# Our song — Lagu kami
Bunyi keresak kertas yang berhamburan dan barang-barang yang kulemparkan dari atas buffet membuat ibuku berlari tergopoh-gopoh ke kamarku.
“Di mana benda itu,” bisikku gusar sambil membalikkan kotak besar berisi CD lama, membuat isinya jadi onggokan di lantai.
“Apa yang kau cari Mia?” ibuku mendekat sembari berjongkok di sebelahku. Wajahnya dirambati kekhawatiran ketika melihat sekeliling kamarku yang telah berantakan seperti kapal pecah. Selimut terurai di lantai, ranjang kukeluarkan dari tempat tidur serta barang-barang di atas rak yang kujungkir balikkan.
“Kotak merah, Mom, aku tidak bisa menemukannya di manapun.” aku berkata kalut padanya lalu kembali mengaduk-aduk setumpuk pakaian di dalam salah satu laci baju.
“Kotak apa, sayang?” tanyanya kebingungan.
Aku tersendat, menelan ludah dengan susah payah sebelum berbicara padanya. “Kotak … yang dibe
# Violenty Crashing — Musibah yang menghancurkan “Mia, tenang. Kita harus memikirkan hal ini baik-baik. Apa kau benar-benar yakin dengan yang kau dengar?” “Sangat yakin, Karen,” sahutku marah. Dan aku tidak gila! batinku kalut. “Kalau begitu kita harus melacak asal panggilan itu.” Karen berhenti sejenak. “Mungkin aku bisa meminta tolong pendapat detektif yang menangani masalah Paul dan melihat sarannya terhadap masalah ini,” usulnya. Nama Paul membangkitkan kesedihan purba sekaligus pergolakan emosi di dalam diriku. Kemunculannya yang sudah sangat terlambat tidak bisa menyelamatkan siapapun selain sebagai pengingat atas kejadian tragis yang menimpa Jason. Sampai kapanpun aku tidak pernah bisa menerimanya begitu saja, pikirku merana. “Apa kau sudah berbicara kepada detektif itu soal kecelakaan Jason?” aku mendengar diriku bertanya. "Detektif," ulang Karen, suaranya terdengar seperti melamun. “Kemarin kami
Aku melihat Paul— atau seseorang yang terlihat sepertinya, berjalan dengan langkah muram yang diseret masuk ke dalam ruangan. Aku tertegun menatapnya, betapa berbeda pria yang dulu pernah kukenal dengan orang yang berada di hadapanku sekarang. Tubuh Paul nyaris sekurus tengkorak, jambang memenuhi separuh wajahnya, dan sorot kedua matanya terlihat kosong, membuat raut wajah Paul tampak semakin kelam.Aku hampir tidak mengenalinya bila bukan karena sorot mata terkejutnya saat dia melihatku, ketika pandangan mata kami bertemu. O'brian menggiring Paul dan mendesaknya melangkah maju, lalu pria itu mendudukkannya di kursi logam yang berseberangan denganku. Detektif itu mengaitkan borgol yang membelenggu kedua tangan Paul pada kait besi melengkung yang menempel pada meja besi yang terpatri dengan lantai di hadapan kami.Setelah ia memastikan Paul tak bisa menggunakan tangannya O’brian melangkah mundur lalu menatapku. "Lima belas menit, hanya it
Karen bergegas menghampiriku begitu melihatku keluar dari ruangan O’brian. “Apa yang kalian bicarakan?” Wajahnya terlihat cemas saat mengamati ekspresiku. Yang aku yakin tampak kacau sekarang karena berbagai emosi yang sedang berkecamuk di benakku. “Kami membahas tentang panggilan telepon itu,” kataku kering, sengaja menyembunyikan detil kecelakaan yang dijelaskan oleh detektif itu, yang hingga detik ini masih membuatku terbayang-bayang. Aku menunduk dan memejamkan mata. Datang ke tempat ini adalah sebuah kesalahan. Sebelum ini aku merasa perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Jason sebelum kecelakaan itu, sebegitu pentingnya hingga aku tak peduli terhadap hal lain. Demi ketenangan batinku, aku harus menemukan alasan kenapa Jason tetap memutuskan pergi ke Meksiko, jika dia tahu Paul terlibat dengan orang-orang yang berbahaya. Kenapa Jason tak pernah melaporkan pada polisi soal keberadaan Paul dan justru berpaling pad
Aku menanti dengan kengerian yang amat sangat ketika membayangkan pisau itu melayang merobek tubuhku. Tapi alih-alih rasa sakit, aku malah mendengar bunyi mendesing serupa ledakan yang membuat telingaku berdenging. Aku membuka mata dan terbelalak melihat pria bertopeng itu tergeletak di lantai dengan pakaian yang berlumuran darah. Kemudian kurasakan cengkeraman pencuri yang menahanku mengendur lalu terlepas sama sekali. Aku menatap ngeri pada pria itu yang kini teronggok tak berdaya seperti pria yang satunya. Aku membalikkan badan dan melihat seorang pria dengan setelan berwarna gelap berdiri di ambang pintu.Mataku melebar ketakutan saat melihat senjata yang teracung di tangannya, yang tampak seperti sebuah pistol berperedam. "Anda sudah aman sekarang." ia berbicara padaku dengan suara derat dan dalam. Logatnya terdengar seperti orang Inggris. Aku langsung melangkah mundur saat ia berjalan ke arahku. Pria itu menghentikan langkahny
"Tapi melihat dua orang tadi mendatangi rumahmu sepertinya bukan cuma kami yang tertarik dengan kunjunganmu ke kantor polisi untuk menemui Paul, mereka pasti menduga …" Aku tak lagi mendengarkan kelanjutannya. Perkataan Phillip sebelumnya berputar-putar di benakku. Mereka bilang telah memprediksi kecelakaan yang menimpa Jason. Apa artinya itu? Aku mengangkat wajahku pada Phillip dan menatapnya nanar. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Aku merenggut lengan jasnya dan mencengkeramnya erat-erat. “Katakan padaku, apa yang telah kalian lakukan pada Jason?!” *** “Tenanglah—” Aku melambaikan tanganku dengan gusar pada Habel yang berusaha menengahi tanpa mengalihkan pandanganku dari wajah Phillip. Ia melirik rekannya dan menggeleng samar seperti tengah memberikan kode kepadanya, sebelum dia menjawabku. “Jason tidak berada di dalam mobil Ford ketika benda itu terjun dari tebing.” Ucapannya menggantung di udara kosong. Untuk
"Jason." bisikku parau. Aku memandanginya berjalan melintasi ruangan menghampiriku. Aku membeku di tempat, terhipnotis melihatnya.Aku bahkan tak berani untuk berkedip. Karena jika ini adalah salah satu imajinasiku—seperti yang sudah-sudah— setidaknya aku ingin melihat dia selama mungkin. Setelah berada di hadapanku ia menarikku dalam satu sentakan dan meraupku ke dalam pelukannya. “Thanks God.” dia bergumam lega di telingaku. "Aku benar-benar mengkhawatirkanmu."Ia membenamkan wajahnya di ceruk leherku sambil mempererat pelukannya. Dia perlahan melepaskan pelukan saat menyadari aku sama sekali tidak membalasnya. "Kau baik-baik saja?Apa mereka menyakitimu?" dia mengangkat daguku sembari mengamati wajahku dengan tatapan cemas. Aku tak menjawabnya, hanyaterpana melihatnya. Pandanganku menelusuri setiap inci wajahnya dengan seksama. Menyadari betapa aku merindukan dirinya lebih dari yang bisa kubayangkan. Bahk
Aku memalingkan wajah kepada Jason. "Siapa dia?" Ia menatapku gusar. "Seseorang mengincar aku dan keluargaku, aku berhak tahu siapa dia," ujarku tak sabaran ketika mereka berdua hanya diam. Jason menghembuskan napas panjang. "Itu bukan hal yang bisa kukatakan kepadamu," ujarnya enggan. Aku hendak membuka mulut untuk membantahnya sebelum Phillip menyelaku. "Kami tidak bisa begitu saja membeberkan nama tersangka sebelum dakwaan tertulis." Phillip menjawab dengan formal. "Ini prosedur standar yang harus dipatuhi, jadi aku harap kau bisa mengerti nona Summers," ujarnya kaku. "Meski begitu anda tidak perlu khawatir, kami akan memastikan keluarga anda dilindungi.""Aku akan mengabari anda saat mereka telah bersama anggota kami." "Tapi—" Jason menekan pegangannya di pinggangku untuk membuatku berhenti bicara. "Thanks, kami akan menunggu kabar darimu." ia buru-buru menyela. Phillip mengangguk sekilas, ia men
{Mia POV} Jason meraih daguku dan membuatku melihatnya."Kau sama sekali tidak tahu seberapa sulitnya aku menahan diri untuk tidak kembali padamu." ia menelusuri wajahku dengan pandangannya yang intens, membuat jantungku langsung menunjukkan reaksi alaminya dan otakku seketika berhenti berpikir jernih. "Tapi aku perlu memastikan keamananmu di atas segalanya,sweetheart," ia mengusap ringan sisi wajahku dengan ibu jarinya. "Meskipun rasa rindu nyaris membunuhku." Jason menyunggingkan senyum menawan yang paling kusukai itu sebelum perlahan menundukkan wajahnya untuk menciumku.Aku membalasnya sambil mengunci kedua lenganku ke belakang lehernya. Aku menariknya lebih dekat dan memperdalam ciuman kami, tapi Jason menjauhkan wajahnya dengan enggan sambil tertawa pelan tepat sebelum aku kehabisan napas."Mia, kita harus berhenti," bisiknya sambil menangkup wajahku. Kedua mata birunya berkilat-kilat menatapku. "Aku tak akan lama," janjinya.