Adrian menatap tangannya yang terdapat bercak darah. “Ah, tenang saja,” katanya, bangkit berdiri dan mengambil sapu tangan bersih dari salah satu laci terdekatnya. “Aku sudah mengalami ini beberapa kali,”
“Beberapa kali?” tanya Iris. Suaranya terdengar lebih tegas. “Tapi saya yakin tidak ada info tentang ini di buku kesehatan anda.” lanjutnya, Iris bersedekap dan terdiam seperti ia sedang menunggu jawaban.
Adrian mengusap tengkuk lehernya dengan canggung. “Eh? Itu—” perkataannya terhenti. Iris memiringkan kepalanya ketika perkataan pangeran yang berhenti tiba-tiba. Ia pun secara tidak sadar langsung memperhatikan bahasa tubuhnya.
Adrian merasakan kepanikan karena tiba-tiba ia merasa sulit untuk bernafas dan ia pun mulai terengah-engah, bernapas dengan susah seolah-olah
Hari sudah terlewat beberapa hari hingga minggu, keadaan Pangeran pun sudah diketahui oleh Max dan Aria. Iris sangat ingat bagaimana hari itu, Max menjadi sangat kesal karena Pangeran tidak pernah mengatakan apapun. Suasana pun menjadi lebih tegang dari biasanya. “Bagaimana bisa kau memilih untuk tidak memberitahu kami soal ini?” tanya Max. Suaranya datar dan terdengar tenang, namun Iris dapat merasakan emosi terpendam dari dalam dirinya. Kata gila dan bodoh adalah salah satu dari beberapa kata yang dilontarkan oleh Max. Iris dan Aiden hanya dapat diam, menatap Max terus menerus mengoceh. Iris juga melirik ke arah Pangeran dan tentu saja, seperti biasanya, ia masih terlihat santai. Adrian sedang duduk di pinggir tempat tidur, menatap keluar balkon dengan raut wajah kesal sebelum seekor anjing berbulu putih mengendus serta meletak
Iris terkesiap dan langsung menoleh dengan cepat. Iris saat itu benar-benar kehilangan kata-kata, suatu hal yang sangat jarang terjadi padanya. Adrian tersenyum kepadanya tanpa mengubah posisinya sama sekali. “Bagaimana?” tanyanya. Dahi Iris saling bertaut dan ia pun membeo. “Bagaimana? Saya bahkan tidak tahu harus mengatakan apa,” lanjutnya. Suasana canggung dan membingungkan baginya, berhasil membuat Iris sulit berpikir dan merasa kalau ia akan membuat situasi menjadi lebih canggung apabila ia terus berbicara. Ada suasana hening sejenak di antara mereka. “Biarkan intuisi yang memandu,” Adrian tiba-tiba berkata kepada Iris, mengubah posisi duduknya menjadi sedikit miring ke samping untuk menghadap Iris. “Jangan terlalu memikirkannya.” lanjutnya. Iris menaikkan alis dan memiringkan kepalanya. “Bagaimana bisa saya tidak memikirkannya?” tanyanya. Ia merasa enggan, tapi Adrian memberikannya sebuah anggukan tegas dan s
Anna berlari kecil dari balik meja untuk menghampiri Iris dan tanpa ragu, ia memeluk lengan Iris dengan erat. Karena perbedaan tinggi badan mereka, Anna perlu menengadah ke atas agar ia dapat melihat wajah Iris. “Kenapa kakak tidak mengabarkan terlebih dahulu?” tanyanya dengan nada merajuk. Iris mengusap tengkuknya, terkekeh dengan canggung. “...Aku lupa,” katanya. “Ini rencana mendadak.” Ia menoleh sekelilingnya, mencari seseorang. Anna menyadari hal tersebut dan ia juga sudah dapat menebak siapa yang kakaknya cari. “Kalau kakak mencari ayah atau ibu…” katanya dengan pelan. “Ayah sedang pergi dan ibu berada di laboratorium,” ia menunjuk ke arah pintu di balik meja. “Ayah pergi?” tanya Iris, menoleh ke Anna dengan alis terangkat. Anna mengangguk. “Kakak, ingat kakek Finley?” tanyanya. Iris mencoba mengingat. Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit baginya untuk k
Matahari mulai turun di balik pepohonan membuat bayangan dari pepohonan turun ke tanah. Iris menghabiskan sisa waktunya setelah ibunya membaca ramalan teh dengan memasak makan malam. “Semuanya hampir siap. Iris, tolong bawakan ini ke meja makan,” kata ayahnya. “Baiklah,” Aroma makanan langsung memenuhi dapur, saat Iris mengambil beberapa piring dan mangkuk. “Di mana Anna?” Iris bertanya kepada kedua orangtuanya saat mereka masih sibuk menyiapkan hidangan lainnya. Celemek bermotif bunga yang mereka kenakan ternoda dengan semua jenis adonan dan minyak. “Ia sedang mengobrol dengan temannya di depan toko,” kata ayahnya. Iris hanya mengangguk dan menunggu adiknya untuk segera masuk agar mereka dapat bercerita banyak hal bersama— mengisi kekosongan yang Iris rasakan selama i
Iris duduk bersila di lantai kamarnya dengan buku yang tadi ia ambil berada di pangkuannya. “Kira-kira apa yang dapat aku temukan disini~” ia bersenandung kecil, tangannya mengusap permukaan sampul kulit tersebut dengan hati-hati seolah ia tidak ingin merusaknya.Dengan senyuman dan pekikan yang tertahan, Iris memperhatikan setiap detail dari buku di tangannya. “Aku tidak pernah menyangka kalau ada ini di rumah,” katanya. “Kenapa aku tidak pernah melihatnya ya?”GrimoireGrimoire adalah buku mantra pribadi penyihir— pendamping magis tempat mereka menulis catatan, pengamatan, ritual, dan banyak lagi. Ini adalah bagian dari lembar memo, bagian dari jurnal, dan sangat kuat. Beberapa penyembuh, terapis, dan praktisi magis telah
“...apa ini…?” Iris menaikkan alisnya, namun ia tetap membacanya walaupun ada sedikit rasa sangsi ketika melihat judulnya yang cukup aneh. “...penyakit apa yang disebabkan oleh cinta?” ia bergumam pelan. Di antara halaman-halaman buku ada bunga kering yang telah ditekan hingga rata dan telah meninggalkan noda kuning yang menyapu tinta seperti sapuan air— terlihat dari permukaan kertas yang sedikit bergelombang. Iris hanya memperhatikan bunga kering tersebut selama beberapa detik sebelum kembali membaca. “...Penyakit dimana penderita mengalami cinta bertepuk sebelah tangan akan mulai muntah atau batuk kelopak hingga bunga seutuhnya apabila kondisi parah. Tanaman berbunga juga dapat tumbuh di paru-paru, yang akhirnya akan tumbuh cukup besar untuk membuat pernapasan tidak mungkin jika tidak segera mendapatkan solusi penanganan.”
Langit cerah dan awan dengan cahaya merah yang dipantulkan beserta deburan gelombang ombak yang bersuara dalam ritme yang stabil, angin sepoi-sepoi seharusnya membawa ketenangan bagi Iris. Semua saat burung melengkung di atas, bermain-main saat berputar ke atas. Namun, semua itu tidak lagi ia rasakan ketika ia menoleh dan melihat seseorang dengan wajah yang sama sekali tidak asing baginya, namun cara berpakaiannya yang berbeda dari biasanya.“Pangeran Caswell…” katanya dengan suara pelan, nyaris berbisik. Caswell berdiri di belakangnya, kedua lengannya terlipat di dada, pandangannya fokus kepada Iris dengan seringaian tercetak pada wajahnya. Caswell menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutupi pandangannya dengan menyisir rambut pirangnya menggunakan jari tangannya dari depan ke belakang. Rambutnya dari akar ke ujung terlihat keemasan di bawah langit merah.Iris menggenggam telapak tangannya sendiri— merasakan tangannya menjadi lebih dingin. Matahar
Iris menyadari bahwa pintu rumahnya masih terkunci dan semua lampu tidak ada yang menyala. “... Apa mereka menginap malam ini?” gumamnya dengan pelan, memiringkan kepalanya. Ia langsung bergegas ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya sebelum larut malam. Air yang mengalir dari pipa bak mandi terasa sangat dingin, Iris hanya bisa menghela nafasnya. “Kalau sekarang sudah dingin seperti ini, sepertinya di musim dingin akan lebih buruk.” gumamnya. Ia mengisi baskom dengan air panas yang sudah ia masak sebelumnya. Lantai kamar mandi membuat kakinya dingin, bahkan sedingin es. Ia menambahkan air panas ke dalam bak mandi hingga mencapai suhu air yang tepat sehingga dapat terasa hangat dan nyaman, kemudian melepas pakaiannya, menariknya ke atas hingga membuat rambutnya berantakan. Ia menatap pakaian kotornya dan men
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.