Aku masih berusaha menenangkan debar di dadaku sendiri sebelum masuk rumah. Kulihat rekaman di ponsel masih menyala. Biar saja. Setelah mulai bisa bersikap biasa, aku pun mengucap salam. Tanpa menunggu balasan aku mengajak Budhe Desy masuk begitu saja. Terlihat jelas keterkejutan di wajah Mas Bian dan perempuan itu, tapi aku tak peduli. Seolah tak menganggap mereka ada di sana. Kuminta Budhe Desy membawa Irena ke kamarnya. Setelah itu kuantar Budhe Desy istirahat di kamarnya. Saat aku baru sampai depan kamarku, kulihat perempuan itu memanggil namaku sedikit keras lalu beranjak dari sofa."Tunggu, Nia!" Aku pun berhenti tepat di depan pintu kamar lalu membalikkan badan. Tepat dua langkah di hadapanku, Irena melipat tangannya ke dada sembari menatapku dengan seksama. Seolah tengah mengulitiku sesuai prasangkanya. "Kenapa, Ren? Aku masih sah istrinya Mas Bian loh ya. Jadi wajar pulang dan kembali tinggal di rumah ini, kecuali hakim sudah mengetukkan palu dan mengabulkan gugatanku," uc
Bakda maghrib. Kutitipkan Irena pada Budhe Desy yang masih membantuku menyiapkan makan malam di meja. Aku dan Budhe baru saja membuat opor ayam, tempe goreng dan udang goreng tepung. Menu favorit Irena dan Mas Bian. Sekalipun aku sudah menggugatnya, kuingin meninggalkannya dengan baik-baik, tetap setia hingga ketukan palu itu tiba. Terserah dia yang mulai mendua saat rumah tanggaku dengannya dalam posisi baik-baik saja.Aku akan membuatnya menyesal sudah memilih dia dibandingkan aku dan Irena juga mama. Sengaja kembali menabur cinta di detik-detik perpisahanku dengannya. Bukan karena aku ingin kembali, hanya saja agar dia kelak meraba-raba apa saja yang sudah kuberi. Hingga dia tenggelam akan penyesalannya sendiri. Aku tak tahu kemana Mas Bian pergi. Setelah tidur siang tadi, aku tak lihat Mas Bian dan perempuan itu di rumah ini. Budhe Desy pun sama saja. Tak melihat mereka sebab dia juga kuminta untuk istirahat terlebih dahulu sebelum membantuku beberes rumah. "Sayang, nanti sam
Aku sibuk mengipasi wajah mama dan memberinya minyak angin supaya lekas sadar. Tak selang lama, mama pun membuka kedua matanya lalu menatapku lekat. Ada luka yang begitu ketara di sana.Aku yakin mama pasti sangat kesal, sedih dan kecewa melihat sikap anak semata wayangnya yang begitu mamalukan. Dia tega mengkhianati kepercayaan istri dan mamanya sendiri hanya demi seorang perempuan. Sudah berulang kali mama memintanya menjauh, tapi yang ada Mas Bian semakin dekat dan lengket saja bersama Irena. Seolah sengaja tak mengindahkan permintaan mama. Kudengar mama mendesah lalu menyandarkan dirinya ke sofa. Kupijit lengan mama perlahan dan memintanya minum air putih yang baru saja kuambilkan. Mama menurut saja, tak banyak protes maupun perlawanan. "Nia ... kenapa Bian tega melakukan ini semua pada kita? Pada mama, padamu dan pada anak semata wayangnya." Lirih kudengar mama mulai protes atas sikap Mas Bian. Tak menyangka jika anak yang begitu dia sayang itu benar-benar mengejar cinta pe
"Hallo, Bian. Kamu sampai mana? Mama sudah di rumah," tanya mama setelah sampai di depan rumah. Belum ada mobil Mas Bian di garasi, makanya mama menanyakan keberadaannya. Tak selang lama, sebuah pesan terkirim di handphone mama. "Di jalan, Ma. Sepuluh menitan lagi sampai." Kudengar suara laki-laki itu dari seberang. Mama pun mengiyakan lalu menutup ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Kututup gerbang lalu menyusul mama yang sudah mencium Irena dan mengusap perlahan rambut panjang cucu kesayangannya itu. Ada kepedihan dalam sorot matanya yang sayu. "Rena, ayo masuk. Oma belikan mainan buat Rena," ucap mama kemudian sembari menggandeng tangan Irena untuk masuk ke ruang keluarga. Sempat kulihat mama dan Budhe Desy saling berkenalan lalu Budhe mulai meracik minuman ke dapur. Mungkin Budhe Desy menawarkan minuman hangat untuk mama. Kubiarkan mama dan Irena bermain di sana. Gegas masuk kamar, berniat untuk bersih-bersih wajah dan mengganti baju. Terdengar sorak sorai keg
Mama demam selama tiga hari sejak mendengar ceritaku tentang gugatan cerai itu. Ditambah kabar pernikahan siri Mas Bian membuatnya semakin sakit. Sakit di hatinya jauh lebih parah dibandingkan sakit badannya. Berulang kali mama mengucap istighfar tiap teringat sikap anak semata wayangnya yang mulai setengah gila karena cinta. Mama sering kali menatapku dengan mata berkaca lalu mengucapkan maaf lagi dan lagi. Mama merasa benar-benar gagal mendidik anak lelakinya karena tak mengikuti jejak ayahnya yang begitu setia. Pasca sembuh dari sakit, sesekali aku ke rumah mama untuk menengok dan membawakan beragam camilan atau buah kesukaannya. Aku memang harus bolak balik sebab sejak dulu mama nggak mau tinggal bersamaku dan Mas Bian di rumah. Mama ingin anaknya mandiri setelah menikah. Bahkan saat sakit pun mama tetap tak ingin tinggal bersamaku karena takut merepotkan. Kini, mama teramat kecewa melihat rumah tangga anaknya yang dia pikir nyaris sempurna ternyata menyimpan bara sampai akhirn
"Antar mama pulang, Bian. Biarkan perempuan itu pulang sendiri naik taksi, ojek atau apalah sesukanya!" perintah mama pada Mas Bian yang masih sibuk menenangkan istri barunya. "Tapi, Ma. Sekalian sama Irena pulangnya, ya? Nanti Bian antar Irena dulu baru antar mama sampai rumah," pinta Mas Bian kemudian. Dia menatap perempuan itu beberapa saat lalu beralih ke arah mama yang masih murka. "Mama nggak sudi semobil dengan dia," ucap mama singkat, tapi menurutku sangat menusuk hati. Mama bergeming lalu melipat tangannya ke dada seolah begitu muak dengan sikap Mas Bian yang selalu membela perempuan itu. "Kasihan Irena kalau pulang sendiri, Ma.""Itu Nia kemana-mana juga sendiri. Kamu nggak kasihan juga? Bawa anak loh dia. Sementara perempuan itu sendirian. Kok bisa tenang ya anaknya ditinggal di rumah sementara dia jalan-jalan dan berlama-lama di luar. Apa itu contoh ibu yang baik?" sindir mama lagi sembari menunjuk Irena dengan menaikkan sedikit dagunya. Mas Bian mendadak terdiam. Isak
Pov : Bian Malam semakin larut. Jarum jam menunjuk angka satu dini hari, tapi mataku belum mampu terpejam juga. Entah apa dan bagaimana perasaanku detik ini. Rasanya benak dipenuhi berbagai masalah yang tak ada habisnya. Justru semakin lama semakin sesak saja. Aku begitu menikmati pertemuanku kembali dengan Irena. Menikmati cinta yang sejak dulu kusimpan rapat dalam sudut hatiku itu dengan cara yang berbeda. Sebab statusku dan dia pun tak lagi sama. Aku tak peduli perubahan demi perubahan Dania yang semakin lama semakin ketara. Biarlah sesukanya. Lagipula, dia tak mungkin bisa berbuat apa-apa. Dia tak memiliki power apapun atas rumah tanggaku dengannya. Semua yang dia inginkan selalu aku yang memenuhi. Aku yang menyiapkan, hingga dia tinggal terima beres atas apapun yang dia butuhkan.Sepertinya dia terlalu nyaman hingga dia tak menyadari jika aku bisa saja bosan dengan semua ketergantungan dan ketidakmandiriannya. Meski pada awalnya memang aku dan mama yang memintanya menjadi ibu
"Ma ... kenapa sih mama harus ganti nama serifikat itu? Kenapa mama asal ganti aja nggak bilang aku dulu. Seharusnya mama nggak perlu bingung soal Irena karena aku pasti akan tanggungjawab padanya meskipun nanti berpisah dengan Dania. Kalau begini, sangat nggak adil buat aku, Ma. Rumah dan restoran itu jelas aku yang bangun, tanpa memakai uang Dania sepeser pun. Keenakan dia dong sekarang dapat dua aset berharga itu," protes Mas Bian saat keluar ruang sidang. "Keenakan dia gimana? Itu kan hak Irena. Keenakan perempuan itu kalau sampai aset itu jatuh ke tanganmu. Enak saja, dia datang tinggal ongkang-ongkang kaki. Mulai dari nol kalau beneran mau sama kamu. Katanya cinta setengah mati!" sindir mama lagi. "Nggak gitu juga, Ma. Ada hakku di sana. Masa buat Irena semua. Irena kan ikut Dania berarti Dania juga yang menikmatinya," protes Mas Bian lagi. "Wajarlah Dania ikut menikmati. Kan dia yang melahirkan Irena. Mempertaruhkan nyawa. Memangnya kamu, enaknya doang!" seru mama tak mau ka
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah