Warning! 18+ Seluruh tubuh Mahira terasa tak nyaman dan sedikit nyeri saat perempuan itu terbangun. Dari tempatnya berbaring, Mahira menjelajahi sekitar lewat pandangan. Ini seperti dejavu. Ia terbangun di tempat yang asing lagi. Mahira mendudukan tubuhnya. Mengernyit karena rasa pusing yang mendera, ia ingat terakhir kali bertemu siapa. Perempuan itu meringis geram. Ini pasti ulah Riga lagi. Ia pasti berada si sebuah tempat milik pria itu lagi. Dasar penjahat. Mahira turun dari ranjang. Ia keluar dari kamar untuk menemukan kalau tempat yang kini ditempati terasa sedikit berbeda. Jika dua rumah sebelumnya berukuran lumayan besar, yang kali ini jauh lebih kecil. Setelah kamar, hanya ada ruang tamu yang kecil. Dan Mahira tak menemukan Alex, Riga atau Albert di sana. Duduk di sofa, Mahira putuskan untuk menunggu. Tak lama, tiga lelaki yang dicari datang. Alex dan Albert memberi senyum sebagai sapaan, sedangkan Riga, hanya melirik malas. "Aku ingin pulang," pungkas Mahira tegas.
"Kau hidup di dalam gua?" Itu yang Mahira dengar dari Riga, saat ia mengaku belum pernah masuk kelab malam. Dengan wajah merendahkan, pria itu menatapnya seolah Mahira adalah orang aneh. Di tempat parkir gedung tempat tinggal mereka, yang lebih suka Mahira sebut rusun, saat ini ia dan Riga akan berangkat ke sebuah kelab malam. Lelaki itu yang mengajak Mahira ke sana. Mahira sebenanya ingin protes. Memang, kalau ia belum pernah datang ke tempat hiburan semacam itu, apakah sebuah dosa? Lagipula, selama ini Mahira tak ada waktu melakukan hal-hal demikian. Ia harus mencari uang. Jika libur, bukankah lebih bijak apabila digunakan untuk tidur? Namun, Mahira tahu mendebat Riga adalah sebuah hal sia-sia. Pria itu mana mau paham. Keras kepala, egois pula. "Kita naik motor?" Mahira melihat Riga naik ke atas sebuah motor besar. "Naik mobil merepotkan," balas Riga. "Naiklah." Ia mundurkan kuda besi hingga berada tepat di depan si perempuan. Mahira pun naik ke motor itu. Ia menjaga jarak ag
"Kau bisa membuat bayi dengan luka itu?"Riga bertanya dengan senyum mengejek di wajah. Pria itu naik ke ranjang, di mana Mahira sudah berbaring.Dua minggu di sini, Mahira akhirnya mendapat sapaan selamat datang. Siang tadi saat di pasar, perempuan itu nyaris ditusuk seseorang yang masih Riga cari. Beruntung Riga sigap, hingga perut Mahira hanya terkena sayatan.Menoleh pada Riga yang sudah berbaring di sampingnya, Mahira memberanikan diri bertanya, "Apa sebenarnya pekerjaanmu? Siapa kau ini?"Riga menghadapkan tubuh pada Mahira. Ukuran ranjang yang tak terlalu besar membuat jarak mereka tak begitu jauh. Riga bisa membaui harum rambut Mahira dari tempatnya sekarang."Masih tidak mau cerita?" tebak Mahira dengan wajah sendu."Di tempatmu, aku membuka kafe. Di sana, aku orang biasa.""Di sini?" Mahira menepis tangan Riga yang sudah mengusapi bibirnya.Riga mengernyit tak suka. "Kau menyogok Alex dengan teh untuk diberi cerita bohong. Apa aku tak boleh minta upah?"Bola mata Mahira berp
Supir taksi itu bicara padanya. Mahira mengutuk Riga karena ia tak paham apa yang dikatakan si supir. Sekarang, bagaimana Mahira bisa memberi alamat untuk diantar pulang? Dan ... apa nama tempat yang ia dan Riga tinggali?"Can you speak English?" Mahira gemetaran saat bicara. Seumur hidup, ini pertama kalinya ia benar-benar menggunakan bahasa asing untuk bicara dengan orang asing."Oh, sure."Mahira memegangi dada lega. Walau ia tak tahu alamat tempat tinggal Riga, setidaknya ia bisa memberi ciri-ciri tempat itu, 'kan? Semoga saja Mahira masih bisa mengingat kosa kata bahasa Inggris yang dulu pernah ia pelajari saat di sekolah.*** Turun dari taksi dan melihat lapangan rumput luas yang dikenali, Mahira tersenyum girang. Usai membayar ongkos, perempuan itu segera berlari.Mahira senang luar biasa. Ternyata, isi kepalanya masih ada. Perempuan itu masih bisa mengingat apa yang dulu pernah dipelajari di bangku sekolah. Walau tidak seluruhnya, dan ia harus beberapa kali selisih paham deng
Hujan yang turun sejak pagi membuat suasana hati Mahira makin sendu. Ditengah segunung rindu untuk keluarga, perempuan itu masih harus sedih karena sikap Riga.Pria itu sering pergi belakangan ini. Katanya, mengurusi pekerjaan. Mahira percaya saja. Kalau pun Riga berbohong, memang dia bisa apa?Sehari-hari, Mahira hanya bisa berdiam diri di rumah. Mengerjakan tugas rumah, lalu bosan sepanjang hari. Sedikit bagus kalau Riga pulang, ia bisa punya teman bicara sebentar. Namun, akhir-akhir ini, hanya Albert yang datang untuk menjaga rumah.Di tengah lamunan, Mahira melihat beberapa anak datang ke tanah lapang di depan rusun. Bocah-bocah itu mulai bermain bola di tengah hujan.Pemandangan itu membuat ujung bibir Mahira tertarik ke atas. Anak-anak itu saling berteriak, saling mengejar, lalu tertawa-tawa. Sungguh penampakkan yang sedikit menghibur hati.Tak ingin hanya menontoni, Mahira turun ke bawah dengan lift. Ia datangi anak-anak itu, kemudian meminta izin untuk diajak bermain. Walau bu
Ada yang mengetuk rumah Riga pukul tiga dini hari. Riga yang memang belum tidur, keluar dari kamar dan membukakan pintu. Bukan orang yang lelaki itu lihat, tetapi sesuatu.Ia mengambil secarik kertas yang ditaruh di atas benda itu. Di sana ada tulisan. Yang menegaskan kalau benda yang dikirim khusus untuk Mahira.Riga menatapi benda itu dengan tatapan dingin. Ia sudah tebak ini akan terjadi. Baginya, ini bukan masalah. Tinggal menyingkirkan benda itu saja dan selesai. Namun, ini tak bisa sesederhana itu lagi sekarang.Lelaki itu membiarkan pintu rumahnya terbuka. Ia ke kamar untuk membangunkan Mahira. Setelahnya, Riga membawa sang istri ke depan pintu."Ini yang kau inginkan?" ucap Riga saat menemukan istrinya membeku dengan tatapan membeliak."Ri--Riga ...." Mahira menarik napas. Tangannya yang gemetar menutup mulut. Perempuan itu luar biasa terkejut dan takut."Aku sudah bilang untuk tak memberinya uang.""Di--dia ibunya Joseph?" Air mata Mahira tumpah di pipi. "Ke--kenapa? Apa--apa
"Riga membunuh kekasihnya Damian," kata Alex mengulang.Lelaki itu meraih tangan Mahira, saat dilihatnya wajah perempuan itu diliputi gusar. Ia berikan senyum teduh, berharap itu bisa membuat Mahira lebih tenang.Alex memulai cerita dengan menyebutkan nama kekasih saudara kembarnya. Agnes."Riga tahu kalau Agnes hanya ingin balas dendam pada Damian. Agnes bahkan merayu Riga di belakang Damian. Karena itu, tanpa pikir dua kali, tanpa memberitahu siapa pun, Riga melenyapkan Agnes."Meski berusaha bersikap tegar, tetapi Mahira tetap saja merasakan tangan dan bibirnya bergetar. Bagaimana bisa begitu mudah bagi Riga untuk melenyapkan seseorang, bahkan tanpa memberitahu dulu alasannya?Sebenarnya, Riga ini siapa?"Setelah Agnes tewas, saat Damian berusaha membalaskan kematian kekasihnya, Riga memberitahu kami alasan dia melakukan itu. Beberapa percaya, Damian salah satu yang tidak ingin percaya."Alex menambahkan. "Kami kira, yang selama ini diam-diam mengincar nyawa Riga adalah anaknya bib
Telapak tangan Mahira terasa lembab saat memegangi kenop pintu. Menarik napas beberapa saat, perempuan itu menarik benda di depannya hingga terbuka.Mahira mengenyit. Dua orang, sepasang manusia berdiri di depan pintunya. Dua orang yang asing, belum pernah ia temui dan terlihat sangat ... bekelas.Yang pria, meski rambutnya sudah setengah memutih, dengan setelan kemeja dan celana jin, lelaki yang Mahira taksir lebih tua dari ayahnya itu masih terlihat gagah. Garis wajahnya tegas, tulang pipinya lumayan tinggi, dan matanya hitam.Satu lagi seorang wanita dengan pakaian terusan berwarna hitam. Tatapannya tampak menyelidik, meski melempar senyum ramah pada Mahira."Apa kau Mahira?"Ia mengangguk. Cukup heran karena ternyata tamunya bisa menggunakan bahasa yang serupa dengannya."Kalian siapa?"Mahira sudah belajar dari keadaan. Pun, kata Riga, kalau ada yang bertamu, jika tidak dikenal, maka lebih baik tidak diperbolehkan masuk. Dan Mahira menuruti saran itu, sebab tak ingin menjadi sasa
Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa
"Kau mendapatkan alamatnya?"Alex menatap Mahira dengan gurat cemas. Pria itu memberikan secarik kertas berisi apa yang perempuan itu minta. Menghela napas, sepupunya Riga itu mengusapi kepalanya berkali-kali.Mahira melakukan sesuatu di belakang Riga. Sehari setelah pertemuannya dengan Albert, perempuan itu menghubungi Alex untuk meminta bantuan.Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Karena Albert sudah mulai menyatakan perang, maka Mahira juga harus mengambil tindakan. Mahira ingin mengusahakan sesuatu, agar Riga tak sampai harus berhadapan dengan Albert.Maka, jalan inilah yang Mahira pilih. Seingatnya, Albert pernah bercerita kalau lelaki itu punya seorang paman. Jadi, Mahira meminta Alex mencari tahu alamat pamannya Albert dan akan mendatanginya."Kau yakin ini akan berhasil, Mahira?" tanya Alex dengan wajah sangsi."Aku perlu melakukan sesuatu, 'kan? Kau juga pasti paham kalau aku tak mungkin menuruti kemauan Albert." Mahira naik ke motornya.Demi keamanan semuanya, Mahira putuskan
Riga melirik pada anak lelaki di kursi penumpang mobilnya. Pria itu mengurungkan niat untuk segera menyalakan mesin mobil. Ia tertarik dengan penjelasan sang anak soal ciri-ciri kakeknya.Sore ini Riga mengantar anaknya jalan-jalan. Sekadar berkeliling taman, lalu membeli es krim. Mahira tak ikut, sebab Riga bersikeras mereka harus naik mobil, bukan sepeda motor si perempuan.Barusan, Riga iseng bertanya bagaimana karakter kakeknya Righa, ayahnya Mahira. Namun, ciri yang anaknya sebutkan malah lebih mirip Renzo daripada Adi.Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Kalau bicara dengan suara pelan dan lembut. Suka membelikan mainan pistol air. Namun, jarang tersenyum atau tertawa."Kau yakin kakekmu seperti yang kau sebutkan tadi?"Righa mengangguk."Kapan terakhir kau bertemu dia?"Righa berusaha mengingat. "Satu bulan lalu sepertinya. Tapi, Kakek datang sendirian, Nenek tidak ikut. Katanya, Nenek sedang tidak sehat, jadi tidak kuat naik pesawat."Firasat Riga makin kuat. Setahunya, orang
Mahira mengulum senyum untuk yang kesekian kali, saat rambutnya pelan-pelan dibasahi. Perempuan itu masih tak percaya kalau sekarang Riga sedang berdiri di depannya, tengah mencuci rambutnya.Sebenarnya, ia bisa mengerjakan ini sendiri. Namun, permintaan asal yang ia suarakan beberapa saat lalu malah ditanggapi serius oleh Riga. Pria itu bilang mau mencucikan rambut Mahira, kemudian pergi keluar kamar untuk mengambil kursi.Terlalu bodoh untuk menolak, 'kan? Kapan lagi ia dapat perlakukan manis dari preman satu ini?"Apa Alex harus ikut dengan kita?"Protes itu Mahira tanggapi dengan memutar bola mata. Lagi. Ini sudah ketiga kalinya Riga bertanya. Kentara sekali pria itu tak setuju Alex ikut makan bersama mereka malam nanti di sini."Kerjakan saja tugasmu. Jangan mengulang pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya."Riga melirik kesal. Namun, pria itu kembali fokus mengerjakan rambut Mahira. Setelah seluruh bagian rambut perempuan itu basah, ia mulai menuangkan sampo."Rambutmu aka