Pov : BianIrena masih menangis di kamarnya saat aku sampai di depan pintu sembari menyandarkan punggung ke bingkai pintunya. Dia menoleh sekilas lalu kembali menatap koper di atas ranjang. Koper yang agak berdebu saking lamanya tak tersentuh. "Setega itu kamu sama aku, Mas," lirihnya sembari terus menyeka bulir-bulir bening yang menetes di kedua pipinya. "Kamu juga tega mengkhianati cinta tulus yang kuberikan selama ini," balasku santai meski gemuruh dalam dada masih tetap terasa. "Itu karena kamu tak memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Rizqi." Irena mulai beralibi, padahal jelas mereka merencanakan semua ini sejak awal. Aku yakin itu. "Kamu tak pernah bisa melupakan Dania bahkan selalu mengingatnya dalam mimpimu. Kamu sering kali mengigau nama dia. Jadi, jangan salahkan aku bila sesekali bertemu dengan Zaky. Toh alasannya sudah jelas, aku hanya ingin anakku mendapatkan kasih sayang dari seseorang yang seharusnya dia panggil ayah. Apa aku salah?" Perempuan itu menoleh sembar
Tiga hari sudah Irena pergi. Aku juga tak tahu dia kemana. Rumah terasa sepi. Tak seperti biasanya yang cukup berisik dengan suaranya, juga suara Rizqi. Tak apalah. Aku sudah memutuskan semuanya bahkan juga sudah istikharah. Seperti kata mama, InsyaAllah ini jalan terbaik untukku dan untuknya. Kubiarkan dia bersama laki-laki yang memang seharusnya menjadi ayah untuk anak semata wayangnya. Lelaki yang pantas mendampinginya. Aku yakin kelak akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik. Dia yang tulus dan mau menerimaku apa adanya. Aku juga ingin bahagia. Seperti Dania yang kini kulihat semakin bahagia bersama Reza. Teringat kembali pertemuanku dengannya tempo hari di warung bakso langganan. Bakso yang disajikan menggunakan batok kelapa. Dia datang bersama Reza dan Irena. Gadis kecilku itu juga tampak tersenyum dan begitu ceria. Aku benar-benar iri dibuatnya. Rasanya sangat menyesal mengapa dulu aku sering kali menolak saat Dania mengajakku ke tempat itu. Sekalipun dia selalu bi
Pov : Irena Rencana yang sudah kususun gagal total. Percuma aku berhasil memisahkan Mas Bian dengan Dania. Toh pada akhirnya aku gagal mendapatkan apa yang selama ini aku impikan. Aku tak berhasil mendapatkan harta Mas Bian yang rencananya akan kuberikan pada papa untuk membangun kembali usahanya. Paling tidak, untuk menggantikan impian papa saat beliau menikahkanku dengan Mas Angga. Harapan akan mendapatkan harta dari Mas Angga. Namun, ternyata tak secuilpun kudapatkan, sebab Mas Angga tak mencantumkan namaku dalam daftar warisannya. Jika aku bisa mendapatkan harta dari Mas Bian, mungkin papa tak terus-terusan menyalahkanku karena kehamilan di luar nikah itu. Papa pun tak terus menyindirku soal kepergian Mas Angga dan warisan yang tak sepeserpun berpindah ke tanganku. Mungkin papa dan mama juga bisa menerima Zaky sebagai menantu jika Zaky sudah sukses dengan usahanya. Usaha yang modalnya juga akan kuambilkan dari harta yang Mas Bian punya. Namun sayang, semua sia-sia. Mas Bian
Mungkinkah mama dan papa terus mengawasi kehidupanku bersama Mas Bian sebelumnya? Karena itu pula tebakan mama kali ini tak meleset? Belum sempat menjawab, mama kembali menanyakan hal lain yang tak kalah mengagetkan. "Bagaimana dengan Zaky? Apa kamu masih sering bertemu dengannya?" Mama menatapku tajam. Mendadak lidahku kelu. Ingin sekali menceritakan semuanya, tapi rasanya benar-benar kesulitan bicara."Ngapain anak kesayanganmu itu ke sini, Ma?" Suara yang begitu familiar di telinga tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Kulihat papa sudah berdiri di sana dengan tatapan tajamnya. Mama pun sedikit gugup lalu buru-buru mendudukkan Rizqi ke sofa dan menghampiri papa. Mungkin mama takut kejadian beberapa tahun lalu terulang. Bagaimana murkanya papa saat aku berniat kabur dari rumah demi bertemu Mas Bian. Hingga tamparan dan kurungan di kamar pun papa lakukan. Padahal sebelumnya aku begitu disayang sebab aku memang anak semata wayang. TakdirNya yang membuat cinta dan cinta kasih itu b
Pov : IrenaMama sangat terpukul melihat keadaan papa yang masih terbaring lemah di ruang UGD sejak tadi pagi. Berulang kali mama menyalahkanku atas kejadian ini, tapi mau dikata. Semua memang sudah terjadi. "Kamu sudah dapat uang untuk biaya perawatan papa, Ren?" tanya mama tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. "Belum, Ma. Nanti Iren coba cari uangnya ya?" ucapku kemudian. Mama hanya diam saja tak membalas sedangkan aku kembali memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya pengobatan papa. Mungkin aku minta tolong Zaky untuk membayar administrasinya. Dia pasti ada uang, kalaupun nggak ada dia bisa jual apa yang dia punya. Lagipula aku sudah banyak berkorban untuknya, apa iya dia nggak mau membantuku saat seperti ini? Uang, perhiasan bahkan mobilku pun sudah dia ambil untuk modal usaha tapi ternyata sia-sia. Mungkin memang dia tak memiliki bakat untuk berbisnis. Entahlah. "Kalau nggak ada tempat untuk meminjam, terpaksa Iren ke rumah Om Bagas, Ma." Mama menoleh seke
Jarum jam menunjuk angka tujuh lebih sepuluh menit. Gegas kuambil jaket dan memakaikannya untuk Rizqi. Kasihan dia, malam-malam begini harus kuajak keluar rumah memakai motor yang mana angin malam akan menampar tubuh kecilnya. Namun apa boleh buat, aku tak akan tenang jika belum mendapatkan uang. Perlahan kupacu sepeda motor menuju rumah Om Bagas. Masa lalu kembali terngiang di benak. Bagaimana dulu aku menolak permintaan adik papa itu untuk menumpang di rumahku saat dia di PHK. Bukannya tak boleh, hanya saja aku risih dengan dua anak perempuannya yang tak pernah menyukaiku hanya karena aku menjadi primadona di kampusku. Apalagi saat mereka tahu aku berhubungan dekat dengan Mas Bian, laki-laki yang juga dicintai salah satu sepupuku itu. Hati berdebar tak karuan saat motor maticku berhenti di depan gerbang sebuah rumah mewah di perumahan elit di kotaku. Seorang satpam gegas membuka pintu lalu tersenyum ke arahku. "Mbak Iren, keponakannya Pak Bagas?" tebak satpam itu dengan senyum
Pov : Irena Tiga hari papa dirawat. Tiga hari pula aku kalang kabut cari uang, tapi nihil. Om Bagas yang kupikir akan memberi uang pun sepertinya tak diizinkan anak dan istrinya yang rese itu. Entahlah. Satu-satunya harta yang kupunya tinggal motor matic itu. Terpaksa aku menjualnya sebab tak ingin dicap pembohong oleh mama. Mama pasti juga begitu mengharapkan uang itu karena tak ada orang lain untuknya berharap selain aku. "Gimana kabar papa, Ma?" tanyaku via telepon setelah menidurkan Rizqi di kamar. Lelah sekali rasanya hari ini. Uang sepuluh juta sudah di tangan, hati terasa lebih tenang meski ada sisi lain yang terasa begitu hambar. "Alhamdulillah papa sudah lebih baik, Ren. Jantung papa memang bermasalah, tapi kata dokter sekarang sudah mulai membaik. Nanti sore mau cek lagi, kalau tak ada masalah besok diperbolehkan pulang. Kamu sudah dapat uangnya, kan?" tanya mama dari seberang.Terdengar kecemasan dari suaranya yang lirih. Mungkin mama masih di kamar dan takut papa mende
Tak ada sesal yang terlukis di wajahnya. Justru terlihat lengkungan senyum di kedua sudut bibirnya. Sebegitu cepat dia move on? Melupakan semua cerita cinta yang pernah dia agungkan untukku. Ah manusia. Tak patut memang berharap padanya. Sebab semudah itu hatinya berubah. Kemarin disesaki cinta yang membara, tapi siapa sangka hari ini dipenuhi benci yang tak terkira. Air mataku menetes juga. Keluar dari persidangan dengan langkah dan tatapan hampa. Tak tahu lagi bagaimana nasibku kini. Sehebat itu balasan yang harus kuterima saat ini. Balasan yang tak pernah kusangka sebelumnya sebab kupikir cinta Mas Bian itu akan selalu ada dan membara. Tak menyangka jika ternyata bisa menipis dan hilang tak bersisa. "Kenapa, Iren? Mau ngobrol denganku?" tanya Mas Bian saat aku mengekori langkahnya. Dia bersama pengacara tengah ngobrol di halaman parkir. Pengacara itu pun menganggukkan kepalanya ke arahku lalu pamit pulang lebih dulu. "Ada masalah lain?" tanya laki-laki itu lagi. Dia menyandar
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah