@ddablue_
Han Na-Na tercengang setelah mencerna kalimat Steave. Matanya membulat tak percaya, "I-ini sungguhan?" "Tentu. Aku hanya ingin memberitahumu. Jangan sampai kau salah mengambil keputusan. Menyianyiakan sebuah kesempatan emas yang belum tentu datang untuk yang kedua kalinya." tukas Steave dengan nada-nada lembut yang hangat. Na-Na menimbang lagi kalimat Steave yang dirasa sangat benar bersama seluruh kalimat dua sahabatnya yang pada intinya juga mengharapkan Na-Na bisa menjadi musisi hebat dna jangan melewatkan kesempatan bagus. Dan pikiran yang paling mendominasi adalah sosok Han Ah-Lim. Sang Ibu tercinta yang hanya tinggal seorang diri di Daegu. Tapi ada satu hal yang membuatnya masih sangat ragu dan juga menyesal. Park Chan. Pria itu membuat Na-Na seperti kehilangan daya. "B-baiklah. Aku menerimanya." jawab Na-Na dengan segala pertimbangan. Semua demi perekonomian keluarganya yang kian memburuk. "Selamat!" Steave menarik satu senyuman sambil menyodorkan tangannya untuk saling b
"Oh iya! Dimana si caplang sialan itu? Aku ingin menjenguknya." tambah Hyesi menerawang ruangan Chan yang masih sepi."Sejak kecelakaan itu, dia belum sembuh total, jadi dia masih rawat jalan dan berangkat ke kantor juga tidak terjadwalkan." jawab Steave apa adanya. Menenggerkan kedua tangan di saku celana."Ailin lagi, Ailin lagi. Ternyata cinta itu membutakan, ya." Hyesi melipat kedua tangannya ke depan dada sambil menahan rahangnya agar tidak mengeras saat berucap nama yang paling dibencinya.Steave tak menanggapi dengan sesuatu yang berarti. Ia hanya mengulum bibir dan menaikkan kedua alisnya. Sebab, ia tak ingin membela siapapun. Steave sangat mencintai kedamaian yang abadi."Uhmm.. kalau gitu sambil menunggu Chan, mau segelas kopi dulu?" tawarnya.Sempat memutar bola matanya malas, kemudian pasrah, "Karena kau yang mengajak, aku tak bisa menolak."Keduanya melangkah bersama menuju kafe yang ada di lantai 2 gedung Leyo Studio. Tampak Hyesi yang dingin itu terus dicairkan oleh Ste
Sepanjang perjalanan menuju gedung LEYO Studio, Rose meneyetir dengan sebelah tangan. Sementara tangan kirinya sibuk memberi pijatan di kening. Rasanya benar-benar pening menjalani kehidupan baru yang dikelilingi orang terpandang. Seluruh ucapan Bibi Park tadi masih terngiang jelas dikepalanya. "Kenapa hidup ini menjadi semakin rumit? Bagaimana jika Cheon Da-Reum mengintaiku?" keluhnya. Rose mencari jalanan yang sepi dan memijak remnya disana. Setelah mobil telah berhenti, ia membanting tubuhnya ke punggung kursi mobil, sekedar menenangkan diri sejenak. Menarik satu napas dan menghembuskannya secara kasar, "Inilah alasan kenapa aku tidak ingin menjadi tokoh punlik. Hidup tidak tenang. Nyawapun bisa saja terancam." Detik selanjutnya, Rose berteriak tanpa suara seraya mengacak-acak rambutnya. Deru napasnya tampak berantakan. Naik turun tak keruan. Tak menyangka bilamana hidupnya bisa seabstrak ini, bahkan secara mendadak. Hidup Rose di masa lalu memang tak indah. Ia kehilangan kedua
"Noona!" Rose mengerjap. Menemukan Steave yang sedang melangkah cepat menghampirinya. Tapi, satu hal lain yang membuatnya terkejut adalah fakta bahwa orang yang baru dikenalinya bisa semudah itu bersikap santai. Sebab, orang Korea sendiri sangat tertutup. Mungkinkah karena sikap ramah Rose. "Steave?!" "Kau ingin menemui Si Caplang?" Rose tertawa, pasalnya telinga Chan memang panjang dan besar, tapi ia tidak pernah terpikirkan untuk memanggilnya caplang,"Iya, siapa lagi?" "Aku kecewa. Kukira kau akan mencariku, padahal aku ingin mengajakmu makan siang," Steave begitu mudah akrab dengan siapapun, ia merangkulkan tangannya ke bahu Rose dengan tetap menerapkan hand manner. Rose terkekeh. Ia juga terlihat sangat nyaman dengan sikap Steave yang santai, namun tetap sopan, "Baiklah. Mulai sekarang aku akan mencarimu." Steave melangkah masih dengan tangan yang merangkul di bahu perempuan itu, membuat Rose otomatis mengikuti pergerakannya, "Lagipula Chan masih mengurus trainer baru. Kau s
Chan benar-benar tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Han Na-Na yang dalam benaknya terbayang sosok Ailin dari balik piano. Matanya membeku. Hanya bisa terpaku. Hati terus berdesir dan mengatakan hal-hal yang seolah tak sesuai kenyataan.Tapi, Park Chan terus meyakinkan diri, seseorang bisa saja tampak mirip."Permainan yang bagus, Na-Na." kata Chan datar. Nyatanya ia sedang meyakinkan diri untuk membuang bayangan Ailin.Na-Na memberikan satu senyuman yang paling indah sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, "Terima kasih."Detik itu juga, Chan semakin merasakan getaran tersendiri dalam dadanya. Senyuman itu mengalirkan kehangatan ke seluruh pembuluh darahnya. Senyum yang menyerupai guratan senyum lain.Memang ada momen dimana Na-Na sangat-sangat menyerupai Ailin. Diantaranya saat tersenyum dan bermain piano. Dari bahasa tubuh dan gayanya bermain piano. Senyum tipis yang menawan. Bahkan saat bernyanyi, suara mereka terkadang nyaris tak bisa dibedakan.Mungkinkah?"A
Tepat ketika langkah keduanya telah sampai diambang pintu, tiba-tiba rasa nyeri itu seakan datang begitu saja menggelitik hatinya. Chan memang bermain piano, tapi tidak sendiri.Ada Han Na-Na di sampingnya. Mereka berada di satu kursi yang sama. Sepertinya Chan sedang mengajari beberapa tehnik, tapi entah mengapa ada tawa yang menyelimuti keduanya, senyum Chan juga sangat luas, ada lubang di kedua sisi wajahnhya. Bukankah chan tidak bisa semudah itu untuk memberikan senyuman kepada orang lain?Bahkan Rose tidak pernah mendapatkan senyuman itu di saat pertama bertemu Chan. Entah mengapa itu menjadi pemandangan yang sangat menyebalkan.Seketika hantaman akan beberapa pekan lalu, saat Rose menemukan figura yang terdapat foto Chan dan Ailin di atas nakas kamar kutu beras dan juga semua artikel yang pernah dilihatnya saat mencari tau tentang sosok Bae Ailin.Seharusnya Rose secara otomatis sudah melangkah bersama Steave, tapi Rose hanya membeku, ia tetap berdiri di tempatnya. Seolah berada
Rose mengeluarkan sekotak Kimbab dari tasnya dan meletakkan di atas meja kerja Chan, "Ini satu-satunya obat anti maag!""Wah! Kau memang istri yang sangat perhatian." Chan membelalakkan mata sambil meraih kotak tersebut. Tampak antusias.Rose duduk diatas sofa nan empuk yang tersedia di ruangan tersebut, menyandarkan diri disana agar lebih santai. Melepas penat. Tak ingin peduli banyak tentang celotehan suaminya itu. Suami? Ah, rasanya tidak pantas ada sebutan itu. Pasien? ya, mungkin itu jauh lebih tepat."Noona! Aku tidak ingin berjauhan dengan istriku!" Chan merajuk. Berlari kecil dari kursi kerjanya menghampiri Rose. Menempatkan diri tepat disamping perempuan itu.Rose agak sedikit menjauh. Merasa tak nyaman, "Jangan panggil aku dengan panggilan seperti itu!""Wae? Kau memang istriku, kan?" Chan mengunyah Kimbab lezat buatan Rose."Kata siapa?" Rose terkekeh. Melipat tangan di depan dada, "memangnya pernikahan ini seratus persen sah?""Tentu saja. Kau tak ingat jika kita mengucapka
Tiba-tiba petir menggelegar, membuat keduanya tersentak. Langit yang tadi begitu cerah harus berubah menjadi kian gelap. Inilah roda kehidupan. Ada kalanya malam yang dipenuhi bintang, tiba-tiba menjadi murung. Semuanya bisa saja terjadi selama kehidupan maish berjalan,Steave dan Na-na memilih untuk meninggalkan kedai tersebut sebelum hujan turun. Di tengah perjalanan, perlahan rintikan hujan itu jatuh begitu tipis, keduanya semakin mempercepat langkah.Namun apa daya, hujan justru semakin deras. Mereka tak punya pilihan. Na-na memilih untuk berteduh sejenak di bawah pohon nan rindang yang otomatis diikuti oleh Steave. Meski kemungkinan basah itu ada, setidaknya itu lebih baik dari pada harus melanjutkan perjalanan yang justru akan semakin membuat keduanya basah kuyup.Na-Na mengusap seluruh sisi tubuhnya yang terkena cipratan air. Entah mengapa ada dorongan tersendiri yang terjadi secara otomatis. Steave memainkan tangannya di sekitar rambut perempuan itu yang setengah basah. Memberi
Penerbangan menuju Osaka tinggal setengah jam lagi. Rombongan medis dari Rumah Sakit Wooridul sedang berkumpul bersama untuk segera mengemas barang setelah hampir satu jam boarding. Rose membuka-buka tas-nya. Ia mencari ponselnya tapi tidak ada. Seketika rose mengutuk dirinya sendiri."Ya! Kau kenapa, sih?" tanya Hyo-Joo yang mersa terganggu dengan keributan yang dibuat kawannya."Aissh! Ponselku tertinggal," rengek Rose."Ya! Sepenting apa ponselmu? Kau punya banyak uang, kan? Beli lagi saja nanti," balas Hyo-Joo seadanya."Memangnya aku ke Osaka untuk belanja? Lagipula aku harus menghubungi Chan!""Bukannya kau akan bercerai, kenapa masih menghubunginya?" Hyo-Joo mengerutkan keningnya"Tentu saja aku harus menghubunginya untuk menayakan kabar setelah si caplang itu mengumpulkan dokumen ke pengadilan!" tegas Rose.Hyo-Joo berkacak pinggang sembari mendecak. "Ya sudah, semoga saja lancar. Kau bisa menggunakan ponselku dulu, jika kau butuh."Bukannya ingin mengelak, tapi rose tidak men
Dengan tangan bergetar dan mata yang memandang datar, Chan mengusap pintu etalase yang didalamnya terdapat sebuah guci penyimpanan abu. Pun tertera jelas beberapa foto disana.R.I.P. Bae Ailin.Alih-alih menangis, Chan justru tidak bisa beraksi apapun saat melihat orang yang dicintai dan dicarinya selama ini telah berubah menjadi abu. Mungkin jika Chan mengetahui kematian Ailin sejak dulu, ia akan menjerit, memaki dirinya sendiri serta menyalahkan keadaan dan segala tingkah konyol lainnya. Sekarang, Chan sudah merelakannya pergi sejak Rose ada dihidupnya. Meski sesekali teringat Ailin dari wajah Han Na-Na yang sangat menyerupainya."Maafkan aku, Ailin. Aku belum bisa menjagamu. Kenapa kau tidak pernah mengatakan padaku jika kau sakit?"Chan sempat memutar memorinya saat di bangku kuliah. Saat itulah, ia mulai sering melihat Ailin muntah-muntah hampir di setiap jam. Tapi, Chan selalu mengikuti ucapan Ailin agar tidak usah menghiraukannya dan menganggap hal tersebut hanyalah akibat dari
Suasana kantor LEYO Studio begitu ramai. Banyak aparat kepolisian yang datang. Para karyawan juga sibuk berlalu lalang. Bagian dalam kantor tersebut juga terlihat sangat berantakan. Park Chan sudah menduga jika mimpinya menjadi kenyataan, meski sebagian. Semalam benar-benar terjadi perampokan. Anehnya, perampok tersebut tidak mengincar alat elektronik, melainkan berkas-berkas berharga dari perusahaan besar tersebut."Oh, Chan?!" Steave berbalik saat mendengar suara sepatu yang menghentak di belakangnya."Apa ada yang mencuri buku besar?" tanya Chan memastikan."Iya. Semalam Na-Na datang kemari dan melihat ada rombongan penyusup datang. Dia menelpon polisi, tapi pelaku masih belum tertangkap. Bahkan kamera pengawas juga tidak beroperasi," tutur Steave. "Kurasa mereka mengendalikannya.""Mimpiku benar-benar nyata," ceplos Chan asal."Apa??" Kening Steave mengerut."Aku memimpikan ini. Tapi pelakunya satu orang." Chan berkacak pinggang sembari menerka banyak hal dan detik selanjutnya men
Selepas pulang dari rumah sakit untuk mencari keberadaan sang istri, Chan sedang menikmati malam terburuknya tanpa Rose di sebuah kedai. Kembali pada soju. Minuman yang sebenarnya sudah tak lama ia nikmati selagi dalam pengawasan Rose demi menunjang kesehatan.Namun kali ini ia tak bisa melewatkannya. Puncak frustrasinya sudah diambang batas. Ia butuh sesuatu untuk setidaknya menenangkan pikirannya. Pun kedai yang disambangi hanya dipenuhi oleh pria-pria tua yang kemungkinan tidak mengenalnya."Rose... Noona." Chan terus memanggil-manggil nama sang istri di bawah angin malam sungai Han. "Ji-Hyun Noona... kenapa kau meninggalkanku tanpa sepatah kata? Aku tau aku jahat.""Tapi, setidaknya berikan aku kesemp..." Chan menggeleng bersama pikriannya yang sudah melayang. "Tidak! Kau bahkan sudah memberikanku banyak kesempatan yang bodohnya selalu kulewati.""Aku tidak tau!" Chan merengek. "Kenapa Han Na-Na membuatku melihat Ailin? Tapi aku tidak ingin melakukan apapun. Aku tidak ingin mencint
Chan memasuki ruangan dokter Ko Tae-Song tanpa permisi, membuat pria berambut silver itu terkejut akan kedatangannya."Apa kau tau dimana istriku?" Chan bertanya seraya mengatur tempo napasnya yang berantakan "Tidak... Maksudku, Dokter Rose. Kekasihku.""Ah... Dokter Rose sudah mengakhiri kontrak kerjanya dengan kami sejak sore tadi."Chan tercenung. Matanya membulat. Ia seolah berada di atmosfer yang berbeda. Semakin lemas mendengar kalimat Dokter Ko."Tidak mungkin!" Chan menggeleng.Dokter Ko lantas mengeluarkan surat pengunduran diri Rose dari Rumah Sakit Haesung-Seoul yang telah disetujui sore tadi. Dokter Rose sudah mengurus semua ini sejak seminggu yang lalu. Tapi kami baru menyutujuinya.Chan membaca seluruh surat yang Rose buat dengan seksama. Di detik selanjutnya, Chan berteriak frustasi. Sepertinya Rose benar-benar ingin bercerai dengannya dan kembali ke Daegu. Dada pria itu tampak naik turun penuh dengan emosi yang ingin meledak. Tidak pada tempatnya.^^^Na-Na mengambil be
Namun ada satu keganjalan di hatinya. Chan buru-buru meminta para staf dan karyawan dari seluruh divisi berkumpul di aula besar tanpa ada yang absen satu orangpun. Hal seperti ini menimbulkan banyak tanya bagi mereka. Jika Chan mengumpulkan seluruhnya, maka akan ada hal yang sangat penting. Brukk! Chan melempar beberapa majalah ke lantai. Menimbulkan suara yang menggema ke seluruh sudut ruangan. Semua penghuni aula terperanjat dengan situasi horor macam ini. Seketika kesunyian begitu terasa. Benar saja, jika Chan murka, maka ia akan lebih seram dari hantu valak. "Kalian sudah melihat berita tentangku?" tanya Chan dengan napasnya yang masih tersengal-sengal akibat menahan emosi. "Ini pencemaran nama baik! Ini tidak benar!" Ia memekik. Wajahnya sangat menyeramkan. "Aku bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan Han Na-Na! Aku tidak akan pernah marah dengan segala pemberitaan buruk tentangku. Tapi jika berita tersebut membawa dampak buruk untuk Rose, maka aku tidak akan diam saja!!!
"Apa kau mengingatku, Park Chan-ssi?" tanya Hyo-Joo memastikan. Ketiganya telah berada di ruangan chan. Duduk saling berhadapan satu sama lain.Chan seperti mengingat sesuatu. "Entahlah. Sepertinya aku pernah melihatmu dengan Rose Noona saat di Daegu.""Ingatanmu bagus juga." Hyo-Joo tersenyum tipis. "Aku teman dekat Rose.""Apa kita perlu berkenalan lagi, Tuan Chan?" Giliran Min-Jae angkat bicara."Uhmm... Kau Yook Min Jae?" Chan memastikan lagi."Aku adalah pria yang kau hajar waktu itu. Tapi aku berbaik hati untuk tidak melaporkanmu karena ternyata kau punya hubungan yang spesial dengan Ji-Hyun Noona," terang Min-Jae samar-samar. Sempat membuat kening Chan berkerut. Apalagi saat mendengar pemuda itu memanggil istrinya dengan nama aslinya. " Sayangnya kita belum berkenalan dengan benar. Kau hanya tau namaku saja, tapi kau belum tau siapa aku sebenarnya." Min-Jae semakin membuat Chan penasaran."Ya! Tujuan kalian datang kesini untuk apa? Sebenarnya aku juga tidak punya banyak waktu un
Suasana di Poli Onkologi salah satu rumah sakit elit di Seoul itu begitu ramainya. Pasien tengah mengantre untuk rawat jalan maupun konslutasi pada dokter di bidangnya. Salah satu dokter yang memiliki cukup pasien hari itu adalah dr. Seo Ji-Hyun.Dua orang telah keluar dari ruangannya bersamaan dengan seorang perawat yang kemudian memeriksa data pasien antrean selanjutnya."Ok, selanjutnya nomor pedaftar...."Belum sempat menamatkan kalimatnya, seorang berbalut jaket hoodie hitam itu hendak memasuki ruangan praktik Dokter Seo Ji-Hyun atau yang lebih dikenal sebagai Dokte Rose."Oh?! Tuan?!" perawat perempuan tersebut menahan pergerakannya. "Anda siapa? Saya bahkan belum menyebutkan nomor pendaftarannya!"Sosok dalam balutan topi yang sedang menyembunyikan wajahnya itu hanya melirik sinis dengan tatapan tajam, lalu menghempaskan tangan perempuan tersebut dan menerobos masuk. Namun, perawat itu terus berusaha menahan pergerakan sosok misterius itu yang pada akhirnya berhasil membuka pin
Chan tampak segar. Ia selalu berpenampilan santai jika pergi ke kantor. Berkaos putih tipis dibalut kemeja denim tebal diluarnya. Langkahnya terhenti saat mendapati keramaian di sudut dapur. Chan mengerutkan keningya, melihat rose tengah membantu nara menyiapkan sarapan pagi seraya bercengkrama. Menebarkan senyumnya dengan mudah, seolah tidak ada hal apapun yang terjadi padanya."Oh, Chan?!" sorak Rose riang sambil membawakannya makanan. Menarik satu kursi untuk pria yang sedang mengamati pergerakannya. "Makanlah, kau perlu banyak energi. Kau sibuk, kan?"Chan mematung sambil memikirkan beberapa asumsi. Ia semakin dibuat pening oleh sang istri. Semalam, ia melihat perempuan itu hancur sejadi-jadinya seperti tidak ada waktu lagi untuk hidup. Pagi ini, Rose justru terlihat berbinar."Kenapa?" Rose menemukan Chan yang masih saja berdiri. Keningnya pria itu berkerut. "Tugasku menjadi istrimu selesai hari ini, kan?" Pertanyaan itu terucap begitu saja melalui bibirnya.Detik itu juga, jantu