ia terlihat gugup saat ingin mengucapkannya. Bibirnya terasa kelu, berat baginya untuk mengungkapkan semuanya. Egonya tak ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi nalurinya menginginkan yang lain. Ia harus mengalahkan egonya sendiri, agar rasa bersalah tak terus menerus menghantuinya."A-aku, bu-bukan anak kandung, M-Mama," ucap Syahla terbata.Bu Syahnaz menatap Syahla bingung. Ia masih belum tahu maksud dari perkataan Syahla."Kamu ngomong apa, La? Bukan anak Mama?" tanya Bu Syahnaz.Syahla mengangguk, kemudian menarik napas dalam, perasaan sesak memenuhi hatinya saat akan berbicara yang sebenarnya pada Ibunya."Iya, Ma. Syahla bukan anak kandung Mama," ucap Syahla."Maafkan saya, Nyonya. Maafkan saya, semua salah saya, Nyonya." Nek Warsih berucap lirih, hal itu membuat Bu Syahnaz menoleh padanya."Ada apa ini sebenarnya? Tolong jelaskan, jangan buat saya bingung." Nek Warsih kembali menangis, sulit rasanya untuk berbicara yang sebenarnya. Namun, dia har
Amira dan Bu Syahnaz tiba di panti asuhan. Mereka lalu turun dari dalam mobil yang sudah terparkir di halaman dan bergegas menuju ke dalam panti.Kedatangan Bu Syahnaz disambut ramah oleh Bu Salma. Kemudian Bu Salma mempersilahkan Bu Syahnaz masuk dan duduk di sofa ruang tamu.Amira segera menggendong Gemilang, yang sedang diasuh Bu Salma. Mereka kemudian duduk bersama di sofa untuk membahas tentang tujuannya Bu Syahnaz datang ke panti."Begini, Bu Salma. Perkenalkan nama saya Syahnaz, Ibu dari Syahla. Saya datang ke sini karena ingin mengetahui biodata lengkap dari Amira, yang menurut keterangan mantan pembantu saya, dia ditukar dengan Syahla dua puluh lima tahun yang lalu." Bu Syahnaz langsung menjelaskan tujuannya datang ke panti. Ia ingin membuktikan sendiri ucapan dari Nek Warsih. Bu Syahnaz masih tak percaya, karena ia sudah menyayangi Syahnaz dengan sepenuh hati."Ya, Bu. Dulu ada wanita paruh baya yang menitipkan Amira pada saya. Dia mengaku sebagai nenek dari Amira, dan berja
"Ayo, cerita, ada apa?" tanya Nisa kemudian setelah mereka duduk."Nis, apa keputusanku ini salah ya? Apa aku telah egois?" Syahla mulai bercerita."Keputusan buat nikah dengan Pak Yudha? Bukankah itu mimpi kamu?" Nisa merasa tak mengerti dengan ucapan Syahla."Maksud aku gini, aku pikir, aku akan bahagia mendapatkan Mas Yudha. Namun, hati kecilku merasa hampa karena aku tahu, Mas Yudha tak mencintaiku. Aku merasa Mas Yudha tak bahagia jika menikah denganku. Ia selalu bersikap dingin meskipun kami akan menikah. Aku pikir, Mas Yudha masih mencintai Amira," ujar Syahla."Terus, mau kamu apa, La? Apa kamu berpikir untuk melepaskan Yudha dan Amira untuk bersama? Bukankah, kau membenci Amira?" seloroh Nisa."Iya, sih. Namun, aku kembali merenung akhir-akhir ini. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah Amira. Ini hanya keegoisanku semata karena cemburu padanya. Aku bingung, Nis. Namun, untuk mundur dan melepas Mas Yudha, aku sudah terlanjur malu dengan foto-foto itu.""Hati kecilku juga me
Syahla baru saja sadar dari pingsannya. Setelah semalaman tak sadarkan diri. Terlihat Nisa yang sedang menjaganya. "Nisa," ucap Syahla lirih."Syahla, kamu udah sadar? Alhamdulillah ..." Nisa menangis haru, ia sangat takut kehilangan sahabatnya tersebut."Nis, aku masih hidup kan?" tanya Syahla."Iya, bod*h. Kau masih hidup, janji jangan kau ulangi perbuatan bod*hmu itu, La," ujar Nisa."Buat apa aku hidup, Nis. Semua kebahagiaanku sudah direnggut oleh Amira. Aku bahkan sudah tidak punya muka lagi sekarang. Hanya karena cinta, aku bertindak bod*h." Syahla menyesali perbuatannya."Aku benci Amira, Nis! Aku benci dia, karena dia hidup aku hancur seperti ini," sambungnya."Syahla, kamu yang tenang ya. Pak Yudha pasti akan menikahimu," ucap Nisa."Nggak mungkin, Nis. Mas Yudha tak akan menikahiku, ia pasti sangat membenciku saat ini.""A-aku akan menikahimu, Syahla." Suara seorang lelaki yang tak begitu asing di telinga Syahla.Syahla pun menoleh, mencari lelaki itu. Terlihat Yudha sudah
Malam hari.Syahla tengah melihat foto-foto di galeri ponselnya di dalam kamar. Foto-foto mesra yang ia ambil dengan dibantu Nisa, ketika Yudha tengah tak sadarkan diri di kamarnya. Ia sedang berpikir untuk mengirim foto-foto itu di media sosial miliknya. Juga, ia akan mengirim di grup pekerjaannya di kantor. Meskipun, hal itu akan sangat memalukan, tetapi Syahla sudah tak punya cara lain lagi.Ia kemudian mengirim foto-foto itu di grup kerjaanya. Tak lama, grup kerjaanya itu heboh dengan banyaknya komentar dari rekan-rekan karyawan di kantornya. Semua komentar hampir menanyakan apa maksud dari Syahla mengirimkan foto-foto ini. Serta, menanyakan apakah benar foto-foto itu adalah foto Yudha dan Syahla?Syahla hanya membaca kehebohan di grup kantor, ia tak berniat membalasnya. Deretan pesan pribadi pun memenuhi ponselnya. Rata-rata dari teman kantornya."La, kamu benar-benar gila ya? Kamu serius kirim foto itu di grup kantor?" Nisa menghampiri Syahla, ia tak percaya dengan tindakan nek
Amira begitu kecewa mendengar penuturan dari Yudha yang mengatakan, jika lelaki itu mengakui tidur di kamar yang sama dengan Syahla saat terbangun. Namun, Yudha sendiri merasa tak yakin jika melakukan hal itu, ia tak ingat apa pun."Aku tak begitu ingat, kenapa aku berada di kamar yang sama dengan Syahla. Aku juga merasa tak yakin jika aku melakukan hal itu. Hanya saja, aku merasa kecewa dengan diriku sendiri, Mir. Aku sudah menyakitimu, maafkan aku," sesal Yudha."Terus, apa yang akan kau lakukan, Kak? Apa kau akan menikahi Syahla?" tanya Amira datar.Yudha terdiam, entahlah dia tak tahu apa yang akan dia lakukan. Sebagai seorang lelaki yang dididik baik oleh keluarganya, ia tak ingin menjadi lelaki pengecut yang lepas dari tanggung jawab. Namun, ia tak yakin dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Syahla di kamar itu.Yudha kembali mengingat saat baru saja bangun dari pingsannya malam tadi. Ia memijit pelipisnya, merasa kepalanya begitu sakit. Pelan-pelan ia membuka matanya, terl
Syahla sedang pisisi tidur di samping Yudha. Meskipun tidak berpakaian seksi, Syahla melepas hijab yang menutup kepalanya."Nisa!" Syahla menoleh saat mendengar suara pintu terbuka dan Nisa masuk ke kamarnya."Syahla, aku berubah pikiran!" "Maksud kamu?"Nisa ke sisi Syahla kemudian menarik lengan wanita itu untuk segera bangun dari kasur."La, sadar, bukan seperti ini cara untuk mendapatkan Yudha! Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!" ujar Nisa memperingatkan."Aku tak peduli, Nis! Bagiku mendapatkan Mas Yudha adalah hal yang lebih penting. Aku bahkan rela jika harus tidur dengannya!" seloroh Syahla."Tapi aku tak bisa membantumu dalam hal ini. Aku seperti ini karena peduli padamu, La. Aku tak ingin kamu mempermalukan dirimu sendiri." Nisa berusaha menyadarkan Syahla dari ide konyolnya."Oke, tak masalah. Aku sudah punya rencana lain kalau kau tak mau membantuku. Tapi, untuk kali ini kau jangan ikut campur Nisa. Berhenti menasehatiku, kau cukup melihat saja dan jangan berit
"Gemilang? Itu ... Bukan apa-apa," jawab Syahla gugup. Ia khawatir Gemilang melihat aksinya memberikan beberapa tetes cairan ke dalam kopi milik Yudha."Tapi, aku pernah lihat itu di rumah Oma." Gemilang menunjuk sesuatu di tangan kiri Syahla.Syahla pun mengikuti pandangan Gemilang, ternyata yang dimaksud anak kecil itu adalah gelang yang dipake Syahla."Gelang ini?" tanya Syahla memastikan dengan menunjukkan gelang itu pada Gemilang.Gemilang mengangguk. "Gelangnya sama kaya punya Oma. Apa itu gelang punya Oma, Tan?"Syahla sedikit lega mendengar ucapan Gemilang. Ternyata benar, Gemilang menanyakan gelangnya."Ini gelang punya Tante. Oma membelikannya untuk Tante. Gelang Oma sama Tante samaan," jelas Syahla."Emang kenapa, kok Gemilang tanya gelang ini?" tanya Syahla kemudian karena penasaran."Dulu waktu di rumah Oma, aku ambil gelang Oma buat mainan. Habis itu, gelang Oma rusak. Oma marah sama aku, katanya itu gelang berharga punya Oma. Aku nggak boleh pegang gelang itu lagi." Gem
Yudha mendatangi apartemen Amira. Kali ini, ia datang bersama Syahla karena saat hendak pulang dari kantor, Syahla memaksa ikut bersama Yudha.Awalnya, Yudha enggan mengajak Syahla. Ia takut Amira akan salah paham padanya nanti."Aku hanya ingin meminta maaf pada Amira, Mas. Izinkan aku ikut denganmu. Bukankah, kau sudah tak marah denganku lagi? Aku janji tak akan mengganggu hubungan kalian," rengek Syahla saat Yudha hendak masuk ke dalam mobilnya.Yudha pun merasa tak enak. Ia akhirnya mengizinkan Syahla ikut dengannya datang ke apartemen Amira."Baiklah, ayo masuk!" perintah Yudha.Syahla pun tersenyum, gegas ia masuk ke dalam mobil Yudha dan duduk di samping lelaki itu.Sesampainya di apartemen, Yudha segera memarkirkan mobilnya. Berjalan beriringan dengan Syahla, menuju apartemen Amira. Yudha masih bersikap agak dingin pada Syahla, meskipun wanita itu mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Yudha mengobrol.Sementara itu, di dalam apartemen, sudah ada Radit yang juga baru saja
****Yudha tengah dilanda rasa bahagia karena hubungannya dengan Amira sudah jelas. Ia dan Amira sudah berencana untuk melakukan lamaran secara resmi dua minggu lagi dan selanjutnya menikah satu bulan setelahnya.Yudha teramat bahagia, ia selalu semangat dalam bekerja. Hari-harinya terasa indah dan rasanya sudah tak sabar untuk menuju hari itu. Namun, hal itu juga membuatnya sedikit posesif pada Amira karena takut kehilangan wanita itu.Seperti pagi ini, saat Amira menceritakan jika ia tak ke kantor karena akan mengurusi bayi Rania yang dititipkan oleh Radit padanya, seketika membuat hati Yudha merasa cemburu. Ia tak suka jika Amira masih berhubungan dengan Radit, karena takut cinta diantara mereka berdua bersemi kembali. Namun, Yudha menyembunyikan rasa cemburunya, ia mencoba bersikap tenang. Yudha tak mau gegabah karena takut Amira menjauh darinya."Maaf, Kak. Aku hari ini nggak ke kantor. Bang Radit menitipkan bayi Rania padaku. Aku tak tega jika tak membantunya," ucap Amira di tel
"Mengalami apa, Sus? Apa yang terjadi?" tanya Radit semakin merasa cemas."Sebelumnya, saya mohon maaf jika harus menyampaikan ini. Bayi pasien tidak sempurna, dia cac*t, anggota tubuhnya tak lengkap. Kedua tangannya tak ada. Tapi, bayinya sangat cantik, sama seperti ibunya," jawab suster itu menjelaskan."Ya Allah .... " Radit merasa lemas mendengar penjelasan dari suster."Boleh saya lihat keponakan saya, Sus? Saya ingin mengadzaninya," pinta Radit."Mari silahkan." Suster itu mempersilahkan Radit masuk ke dalam kamar bersalin.Terlihat Rania yang masih ditangani oleh bidan dan beberapa suster yang membantu. Radit melirik sekilas, ia tak tega melihat Rania.Suster kemudian menggendong bayi yang sudah dibersihkan itu, dan diberikannya pada Radit.Benar kata suster, bayi itu cantik, mirip dengan Rania. Hanya saja, anggota tubuhnya tak lengkap. Radit menerima bayi itu, dipeluknya bayi Rania dan dikecup keningnya. Radit teringat kembali momen di mana ia pernah mengadzani Gemilang saat