Pov : DaniaLaki-laki itu, dengan matanya yang memerah dan rahang mengeras tiba-tiba mengambil sesuatu dari dalam box-nya, tepat di saat Mas Reza mulai menurunkan tangannya karena tak mendapatkan sambutan dari Mas Bian. Entah bagaimana kejadiannya mendadak Mas Reza berteriak lalu memegangi lengannya yang terluka. Darah mulai menetes di sana. Suasana makin tak terkendali saat laki-laki yang pernah seranjang denganku empat tahun lamanya itu mulai mengamuk. Dia berusaha melukai Mas Reza kembali meski Mas Fano sudah membekuk laki-laki itu. Pisau tajam itu terlepas dari genggaman Mas Bian saat Mas Fano mencengkeram lengannya dan menarik keduanya tangan mantan iparnya itu ke belakang. Badanku lemas seketika saat melihat Mas Reza meringis kesakitan. Papa berusaha mengikat lengannya dengan perban lalu mengantarnya ke klinik. Mereka memintaku untuk tetap tenang dan di rumah. Berharap lukanya tak terlalu dalam dan tak banyak jahitan. Beruntung Irena sudah diajak ibu ke kamarnya sebelum insi
Mas Fano dan Mas Bian saling tatap. Keduanya nyaris baku hantam andai mama tak melerai."Fano ... Fano. Tolong, maafkan Bian. Akhir-akhir ini dia memang tak stabil. Biar mama antar pulang saja sekarang daripada bikin onar di sini," ucap mama dengan tangis yang mulai terdengar. "Kamu tadi naik apa, Bi?" Mama berbisik ke telinga Mas Bian. "Ojek, Ma. Dari rumah Rudy, aku langsung ke sini dengan ojek." Mama pun mengangguk pelan lalu berusaha berdiri sembari memapah Mas Bian untuk diajak pulang. Kulihat ibu keluar dari kamar Irena sembari menatapku lekat. Aku yakin sebenarnya ibu juga mendengar keributan tadi, hanya saja ibu memilih bersama Irena di kamar dibandingkan menyaksikan keributan di rumahnya pasca resepsi pernikahan anaknya. "Maafkan Bian, Sar. Aku akan berusaha menasehatinya lagi untuk tak selalu mengganggu Dania. Sekali lagi tolong maafkan dia," ucap mama sembari menyeka bulir bening yang menetes di kedua pipinya. "Jangan begitu, Mbak. Aku sudah memaafkan Bian. Walau baga
Pov : BIAN Pernikahan Dania dan Reza benar-benar membuatku kacau. Pikiran tak tenang, seolah tak ada kesempatanku untuk mendapatkan Dania kembali. Kupikir dia yang akan menyesal karena sudah menggugatku, ternyata justru sebaliknya. Hidupku yang berantakan sejak dia tak lagi bersamaku. Kekacauan ini diperparah dengan Irena yang tak lagi mau mendengar apapun yang kukatakan. Termasuk saat aku memergokinya bertemu Zaky. Laki-laki yang dia bilang sudah dijebloskan ke penjara itu ternyata masih berkeliaran di luar. Sepertinya mereka memang bersekongkol untuk menjebakku meski Irena bilang Zaky punya uang agar tak mendekam di jeruji besi. Benarkah? Aku tak percaya sepenuhnya. Bahkan sekadar uang seratus juta saja dia harus menculik anaknya sendiri. Benar kata mama, Irena hanya memanfaatkan uang dan tenagaku saja. Tak peduli dengan apapun tentangku, termasuk kesehatanku yang akhir-akhir ini menurun. Tensi sering naik, tak nafsu makan bahkan berat badanku turun nyaris lima belas kilo kar
Aku tak pernah menganggapnya ada dan hanya berpura-pura mencintainya. Kini, akupun mendapatkan balasan yang sama dari Irena. Dia yang ternyata juga tak jauh beda. Hanya pura-pura mencintaiku demi harta dan tenagaku saja. Teganya! "Urai masalah hidupmu satu persatu, Bi. Jika kamu muak dengan istrimu, berpisahlah. Mungkin dengan begitu bisa menghilangkan sebagian bebanmu. Percayalah, lamat laun kamu juga bisa menerima kepergian Dania dan bisa membuka pintu hatimu untuk perempuan lainnya. Perempuan yang mungkin saja memang ditakdirkan untukmu dalam Lauh MahfuzNya," ucap mama lagi. Begitu lembut terdengar. Mama berusaha menyelami hatiku. Memberi nasehat sehalus mungkin agar aku mengerti, terlebih agar aku tak lagi tersulut emosi. Betapa bersyukurnya aku memiliki mama sepertinya. Selalu ada di sampingku, sekalipun aku sering kali tak mempedulikan nasehat-nasehat yang mama beri. Tak peduli dengan permintaan mama jika itu tak sesuai dengan keinginanku sendiri. "Irena memang benar-benar m
Pov : BIAN |Mas, dokumen-dokumen penting yang kusimpan di bawah almari pasti kamu yang ambil, kan? Kamu simpan di mana, Mas?| |Mas, sekarang kamu di mana? Apa di rumah mama?| |Kenapa nggak angkat teleponku dan balas pesanku dari semalam, Mas? Apa kamu sengaja menghindar dariku?|Banyak sekali pesan yang dikirimkan Irena sejak semalam. Aku hanya membacanya, tak berniat membalas. Biar dia merasakan apa yang kurasakan saat itu. Aku yang sibuk menghubungi dan mencari tahu keberadaannya, tapi ternyata dia menghilang entah di mana. Bahkan saat pulang ke rumah pun dia hanya bilang ke rumah teman dengan handphone lowbat dan lupa isi baterai. Sesimple itu seolah aku bukan suaminya yang begitu mengkhawatirkan kedaannya. Seolah dia bukan seorang istri yang harusnya menjaga amanah suami dan izin tiap kali pergi. Bodohnya aku dulu yang terus memaafkan dan memaklumi semua kesalahannya yang kadang disengaja. Aku yang selalu mencintainya dengan tulus dan tak terlalu peduli dengan kemunafikannya
"Mama selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Bi. Mama sangat bersyukur jika akhirnya kamu menyadari semuanya. Mama sangat bersyukur. Yang lalu biarlah berlalu. Mungkin memang itulah jalan hidupmu. Sekarang yang harus kamu pikirkan adalah masa depan. Jangan sampai masuk ke lubang yang sama. Mama yakin kelak kamu akan menemukan seseorang yang begitu menyayangimu dan mau menerimamu apa adanya. Percayalah."Aku kembali menghela napas lalu mengusap kedua pipi mama yang basah. Wanita yang biasanya selalu tersenyum dan tertawa itu detik ini cukup berbeda. Baru kali ini kulihat mama begitu terluka dan menitikkan air mata lagi setelah kepergian papa beberapa tahun silam. Itu berarti keputusanku untuk berpisah dengan Irena memang benar. Mama mendoakan bahkan memintaku untuk segera pergi dari Irena. Perempuan yang bilang terlalu beruntung suami sepertiku setia. "Pakai mobil mama saja, Bi. Daripada kamu naik ojek," tawar mama saat ojek online yang kupesan sudah datang. Aku dan mama yang sed
Pov : Dania "Mas, mama mengucapkan maaf atas ulah Mas Bian tempo hari," ucapku sembari mengganti kasa di lengan Mas Reza. Mas Reza hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Mama juga bilang kalau Mas Bian sangat menyesal sudah melakukan tindakan bodoh itu. Dia benar-benar frustasi dengan nasibnya, Mas. Makanya melakukan semua itu, tanpa pernah memikirkan akibatnya," ucapku lagi. "Iya, aku juga tahu. Semoga Bian benar-benar sadar. Meski begitu, aku tetap harus bertemu dengannya," ucapnya lagi. Aku pun mengiyakan saja.Tiga hari pasca pernikahanku dengan Mas Reza, aku memang diboyong ke rumah papa. Kami tidur di lantai atas bersebelahan dengan kamar Irena. Gadis kecilku pun sudah memiliki kamar sendiri dengan pintu bersebelahan dengan kamarku. Sementara papa tidur di kamar bawah. "Mama, kamar Irena bagus sekali. Rena suka warnanya. Pink yang cantik,"ucapnya saat pertama kali menginjakkan kaki di kamar barunya. Dia sangat bersyukur dan mengucapkan terima kasih pada Mas Reza ya
Jarum jam menunjuk angka dua belas lebih sepuluh menit. Aku dan Mas Reza sudah smpai di cafe yang tak jauh dari kantor Mas Bian. Sengaja kuminta mama untuk memberitahu Mas Bian soal pertemuan ini. Kupikir Mas Bian akan menolak, tapi ternyata dia mau bertemu dengan Mas Reza di tempat ini. Sesuai rencana. Mas Reza baru memesan dua minuman untukku dan untuknya sembari menunggu Mas Bian datang. Kuaduk gelas panjang berisi jus alpukat itu perlahan lalu menikmati kesegarannya, sementara Mas Reza memesan lemon tea dengan kentang goreng krispi di atas meja. Aku dan Mas Reza masih mengobrol banyak hal. Tentang usahanya yang kini fokus ke properti. Usaha yang lama dihandle oleh papa. Mas Reza juga bilang memiliki kost-kostan dua puluh pintu yang dia beli dari hasil usahanya dulu. Sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya kulihat laki-laki di masa laluku itu mulai melangkah perlahan dari arah pintu. Dia mengenakan kemeja berwarna abu muda dan celana hitam seperti biasanya. Melihatku tengah
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah