Melihat tatapan Lukas yang sepertinya marah itu Edo sedikit gentar. Dalam hati dia menyesali sikapnya yang selalu teledor dan merugikan dirinya sendiri itu. Dan itu bahkan sudah berulang kali terjadi.‘Mengapa dua kakak beradik ini sama-sama memiliki tatapan mata tajam yang mengerikan seperti ini?’ Edo menyimpulkan dalam hati ketika lagi-lagi dia menemukan kesamaan antara Remy dengan Lukas. Meski sejujurnya Remy jelas lebih menakutkan dibandingkan dengan Lukas. Namun jelas sifat dan gesture Lukas tak bisa diabaikan begitu saja, bukan? Mereka berdua layaknya predator yang berbeda spesies.“Maaf, Lukas. Aku tidak bermaksud mengadu kalian berdua karena aku tahu siapa yang akan menang dan siapa yang akan dikalahkan. Hanya saja seperti yang kukatakan tempo hari bahwa aku penasaran dengan hubungan mereka berdua yang … ya, kamu tahu, kan? Bahwa ada yang tidak biasa pada sikap Remy dalam menghadapi Nesia. Apakah kamu tidak merasakannya?” Edo membelokkan pembicaraan agar terbebas dari kemaraha
Benar-benar makan siang yang penuh tekanan. Bagaimana tidak, etika makan Remy memang benar-benar elegan dan sangat berkelas. Sesuai dengan gayanya dalam bersikap dan berpakaian, begitu juga dengan cara Remy ketika makan. Nesia memang tidak ikut makan karena dia baru saja makan kenyang bersama dengan Lukas, sehingga dia punya banyak waktu untuk memperhatikan tata cara makan Remy.Dan berkali-kali Nesia kagum dengan sikap elegan Remy. Tapi siapa sangka jika laki-laki di depannya itu suka seronok dengan mencuri ciumannya semalam. Tak tahukah dia bahwa itu ciuman pertama Nesia? Dan entah mengapa muka Nesia mendadak terasa panas ketika ingat kelakuan Remy itu.“Oh, ya, Nyonya Wilson. Kembali aku tegaskan, bahwa meskipun pernikahan kita hanya berdasarkan sebuah perjanjian, tapi aku akan tetap melakukan perjalanan bulan madu kita. Agar orang-orang tidak mencurigai kebohongan ini dan berpikir bahwa aku adalah seorang suami yang kejam karena hanya bekerja tanpa memperhatikan istri. Padahal kit
Remy tentu saja memilih jalur khusus untuk bisa sampai di ruangannya di lantai atas gedung ini, sehingga tak harus bersamaan dengan beberapa karyawan yang mungkin harus hilir mudik ke atas dan ke bawah. Namun, sepanjang perjalanan menuju ke ruangannya itu, Remy sama sekali tak melepas genggamannya. Padahal dia tahu bahwa tangan Nesia dingin oleh keringat.Tentu saja Nesia berkeringat dingin karena selama ini, ketika dia menjalin hati dengan Vino, mereka hanya jalan bersama. Sesekali saja mereka berpegangan tangan. Itupun sudah cukup menyenangkan karena Nesia mencintai Vino, demikian juga sebaliknya.Akan tetapi, Vino adalah rakyat biasa yang tidak akan mendapat tatapan mencolok jika pergi kemanapun. Tetapi ini? Lelaki yang menggandeng tangannya dengan kuat ini adalah seorang publik figur di perusahaan ini, yang setiap gerak langkahnya akan selalu menjadi perhatian. Terutama oleh anak buahnya.Merasakan tangan Nesia yang berkeringat dan diam saja semenjak turun dari mobil tadi membuat
“Ya. Ke ruangan Pak Remy. Sekalian kita akan melihat seperti apa istri beliau,” jawab Bu Sinta dengan suara lirih dan senyum penasaran.Deg! Jantung Vino berdebar tak karuan. ‘Bukannya istri Pak Remy seharusnya Nona Dona? Bagaimana bisa jadi Nesia yang menikah dengan Pak Remy? Sial! Apakah dia sudah menjual tubuhnya untuk itu untuk Pak Remy?’ berbagai pikiran buruk membanjiri kepala Remy.“Setengah jam lagi aku tunggu kamu, Vino.” Bu Sinta lantas bergegas meninggalkan Vino yang masih terbengong dengan perasaan yang dia sendiri tak bisa artikan.Marah, cinta dan benci yang tak bisa dibendungnya dengan baik, membuat wajahnya memerah tanpa terkendali.“Pantas saja dia ngotot putus denganku dan tidak mau menunggu restu Ibu. Rupanya dia sudah punya laki-laki lain?” gumam Vino dengan geram dan penuh kebencian.Tangannya masih gemetar dan jantungnya juga masih belum normal debarannya. Jelas karena pikirannya yang kacau. Belum lagi hatinya tersusun karena Nesia nekat tak mau menunggu restu i
Melihat bos mereka sedang dalam posisi yang tidak senonoh, Sinta segera menutup pintu ruangan Remy dengan wajah horor. Demikian juga dengan Vino yang juga datang bersama dengan Sinta. Dengan tergopoh-gopoh, Sinta mendekati meja Livi.“Livi! Kamu gila, ya? Nggak bilang kalau pak bos sedang mesra dengan istrinya. Dan posisinya? Astaga!” Sinta berseru tertahan sementara Vino memilih diam, meredakan gejolak hatinya yang tidak nyaman itu.Livi tertawa kecil melihat kepanikan Sinta.“Bukannya di grup saya sudah bilang, Bu Sinta? Bahwa Pak Bos sedang sama bininya. Bu Sinta sih, nyelonong saja,” jawab Livi mengelak.“Tapi kan aku sudah nanya sama kamu?” Sinta kembali ngotot.“Lha, kan Bu Sinta cuman nanya, Pak Bos ada nggak? Ya, saya jawab ada. Nggak salah, kan?” Livi selalu punya jurus mengelak.“Ah, sudahlah! Aduh, bagaimana ini kalau Pak Bos marah? Mana mereka sedang posisi … astaga, mentang-mentang pengantin baru, mesranya nggak tanggung-tanggung. Padahal ini di kantor,” gerutu Sinta sam
Dunia Remy benar-benar hening, yang terdengar hanya decapan bibirnya yang terus menginvasi bibir Nesia tanpa memberi kesempatan gadis itu untuk menghindar apalagi mengelak sama sekali. Sungguh, kelembutan ini demikian memabukkan. Apalagi ketika dia semakin merasa berhasrat.Meski sesungguhnya Nesia ingin menghindar, namun dia tak bisa melakukannya karena Remy benar-benar menutup aksisnya untuk bergerak. Dia hanya mencoba mengelak serangan bibir Remy, namun berujung menyerah karena nyatanya Remy begitu pandai menggiringnya menuju pada sebuah rasa nyaman dan indah yang membanjir di segenap jiwa raga Nesia.Namun kenyamanan itu harus terhenti ketika terdengar tepukan tangan yang terasa membahana karena keheningan ruangan itu. Seketika Remy menghentikan ciumannya namun bibirnya masih menempel lembut di bibir Nesia yang gemetar. Uniknya, Nesia buru-buru membuka matanya yang tadi terpejam selama beberapa menit.Apakah dia juga menikmati kenyamanan dan rasa baru yang diberikan Remy?“Mungkin
Edo segera keluar dari ruangan Remy demi jengah melihat kedua orang itu tarik ulur dalam hubungan mereka yang unik. Atau aneh?“Kamu benar tak bisa main ponsel?” tanya Remy menoleh pada Nesia yang duduk mematung di sebelahnya.“Tuan Remy yang baik, mungkin Anda sebaiknya melihat bagaimana kamar kost saya yang yang menyedihkan agar Anda melihat bagaimana mungkin saya bisa membeli barang semewah itu,” jawab Nesia dengan kesal.Remy tersenyum dan mengangguk-angguk kecil.“Boleh juga. Mungkin nanti kalau aku ada waktu longgar, kita akan jalan-jalan ke rumah kost kamu,” ujar Remy dengan senyum mengejutkan.Nesia tertegun menatap Remy. Tangannya dengan spontan meraba kening Remy, membuat pria itu spontan memundurkan kepalanya. Tidak hanya itu, karena tidak terbiasa diperlakukan seperti itu, dengan sigap Remy menerkam Nesia hingga gadis itu terdorong ke sofa, sementara Remy nyaris menelungkup di atasnya. Mata Nesia terbelalak terkejut dan seketika dia berdebar kencang.“Apa … apa yang akan A
Keluar dari ruangannya, Remy mendadak menjadi laki-laki menyebalkan karena tak sedetik pun dia melepaskan genggaman tangannya pada tangan Nesia. Padahal gadis itu jelas-jelas ingin sekali menarik tangannya. Melewati meja kerja Livi, jelas Nesia memerah mukanya karena malu dengan sikap Remy.Namun, bukannya Remy melepaskannya. Dia malah semakin erat menggenggamnya. Melewati ruang berisi karyawan yang sebagian besar pekerjanya masih di kubikelnya masing-masing, Remy acuh tak acuh menarik tangan Nesia.Tentu saja hal ini menarik perhatian para karyawan yang lantas mengambil ponsel masing-masing untuk bergosip mengenai betapa kecilnya istri bos mereka. Tak luput juga bahwa bos mereka banyak berubah menjadi sedikit ramah, bahkan sudah membawa gadis ke kantor. Namun yang membuat mereka —para karyawan itu— heran adalah bahwa istri bos mereka yang sangat sederhana.“Nggak nyangka, ya? Bu bos kita masih belia banget?” ujar salah seorang pegawai di room chat kantor.“Iya. Pantesan sama pak bos
Wajah Remy dan Nesia seketika bersemu merah ketika mereka melihat siapa yang sudah membuka pintu dan menampakkan wajahnya. Tak lain dan tak bukan adalah dokter Ilham bersama seorang suster yang menjadi asisten dokter Ilham pagi ini. Apalagi ketika mereka melihat bahwa dokter dan suster itu tersenyum karena memergoki ulah Remy. “Ehem!” Remy berdehem menghadap ke arah dokter Ilham untuk menetralkan suasana yang mendadak canggung. Tak sedikit pun Remy merasa ingin memperbaiki keadaan. Dia bahkan tak menjauh dari Nesia. “Sebaiknya kamu mulai belajar menahan diri terhadap keinginan apapun pada istrimu, Remy. Kehamilannya masih sangat muda. Aku khawatir akan membahayakan kondisi janinnya.” Dokter Ilham memberikan nasehat seolah mengerti apa yang Remy rasakan. “Berapa lama, Dok?” tanya Remy yang tahu kemana arah pembicaraan dokter Ilham. Pertanyaan sigap yang diajukan Remy membuat dokter Ilham tertawa kecil. Sambil memeriksa tekanan darah Nesia, dokter Ilham tersenyum. Suster yang berada d
Suasana di sebuah ruang rawat di klinik ini terasa begitu heboh dan penuh kegugupan serta kekhawatiran yang berlebihan. Remy terlihat begitu sibuk mengemas semua barang yang kemarin terbawa ke klinik ini meskipun barang itu tak begitu diperlukan karena fasilitas di klinik sudah sangat memadai. Setelah semua barang terkemas rapi, terlihat Remy yang tersenyum lega seolah baru saja menyelesaikan sebuah proyek besar dan bernilai milyaran.Nesia yang sudah siap pulang, kini duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengawasi Remy yang sibuk sendirian. Namun, kali ini Nesia memilih diam tanpa banyak tanya karena sejauh ini dia masih belum yakin dengan sikap penerimaan yang dilakukan Remy atas kehadiran bayi di dalam perutnya itu.Awalnya, Nesia mengira bahwa Remy akan marah besar dan menceraikan dirinya kemudian mengusirnya dari rumah itu. Dan untuk semua praduga buruk itu, Nesia bahkan sudah menyiapkan banyak rencana jika memang dia harus terusir dari rumah Remy karena kehamilannya.Tapi siapa sa
Mendengar pertanyaan Lukas, Edo sedikit gelagapan. Namun bukan Edo namanya kalau dia tak bisa mengelak dari cercaan Lukas. “Hei, apakah aku mengatakan bahwa kehidupan seks Remy tidak normal?” tanya Edo merasa tak bersalah. Lukas yang sudah hafal dengan kelakuan Edo hanya tersenyum masam. “Tak perlu berpura-pura lupa dengan ucapanmu sendiri Edo. Jelas-jelas kamu mengatakan bahwa kehidupan seks Remy sekarang berjalan normal. Bukankah itu artinya dia tidak normal sebelumnya?” Edo tergelak. “Aku hanya menduga, Luke. Bagaimana mungkin Remy mengumbar kehidupan seksnya pada orang lain? Sudahlah, habiskan kopimu dan pulanglah. Rumahku tak cukup cocok dengan bujang sepertimu!” ujar Edo kemudian berdiri, mengambil jas kerjanya yang ada di sampiran kursi makan dan mengenakannya dengan santai. “Aku tak mau pulang hanya untuk melihat mereka kasmaran,” jawab Lukas dengan santai, mengabaikan pengusiran yang diucapkan Edo dengan terus terang tadi. Edo tersenyum miris melihat Lukas yang kelihatan s
Sudah dua hari ini Lukas menginap di rumah Edo. Selain sebagai sesama pegawai di perusahaan yang ditangani Remy dengan tangan dinginnya, Lukas, Remy dan Edo adalah juga teman dekat. Nyaris tak ada rahasia di antara mereka, kecuali Remy yang memang sangat tertutup terutama soal perempuan.Remy sangat berbanding terbalik dengan Edo. Kalau Remy memilih tertutup mengenai perempuan, termasuk hubungannya dengan Nesia yang tak mudah ditebak, maka Edo memilih jalan vulgar untuk menunjukkan eksistensinya sebagai lelaki tampan dan mapan.“Kamu tak kerja lagi pagi ini, Luke?” tanya Edo ketika pagi ini dia masih melihat Lukas yang malas-malasan menikmati secangkir kopi yang dibuatnya sendiri tadi. Tentu saja Lukas harus membuatnya sendiri karena Edo seorang lajang yang tak memiliki seorang pembantu.Lukas hanya tersenyum kecil dan hambar, membuat Edo semakin penasaran dengan kelakuan Lukas yang tiba-tiba saja minggat ke rumahnya itu.“Memangnya kamu tak takut Remy akan menendangmu dari pekerjaan
Pemeriksaan pagi oleh Dokter Ilham sudah selesai. Seorang suster mengambil sampel urine Nesia dan hanya dalam beberapa menit saja sudah bisa dipastikan bahwa Nesia memang hamil. Setelah Dokter Ilham dan suster keluar, semua terdiam. Bu Maryam, Nesia, dan juga Remy. Tak ingin ikut larut dalam suasana canggung, Bu Maryam mengambil inisiatif untuk pulang dengan alasan sudah ada Remy sekalian membawa pulang tas yang semalam dibawa Remy.Remy yang gamang, tak tahu harus bagaimana, hanya mengangguk sehingga Bu Maryam kemudian segera keluar. Meski dalam hati was-was dengan apa yang akan terjadi pada Nesia ketika Remy tahu akhirnya Nesia hamil, tetapi dalam hati Bu Mar bersyukur bahwa akhirnya Nesia hamil. Pembantu itu hanya bisa berharap bahwa keberadaan anak mereka akan membuat pernikahan ini berjalan sebagaimana seharusnya.Bu Mar sudah menutup pintu, dan Nesia hanya menatap selimut yang menutupi tubuhnya. Keduanya masih sama-sama terdiam, tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Bahkan,
Pagi menunjukkan pukul enam ketika Nesia menggeliat dan membuka matanya. Namun, ada yang membuatnya tak nyaman di bagian tangan. Nesia lalu melihat tangannya dan terkejut mendapati jarum infus terpasang di sana. Dia mencari-cari ke sekeliling untuk mencari tahu apa yang terjadi ketika matanya melihat Remy yang duduk dengan mata terpejam di sisi ranjangnya. Bu Maryam tak terlihat di ruangan itu karena beberapa saat tadi dia pamit untuk mencari kopi di kantin bawah.Nesia mengerutkan keningnya. “Remy?” Tanpa bisa dicegah, Nesia menyebut nama lelaki itu.Merasa ada yang memanggilnya meskipun pelan, Remy segera membuka matanya dan mendapati Nesia sudah terbangun.“Hei, Nes? Kamu sudah bangun?” tanya Remy yang bergegas mendekat pada Nesia, menyambut uluran tangan perempuan itu, dan menciumnya dengan lembut. Entahlah, dia lupa dengan kalimatnya bahwa dia tidak mencintai Nesia, bahwa dia hanya butuh perempuan itu tetap sehat agar bisa bercinta kapanpun dia mau. Tapi nyatanya? Nyawa Remy sepe
“Kalau Bu Maryam mengantuk, Bu Maryam bisa tidur di kasur itu. Biar saya yang berjaga.” Lukas yang menunggui Nesia di ruang rawat inap bersama Bu Mar menyuruh wanita itu tertidur. Lukas tahu kalau Bu Mar pasti lelah.“Lalu Tuan bagaimana?” Bu Mar menatap lesu lelaki itu. Memang dibandingkan dengan Remy, Lukas jauh lebih manusiawi dan lunak serta ramah. Meskipun sekarang Bu Mar mengakui bahwa Remy jauh lebih lunak dan manusiawi.“Saya bisa tidur di sofa.”Bu Maryam mengangguk kemudian menuju ke sebuah kasur kecil yang memang disediakan bagi keluarga pasien yang menjaga. Sebelum dia merebahkan diri, Bu Mar berpesan, “Nanti kalau Nyonya bangun, Tuan Lukas bangunkan saya saja.”Lukas mengangguk. Lelaki itu memilih duduk di sofa, menyelonjorkan kakinya yang panjang ke atas meja yang ada di depannya. Matanya menatap Nesia yang tertidur lelap di atas ranjang rumah sakit. Selang infus terlihat terpasang di tangan kanannya.Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tetapi Lukas tak juga bis
Di kamar hotel tempat Remy menginap, laki-laki itu geram bukan kepalang melihat keberadaan Dona di rumahnya. Rasa rindunya pada Nesia yang beberapa saat tadi sempat terobati, kini menguap begitu saja dan berganti dengan rasa marah dan kesal karena ternyata Dona datang ke rumahnya pada saat dia tidak ada di rumah.“Hallo, Remy? Apa kabar, Sayang?” Sapaan Dona benar-benar membuat Remy ingin muntah mendengarnya.Remy tersenyum sinis. “Mengapa kamu ada di rumahku?” tanya Remy dengan sadis dan tegas.“Hei? Mengapa kamu bertanya seperti itu? Bukankah aku sudah biasa datang dan bahkan menginap di sini?” Dona balik bertanya dengan suara keras seolah menegaskan dan memberitahu pada Nesia yang ada di ruangan itu mengenai bagaimana dia dulu begitu bebas ke sini.“Sial!” Entah mengapa Remy menyesali jawaban Dona yang pasti terdengar oleh Nesia.“Apa kamu tidak memberitahu istri kontrakmu ini bahwa aku dulu sering menginap di sini? Atau jangan-jangan kamu menyembunyikan hubungan kita dulu, seperti
Mengabaikan panggilan Remy, Lukas bergegas ke lantai atas. Di ruangan luas yang ada di depan kamar Remy, Lukas bertemu dengan Bu Maryam yang membawa nampan berisi minuman. Lukas mengerutkan keningnya kemudian mendekati Bu Maryam.“Minuman untuk siapa, Bu Mar?”“Untuk Nyonya Nesia, Tuan Lukas.”“Memangnya mengapa harus diantar ke kamarnya?”Bu Mar berhenti menghadap Lukas. Matanya celingukan seolah waspada akan ada orang lain yang melihat keberadaan mereka berdua. Lukas heran sekaligus curiga dengan gerak gerik Bu Mar.“Ada apa, Bu Mar? Apakah ada sesuatu yang gawat?”“Sssttt … Nyonya Nesia sedang tidak enak badan, Tuan. Tadi siang muntah-muntah, makanya saya suruh istirahat. Ini saya buatkan minuman agar nyonya sedikit lega.”“Astaga, Bu Mar? Mengapa tidak menghubungi saya kalau Nesia sakit? Kalau terjadi apa-apa kita yang akan kena salah sama Tuan Remy,” jawab Lukas dengan panik dan bergegas menuju ke pintu kamar Remy yang sekarang juga menjadi kamar Nesia.Bu Mar berjalan mengikuti