Share

BAB 4

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku begitu gugup saat mendengar panggilan kedua dari Mas Bian. Gegas kumasukkan diary itu di belakang tumpukan baju di lemari paling bawah. Sepertinya aman di sana karena memang jarang tersentuh.

"Ke-- kenapa, Mas? Mau kopi?" tanyaku tergesa lalu buru-buru menutup pintu lemari setelah kuyakin diary itu tak tampak lagi.

"Iya. Tumben kamu nggak menyiapkannya? Apa kamu sakit?" Mas Bian mendekat. Entah mengapa debar dalam hatiku kian menguat. Biasanya aku tak seperti ini, tapi setelah tahu semua masa lalunya, sakit ini tak bisa kubendung lagi.

Mas Bian memegang keningku lalu menggeleng pelan. Senyum yang kini ia suguhkan pun tetap saja menawan. Namun sayangnya tak semenawan sebelumnya, tepatnya sebelum aku tahu bahwa Irena adalah nama mantan kekasihnya.

"Nggak demam kok. Kamu kecapekan?" Lagi-lagi aku menggeleng, berusaha menahan air mata yang begitu kuat ingin keluar dari porosnya.

"Mas ...." Panggilku saat dia pamit mau ke kamar mandi dulu.

"Iya, ada apa, Nia?" Mas Bian membalikkan badannya. Kutatap wajah tampannya itu dari jarak beberapa langkah.

"Boleh tanya sesuatu?" Aku menatapnya lekat. Mas Bian cukup tenang saat bicara denganku. Dia benar-benar lihai bersandiwara.

"Boleh dong. Mau tanya apa sih?" Senyumnya selalu terukir tiap kali bicara denganku. Senyum yang dulu selalu kutunggu dan kurindu, tapi kini berubah menjadi senyum yang cukup menusuk ulu hatiku.

"Mas, pernahkah kamu mendoakanku dalam sujudmu?" Mas Bian menghela napas.

"Tentu, Nia. Aku selalu mendoakan kebaikan untukmu di tiap sujudku. Kenapa kamu selalu tanya begitu? Bukankah aku sudah sering menjawabnya?" Mas Bian kembali memberikan seulas senyum.

"Iya sih, Mas, tapi entah mengapa aku ingin selalu menanyakannya padamu."

"Tak perlu khawatir, Nia. Namamu selalu ada di setiap doa-doaku." Dia pun kembali mengangguk untuk meyakinkan seperti biasanya. Dulu aku memang begitu berbunga saat mendengar balasannya, tapi kini rasanya bunga-bunga itu mendadak layu dan mati.

"Selain aku, siapa lagi perempuan yang kamu sebut dalam doamu, Mas?" Mas Bian agak tersentak mendengar pertanyaanku. Namun, dia tetap menjawabnya. Jawaban yang justru semakin membuatku nelangsa.

"Hanya ada dua nama lain, mama dan ... Irena."

Irena. Nama itu memang terlalu spesial baginya. Dulu kupikir nama itu adalah nama anak perempuanku saja, tapi kini kutahu jika nama itu juga nama perempuan lain di hati suamiku. Perempuan yang kuyakin selalu dia sebut di setiap doa-doanya. Ya Allah, teganya dia. Aku mencoba lebih tenang demi mengungkap semuanya perlahan.

"Apa selama empat tahun bersama, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanyaku gugup. Namun kali ini air mataku tak bisa kubendung lagi. Membiarkannya luruh ke pipi mungkin bisa sedikit mengurangi sesak di dada. Biarlah.

Mas Bian tersentak kaget mendengar pertanyaanku. Pertanyaan yang mungkin baru kali ini didengarnya sebab sejak dulu aku tak terlalu peduli dengan masa lalunya. Cinta dan kasih sayangnya padaku dan Irena terlalu sempurna dan aku nggak mau mengusik kenangan lamanya. Aku terlalu percaya jika cinta Mas Bian nyata, bukan semu belaka.

"Sesuatu apa, Nia? Apa cinta dan tanggungjawabku sebagai suami dan ayah selama ini belum cukup?" Laki-laki itu kembali tersenyum. Selalu begitu tiap kali berbicara denganku. Senyumnya seolah tak lepas dari kedua sudut bibirnya.

"Kenapa selama ini kamu nggak pernah menyatakan cinta padaku, Mas?" Air mataku terus menetes ke pipi dan aku buru-buru mengusapnya dengan punggung tanganku sendiri.

"Terkadang, cinta tak harus diungkapkan dengan kata-kata, Nia. Sebab, cinta itu sendiri sudah dibuktikan dengan sebuah perjuangan, perhatian dan tanggungjawab untuk membuatnya bahagia. Empat tahun pernikahan kita, apakah kamu masih berharap kata-kata cinta sementara aku sudah membuktikan tanggungjawabku sebagai suamimu? Bukankah itu bagian dari ungkapan cinta secara nyata?" Aku menghela napas panjang. Rasanya cukup kesal mengapa dia terlalu pintar bersandiwara. Dia tak tahu jika saat ini aku sudah mengantongi semua kebohongannya.

Aku tahu selama ini dia sudah menbuktikan tanggungjawabnya sebagai suami dan ayah. Namun, kini baru kusadari jika semua pengorbanan yang dilakukan hanyalah bentuk dari pertanggungjawabannya di depan Tuhan. Tak lebih daripada itu dan nyatanya terlalu menyakitkan bagiku.

"Kamu aneh sekali, Nia. Ada apa sebenarnya?"

"Kamu yang aneh, Mas. Kenapa tak menceritakan masa lalumu, sementara sebelum aku menikah dulu sudah menceritakan semua masa laluku," sambungku dengan suara serak.

Mas Bian tak melanjutkan langkahnya ke kamar mandi melainkan kembali mendekatiku dan mendekapku ke dalam pelukannya.

"Kamu bicara apa, Nia? Bukankah kamu sendiri bilang bahwa masa lalu hanyalah lembaran cerita usang yang tak perlu diingat lagi? Hari telah berganti, begitu pula dengan hati. Lantas apanya yang salah?" Mas Bian tetap saja tak mau menceritakan masa lalunya.

Bagaimana bisa dia sebut sekadar cerita usang bila nama anaknya sendiri sengaja dia ambil dari nama mantan kekasihnya? Nama yang pasti akan dia ingat sepanjang masa, tiap kali memanggil Irena. Hatiku mencelos lagi mendengar jawaban darinya.

Jika dia mengatakan itu hari-hari sebelumnya mungkin aku akan merasa begitu berbunga dan istimewa. Aku yang dia genggam saat patah, kini dia berhasil membalut patahan itu dengan cintanya.

Namun sayang, aku tak lagi percaya semua kata manisnya setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hatinya. Pintar sekali dia menyembunyikan luka, pandai sekali dia bersandiwara di depanku selama empat tahun ini. Tanpa pernah kusadari jika ada nama perempuan lain di hatinya, dan jelas bukan aku.

Aku duduk di tepi ranjang dengan air mata berlinang. Sesekali Mas Bian berusaha menyeka air mataku, tapi kutepis jemari-jemarinya. Dia yang kini jongkok di depanku dengan pandangan penuh tanya.

"Kamu kenapa, Nia? Kembali mengingat mantanmu itu?" tanya Mas Bian lembut.

Pantas saja seolah tak ada cemburu di hatinya tiap kali dulu aku menyebut nama Reza, ternyata memang aku hanya dijadikan pelampiasannya saja. Bukan tempat untuknya melabuhkan cinta. Aku benar-benar terlambat menyadarinya.

"Aku bukan perempuan munafik, Mas. Sesekali aku memang masih mengingatnya, tapi tak ada sedikit pun dalan hatiku ingin kembali bersamanya," balasku sembari menatap lekat manik matanya.

"Lantas kenapa kamu berubah seaneh ini?" tanya Mas Bian lagi.

"Kamu adalah malaikat tak bersayap untuk hidupku, Mas. Aku sangat mempercayaimu. Aku sangat mencintaimu dengan segala perhatian dan tanggungjawab yang selama ini kamu berikan." Mas Bian hanya mengangguk-anggukan kepalanya lalu kembali menatapku.

"Terus masalahnya dimana, Nia?"

"Aku begitu percaya apapun yang kamu katakan. Tak terbesit sedikit pun di benakku jika kamu berdusta."

"Aku memang nggak berdusta, Nia. Kapan aku berdusta padamu? Tentang apa?"

"Masa lalumu."

"Maksudmu?"

"Kamu memang nggak berdusta. Hanya saja kamu menyembunyikan masa lalumu, Mas."

"Masa lalu tak perlu diingat lagi, Nia. Biarkan dia pergi dengan sendirinya. Bukankah kamu juga bilang begitu?"

"Iya, tapi nggak ada yang kututupi dari masa kelamku itu. Sementara kamu?"

"Aku?" tunjuknya pada diri sendiri.

"Iya, kamu, Mas. Kamu masih menyimpan nama perempuan di hatimu hingga detik ini."

Mas Bian menggeleng pelan lalu berusaha menarik kedua punggung tanganku. Namun, lagi-lagi aku menepisnya lalu membuang arah. Air mata ini kembali menganak sungai.

"Maksudmu apa, Nia? Jangan berbelit-belit." Mas Bian tersenyum menatapku meski kutahu ada gurat kecemasan dalam matanya.

"Siapa Irena Prameswari, Mas?" tanyaku dengan suara gemetar.

"Maksudmu apa? Kamu lupa kalau itu nama anak kita?" Lagi-lagi Mas Bian berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Iya, memang nama anak kita, Mas. Namun itu juga nama mantan kekasihmu. Tega kamu menyembunyikan semua ini dariku, Mas. Tega!"

đź’•đź’•đź’•

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elfrida Panjaitan
lebay bangat ni si Nia,, GK masalah nama mantan sama dgn nama anak,,yg penting suami tdk ada rasa lagi sama mantan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 5

    Pov : Bian "Mas, apa yang kamu sembunyikan dariku selama empat tahun pernikahan kita? Bisa-bisanya kamu sematkan nama mantan kekasihmu pada anakku?" pertanyaan Dania benar-benar di luar nalarku. Aku tak paham kenapa dia tiba-tiba mempertanyakan hal itu. Selama empat tahun pernikahan, dia memang tak banyak tanya tentang masa laluku, setelah aku berikan jawaban menohok untuk pertanyaan tak masuk akalnya itu di awal-awal pernikahan kami. Masih jelas kuingat dulu saat dia tanya hal-hal sepele yang membuatku jengah. Dia protes hanya karena aku tak pernah memuji kecantikannya, tak pernah memujinya di depan keluarga besar dan tak pernah memperkenalkannya pada teman-teman kuliahku dulu dan hal remeh lainnya. "Mas, aku cantik nggak? Kenapa sih kamu nggak pernah memujiku cantik, Mas? Padahal kata teman-temanku, aku cantik," ucap Dania saat itu dengan wajah bersemu merah sembari memilin roknya. "Apa perlu mempertanyakan hal-hal seperti itu, Nia?" jawabku saat itu sembari menoleh sekilas

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 6

    "Mas, aku mau ganti nama Irena," ucap Dania tiba-tiba sembari menundukkan kepala. Aku menoleh sekilas ke arahnya lalu menghela napas. "Kenapa harus diganti, bukankah kamu sendiri yang bilang saat itu sangat menyukai nama itu. Nama yang cantik menurutmu?" "Iya, tapi itu sebelum aku tahu siapa Irena di hidupmu. Mana bisa aku satu atap dengan perempuan lain yang masih mengakar kuat dalam hatimu?" ucapnya tanpa ragu. Dia menatapku, kedua mata kami pun beradu. "Satu atap dengan perempuan lain?" Aku mencoba tertawa mendengar kekonyolannya. Bagaimana disebut perempuan lain, sementara Irena adalah anaknya sendiri bukan perempuan lain. Ada-ada saja. "Iya. Jelas perempuan lain, sebab kamu masih menanti Irenamu kembali. Kamu sengaja menyematkan nama itu untuk anak kita karena dalam hatimu masih begitu mengharapkannya. Aku nggak mau tiap kali terdengar nama Irena lantas kamu teringat mantanmu. Lagi-lagi aku kembali tertawa mendengar kekonyolannya itu. Sengaja terbahak agar dia yakin bahwa

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 7

    Bias senja masuk melewati celah jendela. Aku masih sibuk di sini. Membaca novel tentang kesabaran seorang istri menunggu suaminya koma berbulan-bulan lamanya. Koma. Antara ada dan tiada. Air mataku menetes lagi, tiap membaca untaian kata di dalamnya. Terasa menyesakkan, seperti yang kini kurasakan. Berusaha menyelami hati Mas Bian, tapi akhirnya aku kembali terjatuh dan sakit. Lembar demi lembar diary itu sudah kubaca hingga tak ada sisa beberapa hari yang lalu. Namun bayang perempuan itu terus menerorku. Seolah sedang meledek dengan senyum termanisnya. "Hei, Dania. Kau mungkin berhasil memiliki raganya, tapi sampai kapanpun kau tak akan pernah berhasil memiliki hatinya. Dia tetap milikku sampai kapanpun. Sebab akulah cinta pertamanya, akulah masa depannya, akulah pelita hidupnya, meski kini kamulah ratu di dunia nyatanya." Gegas kututup novel yang kubaca untuk mencari mama. Tadi mama pamit menemani Irena ke mini market terdekat untuk membeli es krim. Sementara Mas Bian sudah beran

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 8

    Mendung menggantung di angkasa. Rintik hujan pun mulai membasahi bumi. Kuhirup dalam aroma yang menenangkan ini. Petrichor. Iya, aroma tanah pasca hujan turun membasahi bumi yang kering. Bunga-bunga di taman kecil samping kamar tampak segar saat air langit itu mengguyur kelopak hingga sampai ke batangnya. Aku tersenyum tipis menatap pemandangan yang cukup menenangkan ini. Bising air hujan terus menemani sepiku. Kulihat Irena terlelap di ranjang sembari memeluk guling kesayangannya. Lagi-lagi aku memejamkan mata perlahan. Menghembuskan napas yang masih saja terasa sesak dengan bermacam pikiran yang belum jua sirna. Aku sudah berusaha mengikhlaskan, tapi belum bisa. Hatiku masih tak rela mendapat kenyataan yang ada. Aku benar-benar kecewa. Bahkan sangat kecewa. Saat aku ingin memulai memberikan kepercayaan lagi pada Mas Bian setelah semua rahasia ini terbongkar, tapu kenyataannya Mas Bian justru mematahkan semuanya. Komentar di f******k itu. Iya, aku yakin karena komentar itu hingga

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 9

    Mas Bian masih terpaku di sana. Membiarkanku pergi begitu saja dari sampingnya setelah memberinya pilihan terbaik untuk hidupku dan hidupnya. Dia yang akan menyelesaikan sendiri masa lalunya atau justru dia memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.Kuberikan kesempatan ini untuknya, berharap Mas Bian bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Sengaja membiarkannya berpikir jernih, aku pun mengajak Irena bermain ke taman belakang. Ada sebuah gazebo di sana. Tempat biasa untukku menyendiri, menikmati waktu dengan membaca buku atau sekadar berselancar di media sosial sembari mengawasi Irena, tentunya.Tiap weekend tiba, aku sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini. Sebab biasanya Mas Bian menghabiskan waktu di restorannya atau lembur di kantornya. Dulu aku tak paham kenapa dia seolah lebih nyaman di luar rumah, tapi kini baru kusadari, mungkin dia memang sengaja menghindariku setiap hari. Dia menjalankan semua kewajibannya, hanya saja belum sepenuhnya menerimaku sebagai

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 10A

    Hari ini mama datang dengan wajah tak enak dipandang. Seperti ada beban berat yang sedang dipikirkannya. Mungkinkah Mas Bian sudah mengadu tentang perubahan nama Irena itu? Mungkin. Tapi biarlah. Biar mama dan Mas Bian tahu, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa diperlakukan semena-mena dan sesuai kehendaknya. Aku bisa saja berontak, andai tak menghargai janji suci yang tersemat empat tahunan ini. "Nia ...." Mama memelukku saat aku baru saja keluar untuk menyambut kedatangannya di teras. "Gimana kabarmu, Nak? Sehat?" Perempuan seusia ibuku itu menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seperti biasanya saat dia datang. Dengan Irena pun demikian. Mama terlalu takut aku dan Irena kenapa-kenapa. Setelah saling peluk di teras, mama pun menggendong Irena lalu mengikutiku masuk rumah. Senyum mama sedikit merekah saat melihat celoteh lucu cucu kesayangannya itu."Mama mau tanya satu hal sama kamu, Nia. Boleh?" tanya wanita lenih dari setengah abad itu dengan tatapan sendu. Mungkin

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 10B

    "Aku nggak habis pikir, Nia. Bisa-bisanya kamu mengganti nama anak kita tanpa persetujuanku," ucap Mas Bian tiba-tiba saat aku menata baju setrikaan ke lemari. Kedua tanganku yang sibuk menata baju pun terhenti, lalu menoleh ke arahnya yang sudah rapi dengan kemeja. "Memangnya kamu membuat nama itu juga dengan persetujuanku, Mas?" "Jelas iya, kamu juga menyukai namanya. Bahkan saat mama memintamu untuk menolak pun kamu bilang sangat suka dan setuju dengan nama itu. Salahnya di mana? Kalau kamu memang nggak suka, aku pasti ganti namanya saat itu. Jangan cari alasan untuk membenarkan sikapmu saat ini. Sekarang kamu tiba-tiba ganti nama Irena tanpa minta persetujuanku lebih dulu. Parahnya, kamu masukkan nama laki-laki itu untuk anak kita." Mas Bian tak mau kalah. Dia duduk di tepi ranjang sembari memperhatikanku yang terus menata baju ke lemari hingga selesai dan menutup pintunya. Aku balik menatapnya lekat. "Kamu memang minta persetujuanku, Mas. Itu benar, tapi kesalahan terbesarmu

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 11A

    Tiga hari ini Mas Bian hanya diam saja. Entah apa yang dipikirkannya. Aku pun hanya bicara seperlunya. Aku malas berdebat apalagi jika berkaitan dengan nama Irena. Meski begitu, aku tak melupakan tugasku sebagai istri. Semua kebutuhannya tetap kupenuhi seperti biasanya. Aku memang kecewa, tapi aku tak ingin durhaka pada suami. Ada banyak hal yang kurencanakan. Termasuk bila nanti mau nggak mau harus memilih pergi meninggalkan Mas Bian dengan segala masa lalunya. Aku nggak mungkin memaksanya untuk tetap tinggal, jika dalam hatinya hanya untuk Irena saja. Meski jelas ada banyak luka di sana, terlebih untuk mama dan Irena, kurasa itu jauh lebih baik daripada terus berpura-pura bahagia. Tak hanya mereka yang tersakiti, tapi aku dan Mas Bian juga mengalami hal yang sama. Cepat atau lambat, mau atau nggak mau, aku memang harus mengambil pilihan sulit itu. Bertahan dengan segala kekecewaan rasanya jauh lebih menyakitkan. Apalagi jika Mas Bian tak ada keinginan untuk melupakan perempuan itu

Latest chapter

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 5 : BIAN [TAMAT]

    Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 4 : BIAN

    Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 3 : BIAN

    Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 2 : BIAN

    Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 1 : BIAN

    Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 76 [END]

    Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 75A

    Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 74B

    Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 74A

    Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah

DMCA.com Protection Status