"Paman dan Bibi itu punya bisnis yang agak menyeramkan."Baru datang beberapa menit yang lalu, Alex menghampiri Mahira yang sedang menonton di ruang tamu. Bertanya kabar, melempar banyak senyum, kemudian sepupunya Riga itu memulai topik utama dengan kalimat yang terus-terang saja, membuat Mahira penasaran.Tidak menoleh, sejak tadi bersikap tak acuh, Mahira sebenarnya sudah tahu maksud Alex datang sore ini. Pasti untuk menjelaskan sesuatu. Mahira sudah paham polanya.Bila ia berselisih paham dengan Riga, maka Alexlah orang yang akan menengahi. Memberi penjelasan yang Mahira inginkan, yang tak bisa suami si perempuan lakukan.Menyebalkan. Sungguh Mahira jengkel dengan sikap Riga ini. Memang, apa sulitnya lelaki itu sendiri yang memberi penjelasan?"Sayang? Kau dengar aku?"Mahira menengok pada lelaki di sampingnya. "Kau sepupunya Riga atau babunya? Kenapa kau selalu mau disuruh melakukan ini?"Alex mengulum senyum. Matanya berbinar karena akhirnya Mahira sudi menatap."Aku tidak suka m
Alex tercenung saat mendengar Riga selesai berucap."Apa katamu?" Pria itu bertanya untuk memastikan tidak salah dengar.Riga yang duduk di sofa melirik. "Pertemukan aku dengan Damian," ulang lelaki itu.Untuk pertama kalinya, Riga ingin menghadapi Damian. Menyelesaikan perselisihan di antara mereka. Selama ini, pria itu hanya diam saja, membiarkan sepupunya terus menuduhnya sebagai pembunuh."Kalian mau saling menghabisi?""Kalau itu memang bisa menyelesaikan ini semua."Riga ingin menyudahi satu per satu masalahnya. Damian ini salah satunya. Ia ingin menjelaskan, bahwa pelenyapan yang ia lakukan pada Agnes, semata karena ingin melindungi Damian. Bukan seperti tuduhan Agnes, yang berkata Riga marah karena Agnes menolaknya.Kalau pun nanti Damian tidak percaya, maka jalan terakhir untuk menyudahi ini, seperti yang Alex katakan tadi harus terjadi, tak masalah. Yang penting, masalah ini harus selesai.Riga tak ingin terus-terusan dibuat cemas. Ia tak mau terus-terusan tak pulang ke ruma
"Kenapa menatapku seperti itu? Makanlah. Aku membuatnya khusus untukmu, Mahira."Pada Alex yang tersenyum di depannya, Mahira bergerak mundur hingga punggung rapat dengan kepala ranjang. Makanan yang pria itu suguhkan ia tatapi lekat."Kenapa, Mahira? Apa kepalamu masih sakit?"Hal terakhir yang Mahira ingat sebelum terbangun di tempat asing ini adalah, ia dan Alex mengalami kecelakaan. Kepala Mahira memang agak sakit, tetapi bukan berarti ia lupa semua hal.Lelaki di tepian kasur berusaha menyentuh rambut Mahira. Namun, si perempuan segera tepis."Makanlah. Kau pasti lapar."Mahira menumpuk keberaniannya. Perempuan itu membalas tatapan dingin lelaki di hadapan."Di mana Alex?" tanyanya dengan suara bergetar.Laki-laki itu tersenyum jenaka. "Alex? Aku di sini." Dia mengangkat rambut yang menutupi dahi. "Lihat? Aku punya bekas luka."Mahira menggeleng ingkar. Ia jauh lebih yakin dengan apa yang dilihat. Pertama, Alex selalu menambahkan panggilan 'Sayang' tiap kali bicara padanya. Dan k
Warning! 18+Keluar dari gedung tempat ia berlatih tembak, Mahira menemukan Riga di depan. Lelaki itu langsung melempar senyum mengejek. Mahira duga, itu pasti karena wajah lesunya.Riga mengabulkan permintaan Mahira. Lelaki itu memberi izin untuk belajar menembak. Belajar menembak dengan peluru tajam, peluru asli. Pagi tadi Riga mengantarkan Mahira ke sini, dan sore ini si suami datang untuk menjemput.Mungkin tak murni untuk menjemput, tetapi untuk mengejek."Bagaimana? Gendang telingamu sudah pecah?" Tawa Riga mengiringi pertanyaan dengan nada menghina itu, saat si lelaki masuk ke mobil.Mengenakan seat belt-nya, Mahira hanya memasang ekspresi cemburut. Ia lelah, tetapi masih harus menerima ejekan."Kenapa tidak sekalian pingsan saja tadi di sana?" Riga mengungkit apa yang ia dengar dari temannya, si pemilik tempat belajar menembak.Mahira sempat histeris tadi. Saat mendengar suara dentuman peluru dari orang yang berlatih di bilik sebelahnya, perempuan itu berteriak terkejut, berjo
Warning! 18+ Riga terbangun dan menemukan Mahira masih terlelap di sampingnya. Perempuan itu menjadikan lengan Riga sebagai bantal lagi. Segera si lelaki menarik tangannya yang sudah terasa pegal.Ia menyampingkan tubuh, menatapi wajah lelap Mahira beberapa saat, kemudian pandangannya turun ke arah dada si istri yang sudah penuh dengan cap bibir dan giginya. Senyum tipisnya muncul. Riga ingat kalau Mahira berhasil mengalahkannya malam tadi."Aku sudah selesai. Bagaimana denganmu? Kau bisa puas hanya dengan ini?""Kau gila? Aku bahkan belum mendapatkan apa-apa.""Kalau begitu, apa artinya kau kalah? Kau masih menginginkanku, sementara aku sudah tidak?""Terserah kau saja. Menang atau kalah, aku harus memasukimu sekarang juga. Aku akan meremukkanmu, lihat saja."Sedikit kesal karena mengingat kekalahnnya itu, Riga mencengkeram pipi Mahira yang masih pulas. Niatnya hanya ingin melakukan satu kali, tetapi pipi gadis itu terasa begitu menggemaskan saat ia jepit dengan jari. Jadi, Riga men
Renzo menarik kerah kemeja Riga, memaksa sang anak berdiri di hadapan. Ia mundur dua langkah. Ujung senjata api mengarah lurus ke pelipis Riga."Lawan aku. Aku akan menembak kepalanya," katanya pada si menantu.Mahira gelagapan. Jantungnya serasa diremas kuat. Sekujur tubuh perempuan itu gemetar dan berkeringat.Renzo merampas senjata dari pinggang Riga. Ia lempar benda itu ke meja. Pria itu tersenyum sinis."Ambil. Pakai itu untuk menjaga seseorang yang kau sebut tadi."Mahira menatap senjata di meja. Matanya memerah, tanpa sadar perempuan itu meremas kuat jemarinya sendiri."Kau bisa pakai Glock, Mahira?" Riga bertanya dengan senyum mengejek. Sama sekali tak ada ketakutan di wajah pria itu, meski saat ini nyawanya berada di ujung tanduk."Aku baru memegangnya hari ini, Bajingan!" Dipengaruhi rasa kesal, takut dan terdesak, Mahira melampiaskan itu semua dengan memaki suaminya.Riga tergelak saat Mahira yang ketakutan melempar tatapan marah padanya. Mata perempuan itu berair. Pipinya
Masih di rumah orang tua Riga sejak tiga hari lalu. Mahira sedang membantu Riga mengenakan kaus. Mereka sudah dipanggil turun oleh salah satu pelayan, untuk sarapan bersama."Kau yakin bisa jalan? Apa kubawa saja makananmu kemari?" Mahira mengernyit tak nyaman saat mendengar Riga meringis ketika pria itu bangkit dari kasur.Riga menatapi istrinya sebentar, kemudian terbahak. "Kau kira luka kecil ini bisa membun*hku?" Ia mengapit rahang Mahira dengan telunjuk dan ibu jari. "Mengajakmu berkelahi pun, aku masih bisa."Mahira menepis tangan Riga dari dagunya. "Kenapa kau suka sekali melakukan ini padaku? Apa aku anak kecil?"Riga hanya memasang ekspresi malas. Ia pun melangkah duluan, melewati Mahira untuk turun ke ruang makan.Mahira terperangah saat tiba di ruang makan. Sarapan kali ini agak sedikit berbeda. Meja persegi panjang dengan banyak kursi di sana nyaris penuh."Jadi, ini Mahira?"Seorang lelaki dengan kemeja hitam beranjak dari kursi dan menghampiri Mahira. Pria itu langsung m
"Kenapa dia demam?" Riga bertanya dengan kernyitan di dahi, pada Frans yang baru saja memeriksa keadaan istrinya."Itu karena lukanya terlampau banyak. Aku sudah memberi obat agar luka-luka itu tidak infeksi. Jika dia sadar, berikan obat dan buat dia makan yang banyak." Frans menepuk bahu Riga. "Jangan cemas. Aku sudah memberikan obat yang paling bagus. Istrimu akan segera pulih."Riga tidak mengantar tetangganya itu sampai keluar. Ia memilih menemani Mahira. Duduk di tepian ranjang mereka, kemudian memandangi wajah penuh lebam itu dengan tatapan nanar.Mahira babak belur. Seharian bersama Damian, Mahira pulang dalam keadaan nyaris ma t*. Tubuh perempuan itu penuh luka lebam, beberapa say*tan benda tajam dan juga lecet.Riga belum sempat menanyakan apa yang sepupu dan istrinya bicarakan, sampai mereka berdua berakhir dengan kondisi mengerikan. Kata Alex, Damian juga terluka. Damian mengalami luka t*mbak dan tus*k di dada.Ini hari kedua perempuan itu belum juga bangun. Riga sudah bosa
Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa
"Kau mendapatkan alamatnya?"Alex menatap Mahira dengan gurat cemas. Pria itu memberikan secarik kertas berisi apa yang perempuan itu minta. Menghela napas, sepupunya Riga itu mengusapi kepalanya berkali-kali.Mahira melakukan sesuatu di belakang Riga. Sehari setelah pertemuannya dengan Albert, perempuan itu menghubungi Alex untuk meminta bantuan.Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Karena Albert sudah mulai menyatakan perang, maka Mahira juga harus mengambil tindakan. Mahira ingin mengusahakan sesuatu, agar Riga tak sampai harus berhadapan dengan Albert.Maka, jalan inilah yang Mahira pilih. Seingatnya, Albert pernah bercerita kalau lelaki itu punya seorang paman. Jadi, Mahira meminta Alex mencari tahu alamat pamannya Albert dan akan mendatanginya."Kau yakin ini akan berhasil, Mahira?" tanya Alex dengan wajah sangsi."Aku perlu melakukan sesuatu, 'kan? Kau juga pasti paham kalau aku tak mungkin menuruti kemauan Albert." Mahira naik ke motornya.Demi keamanan semuanya, Mahira putuskan
Riga melirik pada anak lelaki di kursi penumpang mobilnya. Pria itu mengurungkan niat untuk segera menyalakan mesin mobil. Ia tertarik dengan penjelasan sang anak soal ciri-ciri kakeknya.Sore ini Riga mengantar anaknya jalan-jalan. Sekadar berkeliling taman, lalu membeli es krim. Mahira tak ikut, sebab Riga bersikeras mereka harus naik mobil, bukan sepeda motor si perempuan.Barusan, Riga iseng bertanya bagaimana karakter kakeknya Righa, ayahnya Mahira. Namun, ciri yang anaknya sebutkan malah lebih mirip Renzo daripada Adi.Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Kalau bicara dengan suara pelan dan lembut. Suka membelikan mainan pistol air. Namun, jarang tersenyum atau tertawa."Kau yakin kakekmu seperti yang kau sebutkan tadi?"Righa mengangguk."Kapan terakhir kau bertemu dia?"Righa berusaha mengingat. "Satu bulan lalu sepertinya. Tapi, Kakek datang sendirian, Nenek tidak ikut. Katanya, Nenek sedang tidak sehat, jadi tidak kuat naik pesawat."Firasat Riga makin kuat. Setahunya, orang
Mahira mengulum senyum untuk yang kesekian kali, saat rambutnya pelan-pelan dibasahi. Perempuan itu masih tak percaya kalau sekarang Riga sedang berdiri di depannya, tengah mencuci rambutnya.Sebenarnya, ia bisa mengerjakan ini sendiri. Namun, permintaan asal yang ia suarakan beberapa saat lalu malah ditanggapi serius oleh Riga. Pria itu bilang mau mencucikan rambut Mahira, kemudian pergi keluar kamar untuk mengambil kursi.Terlalu bodoh untuk menolak, 'kan? Kapan lagi ia dapat perlakukan manis dari preman satu ini?"Apa Alex harus ikut dengan kita?"Protes itu Mahira tanggapi dengan memutar bola mata. Lagi. Ini sudah ketiga kalinya Riga bertanya. Kentara sekali pria itu tak setuju Alex ikut makan bersama mereka malam nanti di sini."Kerjakan saja tugasmu. Jangan mengulang pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya."Riga melirik kesal. Namun, pria itu kembali fokus mengerjakan rambut Mahira. Setelah seluruh bagian rambut perempuan itu basah, ia mulai menuangkan sampo."Rambutmu aka