# Hari kedua: Lumpuh
Karen memelukku cukup lama sembari menahan isakannya ketika kami akan berpisah di pemakaman. Lalu ia mengambil sebuah kotak kecil berlapis beledu warna merah dari saku mantelnya.
"Kupikir Jason ingin kau memilikinya," ujarnya lirih sambil menyodorkan benda itu kepadaku. Namaku tertulis pada sudut atas kotak, satu-satunya tulisan yang ada di sana.Tekanan air mata kembali mengaburkan pandanganku.Aku tidak ingin menerima sesuatu sebagai pengingat, seolah Jason telah benar-benar pergi.
Aku berharap seseorang akan membangunkanku dan mengatakan padaku bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Mimpi yang terlalu mengerikan untuk jadi nyata.
Namun atmosfer pemakaman ini menyesakkan, dan melumpuhkanku.
"Kita semua kehilangan dia, Mia." Karen menggenggam tanganku erat.
"Tapi aku berharap kita akan mampu melewatinya bersama-sama, karena aku yakin itu juga yang diinginkan oleh kakakku." ia berkata sambil menatapku sayu.# Those missing days — Hari-hari yang hilang “Aku akan mampir ke rumahmu nanti malam ya?” Lauren berkata khawatir dari seberang telepon. Aku menggeleng walaupun tahu ia tak bisa melihatnya. “Tidak perlu, sungguh. Aku akan … memikirkan soal naskah dramaku yang terbengkalai beberapa hari ini,” gumamku lemah. “Banyak sekali yang harus kukerjakan.” Dan tak ingin kulakukan, imbuhku dalam hati. “Kalau begitu sampai jumpa minggu depan di kampus? Kau akan masuk bukan?” “Kita lihat saja nanti.” aku tak mampu berjanji padanya. Saat ini tidak ada yang membuatku sendiri merasa yakin. “Baiklah kalau begitu, sampai ketemu, Mia.” Aku mengakhiri sambungan telepon lalu berbaring menyamping, menghadap ke dinding. Menekuri retakan halus pada permukaannya, yang dalam pandanganku berubah menjadi sebentuk wajah yang paling kurindukan. Pandanganku mulai berkabut. Aku mengerjap untuk menyingkirkan genangan air mata yang membutak
# Our song — Lagu kami Bunyi keresak kertas yang berhamburan dan barang-barang yang kulemparkan dari atas buffet membuat ibuku berlari tergopoh-gopoh ke kamarku. “Di mana benda itu,” bisikku gusar sambil membalikkan kotak besar berisi CD lama, membuat isinya jadi onggokan di lantai. “Apa yang kau cari Mia?” ibuku mendekat sembari berjongkok di sebelahku. Wajahnya dirambati kekhawatiran ketika melihat sekeliling kamarku yang telah berantakan seperti kapal pecah. Selimut terurai di lantai, ranjang kukeluarkan dari tempat tidur serta barang-barang di atas rak yang kujungkir balikkan. “Kotak merah, Mom, aku tidak bisa menemukannya di manapun.” aku berkata kalut padanya lalu kembali mengaduk-aduk setumpuk pakaian di dalam salah satu laci baju. “Kotak apa, sayang?” tanyanya kebingungan. Aku tersendat, menelan ludah dengan susah payah sebelum berbicara padanya. “Kotak … yang dibe
# Violenty Crashing — Musibah yang menghancurkan “Mia, tenang. Kita harus memikirkan hal ini baik-baik. Apa kau benar-benar yakin dengan yang kau dengar?” “Sangat yakin, Karen,” sahutku marah. Dan aku tidak gila! batinku kalut. “Kalau begitu kita harus melacak asal panggilan itu.” Karen berhenti sejenak. “Mungkin aku bisa meminta tolong pendapat detektif yang menangani masalah Paul dan melihat sarannya terhadap masalah ini,” usulnya. Nama Paul membangkitkan kesedihan purba sekaligus pergolakan emosi di dalam diriku. Kemunculannya yang sudah sangat terlambat tidak bisa menyelamatkan siapapun selain sebagai pengingat atas kejadian tragis yang menimpa Jason. Sampai kapanpun aku tidak pernah bisa menerimanya begitu saja, pikirku merana. “Apa kau sudah berbicara kepada detektif itu soal kecelakaan Jason?” aku mendengar diriku bertanya. "Detektif," ulang Karen, suaranya terdengar seperti melamun. “Kemarin kami
Aku melihat Paul— atau seseorang yang terlihat sepertinya, berjalan dengan langkah muram yang diseret masuk ke dalam ruangan. Aku tertegun menatapnya, betapa berbeda pria yang dulu pernah kukenal dengan orang yang berada di hadapanku sekarang. Tubuh Paul nyaris sekurus tengkorak, jambang memenuhi separuh wajahnya, dan sorot kedua matanya terlihat kosong, membuat raut wajah Paul tampak semakin kelam.Aku hampir tidak mengenalinya bila bukan karena sorot mata terkejutnya saat dia melihatku, ketika pandangan mata kami bertemu. O'brian menggiring Paul dan mendesaknya melangkah maju, lalu pria itu mendudukkannya di kursi logam yang berseberangan denganku. Detektif itu mengaitkan borgol yang membelenggu kedua tangan Paul pada kait besi melengkung yang menempel pada meja besi yang terpatri dengan lantai di hadapan kami.Setelah ia memastikan Paul tak bisa menggunakan tangannya O’brian melangkah mundur lalu menatapku. "Lima belas menit, hanya it
Karen bergegas menghampiriku begitu melihatku keluar dari ruangan O’brian. “Apa yang kalian bicarakan?” Wajahnya terlihat cemas saat mengamati ekspresiku. Yang aku yakin tampak kacau sekarang karena berbagai emosi yang sedang berkecamuk di benakku. “Kami membahas tentang panggilan telepon itu,” kataku kering, sengaja menyembunyikan detil kecelakaan yang dijelaskan oleh detektif itu, yang hingga detik ini masih membuatku terbayang-bayang. Aku menunduk dan memejamkan mata. Datang ke tempat ini adalah sebuah kesalahan. Sebelum ini aku merasa perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Jason sebelum kecelakaan itu, sebegitu pentingnya hingga aku tak peduli terhadap hal lain. Demi ketenangan batinku, aku harus menemukan alasan kenapa Jason tetap memutuskan pergi ke Meksiko, jika dia tahu Paul terlibat dengan orang-orang yang berbahaya. Kenapa Jason tak pernah melaporkan pada polisi soal keberadaan Paul dan justru berpaling pad
Aku menanti dengan kengerian yang amat sangat ketika membayangkan pisau itu melayang merobek tubuhku. Tapi alih-alih rasa sakit, aku malah mendengar bunyi mendesing serupa ledakan yang membuat telingaku berdenging. Aku membuka mata dan terbelalak melihat pria bertopeng itu tergeletak di lantai dengan pakaian yang berlumuran darah. Kemudian kurasakan cengkeraman pencuri yang menahanku mengendur lalu terlepas sama sekali. Aku menatap ngeri pada pria itu yang kini teronggok tak berdaya seperti pria yang satunya. Aku membalikkan badan dan melihat seorang pria dengan setelan berwarna gelap berdiri di ambang pintu.Mataku melebar ketakutan saat melihat senjata yang teracung di tangannya, yang tampak seperti sebuah pistol berperedam. "Anda sudah aman sekarang." ia berbicara padaku dengan suara derat dan dalam. Logatnya terdengar seperti orang Inggris. Aku langsung melangkah mundur saat ia berjalan ke arahku. Pria itu menghentikan langkahny
"Tapi melihat dua orang tadi mendatangi rumahmu sepertinya bukan cuma kami yang tertarik dengan kunjunganmu ke kantor polisi untuk menemui Paul, mereka pasti menduga …" Aku tak lagi mendengarkan kelanjutannya. Perkataan Phillip sebelumnya berputar-putar di benakku. Mereka bilang telah memprediksi kecelakaan yang menimpa Jason. Apa artinya itu? Aku mengangkat wajahku pada Phillip dan menatapnya nanar. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Aku merenggut lengan jasnya dan mencengkeramnya erat-erat. “Katakan padaku, apa yang telah kalian lakukan pada Jason?!” *** “Tenanglah—” Aku melambaikan tanganku dengan gusar pada Habel yang berusaha menengahi tanpa mengalihkan pandanganku dari wajah Phillip. Ia melirik rekannya dan menggeleng samar seperti tengah memberikan kode kepadanya, sebelum dia menjawabku. “Jason tidak berada di dalam mobil Ford ketika benda itu terjun dari tebing.” Ucapannya menggantung di udara kosong. Untuk
"Jason." bisikku parau. Aku memandanginya berjalan melintasi ruangan menghampiriku. Aku membeku di tempat, terhipnotis melihatnya.Aku bahkan tak berani untuk berkedip. Karena jika ini adalah salah satu imajinasiku—seperti yang sudah-sudah— setidaknya aku ingin melihat dia selama mungkin. Setelah berada di hadapanku ia menarikku dalam satu sentakan dan meraupku ke dalam pelukannya. “Thanks God.” dia bergumam lega di telingaku. "Aku benar-benar mengkhawatirkanmu."Ia membenamkan wajahnya di ceruk leherku sambil mempererat pelukannya. Dia perlahan melepaskan pelukan saat menyadari aku sama sekali tidak membalasnya. "Kau baik-baik saja?Apa mereka menyakitimu?" dia mengangkat daguku sembari mengamati wajahku dengan tatapan cemas. Aku tak menjawabnya, hanyaterpana melihatnya. Pandanganku menelusuri setiap inci wajahnya dengan seksama. Menyadari betapa aku merindukan dirinya lebih dari yang bisa kubayangkan. Bahk
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r