“Hei, Iris!” Iris menoleh dan ia melihat Cleon mengintip dari balik pintu yang setengah terbuka. “Mau bergabung untuk makan bersama?”
Iris tersenyum. “Tentu saja.” katanya.
Makan siang adalah momennya dalam sehari untuk merawat dirinya sendiri, untuk memberi tubuhnya nutrisi berkualitas yang dibutuhkan untuk terus merawat orang lain dengan baik. Dengan makanan yang sederhana, namun dinikmati setiap hari seperti halnya jamuan makan di atas meja raja. Sup jamur yang kental, sayuran pahit dengan potongan tomat, irisan daging sapi panggang setipis kertas, pasta dengan saus hijau serta hidangan keju yang meleleh di lidah disajikan dengan anggur yang manis. Para pelayan, semua pengawal yang mengenakan seragam bergerak berkelompok dengan membawa nampan yang penuh dengan makanan.
Belasan orang duduk dengan punggung tegak, mengunyah dengan mulut tertutup, makan beberapa suap dan lalu membuat percakapan yang menyenangkan. Ir
Adrian berdiri bersandar pada pilar, menatap punggung Aiden dan Iris yang telah pergi meninggalkannya karena pekerjaan. Menarik nafas dalam untuk menahan rasa sakit yang ia rasakan apabila ia dekat dengan Iris. Sejak ia mengetahui Iris adalah matenya, ia selalu merasakan sakit dari dalam tubuhnya sendiri ketika berada di dekatnya. Adrian memejamkan matanya, tangannya mengelus dadanya dengan harapan agar rasa sakitnya menghilang. Ada rasa takut yang tiba-tiba muncul, membuat tubuhnya meremang. Adrian mengenali perasaan tersedak yang tidak asing pada tenggorokannya. Rasa sakit yang sudah menjadi suatu yang sangat tidak asing bagi Adrian selama beberapa bulan terakhir sejak pertama kali ia menyadarinya dan ia bahkan dapat berasumsi bahwa itu hanya semakin buruk dari hari ke hari. Ia melihat sekelilingnya dengan sedikit gemetar, berbalik untuk menutup mulutnya dengan satu tangan dengan cepat untuk menahan suara batuknya. Ia meringis ketika melihat kelopak bunga ya
Iris sudah selesai membantu rekannya untuk merapikan peralatan yang telah mereka gunakan dan mencatat bahan apa yang hampir habis untuk dibeli serta diolah keesokan hari. Iris bergabung dengan Aria di sudut farmasi sementara Max menghilang pergi. Iris duduk di dekat jendela dan udara yang menerpa wajahnya serta suasana yang sunyi membuatnya sedikit mengantuk. “Iris, aku hampir lupa!” Aria berseru tiba-tiba. Iris menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya-tanya. “Max meminta kau untuk melakukan pemeriksaan bulanan Pangeran Adrian.” Aria berjalan menuju salah satu meja dan membuka lacinya— mencari-cari sesuatu. “Aku yang pergi?” tanya Iris, menunjuk dirinya sendiri. Aria berbalik, menatap Iris dengan heran. “Iya, tentu saja kau.” katanya. “Apa kau lupa kalau Max sudah menyerahkan tugas untuk mengawasi Pangeran padamu?” “Ah…Benar…” Iris bergumam dengan datar. “Tapi saat itu aku hanya diminta unt
Adrian menatap tangannya yang terdapat bercak darah. “Ah, tenang saja,” katanya, bangkit berdiri dan mengambil sapu tangan bersih dari salah satu laci terdekatnya. “Aku sudah mengalami ini beberapa kali,” “Beberapa kali?” tanya Iris. Suaranya terdengar lebih tegas. “Tapi saya yakin tidak ada info tentang ini di buku kesehatan anda.” lanjutnya, Iris bersedekap dan terdiam seperti ia sedang menunggu jawaban. Adrian mengusap tengkuk lehernya dengan canggung. “Eh? Itu—” perkataannya terhenti. Iris memiringkan kepalanya ketika perkataan pangeran yang berhenti tiba-tiba. Ia pun secara tidak sadar langsung memperhatikan bahasa tubuhnya. Adrian merasakan kepanikan karena tiba-tiba ia merasa sulit untuk bernafas dan ia pun mulai terengah-engah, bernapas dengan susah seolah-olah
Hari sudah terlewat beberapa hari hingga minggu, keadaan Pangeran pun sudah diketahui oleh Max dan Aria. Iris sangat ingat bagaimana hari itu, Max menjadi sangat kesal karena Pangeran tidak pernah mengatakan apapun. Suasana pun menjadi lebih tegang dari biasanya. “Bagaimana bisa kau memilih untuk tidak memberitahu kami soal ini?” tanya Max. Suaranya datar dan terdengar tenang, namun Iris dapat merasakan emosi terpendam dari dalam dirinya. Kata gila dan bodoh adalah salah satu dari beberapa kata yang dilontarkan oleh Max. Iris dan Aiden hanya dapat diam, menatap Max terus menerus mengoceh. Iris juga melirik ke arah Pangeran dan tentu saja, seperti biasanya, ia masih terlihat santai. Adrian sedang duduk di pinggir tempat tidur, menatap keluar balkon dengan raut wajah kesal sebelum seekor anjing berbulu putih mengendus serta meletak
Iris terkesiap dan langsung menoleh dengan cepat. Iris saat itu benar-benar kehilangan kata-kata, suatu hal yang sangat jarang terjadi padanya. Adrian tersenyum kepadanya tanpa mengubah posisinya sama sekali. “Bagaimana?” tanyanya. Dahi Iris saling bertaut dan ia pun membeo. “Bagaimana? Saya bahkan tidak tahu harus mengatakan apa,” lanjutnya. Suasana canggung dan membingungkan baginya, berhasil membuat Iris sulit berpikir dan merasa kalau ia akan membuat situasi menjadi lebih canggung apabila ia terus berbicara. Ada suasana hening sejenak di antara mereka. “Biarkan intuisi yang memandu,” Adrian tiba-tiba berkata kepada Iris, mengubah posisi duduknya menjadi sedikit miring ke samping untuk menghadap Iris. “Jangan terlalu memikirkannya.” lanjutnya. Iris menaikkan alis dan memiringkan kepalanya. “Bagaimana bisa saya tidak memikirkannya?” tanyanya. Ia merasa enggan, tapi Adrian memberikannya sebuah anggukan tegas dan s
Anna berlari kecil dari balik meja untuk menghampiri Iris dan tanpa ragu, ia memeluk lengan Iris dengan erat. Karena perbedaan tinggi badan mereka, Anna perlu menengadah ke atas agar ia dapat melihat wajah Iris. “Kenapa kakak tidak mengabarkan terlebih dahulu?” tanyanya dengan nada merajuk. Iris mengusap tengkuknya, terkekeh dengan canggung. “...Aku lupa,” katanya. “Ini rencana mendadak.” Ia menoleh sekelilingnya, mencari seseorang. Anna menyadari hal tersebut dan ia juga sudah dapat menebak siapa yang kakaknya cari. “Kalau kakak mencari ayah atau ibu…” katanya dengan pelan. “Ayah sedang pergi dan ibu berada di laboratorium,” ia menunjuk ke arah pintu di balik meja. “Ayah pergi?” tanya Iris, menoleh ke Anna dengan alis terangkat. Anna mengangguk. “Kakak, ingat kakek Finley?” tanyanya. Iris mencoba mengingat. Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit baginya untuk k
Matahari mulai turun di balik pepohonan membuat bayangan dari pepohonan turun ke tanah. Iris menghabiskan sisa waktunya setelah ibunya membaca ramalan teh dengan memasak makan malam. “Semuanya hampir siap. Iris, tolong bawakan ini ke meja makan,” kata ayahnya. “Baiklah,” Aroma makanan langsung memenuhi dapur, saat Iris mengambil beberapa piring dan mangkuk. “Di mana Anna?” Iris bertanya kepada kedua orangtuanya saat mereka masih sibuk menyiapkan hidangan lainnya. Celemek bermotif bunga yang mereka kenakan ternoda dengan semua jenis adonan dan minyak. “Ia sedang mengobrol dengan temannya di depan toko,” kata ayahnya. Iris hanya mengangguk dan menunggu adiknya untuk segera masuk agar mereka dapat bercerita banyak hal bersama— mengisi kekosongan yang Iris rasakan selama i
Iris duduk bersila di lantai kamarnya dengan buku yang tadi ia ambil berada di pangkuannya. “Kira-kira apa yang dapat aku temukan disini~” ia bersenandung kecil, tangannya mengusap permukaan sampul kulit tersebut dengan hati-hati seolah ia tidak ingin merusaknya.Dengan senyuman dan pekikan yang tertahan, Iris memperhatikan setiap detail dari buku di tangannya. “Aku tidak pernah menyangka kalau ada ini di rumah,” katanya. “Kenapa aku tidak pernah melihatnya ya?”GrimoireGrimoire adalah buku mantra pribadi penyihir— pendamping magis tempat mereka menulis catatan, pengamatan, ritual, dan banyak lagi. Ini adalah bagian dari lembar memo, bagian dari jurnal, dan sangat kuat. Beberapa penyembuh, terapis, dan praktisi magis telah
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.