Renzo menarik kerah kemeja Riga, memaksa sang anak berdiri di hadapan. Ia mundur dua langkah. Ujung senjata api mengarah lurus ke pelipis Riga."Lawan aku. Aku akan menembak kepalanya," katanya pada si menantu.Mahira gelagapan. Jantungnya serasa diremas kuat. Sekujur tubuh perempuan itu gemetar dan berkeringat.Renzo merampas senjata dari pinggang Riga. Ia lempar benda itu ke meja. Pria itu tersenyum sinis."Ambil. Pakai itu untuk menjaga seseorang yang kau sebut tadi."Mahira menatap senjata di meja. Matanya memerah, tanpa sadar perempuan itu meremas kuat jemarinya sendiri."Kau bisa pakai Glock, Mahira?" Riga bertanya dengan senyum mengejek. Sama sekali tak ada ketakutan di wajah pria itu, meski saat ini nyawanya berada di ujung tanduk."Aku baru memegangnya hari ini, Bajingan!" Dipengaruhi rasa kesal, takut dan terdesak, Mahira melampiaskan itu semua dengan memaki suaminya.Riga tergelak saat Mahira yang ketakutan melempar tatapan marah padanya. Mata perempuan itu berair. Pipinya
Masih di rumah orang tua Riga sejak tiga hari lalu. Mahira sedang membantu Riga mengenakan kaus. Mereka sudah dipanggil turun oleh salah satu pelayan, untuk sarapan bersama."Kau yakin bisa jalan? Apa kubawa saja makananmu kemari?" Mahira mengernyit tak nyaman saat mendengar Riga meringis ketika pria itu bangkit dari kasur.Riga menatapi istrinya sebentar, kemudian terbahak. "Kau kira luka kecil ini bisa membun*hku?" Ia mengapit rahang Mahira dengan telunjuk dan ibu jari. "Mengajakmu berkelahi pun, aku masih bisa."Mahira menepis tangan Riga dari dagunya. "Kenapa kau suka sekali melakukan ini padaku? Apa aku anak kecil?"Riga hanya memasang ekspresi malas. Ia pun melangkah duluan, melewati Mahira untuk turun ke ruang makan.Mahira terperangah saat tiba di ruang makan. Sarapan kali ini agak sedikit berbeda. Meja persegi panjang dengan banyak kursi di sana nyaris penuh."Jadi, ini Mahira?"Seorang lelaki dengan kemeja hitam beranjak dari kursi dan menghampiri Mahira. Pria itu langsung m
"Kenapa dia demam?" Riga bertanya dengan kernyitan di dahi, pada Frans yang baru saja memeriksa keadaan istrinya."Itu karena lukanya terlampau banyak. Aku sudah memberi obat agar luka-luka itu tidak infeksi. Jika dia sadar, berikan obat dan buat dia makan yang banyak." Frans menepuk bahu Riga. "Jangan cemas. Aku sudah memberikan obat yang paling bagus. Istrimu akan segera pulih."Riga tidak mengantar tetangganya itu sampai keluar. Ia memilih menemani Mahira. Duduk di tepian ranjang mereka, kemudian memandangi wajah penuh lebam itu dengan tatapan nanar.Mahira babak belur. Seharian bersama Damian, Mahira pulang dalam keadaan nyaris ma t*. Tubuh perempuan itu penuh luka lebam, beberapa say*tan benda tajam dan juga lecet.Riga belum sempat menanyakan apa yang sepupu dan istrinya bicarakan, sampai mereka berdua berakhir dengan kondisi mengerikan. Kata Alex, Damian juga terluka. Damian mengalami luka t*mbak dan tus*k di dada.Ini hari kedua perempuan itu belum juga bangun. Riga sudah bosa
Suara senj*ta api yang meletuskan pe luru membuat sebuah ballroom yang ramai seketika menjadi senyap. Semua orang berhenti dari aktivitas mereka dan serempak menoleh ke asal suara tembakan. Tak terkecuali Riga.Pria itu mematung, dengan sekujur tubuh terasa kaku. Matanya tak membola terkejut seperti orang-orang di sana. Mata lelaki itu seketika diselimuti kekosongan.Kepala Riga diserang sakit yang teramat untuk beberapa detik. Di matanya, muncul kilasan beberapa peristiwa. Dimulai dari Mahira yang menolong anak jalanan yang nyaris di puku li pre man. Mahira yang tersenyum, Mahira yang hanya melirik malas padanya. Kemudian, bayangan saat Mahira menangis.Riga mengerjap. Gelas di tangan yang sempat ia cengkeram kuat, akhirnya terjatuh ke lantai. Pria itu mundur satu langkah, sebab tubuhnya seolah dihantam sangat kuat.Mahira di sana. Di hadapannya. Tergeletak tertelungkup di atas lantai yang dingin. Dengan bagian punggung dress putih si perempuan yang dihiasi noda da rah.Tak jauh dari
"Mahira."Memanggil nama perempuan itu di sini, di ruang rawat rumah sakit, di samping ranjang yang istrinya baringi. Riga terkenang pada hal pertama yang membuatnya sangat penasaran pada seorang gadis asing yang tak sengaja ia lihat saat bertandang ke negara asal ibunya.Mahira namanya gadis dengan mata coklat itu. Selain karena tatapannya yang tak tampak gentar saat bertemu pandang dengan Riga, nama Mahira juga amat mencuri atensi si lelaki.Alih-alih mencari arti nama itu di internet atau buku, Riga malah mengikuti si gadis sore itu. Mahira baru pulang bekerja. Namun, perempuan itu tak langsung menuju rumah.Mahira berhenti di salah satu pertigaan jalan besar. Gadis itu berjongkok di trotoar beberapa saat, hingga mentari sepenuhnya padam.Lalu, dua orang anak kecil dengan pakaian lusuh menghampiri Mahira. Dari dalam mobilnya yang terparkir agak jauh, pemandangan saat Mahira tersenyum lebar pada anak-anak itu bisa Riga saksikan dengan jelas. Menambahi rasa penasaran.Secara penampil
"Riga!"Suara teriakan yang samar itu membuat Riga berhenti menggosok tangan di bawah air keran wastafel. Lelaki itu langsung keluar dari toilet dengan berlari. Dan betapa ia terkejut saat melihat ada dua orang berada di samping ranjang yang Mahira huni.Dua lelaki itu menoleh pada Riga, tetapi tak menghentikan kegiatan mereka. Satu dari mereka memegangi kedua tangan Mahira, satunya lagi membekap wajah si gadis dengan sebuah bantal.Tak buang waktu, Riga menarik senjatanya dari pinggang. Melepas satu peluru pada si pemegang bantal, seraya kakinya bergerak cepat menerjang yang satu lagi.Riga menyeret kepala pria yang tadi memegangi tangan Mahira, hingga menjauh dari ranjang. Penjahat itu berusaha memberi perlawanan, tetapi Riga lebih dulu menendang perutnya hingga tersungkur di lantai.Melihat lawannya terbaring di lantai, Riga berjalan cepat ke sana, lalu menendang dan menginjak-nginjak tubuh penjahat itu dengan seluruh tenaga yang dipunya. Semua bagian yang bisa kakinya jangkau, Rig
"Apa ini akan selesai jika kau membunuh pamanmu?"Di ruang tamu kediamannya, Renzo tengah menatap sang putra dengan kernyitan susah di dahi.Beberapa jam lalu, Riga yang dipenuhi amarah mendatangi rumah Erick. Nyaris anaknya melakukan pembantaian kalau saja Alex tak memberitahu, hingga Renzo bisa tiba tepat waktu untuk mencegah.Membawa paksa anaknya dari sana, kali ini Renzo berusaha membuat Riga paham. Menghabisi Erick hanya akan menambah pelik masalah.Erick memang dalang dari insiden hampir celakanya Mahira di rumah sakit tempo hari. Itu memang perlu diberi ganjaran, tetapi bukan dengan saling menghabisi.Renzo sudah yakin. Jika Riga benar-benar melenyapkan Erick, maka keluarga mereka akan benar-benar habis. Para kerabat sudah terpecah. Ada yang berpihak pada Erick dan siap membantu upaya balas dendam atas kematian Damian. Sementara yang lain siap mendukung Renzo dan Riga."Selain hotel, kakekmu juga mewariskan keluarga ini, Riga. Apa kau mau kita benar-benar saling menghabisi sat
"Duduk dengan benar, Mahira." Riga membuka kotak obat, saat istrinya naik ke atas pangkuan dan membelitkan lengan ke leher."Aku ingin begini saja," tolak Mahira."Bagaimana bisa aku mengganti perbanmu kalau kau menempel seperti koala begini?" Riga berusaha melepas jepitan kedua paha Mahira, tetapi perempuan itu bersikeras tak mau pindah."Aku ingin bercerita soal apa yang terjadi di rumah Agnes. Jadi, biarkan aku di sini."Ucapan itu membuat Riga berhenti protes. Pria itu pasrah dan mulai melepas perban kecil di punggung Mahira."Jangan banyak bergerak. Tahu diri sedikit, kau sama sekali tak mengenakan pakaian."Mahira mengangguk. Ia mulai bercerita. "Kami menemukan buku harian itu di kamar Agnes. Aku menyuruh Damian membacanya.""Rumah itu masih tak berpenghuni?""Iya. Sehabis dia membacanya, Damian hanya diam. Kurasa, setengah jam dia hanya duduk di lantai dengan tatapan kosong.""Dan kau dengan bodohnya malah menunggui dia dan bukannya kabur?" Riga bersuara dengan nada penuh cemo