Waktu menunjukkan pukul empat pagi saat samar Ali mendengar suara dengkuran. Perlahan dia membuka mata dan tersadar tengah berada di tempat asing yang begitu terang. Laki-laki itu terperanjat dan menutup mata seketika akibat silau yang mendera. Dari sisi kirinya samar terdengar seseorang berucap lirih dan teratur. Ali menajamkan pandangan. Dia segera menyadari siapa orang itu, meski hanya tampak punggungnya karena wajah dan sebagian tubuh lain tertutup tirai penghalang. Tepat seperti dugaannya, Ali berada di rumah sakit. Dia pingsan semalam dan entah siapa dan bagaimana orang membawanya ke rumah sakit. Lirih suara doa itu kini diiringi isak yang perlahan semakin keras. Sesaat, Ali merasa, perempuan itu menangis karena dirinya. Ali kembali memejamkan mata. Mengatur napas dan menikmati sensasi denyut di kepalanya, sampai tirai yang menyekat antara dia dan perempuan itu tersingkap. Rupanya Annisa selesai melaksanakan salat dan dia bermaksud membangunkan Ali untuk melakukan hal yang s
Ali meneguk air yang diberikan Annisa, lalu memandang gadis yang menunduk itu lekat. “Tak perlu memikirkan aku. Aku baik-baik saja,” ucapnya saat memberikan kembali gelas itu kepada Annisa. Annisa menerimanya. Lalu berpaling untuk menyembunyikan rasa panas di wajah, diam-diam menghapusnya. Sejauh ingatannya, orang yang mengatakan aku baik-baik saja adalah orang yang sedang berupaya untuk baik-baik saja. Bukan benar-benar dalam keadaan baik. Perlahan sudut mata Annisa mengembun lalu luruh dalam derai yang menganak sungai, walau coba dia tahan kuat-kuat. Membayangkan bagaimana Ali kesepian di rumah itu, membuat Annisa merasa berat untuk meninggalkan meski dia sangat tahu, dirinya tak berarti apa-apa. “Apa ini ada hubungannya dengan permintaan terakhir ibu?” Annisa mengusap pipinya dan menggeleng samar. “Ya, tapi tidak seluruhnya. Aku hanya berat meninggalkan Mas, karena berpikir jika itu aku ... ... pasti akan sangat kesepian.” **** Tamu-tamu silih berganti menjenguk Ali, dan k
Tangis Annisa pampat seketika bersamaan dengan tangan kiri yang memegangi pipi. Dia menatap lekat laki-laki yang sekian detik lalu mendaratkan kecupannya di sana. Bahkan sebelum itu, bibir mereka nyaris saling menyentuh.Annisa mengusap sisa air mata dengan punggung tangan dan bertanya-tanya, apa arti semua ini?“Aku tidak pantas dapat semua kebaikanmu itu.” Ali menjauhkan wajah dari Annisa. “Kau terlalu baik, Nisa.”Annisa menatap nanar laki-laki di itu. Tidak pantas? Terlalu baik? Lalu apa arti kecupan itu?Antara kesal dan gugup gadis itu melangkah ke arah baskom di ujung bed. Menyelupkan lagi handuk ke dalam air lalu kembali mendekat pada Ali.“Apa denda untuk mencium tanpa izin?”Ali menoleh cepat. “Apa?”“Denda untuk mencium tanpa izin.” Annisa meraih tangan Ali yang lain, dan mulai mengelapnya.Laki-laki di hadapan Annisa tampak berpikir. Dia sadar telah terbawa suasana. Melihat wajah sendu Annisa, memancing rasa untuk merengkuh. Jauh dalam lubuk hati Ali, dia menyesal membuatn
Ali melepaskan tangannya. “Keluarlah. Aku butuh istirahat,” ucapnya lalu membaringkan diri membelakangi Annisa. Alih-alih menuruti perintah Ali, Annisa justru memperbaiki posisi duduknya di samping laki-laki itu. Meraih selimut yang semula hanya sebatas kaki, hingga ke atas tubuhnya. Memastikan dengan itu Ali merasa nyaman dan hangat. “Ingatlah. Akan ada saat mas rindu perhatian kecil semacam ini. Jadi syukuri saja ... ... selagi ada.” Annisa berbalik dan melangkah meninggalkan laki-laki itu di kamarnya. Klak. Pintu kamar tertutup. Tapi bukan melanjutkan langkah yang Annisa lakukan, dia justru berhenti di depan kamar demi memperbaiki ritme jantungnya. Sekejap merasa berdebar dengan sikap tak terduga laki-laki itu, lalu terhempas karena sadar Ali mungkin hanya terbuai dan menjadikan dirinya sebatas pelampiasan. Annisa tersenyum sumir saat menyadari kemungkinan ke dua lebih masuk akal. **** “Makanlah, mas harus minum obat.” Annisa meletakkan nampan berisi makanan itu di hadapa
Beberapa hari lalu. “Dek? Lama banget. Dah sore nih.” Pramono membuka pintu kamar dan melangkah setelah menutupnya kembali, bersamaan dengan terdengarnya suara pintu tertutup. Itu jelas pintu kamar mandi karena Pramono mendengar suara air. Laki-laki itu kemudian duduk di tepi ranjang. Pandangannya tertuju pada jam tangan di atas nakas yang seketika mengingatkan dia belum memakainya. Pramono meraih jam itu, dan dengan gerakan terlatih memakainya dalam sekali tekan. Pandangannya kemudian teralih oleh suara getar dari meja, dari ponsel Nadya. Mas Ali? Ali? Pramono mengernyit. Untuk apa dia menelepon Nadya? Pramono nyaris menggeser tombol hijau sebelum dia sadar, tak terdengar lagi suara gemercik air. Dia memilih meletakkan lagi ponsel itu sebelum Nadya melihatnya. Pintu kamar mandi terbuka. “Astaga, Mas Pram?” ucap Nadya terkejut, “sejak kapan Mas di situ?” Meski bagi Pramono pertanyaan itu terdengar aneh—karena tidak seharusnya istri terkejut, lalu menanyakan itu, atas keberadaan
“Bagaimana kabarmu, Nduk?” tanya Tuan Aji saat melihat Nadya sedang memandangi potret lama di rumah besar itu. Rumah itu sebenarnya terlalu besar untuk hanya dihuni oleh seorang laki-laki lumpuh, seorang perawat yang sudah seperti anak sendiri, pembantu dan satpam. Nadya berbalik. “Sehat, Yah. Ayah juga sehat, ‘kan?” Tuan Aji hanya tersenyum. “Kapan kamu akan tinggal di sini? Rumah ini terlalu besar untuk ayah tempati sendiri.” Nadya tercenung karena tak punya jawaban untuk itu. Orang tua mana pun pasti ingin hidup berdampingan dengan sang anak. Tapi yang terjadi pada Pramono, berbeda. Sejak kecil laki-laki itu terdidik mandiri. Bahkan dengan penghasilannya mampu memiliki rumah di usianya yang ke dua lima, dan dia terbiasa tinggal di rumah miliknya alih-alih hidup bersama kedua orang tuanya. “Nad akan coba bicara sama Mas Pram ya, Yah.” Tuan Aji hanya mengangguk. “Rumah ini sangat sepi setelah ibumu meninggal, Nduk. Mungkin itu juga alasan Pram enggan berlama-lama di sini.” Tuan
“Makanlah bersama kami, Ratna,” ucap Pramono saat melihat perempuan yang sudah seperti adiknya itu hendak melangkah pergi setelah melayani sang ayah. Ragu-ragu Ratna melirik Nadya lalu sang ayah, dan berakhir pada Pramono. “Makasih, Mas, mau bareng Bik Endang aja. Silakan.” Ratna melangkah meninggalkan mereka. Nadya menatap kepergian gadis itu dan baru menoleh saat dia menghilang di balik dinding. ‘Sombong!’ “Apa biasanya dia memang makan di belakang, Yah?” Awalnya Nadya tak berniat menanyakan itu, tapi melihat sikap Ratna yang dalam pandangannya adalah kesombongan, Nadya kesal. Di telinga Tuan Aji, pertanyaan itu terdengar seperti mereka adalah keluarga kejam yang membedakan antara anak kandung dan anak angkatnya, sehingga laki-laki sepuh itu memilih menjawab jujur. “Tidak. Biasanya di sini, bareng ayah.” Nadya manggut-manggut. Sejujurnya dia tak suka jawaban itu, namun memilih menutupinya dengan senyum samar. “Berarti gara-gara Nad di sini, mungkin.” “Nad ....” Pramono menye
“Sejak tadi, aku lihat kau sibuk. Sudah makan?” tanya Pramono pada gadis di depan wastafel yang masih sibuk dengan gelas di tangannya. “Kenapa kau mengelap gelas, bukankah itu pekerjaan Bik Endang?” tanya Pramono lagi. Ratna meletakkan gelas yang baru dia keringkan, begitu pun kain lap putih di tangannya. “Kami saling membantu, Mas. Tidak ada pekerjaan siapa dan siapa.” Pramono menangguk. Dia meletakkan cangkir kopi di wastafel dan bermaksud mencucinya. Namun, Ratna terlebih dulu meraihnya hingga tangan mereka bertumbuk. Hati-hati Ratna melepas jemari laki-laki itu dari cangkir, membilasnya dengan air yang mengucur dari kran, sebelum melepaskannya. “Makasih.” Pramono menarik tangannya dan mengeringkan. Ratna hanya menekan bibirnya dan menoleh ke wastafel. Dia tak sanggup melihat wajah matang laki-laki yang sudah seperti kakaknya itu, yang entah kenapa rasa itu berubah justru setelah Pramono menikah. “Maafkan sikap Nadya tadi, ya.” Ratna menggeleng. “Tak apa, itu salahku,” jawa
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan