Hujan deras mengaburkan pandangan ketika aku melewati interstate Acapulco. Lampu jalan semakin jarang dan hutan bertebing yang berada di kedua sisi jalan raya membentang bagaikan tabir gelap tanpa tepi.
Seseorang bisa saja terperosok ke ngarai-ngarai yang dalam itu dan kemungkinan tak akan ada yang dapat menemukan jasadnya hingga berbulan-bulan.
Sungguh cara meninggal yang mengerikan, pikirku.
Aku menyalakan lampu jauh membelah kegelapan malam sambil memacu mobilku lebih kencang.
Mereka sudah dekat. Aku bisa merasakannya. Tapi ini masih tidak cukup jauh, batinku gusar.
Sorot lampu samar-samar terlihat di tikungan jauh di belakang mobilku. Suara deru mesin terdengar semakin jelas.
Mereka datang.
Aku mencengkeram kemudi lebih erat lagi. Dua, tiga, empat… aku menghitung jumlah penguntitku dari kaca spion. Sama sepertiku mereka menambah kecepatan ketika mereka melihat mobilku.
Sejenak aku berharap tak pernah menginjakkan ka
Jason POV “Kita seharusnya tetap mengikuti rencana awal.” aku menyalip sebuah station wagon yang melaju pelan di kanan jalan. Kami telah memisahkan diri dari iringan mobil pengawalan Antonio dua jam yang lalu. Setelah meninggalkan bandara, iringan mobil itu terpaksa berhenti di perbatasan kota Meksiko. Ketika salah seorang dari pengawal itu melihat kerusakan pada mesin mobil yang tiba-tiba mengepulkan asap, mereka membawa kami ke mobil lain yang telah disiapkan tidak jauh dari sana, tanpa mengetahui bahwa Tisha sengaja menempatkan dua pengawal yang membantu kami menjauhi rombongan dengan mengambil jalur lain yang jauh dari jalan raya. Tisha memutar bola mata. “Tak akan berhasil. Aku perlu improvisasi.” “Ini bukan hanya soal dirimu!” “Ayahmu mengancam Mia, aku tidak ingin mengambil resiko karena kau bertindak semaumu!" Tisha menyandarkan punggungnya lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Cewek barumu itu,
Aku memandangi orang-orang yang lalu lalang di jalanan dari balik kaca restoran.Mereka berjalan terburu-buru melintasi trotoar dengan kepala tertunduk, menghindari air hujan. Malam ini Red Roaster lebih lengang dari biasanya, tak banyak pekerjaan yang bisa kulakukan.Hujan deras yang mengguyur jalanan sejak sore tadi, tampaknya membuat sebagian besar orang memutuskan untuk berdiam diri di rumah mereka masing-masing. Aku di sisi lain, selalu menyukai hujan di musim semi seperti ini. Membuatku teringat pada acara kemah terakhirku bersama Dad. Saat itu dia membawa kami sekeluarga pergi berkemah ke Yosemite sebagai hadiah ulang tahunku yang ketujuh, sekaligus untuk menghabiskan waktu di akhir pekan. Tempatnya benar-benar bagus, aku sangat menyukainya.Ada sebuah air terjun yang sangat indah, berada di tebing batu granit. Saat senja tiba pantulan cahaya matahari akan menyinari batang air terjun itu dan membuatnya terlihat berwarn
# Buku harian Mia Summers : Hari pertama saat aku kehilangan cinta dalam hidupku. "Dia sangat cantik," aku bergumam sambil menatap foto lukisan Adriadna Marshall, ibu kandung Jason, yang tergantung di atas dinding perapian. Adriadna memiliki wajah hispanik yang khas dengan rambut merah bergelombang yang digerai melewati bahunya. "Ceritakan padaku tentang dia," pintaku. Jason mengambil selimut tebal yang terlipat di atas sofa lalu membentangkannya menutupi tubuh kami. “Ibuku?” Aku mengangguk sambil beringsut padanya, meringkuk ke dalam pelukannya yang hangat. Jason terdiamcukup lama hingga kukira dia mungkin merasa enggan menjawabnya. Aku menengadah dan mendapati Jason tengah menatap perapian dengan pandangan merenung. Kedua bola mata birunya tampak berkilat-kilat memantulkan nyala api. "Cantik, dan rapuh." suaranya terdengar melamun. "Aku benci melihatnya se
# Hari kedua: Lumpuh Karen memelukku cukup lama sembari menahan isakannya ketika kami akan berpisah di pemakaman. Lalu ia mengambil sebuah kotak kecil berlapis beledu warna merah dari saku mantelnya."Kupikir Jason ingin kau memilikinya," ujarnya lirih sambil menyodorkan benda itu kepadaku. Namaku tertulis pada sudut atas kotak, satu-satunya tulisan yang ada di sana.Tekanan air mata kembali mengaburkan pandanganku. Aku tidak ingin menerima sesuatu sebagai pengingat, seolah Jason telah benar-benar pergi. Aku berharap seseorang akan membangunkanku dan mengatakan padaku bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Mimpi yang terlalu mengerikan untuk jadi nyata. Namun atmosfer pemakaman ini menyesakkan, dan melumpuhkanku. "Kita semua kehilangan dia, Mia." Karen menggenggam tanganku erat."Tapi aku berharap kita akan mampu melewatinya bersama-sama, karena aku yakin itu juga yang diinginkan oleh kakakku." ia berkata sambil menatapku sayu.
# Those missing days — Hari-hari yang hilang “Aku akan mampir ke rumahmu nanti malam ya?” Lauren berkata khawatir dari seberang telepon. Aku menggeleng walaupun tahu ia tak bisa melihatnya. “Tidak perlu, sungguh. Aku akan … memikirkan soal naskah dramaku yang terbengkalai beberapa hari ini,” gumamku lemah. “Banyak sekali yang harus kukerjakan.” Dan tak ingin kulakukan, imbuhku dalam hati. “Kalau begitu sampai jumpa minggu depan di kampus? Kau akan masuk bukan?” “Kita lihat saja nanti.” aku tak mampu berjanji padanya. Saat ini tidak ada yang membuatku sendiri merasa yakin. “Baiklah kalau begitu, sampai ketemu, Mia.” Aku mengakhiri sambungan telepon lalu berbaring menyamping, menghadap ke dinding. Menekuri retakan halus pada permukaannya, yang dalam pandanganku berubah menjadi sebentuk wajah yang paling kurindukan. Pandanganku mulai berkabut. Aku mengerjap untuk menyingkirkan genangan air mata yang membutak
# Our song — Lagu kami Bunyi keresak kertas yang berhamburan dan barang-barang yang kulemparkan dari atas buffet membuat ibuku berlari tergopoh-gopoh ke kamarku. “Di mana benda itu,” bisikku gusar sambil membalikkan kotak besar berisi CD lama, membuat isinya jadi onggokan di lantai. “Apa yang kau cari Mia?” ibuku mendekat sembari berjongkok di sebelahku. Wajahnya dirambati kekhawatiran ketika melihat sekeliling kamarku yang telah berantakan seperti kapal pecah. Selimut terurai di lantai, ranjang kukeluarkan dari tempat tidur serta barang-barang di atas rak yang kujungkir balikkan. “Kotak merah, Mom, aku tidak bisa menemukannya di manapun.” aku berkata kalut padanya lalu kembali mengaduk-aduk setumpuk pakaian di dalam salah satu laci baju. “Kotak apa, sayang?” tanyanya kebingungan. Aku tersendat, menelan ludah dengan susah payah sebelum berbicara padanya. “Kotak … yang dibe
# Violenty Crashing — Musibah yang menghancurkan “Mia, tenang. Kita harus memikirkan hal ini baik-baik. Apa kau benar-benar yakin dengan yang kau dengar?” “Sangat yakin, Karen,” sahutku marah. Dan aku tidak gila! batinku kalut. “Kalau begitu kita harus melacak asal panggilan itu.” Karen berhenti sejenak. “Mungkin aku bisa meminta tolong pendapat detektif yang menangani masalah Paul dan melihat sarannya terhadap masalah ini,” usulnya. Nama Paul membangkitkan kesedihan purba sekaligus pergolakan emosi di dalam diriku. Kemunculannya yang sudah sangat terlambat tidak bisa menyelamatkan siapapun selain sebagai pengingat atas kejadian tragis yang menimpa Jason. Sampai kapanpun aku tidak pernah bisa menerimanya begitu saja, pikirku merana. “Apa kau sudah berbicara kepada detektif itu soal kecelakaan Jason?” aku mendengar diriku bertanya. "Detektif," ulang Karen, suaranya terdengar seperti melamun. “Kemarin kami
Aku melihat Paul— atau seseorang yang terlihat sepertinya, berjalan dengan langkah muram yang diseret masuk ke dalam ruangan. Aku tertegun menatapnya, betapa berbeda pria yang dulu pernah kukenal dengan orang yang berada di hadapanku sekarang. Tubuh Paul nyaris sekurus tengkorak, jambang memenuhi separuh wajahnya, dan sorot kedua matanya terlihat kosong, membuat raut wajah Paul tampak semakin kelam.Aku hampir tidak mengenalinya bila bukan karena sorot mata terkejutnya saat dia melihatku, ketika pandangan mata kami bertemu. O'brian menggiring Paul dan mendesaknya melangkah maju, lalu pria itu mendudukkannya di kursi logam yang berseberangan denganku. Detektif itu mengaitkan borgol yang membelenggu kedua tangan Paul pada kait besi melengkung yang menempel pada meja besi yang terpatri dengan lantai di hadapan kami.Setelah ia memastikan Paul tak bisa menggunakan tangannya O’brian melangkah mundur lalu menatapku. "Lima belas menit, hanya it