“Di tanah yang tandus kekurangan air, retak berpola tercipta.”
*****
Tahun yang kering kerontang kala itu, tahun yang membawa seorang lelaki pada kenangannya yang pahit.
Kata Ayah, orang yang pertama kali menyambutnya dengan adzan, tangannya yang lembut tidak cocok untuk memainkan alat musik.
Kata Ibu, perempuan pertama yang memberinya kehidupan, wajah tampannya dilahirkan bukan untuk mengemis perhatian orang-orang dengan tampil di depan panggung mengalunkan lirik.
Beserta kata mereka, nama belakangnya hanya pantas jika disandingkan dengan jas, kemeja, dasi, sepatu pantofel hitam mengkilat dan rambut klimis.
Jevian memejamkan kembali kedua matanya kala memori itu terus berputar. Sekarang hidupnya sudah mapan dan bisa dianggap sempurna. Namun sempurna bukan berarti bahagia, karena jauh di dalam sana, rasanya masih kosong dan hampa. Kemudian ia menerka-nerka sendiri, hidup seperti apakah yang ia inginkan? Apakah seperti disanjung, dihormati dan ditakuti semua orang? Tentunya ia tidak akan bertanya pada hatinya, karena hatinya sudah lama tidak tersiram hujan kasih sayang.
Pintu ruangannya terbuka, menampilkan sosok tegap yang dulu sering menangisi kepergiannya ketika hendak kembali ke luar negeri untuk belajar. Seseorang yang sejak peresmian tadi lebih banyak diam lalu sesekali menolehkan kepalanya ke sana ke mari seperti orang kebingungan. Dialah Jevano.
“Habis ini ngapain lagi, Kak? Beli jet pribadi dan pesawat tempur?” sarkasnya, Jevian hanya tertawa hambar menanggapi sindiran adiknya.
“Gimana kuliah kamu, Van?” tanya Jevian mengalihkan topik sebelumnya, ia mempersilakan Jevano untuk duduk.
“Kayaknya semua orang mau buat aku stres ya? Papa, Mama, sekarang Kakak juga pertanyaannya sama,” protes Jevano sambil mendudukkan diri pada sofa yang terletak tepat di depan meja kerja Jevian.
Sementara Jevian tidak lagi bersuara, ia menunduk dan memijat keningnya pelan. Ia sadar apa yang ia tanyakan adalah hal yang sensitif bagi adiknya.
“Maaf, pertanyaan tadi di-cancel,” lirihnya penuh penyesalan.
Jevano sendiri merupakan mahasiswa aktif fakultas kedokteran semester empat. Tidak perlu bertanya apakah itu kemauan dia sendiri atau sudah ada yang mengaturnya. Namun ia tidak pernah melewati batas garis takdirnya. Dikekang maupun diatur mungkin sangat berat untuk diterima oleh hati, tetapi ia masih bertahan daripada hidupnya ditelantarkan. Ia tidak memiliki keahlian khusus selain mengandalkan otaknya yang pintar dalam pelajaran, sedangkan ia sendiri mendengar bahwa kehidupan di luar sana sangat keras dan membutuhkan keahlian selain hanya dengan nilai akademik. Maka ia memilih, selamanya akan menjadi anak bungsu Djatmiko Pradirga dan Anggrek Saraswati, keluarga kaya yang mengusahakan dirinya untuk menjadi dokter. Ia hanya perlu menurutinya dan kehidupannya akan damai.
“Sudah makan?” Jevian memecah keheningan. Ia melihat Vano yang sedari tadi hanya melamun.
“Kakak pernah jatuh cinta, ngga?” serang balik pertanyaan Jevano tiba-tiba merubah ekspresi Jevian menjadi sedikit tegang.
“Out of the topic, better skip,” jawab Jevian sekenanya, berusaha menghindari pertanyaan yang kali ini sensitif bagi dia.
“Come on. Harus bahas topik tentang apa sih kalau mau ngobrol sama Kakak? Prospek kerja Presiden Joe Biden yang baru dilantik? Atau analisa kenaikan saham tertinggi bulan ini? Dunia benar-benar tidak menginginkan ku untuk santai sejenak rupanya, bahkan untuk sekedar ngobrol.” raut wajah Jevano dibuat se-melow mungkin, untuk mengundang keprihatinan sang Kakak. Pria dua puluh enam tahun itu akhirnya menghela napas, mengalah untuk menjawab ocehan adiknya yang tumben sekali hari itu mengunjunginya sedikit lama.
“Pernah.”
“Pernah?”
“Iya,” jawab Jevian malas. Ia tahu bahwa percakapan hari itu mengubah sedikit perasaannya. Ada hal lain yang ia rasakan ketika adik yang kini sebesar dirinya membuka topik tentang jatuh cinta. Seperti sebuah setetes air yang menjatuhi tanah kering nan tandus
“Is she pretty?” Jevian mengangguk sebagai jawaban. Pertanyaan retoris, mana ada perempuan handsome.
“Terus?” Jevano masih yang masih penasaran terus mengajukan pertanyaan pada kakaknya.
“Dia ninggalin Kakak.” sehabis menjawab itu ekspresi Jevian kembali dingin bahkan lebih dari sebelumnya. Atmosfer di ruangan itu lebih mencekam sehingga Jevano lekas sadar akan obrolan yang ia mulai dengan sang direktur.
“I’m sorry to hear that. I don’t mean it.”
“It’s okay. Past will be past. It never change, even I try to do.”
Kehilangan orang yang kita cintai memang merupakan fase terberat dalam hidup, bahkan ketika kau bisa menggenggam dunia dengan tanganmu sekalipun, jika orang yang kau cinta menghilang dari pandanganmu barang sedetik saja, itu berarti kau telah berada dalam lingkaran ketidaksempurnaan. Manusia mungkin akan menangis meraung-raung ketika tidak memiliki harta untuk memenuhi keinginan tinggi mereka, tetapi manusia yang tidak memiliki cinta akan tetap diam dan hanya menguburkan perasaan di dalam hatinya. Mana yang lebih sesak? Mungkin seperti itulah penggambaran hati seorang Jevian.
Hatinya adalah tanah yang kering dan lama tidak tersiram. Bahkan sejak kecil, orang yang ia anggap akan memberikan cinta dengan tulus ternyata tidak ia dapatkan. Teman-teman sekolah yang hanya menganggapnya karena ia anak orang terkemuka. Dan manusia lain yang bersikap manis hanya karena ia mencetak banyak uang. Suatu ketika, ia berumur remaja, seorang gadis mengusik ketenangannya. Kala itu, ia belum paham mengenai cinta dan kebutuhannya. Kala itu, ia merasa terganggu dan terusik dengan kehadiran seorang gadis. Hingga ia terbiasa dan bahkan sangat menerima kehadirannya, kemudian orang itu menghilang. Hati manusia mana yang sanggup menerima itu semua? Ketika ia sendirian, ia dipaksa membuka hati. Ketika telah nyaman, ia dipaksa untuk mengikhlaskan pergi. Sehingga hatinya kini telah tandus.
Enam tahun berlalu secepat turunnya hujan, tetapi hatinya masih kering. Ia tahu kehidupan yang ia jalani akan berlabuh kemana, namun ia bukan berperan sebagai nahkoda, melainkan penumpang istimewa yang hanya tinggal duduk dan menikmatinya.
“Masih mencintainya?”
“Bisa iya, bisa tidak.”
“Loh kok gitu?”
“Jawaban Kakak tergantung dia. Jika dia bersedia kembali, Kakak akan bilang iya. Jika ia sudah bahagia, Kakak dengan tegas bilang tidak.” Jevano mematung. Ini yang ia tidak suka dari Jevian. Lelaki itu selalu memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri. Sifat yang baik tapi tidak menguntungkan. Ia tahu kehidupan Jevian dan dirinya akan memiliki ending yang sama. Tapi setidaknya ia lebih tegas menolak perjodohan dirinya dengan Devara-sepupunya sendiri- bulan lalu, meskipun setelahnya tamparan ia dapatkan. Setidaknya dalam sembilan belas tahun ia hidup, ia menghentikan beberapa kendali yang dipegang oleh Djatmiko dan Anggrek kepada dirinya.
“Hmm.. I see.”
Berbeda dengan Jevian yang selama ini jarang sekali membantah. Hanya pernah sekali seingat Jevano, setelah itu ia kembali menjadi anak laki-laki kebanggaan keluarga Djatmiko Pradirga. Jevano sendiri bukannya iri atau apa, tapi turut bersedih melihat kakaknya. Ia tahu Jevian orang yang tidak suka dikekang, tetapi entah mengapa ia memilih jalan hidup yang seperti ini.
“Kosongkan jadwal untuk besok malam, karena keluarga kita akan menjamu keluarga Haryono,” ucap Jevano sembari berdiri dari sofa.
“Perihal?”
“Perjodohan.”
“Kamu akhirnya menerimanya?”
“Lebih tepatnya Papa dan Mama yang memaksakan.”
“Kau harus mulai menerimanya meskipun sulit, maaf Kakak tidak bisa membantumu.”
“Bukan untukku, bodoh. Tapi untukmu!”
Jevian bungkam. Ia tidak menyangka hari itu datang juga. Dari kemarin ia mengulur waktu dengan mendirikan sebuah perusahaan. Salah sendiri, ia berjanji mau dijodohkan ketika perusahaannya sudah resmi beroperasi, tetapi dirinya tidak menyangka orang tuanya akan bertindak secepat ini.
“Oh by the way, tadi itu hanya Intermezzo, Kak. Kapan-kapan kita lanjut topik ini. Aku penasaran.” kerling Jevano ke arah Jevian.
“Masalah apa?” tanya Jevian yang masih pusing.
“The Pretty girl who fell your heart.”
Jevian makin pusing, ia ingin pulang saja.
“Berjalan pelan saat mendaki lebih baik daripada diam menatap puncak.” ***** Jevian bukanlah cicit pertama keluarga Pradirga sehingga hal semacam perjodohan tai kucing ini sudah pernah terjadi. Sepupunya yang bernama Kinara dua tahun yang lalu ditunangkan dengan putera pengusaha kelapa sawit asal Jambi yang bernama Rezza, huruf Z nya pakai dua, hasil perjodohan singkat juga. Bulan lalu saja, Jevano sempat ingin dijodohkan dengan sepupu sesama keturunan Pradirga yang bernama Devara, namun Jevano menolak. Alasan perjodohan ini tidak terlalu dipaksakan adalah karena Jevano bersikeras tidak ingin melompati sang Kakak, padahal memang dia secara pribadi tidak menyukai Devara. Gadis itu terlalu manja dan semaunya sendiri memerintah apapun yang ia inginkan, dan fakta yang diungkap kemarin adalah bahwa perjodohan tersebut atas dasar ide dari De
“Kebahagiaan itu mahal harganya, tidak pantas dihentikan dengan cara murahan.” ***** Apartemen minimalis milik Jevian kini tidak terlalu sunyi karena Jevano. Pria yang lebih muda delapan tahun dari kakaknya itu kini tengah menikmati game PlayStation yang ternyata Jevian sempat membelinya tahun lalu tetapi tidak sempat ia gunakan. Jevano tidak tahu mengapa ia sebahagia itu, semisal diumpamakan, perasaannya sama seperti ketika dibelikan permen waktu umur empat tahun, atau seperti diperbolehkan menaiki sepeda setelah les. Masa kanak-kanak yang seharusnya ia lalui malah dirampas, meskipun memang ia tidak kekurangan sandang, pangan, maupun papan. Pernah sekali ketika ia berada di kelas lima sekolah dasar menjadi perwakilan olimpiade matematika tingkat nasional. Sebelum lomba dimulai, ia berjalan santai sejenak menikmati suasana gedun
“Jika itu cinta, dari ribuan nyawa yang ada, hati selalu menuntun ke arahnya. Dan, benar dia hadir di sana. Dan, hatiku masih menjadi singgasana.” ***** Malam-malam panjang telah berlalu, menyisakan kantuk yang tiba-tiba menyerang pagi itu. Jevian menyesali perbuatannya yang membuat dirinya dan Jevano begadang semalaman penuh karena asik bercerita. Tapi tidaklah dia tega membuat kebahagiaan Jevano rusak, ia terlalu semangat untuk menanti hari esok. Masalahnya, pagi harinya Jevano enak-enak tidur sedangkan dirinya harus berangkat kerja pagi-pagi sekali karena kegiatan hari itu sudah penuh di rentetan jadwal resmi yang dicatat oleh sekretarisnya. Jevian harus menuntaskan jadwal hariannya itu, termasuk jadwal legalitas komunitas PPB. Diakui menjadi sukses dan kaya bukanlah tujuan utamanya, yang terpenting ia ingin membuat pertahanan
“Hal yang paling menyakitkan dari sebuah perpisahan ialah kenangan.” ***** Jevian telah sampai di suatu tempat, di sebuah tanah lapang yang terdiri atas sekat-sekat berupa selendang beranekaragam warna untuk menjaga jarak antara satu orang dengan yang lainnya. Ia menilik satu-persatu detail tempat yang sudah lama tidak ia datangi. Tidak banyak yang berubah, bahkan perasaannya. Meskipun tidak berdesak-desakan, keceriaan malam itu tidak berkurang sedikitpun. Lampu warna-warni yang menyala terang, lampion yang dilepas dan kembang api yang menghiasi langit malam yang begitu indah. Muda-mudi menampakkan wajah bahagia untuk malam terakhir mereka di kampus sebelum menyambut libur panjang. Kaki panjangnya menelusuri jalanan kecil di sebelah lapangan, yang berjejer di samping kanan kirinya pohon-pohon besar. Ia baru menyadari tern
Lampu kerlap-kerlip, lampion yang diterbangkan, kembang api yang menghias langit semalam ternyata hanya kebahagiaan sesaat yang dirasakan. Hanya ada jendela kecil yang sedikit terbuka, bagaimana celah sinar matahari menyadarkan tidur pendek mereka setelah semalaman melakukan sebuah dosa, yang manusia sebut sebagai dosa terindah. Seorang gadis bertubuh polos yang kini berada dalam dekapan seorang pemuda tengah menangis tanpa suara. Kehidupannya tidak akan pernah sama seperti waktu semalam dosa itu tercipta. Mohon ampun kepada Ayah dan Ibunya yang selama ini memercayai dan mengharapkan masa depan di tangannya, puteri sulung mereka. Namun kenyataan jarang sekali sejalan dengan harapan yang dipanjatkan.Manusia membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya untuk memperindah bentuk rupa, memperlihatkan kebaikan terhadap sesama, namun hanya ada waktu satu detik untuk menghacurkan itu semua. “Sayang, sudah bangun?”
“Segala hal yang dapat menambah nilai, maka lakukanlah.” ***** Jevian Mavazka Pradipta, nomor ke-empat setengah. Dia adalah pria tidak bernilai, makanya dia menguras seluruh tenaga dan pikirannya untuk dapat bernilai. Ia ingin berharga, namun kenyataannya tidak ada rasa peduli kepadanya sebelum kata “kecuali” tercipta. Anak lelaki itu menatap datar panggung peresmian yang telah dihadiri kakak lelaki serta ayahnya. Keduanya berdiri dengan gagah; jas yang rapi dan mahal, badan yang tegap serta rambut yang klimis. Iri? Tidak sama sekali, nyatanya mata elang itu mendominasi mata sayu lainnya sehingga semua yang ditampilkan hari itu hanyalah kepalsuan. Keyakinan semakin menggenggam erat hatinya kala netranya menemui lelaki itu kini mengepalkan tangan. “Dengan ini, pada tanggal 14 Juli 2021 tepatnya di Jakarta, perusahaan teknologi