"Kamu dan dia sengaja ketemuan?" Pertanyaan Mas Bian membuatku menoleh. Kutatap kedua matanya yang menyiratkan rasa curiga dan cemburu. Namun, laki-laki itu mencoba mengelak dengan membuang pandangan. "Nggaklah. Memangnya kamu yang suka ketemuan sama mantan? Aku, mama dan Irena memang pernah nggak sengaja ketemu dia. Tapi tenang saja, Mas. Aku sangat menghargai pernikahan dan statusku sebagai istri. Nggak mungkin tergoda sama mantan apalagi kalau cuma dihadiahi tas branded atau jam tangan branded. Aku nggak semurah itu, Mas." Lagi-lagi Mas Bian membulatkan kedua matanya. Bola mata itu melirik ke kanan kiri. Sepertinya dia cukup kaget dan merasa tersindir. Baguslah. Tak adalagi pertanyaan darinya. Mas Bian lebih memilih pergi ke belakang. Seperti biasanya dia pasti menyendiri di gazebo. Gegas kuambil ponsel di kamar dan membaca pesan-pesan yang masuk di sana. Benar saja, dari pagi Mas Bian memang sibuk dengan Irena. Bahkan saat ini pun mereka tengah asyik bertukar pesan. Sepertinya
"Bukan begitu, Nia. Ibu selalu mengizinkanmu dan Irena menginap kapan saja di rumah ini. Hanya saja ibu merasa kamu dan Bian ada sesuatu. Tak seperti biasanya Bian mengizinkanmu pulang sendiri, kan? Maafkan ibu, Nia. Bian nggak memiliki perempuan lain di luar sana, kan?" Pertanyaan ibu membuatku tersedak seketika. "Ibu, jangan mikirin soal itu. Nanti tensi ibu naik lagi. Pokoknya yang penting Nia dan Irena bahagia, iya, kan?" Ibu terdiam sejenak lalu menghela napasnya. Tak lama setelahnya, ibu tiba-tiba memelukku begitu saja. "Jangan menutupi sesuatu dari ibu, sebab ibu tahu apa yang kamu rasa, Nia. Cerita saja jika memang ada yang perlu diceritakan."Ibu melepaskan pelukannya perlahan, berharap aku menceritakan semua yang terjadi padanya. Namun aku masih tetap dengan rencanaku semula, akan menceritakan dan memberikan semua bukti itu nanti setelah semua usai. Jika sekarang, ibu dan mama pasti memintaku untuk bertahan. Kuyakin mereka tak mengizinkanku berpisah dengan Mas Bian. Yang a
Sepanjang jalan, kucoba menyusun kalimat demi kalimat untuk membuat Mas Bian shock berat. Setidaknya agar kekagetannya sama sepertiku saat tahu ternyata dia masih menyimpan semua kenangan bersama mantannya itu dalam hatinya. Saat aku tahu dia masih begitu mencintai perempuan di masa lalunya bahkan berniat menceraikanku hanya demi dia. Biar saja dia kaget, saat tahu aku bukan perempuan lemah yang begitu mencintainya. Bukan pula ibu rumah tangga biasa yang tak punya penghasilan apa-apa. Sekitar empat puluh menit aku sampai di cafe bianglala, seperti yang Mas Bian rencanakan. Mobil suamiku itu ternyata sudah parkir di sana. Kulihat jam di tangan menunjuk angka tujuh lebih tiga puluh menit. Tak terlalu terlambat menurutku. Gegas kumasuki cafe dengan mengucap Basmallah. Laki-laki itu terlihat gusar di kursi paling ujung, dekat jendela. Sesekali melihat arlojinya lalu mengusap layar ponselnya. Entah. Mungkin dia sudah mengirimiku pesan sedari tadi. Atau dia bertukar pesan dengan Irena. Ak
Malam ini, aku cukup lega sebab mampu membayar rasa sakitku pada laki-laki dan perempuan itu. Mas Bian yang sebelumnya memandangku penuh kasihan, kini berbalik aku yang memandangnya kasihan. Rencana yang dia pikir begitu spesial dan akan membuatku terkejut, kini justru dia yang kubuat kaget. Mas Bian selalu merasa paling berjasa dalam hidupku dan Irena. Dia merasa nyaris sempurna karena memberikan kehidupan sangat layak untuk keluarga kecilnya. Bahkan menganggapku sebelah mata hanya karena sebagai ibu rumah tangga. Kini aku yakin dia cukup tertohok dengan kata-kata singkat yang kuucap sebagai pamungkasnya. Aku yang ternyata memiliki penghasilan yang jauh lebih besar tanpa dia ketahui sebelumnya. Jadi, tak seharusnya dia merasa sesempurna itu sebagai seorang ayah ataupun suami, sebab dia hanya laki-laki biasa. Laki-laki yang cacat hati dan cintanya hingga tak layak mendapatkan cinta tulus yang kupunya. Mas Bian pasti masih tak percaya jika aku bisa membuatnya seperti ini. Aku yang
Seminggu sudah aku di rumah ibu dengan berbagai pertanyaannya yang sering kali menyudutkanku. Ibu tak melarangku menginap, selalu menyambutku dan Irena dengan tangan terbuka tiap kali datang. Hanya saja, ibu semakin curiga aku dan Mas Bian ada masalah sebab biasanya memang tak selama ini aku tinggal di rumah ibu. Mas Bian seringkali menjemput setelah aku menginap tiga malam, tak pernah lebih. Kecuali lebaran atau ada acara keluarga. Ibu sering bertanya ini dan itu, sementara Mas Fano lebih mengerti perasaan dan dengan segala keputusanku. Mas Fano pun berulang kali mengatakan pada ibu bahwa aku dan Mas Bian bisa menyelesaikan masalah sendiri jika memang ada yang harus diselesaikan, tapi ibu masih saja bertanya-tanya. Ibu sering kali bertanya kenapa aku tak pulang ke rumah sementara Mas Bian tak juga menjemput. Bahkan ibu sengaja menelpon Mas Bian, memintanya untuk menjemputku pulang. Padahal jelas aku bawa motor sendiri ke rumah ini.Ingin sekali aku jujur pada ibu atau mama sekara
Aku masih berusaha menenangkan debar di dadaku sendiri sebelum masuk rumah. Kulihat rekaman di ponsel masih menyala. Biar saja. Setelah mulai bisa bersikap biasa, aku pun mengucap salam. Tanpa menunggu balasan aku mengajak Budhe Desy masuk begitu saja. Terlihat jelas keterkejutan di wajah Mas Bian dan perempuan itu, tapi aku tak peduli. Seolah tak menganggap mereka ada di sana. Kuminta Budhe Desy membawa Irena ke kamarnya. Setelah itu kuantar Budhe Desy istirahat di kamarnya. Saat aku baru sampai depan kamarku, kulihat perempuan itu memanggil namaku sedikit keras lalu beranjak dari sofa."Tunggu, Nia!" Aku pun berhenti tepat di depan pintu kamar lalu membalikkan badan. Tepat dua langkah di hadapanku, Irena melipat tangannya ke dada sembari menatapku dengan seksama. Seolah tengah mengulitiku sesuai prasangkanya. "Kenapa, Ren? Aku masih sah istrinya Mas Bian loh ya. Jadi wajar pulang dan kembali tinggal di rumah ini, kecuali hakim sudah mengetukkan palu dan mengabulkan gugatanku," uc
Bakda maghrib. Kutitipkan Irena pada Budhe Desy yang masih membantuku menyiapkan makan malam di meja. Aku dan Budhe baru saja membuat opor ayam, tempe goreng dan udang goreng tepung. Menu favorit Irena dan Mas Bian. Sekalipun aku sudah menggugatnya, kuingin meninggalkannya dengan baik-baik, tetap setia hingga ketukan palu itu tiba. Terserah dia yang mulai mendua saat rumah tanggaku dengannya dalam posisi baik-baik saja.Aku akan membuatnya menyesal sudah memilih dia dibandingkan aku dan Irena juga mama. Sengaja kembali menabur cinta di detik-detik perpisahanku dengannya. Bukan karena aku ingin kembali, hanya saja agar dia kelak meraba-raba apa saja yang sudah kuberi. Hingga dia tenggelam akan penyesalannya sendiri. Aku tak tahu kemana Mas Bian pergi. Setelah tidur siang tadi, aku tak lihat Mas Bian dan perempuan itu di rumah ini. Budhe Desy pun sama saja. Tak melihat mereka sebab dia juga kuminta untuk istirahat terlebih dahulu sebelum membantuku beberes rumah. "Sayang, nanti sam
Aku sibuk mengipasi wajah mama dan memberinya minyak angin supaya lekas sadar. Tak selang lama, mama pun membuka kedua matanya lalu menatapku lekat. Ada luka yang begitu ketara di sana.Aku yakin mama pasti sangat kesal, sedih dan kecewa melihat sikap anak semata wayangnya yang begitu mamalukan. Dia tega mengkhianati kepercayaan istri dan mamanya sendiri hanya demi seorang perempuan. Sudah berulang kali mama memintanya menjauh, tapi yang ada Mas Bian semakin dekat dan lengket saja bersama Irena. Seolah sengaja tak mengindahkan permintaan mama. Kudengar mama mendesah lalu menyandarkan dirinya ke sofa. Kupijit lengan mama perlahan dan memintanya minum air putih yang baru saja kuambilkan. Mama menurut saja, tak banyak protes maupun perlawanan. "Nia ... kenapa Bian tega melakukan ini semua pada kita? Pada mama, padamu dan pada anak semata wayangnya." Lirih kudengar mama mulai protes atas sikap Mas Bian. Tak menyangka jika anak yang begitu dia sayang itu benar-benar mengejar cinta pe
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah