[Kim Young Mi’s POV]
Busan, 10 Juli 2007.
Alunan musik yang lembut memasuki telingaku samar-samar dan membangunkanku dari tidur yang singkat. Badanku tergoncang-goncang karena sedang di dalam mobil. Aku membuka mata perlahan-lahan. Sinar matahari langsung menyambar mataku saat akan mencoba melihat keluar. Dari kejauhan, aku dapat melihat pantai Gwangalli membuatku berpikir sebentar lagi kami akan sampai.
“Sayang, kamu sudah bangun?” tanya Mama.
“Hm, iya Ma,” jawabku sambil mengucek-ucek mata.
“Sebentar lagi kita sampai di rumah bibi Yeesung.”
“Kamu cepat bawa barang-barangmu ya. Mama akan bawa barang yang berat,” kata Mama sembari membawa tas koperku.
Aku pun menuruti perintah mama dan dengan cekatan bersiap membawa barang-barang yang kubawa. Begitu pun dengan Mama yang membawa barang yang lainnya. Tak lama kemudian kami sampai di depan restoran bibi Yeesung.
“Berapa Pak harganya?”
“23.000 won, Bu.”
“Kamsahamida…”
Begitu mama membayar ongkos taksi, kami langsung turun dari taksi. Di depan restoran, bibi Yeesung sudah menyambut kami dengan gembira. Aku pun tersenyum melihat bibi Yeesung. Sudah lama sekali kami tidak ke Busan. Meskipun kali ini aku ke Busan bukan untuk berlibur, namun ingatan dari masa kecil itu tetap membuatku bernostalgia.
“Miyeon, Young Mi, akhirnya kalian datang juga!” sambut bibi Yeesung dengan ceria.
“Ayo sini masuk!”
Ini hari Sabtu pukul 14.00 dan restoran bibi Yeesung sedang sepi pengunjung. Hanya terlihat 2 orang pasangan yang sedang makan di dalam. Tapi, suasana sepi inilah yang membuat kami bisa lebih nyaman berbicara dengan bibi. Kami pun segera masuk ke dalam restoran bibi.
“Yeesung, sudah lama ya kita nggak bertemu,” kata Mama sambil tertawa.
“Iya. Kalau anakmu nggak sekolah disini pasti kamu makin jarang kesini, deh.”
“Bibi sudah siapin makanan nih buat kalian. Ayo, makan dulu. Kalian pasti lapar, kan?”
“Ah, Yeesung kenapa harus repot-repot begini..”
Meskipun kami tidak enak pada akhirnya aku dan mama pun memakan masakan bibi Yeesung. Masakan bibi Yeesung selalu tidak pernah mengecewakan lidahku. Kami makan sambil berbincang-bincang ringan dengan bibi.
“Young Mi, nanti selesai makan Bibi akan antar kamu ke rumah yang mau kamu tinggali itu.”
“Iya, Bibi.”
Setelah kami selesai makan bibi Yeesung dan suaminya pun mengantar kami ke tempat tinggalku nantinya. Aku sangat tidak sabar, ingin tahu bagaimana ‘rumah’ keduaku nantinya. Ini sudah menjadi hal yang kuingin-inginkan sedari dulu. Aku ingin sekali bisa hidup mandiri dan terlepas dari mama dan papa, terutama papa. Hubunganku dengannya tidak sebaik anak dan ayah pada umumnya. Dia tidak pernah mengurusku, dia selalu menelantarkanku, marah-marah padaku, bahkan terkadang ia suka memukulku. Karena inilah aku ingin pindah sekolah dari Seoul ke Busan. Aku ingin terbebas dari semua kesengsaraan itu. Jangan kira aku mendapatkan ijin yang mudah darinya. Karena butuh berbulan-bulan untukku dan mama meyakinkannya agar aku dapat pindah ke Busan.
(Flashback)
Sepanjang hidup, aku ingin setidaknya satu kali dapat merasakan hal itu terjadi. Aku benar-benar ingin setidaknya ada satu orang saja yang mampu memahami aku. Mungkin kalian akan mengira aku ini adalah orang yang sangat kesepian yang kebelet pacaran. Atau mungkin kalian akan berpikir aku sangat menyedihkan. Yah, bisa kubilang, kalian tidak salah juga sih. Aku pun merasa hidupku sangat menyedihkan. Aku terlahir di keluarga yang broken home. Ayahku meninggal ketika ibuku melahirkan aku. Beberapa tahun kemudian, ibuku menikah lagi. Awalnya, ibuku mengira itu adalah keputusan yang benar dengan orang yang tepat. Tapi, sayangnya itu adalah keputusan yang amat salah.
“Ahn Hyunsuk.” Batinku. Setiap kali aku mengingat namanya, rasanya aku ingin memukul wajahnya. Andai aku bisa melakukannya, sayangnya aku tidak akan bisa. Dia adalah salah satu orang yang membuktikan bahwa pepatah ‘even salt looks like sugar’ dapat dibuktikan kebenarannya. Ibuku pacaran dengan dia kurang lebih 1,5 tahun sebelum memutuskan untuk menikah dengannya. Dia orang yang baik, manis, pengertian, sabar, dan bahkan selalu memenuhi kebutuhan ibuku dan aku. Setidaknya hal itu hanya berlaku saat mereka pacaran. Saat ibuku menikah dengannya, ibuku mulai menyadari bahwa perlahan-lahan sikapnya berubah.
“Heh! Kamu tuh harus kerja lebih keras lagi! Kamu kira aku dapat dari mana duit sebanyak itu buat biayain kamu dulu?”
Aku tidak bisa membayangkan betapa susahnya hidup ibuku dulu. Dan, tidak ada yang bisa menolongnya. Begitu pun aku, dulu aku masih berusia 3 tahun. Mendengar ibuku bercerita tentang hal ini sungguh membuatku tidak tega. Waktu pun berlalu, dan aku mulai memahami semuanya dengan lebih baik sekarang. Ibu dan ayah sering sekali bertengkar. Rumah ini seolah-olah tidak pernah damai bahkan untuk sedetik pun. Seiring dengan usiaku yang kian bertambah, aku pun juga dijadikan sasaran kemarahannya. Aku sangat ingat dengan pengalamanku ini.
Dulu, waktu aku masih berusia 8 tahun aku pernah mencoba untuk melerai mereka. Jangan kira mereka akan makin berdamai. Justru akulah yang terkena akibatnya. Bahkan tidak hanya itu, si brengsek itu sering memukul dan menyiksaku ketika dia sedang emosi. Kata ‘gila’ pun tak cukup untuk mendeskripsikannya. Awalnya aku merasa sangat takut dan gemetaran. Tapi, seiring berjalannya waktu aku terkejut dengan bagaimana cara kerja tubuhku sendiri. Tubuhku mulai tak merasakan kesakitan apapun setelahnya. Aku sudah berada di tahap dimana aku mulai tidak merasakan apapun. Aku masih ingat peristiwa saat aku kelas 3 SD. Kedua tanganku lebam-lebam berwarna biru keunguan. Aku masih ingat betul ekspresi teman-temanku ketika melihat tanganku pada saat itu.
“Young Mi-ah, kenapa tanganmu bisa seperti itu?”
“Kenapa bisa seperti itu? Menjijikkan tau!”
Tentu saja, aku tidak bisa menjawabnya. Jika kujelaskan pun, mana mungkin anak umur 8 tahun akan mengerti hal semacam itu? Semenjak hari itu, aku selalu memakai jaket saat pergi ke sekolah. Guru-guru mulai khawatir denganku dan bertanya apakah aku baik-baik saja. Tapi, aku malah diam. Hingga akhirnya ibuku lah yang harus menjelaskannya ke mereka. Dan mereka pun mulai memahami keadaanku. Sejak saat itulah aku dijauhi banyak temanku dulu. Aku selalu sendirian dan tidak punya teman.
Jam-jam istirahatku kebanyakan kuhabiskan makan bersama guru BK-ku di ruang BK. Kalian tau kan betapa parahnya keadaanku hanya dengan mendengar ceritaku? Nantinya guru BK-ku akan menanyaiku beberapa pertanyaan atau kita akan tetap makan dalam diam. Dulu, aku masih terlalu muda untuk memahami semuanya ini. Tapi, setelah kupikir-pikir lagi aku sampai bertanya kepada diriku sendiri “Semenyedihkan itukah hidupku?”. Aku jadi malas bermain dengan teman-temanku dan lebih memilih sendiri.
Tapi, kali ini aku sudah berada pada puncak kesabaranku. Siapa dia yang berhak mengambil kebahagiaan dari hidupku? Siapa dia yang tega merenggut masa kanak-kanakku yang berharga dan menggantinya dengan tangisan? Aku juga berhak menikmati masa remajaku seperti anak-anak yang lainnya. Aku ingin mengakhiri semua drama tak guna yang ada di hidupku ini. Aku berjanji kepada diriku sendiri, nanti jika aku sudah SMA aku akan pergi sejauh-jauhnya dari rumah ini. Aku ingin sekali saja bisa menikmati hidupku sendiri. Tanpa suara-suara pukulan dan teriakan di tengah malam. Tanpa bayang-bayang rupa mengerikan si brengsek itu ketika akan memukul wajahku. Aku berharap aku bisa sekolah di luar kota dan memilih untuk tinggal sendiri. Satu-satunya kota yang muncul di pikiranku pertama kali ialah, Busan. Setidaknya untuk sekali ini saja aku berharap bisa berdamai dengan diriku dengan cara ini.
* * * *
Aku sebenarnya tidak begitu siap jika harus tinggal sendiri. Tapi, hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa terbebas darinya, sosok yang bahkan tidak bisa kusebut sebagai ‘papa’. Aku sudah lelah jika setiap hari mendengar bentakan, ocehannya, bahkan pukulan-pukulan yang ia beri padaku. Bukan dirinya yang membuatku takut, tapi fakta bahwa tubuhku terkadang sudah tidak bisa merasakan semua kesakitan itulah yang membuatku takut dan menderita. Itu artinya tubuhku sudah kebal dengan semua pukulan yang ia berikan.
“Young Mi, harus mandiri ya kalau tinggal sendirian,” kata bibi Yeesung tiba-tiba.
“Iya, Bibi.”
“Nanti, kalau misalkan kamu butuh sesuatu, kamu bisa telepon Bibi ya.”
“Kamsahamida, Bibi. Tapi, Young Mi usahakan mengerjakan semuanya sendiri,”
Meskipun rumah bibi Yeesung dan rumahku nantinya tidak terlalu jauh jaraknya tentu saja aku tidak mau membuat repot bibi.
“Nah, itu rumahnya,” kata bibi Yeesung sambil menunjuk bangunan kecil berwarna putih.
Mobil berhenti dan kami pun turun. Aku mengeluarkan barang bawaanku dari mobil bibi. Mama membantuku membawa barang-barangku yang berat. Kami pun masuk ke dalam rumah yang nantinya akan ku tinggali. Kami juga bertemu dengan pemilik rumah itu dan berbincang-bincang singkat.
“Kalau begitu saya antar ke lantai dua saja, ya.”
Bibi pemilik rumah pun mengantarkan kami ke lantai dua. Aku memilih kamar paling pojok agar aku bisa mendapatkan view yang bagus nantinya.
“Ini kunci kamarnya.”
“Kamsahamida.”
Bibi Yeesung dan suaminya menunggu diluar kamar sementara aku dan mama sibuk di dalam kamar akan menata barang-barangku. Kamar ini memang sangat kecil, namun ini cukup untuk kutinggali sendiri. Aku membuka koperku dan mengeluarkan baju-bajuku. Aku menata baju-bajuku di lemari yang sudah disediakan.
Grrt…Grrttt…
“Ma, ada telepon nih.”
Aku memberikan handphone kepada mama dan melanjutkan menata barangku.
“S-Sebentar, ini kita baru aja sampai ditempatnya Young Mi.”
“Apa nggak bisa agak malam? Kasihan Young Mi kalau harus sendirian.”
“Ah, begitu ya. Kalau gitu aku akan cepat balik ke Seoul.”
Sepertinya aku tahu siapa dibalik telepon itu. Itu pasti dia. Aku dapat melihat alis mama yang bertaut dan suara mama yang bergetar. Aku dapat melihat dengan jelas jika mama sedang ketakutan. Aku menghela nafas berat. Ada apalagi sekarang, batinku di dalam hati. Pasti dia ingin agar mama segera kembali pulang. Dasar orang itu!
“Sayang, Mama harus buru-buru pulang. Kamu bisa ya kalau mama tinggal sendirian?”
“Bisa, Ma,” aku menjawab meskipun sedikit kecewa.
“Kamu bisa lanjut menata barang kamu. Nanti, mama titip kamu ke bibi Yeesung, ya.”
“Mama pergi dulu ya, Sayang…”
Aku pun mengiyakan semua yang dikatakan oleh mama dan mama segera pergi dari kamarku. Aku pun tersadar meskipun aku sudah beratus-ratus kilometer jauh darinya, sepertinya dia akan tetap menganggu hidupku. Dia tetap bisa memegang kendali akan hidupku dan hidup mama dengan sifat posesifnya itu. Tapi, setidaknya untuk saat ini semua lebih baik karena aku tidak perlu melihat wajahnya setiap hari.
[Yoon Jae’s POV]Melbourne, 9 Juli 2007. “Jae, barang-barangmu sudah kamu masukkan?” tanya Mama dari dalam taksi.“Sudah kumasukkan semua, Ma,” kataku dari belakang bagasi taksi pada mama.“Pastikan nggak ada yang tertinggal, ya.”“Jennie, barangmu sudah kamu cek? Jangan sampai ada yang ketinggalan.”“Sudah aku cek berkali-kali, Ma,” sahut Jennie.“Oke, kalau gitu kita berangkat sekarang,” kata Papa.Aku segera menutup pintu belakang taksi dan masuk ke dalam taksi duduk bersama adikku, Jen. Aku tidak percaya kalau sebentar lagi aku akan meninggalkan Melbourne. Melbourne sudah terasa seperti rumah bagiku. My comfort place, kalau bisa kukatakan. Meskipun aku lahir di Busan, Korea. Tapi, Melbourne adalah kota yang menyaksikan aku bertumbuh menjadi seperti sekarang ini.Aku pindah ke Melbourne ketika aku berumur 3 tahun. Jadi, aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup di Korea dan bagaimana keb
[Im Aerum POV’s]Seoul, 20 Maret 2010Aku berjalan pulang dengan tubuh yang lunglai. Aku dapat mendengar suara perutku berbunyi. Kelelahan sehabis sekolah membuat perutku sangat lapar meronta-ronta ingin segera diberi makanan. Tapi, aku harus tetap berjalan setidaknya 1 kilometer untuk sampai ke rumah.“Hmpph…” aku mendenguskan nafas dengan keras.Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 7 tahun. Aku berharap papa, mama, dan juga kakakku ingat dengan hari spesial ini. Tapi… Aku tidak yakin apa mereka ingat dengan hari ulang tahunku ini. Tadi pagi saja rumah kosong melompong dan sepi, jadi aku harus berangkat ke sekolah sendiri. Kira-kira mereka semua ke mana ya tadi pagi? Kenapa meninggalkanku sendiri? Semoga nanti malam mereka akan merayakan ulang tahunku dan makan sup rumput laut bersama! Ah, andai mereka ingat…Tak terasa aku sudah sampai di depan rumahku. Pintu rumahku ditutup. Padahal biasanya kalau mama ada di rumah pin
[Park Hyunjae’s POV]Aku menghela nafas dengan berat memandangi pintu yang sedang tertutup itu. Pikiranku kalut, tanganku berkeringat, kakiku gemetar, dan jantungku berdegup dengan cepat. Apa aku selama ini sudah melakukan kesalahan? Ataukah penampilanku sangat buruk baginya? Pikiran-pikiran negatif mulai membanjiri benakku. Mungkin pada akhirnya aku tidak akan pernah berhasil debut menjadi seorang idol seperti yang selama ini kuinginkan.Namun aku berusaha menepis semua pikiran negatif itu dari kepalaku. Aku sudah berusaha hingga sejauh ini. Jika aku menyerah sekarang, apa gunanya perjuanganku selama satu tahun ini? Aku tidak akan kembali ke orang tuaku dengan tangan kosong nantinya. Lalu, tiba-tiba aku teringat peristiwa satu tahun yang lalu. Dan, aku pun kembali ke masa lalu untuk sejenak dan menyadari bahwa langkahku sudah sangat jauh dan aku tidak akan berhenti saat ini.(Flashback)“Hoahm…” aku menguap.A
[Kim Young Mi’s POV]Busan, 12 Juli 2007 Suara alarm membangunkanku dari alam mimpi dan membawaku ke realita. Aku langsung terbangun dan duduk tegak di tempat tidur. Ini hari pertamaku sekolah, lebih baik aku tidak mengacaukannya. Aku melirik jam kecil yang kutaruh di brankas. Jam 6:45!!! Oh, astaga kenapa aku bisa seceroboh ini. Aku langsung memakai seragam yang kemarin sudah disetrika. Memasukkan buku-buku ke dalam tas dan memakai sepatu. Tidak lupa menyemprotkan parfum agar tidak ada seorang pun yang tahu aku tidak mandi pagi ini. Dan, aku pun langsung berangkat.Kemarin aku menghabiskan banyak waktu untuk bekerja di restoran bibi Yeesung. Ya, karena aku sekarang tinggal sendiri aku terpaksa bekerja di restoran bibi Yeesung. Meskipun aku tidak enak jika harus dibayar bibi, tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak begini aku tidak akan mendapat uang. Dari kostku ke sekolah membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit unutk berjalan kaki.
[Im Aerum’s POV]Besok adalah hari yang kutunggu-tunggu selama ini. Hari dimana aku akan mencoba seleksi di sekolah impianku. Sekolah ini sedikit berbeda dengan sekolah biasa pada umumnya. Sekolah ini dikhususkan untuk bakat seperti musik, menari, menyanyi, teater, film dan masih banyak lagi. Singkatnya sekolah ini adalah sekolah khusus bidang seni. Terdapat banyak sekali pilihan di sekolah seni ini. Ada menyanyi, menari, teater film, dan banyak lagi. Jurusan yang aku inginkan adalah menyanyi, karena bakatku adalah menyanyi. Menjadi penyanyi adalah keinginanku sedari kecil jadi aku sudah berminat masuk sekolah ini sedari lama.Aku membaringkan badanku diatas tempat tidurku. Sudah jam 2 pagi tapi aku tidak bisa tertidur. Aku terus memikirkan bagaimana jadinya hari esok. Apakah semua akan berjalan dengan lancar? Apakah semua latihan yang kulakukan akan terbayar? Aku merasa sedikit khawatir karena kebanyakan yang bersekolah di sana adalah idol-idol
[Kim Young Mi’s POV]Aku masuk ke dalam hall sekolah. Begitu aku masuk ke dalam hall sekolah semua mata langsung menatapku, membuatku merasa sangat malu. Seketika aku ingin menjadi tanah saja. Ah, andai aku bisa bangun jauh lebih pagi tadi, kataku dalam hati menyesali perbuatanku sendiri. Aku segera duduk di tempat yang paling dekat dengan tempat aku berdiri sekarang dan memilih posisi yang paling belakang. Ada beberapa anak perempuan di depanku yang memandangiku. Dan, aku hanya bisa tersenyum. Padahal di dalam hati aku sudah merutuk karena malu.Aku duduk dan mulai mengikuti acara dengan baik. Sedari aku duduk di bangku taman kanak-kanak aku tidak pernah masuk ke sekolah baru. Jadi, aku benar-benar gugup sekaligus merasa senang akhirnya bisa merasakan dan menikmati lingkungan yang baru di masa remajaku ini. Haruskah aku nanti mendekati beberapa anak agar aku memiliki teman baru? Atau aku hanya perlu diam saja dan menunggu mereka mendekatiku? Seketika ak
[Im Aerum’s POV] Aku mengambil nafas yang panjang sebelum masuk ke ruangan seleksi. Di dalam ruangan ini ada dua guru yang sudah bersiap akan menilaiku. Saat aku masuk, mereka melihatku dengan senyum yang tipis seolah-olah mereka memaksakan senyum mereka. Sebuah kursi telah disediakan di tengah ruangan. Aku langsung duduk di kursi yang telah disediakan tersebut. Sebelum aku memulai menampilkan bakatku aku diberikan beberapa pertanyaan untukku jawab terlebih dahulu.“Dipersilahkan untuk memperkenalkan diri,” kata salah satu guru yang akan mengujiku.“Perkenalkan nama saya Im Aerum. Saya saat ini berusia 15 tahun.”Guru yang menanyaiku mengangguk-angguk, “Baik. Kamu asal dari sekolah mana?”“Saya dari sekolah Hangguk.”“Kalau kamu diterima di sekolah ini, kamu berencana akan mengambil jurusan apa?”“Saya berencana akan ambil menyanyi.”“Oke, kalau begitu. Sekarang kamu bisa menunjukkan bakat yang kamu punya.”
[Kim Young Mi’s POV]Aku mengambil piring-piring dan gelas-gelas yang kotor dan menaruhnya di nampan. Huft, untung hari ini tidak seramai kemarin. Jadi, aku bisa pulang lebih cepat. Aku pun menaruh piring dan gelas yang kotor ke tempat cuci piring. Gelas dan piring yang kotor berserakan di tempat pencuci piring. Ayo, Young Mi semangat ini pekerjaanmu yang terakhir, batinku menyemangati diriku sendiri. Setelahnya aku mulai mencuci piring dan gelas yang kotor.Dulu, aku pernah menemukan kata-kata mutiara yang kubaca di sebuah buku. Kata-kata mutiara itu berbunyi seperti ini “Hidup tidak akan pernah menjadi mudah, tetapi dirimulah yang akan menjadi lebih kuat.” Aku tidak pernah paham maksud dari kata-kata itu. Tapi, kurasa sekarang aku mulai paham dengan kata-kata itu.Selama aku kecil hingga aku duduk di bangku SMP, aku harus menghabiskan waktuku mendengarkan teriakan dan pertengkaran mama dan papa. Tapi, sekarang semenjak aku pindah ke Busan entah m