Share

2 tahun lalu

"Diri mencoba mengiklaskan. Namun, rasa rindu sering kali menghantui."

Gerall Yuan Elfateh

***

Gerall tengah duduk termenung, pikirannya berkelana pada kejadian dua tahun lalu. Kejadian kelam yang berhasil memporak-porandakan kebahagiaan keluarganya.

Gerall mencoba melupakan kejadian kelam itu. Namun, hati kecilnya selalu merasakan rindu yang memaksa untuk kembali mengingat. Semua tak semudah yang Gerall pikirkan.

Gerall menggapai pigura yang selalu terpajang rapih di atas meja belajar. Menatap dengan penuh haru barang tersebut. Tangannya terulur mengusap lembut foto kedua orang tuanya, mereka tersenyum cerah ke arah kamera.

Di bagian belakang pigura, terdapat tulisan penuh makna. Rasa bangga keluarga akan dirinya yang mengikuti jejak sang kakak. Derill dan Gerall laksana pinang dibelah dua, dari sikap, kebiasaan sampai prestasi, keduanya selalu memiliki kesamaan.

"Kami masih sama, ayah, bunda," ujar Gerall sembari menatap sayu pigura di tangannya.

Dengan penuh perasaan, Gerall meletakan kembali pigura tersebut di tempat semula. Matanya memerah menahan tangis, Gerall rindu piknik bersama, berkemah, bermain sampai dirinya kelelahan. Gerall merindukan semua yang selalu mereka lakukan.

Gerall rindu keluarganya!

"Gerall anak baik, tapi kenapa mereka tidak percaya?" ujarnya lirih.

Pandangannya menerawang, kejadian-kejadian kelam di masa lalu mulai bermunculan dalam otaknya.

***

Malam itu setelah menghadiri acara perpisahan yang diadakan sekolahnya, Gerall beserta keluarga mengadakan piknik di halaman rumah. Mereka juga mendirikan tenda dan berniat menginap di dalamnya. Gerall tentu merasa sangat senang, karena acara itu sebagai apresiasi keluarga berkat prestasinya.

Mereka membakar beberapa potong sosis dan memakannya dengan rasa bahagia. Mereka tertawa, bercanda gurau tanpa tau sebuah masalah besar akan menimpa.

"Gerall, kamu mau lanjut sekolah di mana?" ujar sang ayah pada putra keduanya.

Gerall menoleh, menatap sang ayah yang tengah tersenyum hangat kepadanya. Gerall tampak berpikir, dirinya tidak boleh salah pilih. Masa menengah atas sangat berpengaruh untuk jenjang selanjutnya.

"Di sekolah gue aja, Ger. Kita bisa berangkat bareng, lumayan uang bensin bisa disisihin buat biaya sekolah. Lebih bagusnya lagi kalau lo bisa dapat beasiswa," ujar Derill angkat suara.

Gerall menatap kakaknya yang tengah tiduran di paha sang bunda, dia memang orang yang cerdas. Selama ini, Derill lah yang selalu membantu jika Gerall sedang kesulitan, Derill berperan besar dalam hidupnya.

Gerall berpikir sejenak, menimang saran sang kakak. Ada baiknya Gerall mengikuti jejak Derill dan mendapatkan beasiswa seperti dirinya.

Gerall tersenyum cerah, mengangguk tanpa mengucapkan kata apa pun. Mulutnya tengah sibuk mengunyah, jika Gerall berbicara sang ayah tentu akan menghukumnya.

Radith menatap anak-anaknya dengan senyuman, ia begitu bahagia memiliki putra seperti mereka. Setidaknya, kehidupan mereka tidak seburuk dirinya. Radith bukan berasal dari keluarga kaya, ia hanya anak biasa yang memiliki banyak mimpi.

"Teruslah jadi anak yang baik, Nak," ujarnya sembari mengusap surai kedua putranya.

Kedua remaja itu mengangguk dengan antusias, mereka begitu mengidolakan sang ayah. Tampaknya Radith berhasil menjadi pigur seorang ayah yang baik bagi keluarganya.

Mereka kembali tertawa, menikmati hangatnya kebersamaan keluarga. Tanpa mereka sadari, itu merupakan kebersamaan mereka yang terakhir. Sebuah masalah besar tengah menanti mereka, masalah yang mampu menghancurkan keharmonisan keluarga.

Gerall mengernyitkan dahi bingung saat beberapa orang berseragam polisi menuju ke arah mereka. Gerall menatap kedua orang tuanya seolah meminta jawaban. Namun, mereka hanya menggeleng tanda tak tau.

Derill dengan cepat mengubah posisinya, ia duduk dengan tenang di samping sang bunda.

"Apa benar anda orang yang bernama Derill Gian Elfateh," ujar salah satu dari mereka sembari mentap Derill.

"Benar, ada perlu apa yah, Pak?" jawab Derill ramah, tak lupa ia memperlihatkan senyum manisnya.

Sudah menjadi kebiasaan jika Derill berbicara dengan orang lain, Derill akan menunjukan senyum manisnya. Sesuai julukan yang Derill dapat dari orang-orang yang mengenalnya, 'Si Cerdas yang ramah.'

"Anda kami tangkap atas tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan berencana, terhadap korban bernama Nesya Sanjaya."

Deg!

Gerall menganga mendengar ucapan polisi tersebut, bagaimana mungkin kakaknya tega melakukan perbuatan keji itu? Ini pasti fitnah.

Berbeda dengannya, Derill diam mematung. Perlahan air matanya luruh, Derill sedih bukan karena tuduhan yang menjeratnya. Namun, karena korban perbuat keji itu adalah Nesya, orang yang sangat Derill sayangi.

Bahkan saat polisi memborgol tangannya, Derill tetap diam. Kedua orang tuanya berusaha menghentikan polisi agar tidak membawa Derill. Derill tidak bersalah! Mereka bisa menjamin itu.

Derill perlahan menatap keluarganya, kemudian menggeleng pelan seolah mengatakan, 'Aku baik-baik saja.' Tidak ada yang baik-baik saja dalam keadaan seperti ini, Derill!

Derill menatap polisi yang tengah berusaha membawanya, ia meninta izin untuk berpamitan kepada keluarganya. Sekacau apa pun situasinya, Derill tidak pernah pergi tanpa berpamitan.

Polisi tersebut memberinya izin, dengan cepat Derill memeluk sang bunda. Perlahan mengusap air mata yang jatuh dari mata teduh itu, Derill terluka melihat orang-orang yang ia sayangi menangis karena dirinya.

"Derill gak papa, Bun. Jangan khawatir," ujarnya lembut.

Maya mengecup lembut dahi sang putra, dia tahu Derill tidak mungkin melakukan hal kejam seperti itu.

"Bunda akan membawanya nanti," ujarnya lembut. Maya tau Derill sangat terpukul mendengar kabar ini, Maya hanya berharap putranya baik-baik saja setelah kepergian Nesya.

Derill berpindah pada pelukan sang ayah, menangis hebat di dada bidangnya. Gerall menatap iba sang kakak, Gerall ikut menangis melihat musibah yang menimpa Derill.

"Cari pelakunya, Ayah," gumanya pelan.

Derill menatap Gerall dengan senyuman, di depan sang adik Derill tetap menunjukan wibawanya. Derill tidak ingin masa depan Gerall kacau karena dirinya.

Derill mengusap lembut rambut legam Gerall, sedikit menepuk pundak sang adik, seolah berpesan dia harus kuat menggantikan perannya.

Derill menatap mereka dengan senyuman, tidak terlihat gurat ketakutan di wajahnya. Derill tampak begitu tenang, seolah ini bukan hal besar untuknya. Namun, Derill tidak bisa membohongi keluarganya.

Mereka melihat dengan jelas, walau hanya melalui mata, Derill terlalu gambelang menunjukan lukanya.

Air mata Gerall menetes deras seiring langkah berat yang kakaknya ambil. Gerall menatap kedua orang tuanya yang sama kacaunya.

"Besok kita ke sana," ujar Radith pelan.

"Apa tidak sekarang saja, Yah?" tanya Gerall sembari menatap sang ayah penuh harap.

Derill tengah menderita di sana, Gerall sebagai seorang adik tentu tidak akan tinggal diam. Gerall akan berusaha mencari pelaku sebenarnya dan mendapatkan keadilan untuk Derill.

"Derill butuh waktu," ujar Radith sembari mengusap pelan rambut Gerall.

Gerall memeluk dengan erat kedua orang tuanya, ia sangat bangga memiliki orang tua seperti mereka. Dalam keadaan kacau seperti ini, mereka masih mampu menguatkan anak-anaknya.

Semenjak kepergian Derill, rumah yang selalu hangat mendadak sunyi. Mereka menghabiskan malam dengan diam, tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua sibuk memikirkan nasib Derill.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status