Beranda / Romansa / FATED / Chapter 01

Share

FATED
FATED
Penulis: holyndaaracelly

Chapter 01

[Kim Young Mi’s POV]

Busan, 10 Juli 2007.

Alunan musik yang lembut memasuki telingaku samar-samar dan membangunkanku dari tidur yang singkat. Badanku tergoncang-goncang karena sedang di dalam mobil. Aku membuka mata perlahan-lahan. Sinar matahari langsung menyambar mataku saat akan mencoba melihat keluar. Dari kejauhan, aku dapat melihat pantai Gwangalli membuatku berpikir sebentar lagi kami akan sampai.

“Sayang, kamu sudah bangun?” tanya Mama.

“Hm, iya Ma,” jawabku sambil mengucek-ucek mata.

“Sebentar lagi kita sampai di rumah bibi Yeesung.”

“Kamu cepat bawa barang-barangmu ya. Mama akan bawa barang yang berat,” kata Mama sembari membawa tas koperku.

Aku pun menuruti perintah mama dan dengan cekatan bersiap membawa barang-barang yang kubawa. Begitu pun dengan Mama yang membawa barang yang lainnya. Tak lama kemudian kami sampai di depan restoran bibi Yeesung.

“Berapa Pak harganya?”

“23.000 won, Bu.”

“Kamsahamida…”

Begitu mama membayar ongkos taksi, kami langsung turun dari taksi. Di depan restoran, bibi Yeesung sudah menyambut kami dengan gembira. Aku pun tersenyum melihat bibi Yeesung. Sudah lama sekali kami tidak ke Busan. Meskipun kali ini aku ke Busan bukan untuk berlibur, namun ingatan dari masa kecil itu tetap membuatku bernostalgia.

“Miyeon, Young Mi, akhirnya kalian datang juga!” sambut bibi Yeesung dengan ceria.

“Ayo sini masuk!”

Ini hari Sabtu pukul 14.00 dan restoran bibi Yeesung sedang sepi pengunjung. Hanya terlihat 2 orang pasangan yang sedang makan di dalam. Tapi, suasana sepi inilah yang membuat kami bisa lebih nyaman berbicara dengan bibi. Kami pun segera masuk ke dalam restoran bibi.

“Yeesung, sudah lama ya kita nggak bertemu,” kata Mama sambil tertawa.

“Iya. Kalau anakmu nggak sekolah disini pasti kamu makin jarang kesini, deh.”

“Bibi sudah siapin makanan nih buat kalian. Ayo, makan dulu. Kalian pasti lapar, kan?”

“Ah, Yeesung kenapa harus repot-repot begini..”

Meskipun kami tidak enak pada akhirnya aku dan mama pun memakan masakan bibi Yeesung. Masakan bibi Yeesung selalu tidak pernah mengecewakan lidahku. Kami makan sambil berbincang-bincang ringan dengan bibi.

“Young Mi, nanti selesai makan Bibi akan antar kamu ke rumah yang mau kamu tinggali itu.”

“Iya, Bibi.”

Setelah kami selesai makan bibi Yeesung dan suaminya pun mengantar kami ke tempat tinggalku nantinya. Aku sangat tidak sabar, ingin tahu bagaimana ‘rumah’ keduaku nantinya. Ini sudah menjadi hal yang kuingin-inginkan sedari dulu. Aku ingin sekali bisa hidup mandiri dan terlepas dari mama dan papa, terutama papa. Hubunganku dengannya tidak sebaik anak dan ayah pada umumnya. Dia tidak pernah mengurusku, dia selalu menelantarkanku, marah-marah padaku, bahkan terkadang ia suka memukulku. Karena inilah aku ingin pindah sekolah dari Seoul ke Busan. Aku ingin terbebas dari semua kesengsaraan itu. Jangan kira aku mendapatkan ijin yang mudah darinya. Karena butuh berbulan-bulan untukku dan mama meyakinkannya agar aku dapat pindah ke Busan.

(Flashback)

Sepanjang hidup, aku ingin setidaknya satu kali dapat merasakan hal itu terjadi. Aku benar-benar ingin setidaknya ada satu orang saja yang mampu memahami aku. Mungkin kalian akan mengira aku ini adalah orang yang sangat kesepian yang kebelet pacaran. Atau mungkin kalian akan berpikir aku sangat menyedihkan. Yah, bisa kubilang, kalian tidak salah juga sih. Aku pun merasa hidupku sangat menyedihkan. Aku terlahir di keluarga yang broken home. Ayahku meninggal ketika ibuku melahirkan aku. Beberapa tahun kemudian, ibuku menikah lagi. Awalnya, ibuku mengira itu adalah keputusan yang benar dengan orang yang tepat. Tapi, sayangnya itu adalah keputusan yang amat salah.

“Ahn Hyunsuk.” Batinku. Setiap kali aku mengingat namanya, rasanya aku ingin memukul wajahnya. Andai aku bisa melakukannya, sayangnya aku tidak akan bisa. Dia adalah salah satu orang yang membuktikan bahwa pepatah ‘even salt looks like sugar’ dapat dibuktikan kebenarannya. Ibuku pacaran dengan dia kurang lebih 1,5 tahun sebelum memutuskan untuk menikah dengannya. Dia orang yang baik, manis, pengertian, sabar, dan bahkan selalu memenuhi kebutuhan ibuku dan aku. Setidaknya hal itu hanya berlaku saat mereka pacaran. Saat ibuku menikah dengannya, ibuku mulai menyadari bahwa perlahan-lahan sikapnya berubah.

“Heh! Kamu tuh harus kerja lebih keras lagi! Kamu kira aku dapat dari mana duit sebanyak itu buat biayain kamu dulu?”

Aku tidak bisa membayangkan betapa susahnya hidup ibuku dulu. Dan, tidak ada yang bisa menolongnya. Begitu pun aku, dulu aku masih berusia 3 tahun. Mendengar ibuku bercerita tentang hal ini sungguh membuatku tidak tega. Waktu pun berlalu, dan aku mulai memahami semuanya dengan lebih baik sekarang. Ibu dan ayah sering sekali bertengkar. Rumah ini seolah-olah tidak pernah damai bahkan untuk sedetik pun. Seiring dengan usiaku yang kian bertambah, aku pun juga dijadikan sasaran kemarahannya. Aku sangat ingat dengan pengalamanku ini.

Dulu, waktu aku masih berusia 8 tahun aku pernah mencoba untuk melerai mereka. Jangan kira mereka akan makin berdamai. Justru akulah yang terkena akibatnya. Bahkan tidak hanya itu, si brengsek itu sering memukul dan menyiksaku ketika dia sedang emosi. Kata ‘gila’ pun tak cukup untuk mendeskripsikannya. Awalnya aku merasa sangat takut dan gemetaran. Tapi, seiring berjalannya waktu aku terkejut dengan bagaimana cara kerja tubuhku sendiri. Tubuhku mulai tak merasakan kesakitan apapun setelahnya. Aku sudah berada di tahap dimana aku mulai tidak merasakan apapun. Aku masih ingat peristiwa saat aku kelas 3 SD. Kedua tanganku lebam-lebam berwarna biru keunguan. Aku masih ingat betul ekspresi teman-temanku ketika melihat tanganku pada saat itu.

“Young Mi-ah, kenapa tanganmu bisa seperti itu?”

“Kenapa bisa seperti itu? Menjijikkan tau!”

Tentu saja, aku tidak bisa menjawabnya. Jika kujelaskan pun, mana mungkin anak umur 8 tahun akan mengerti hal semacam itu? Semenjak hari itu, aku selalu memakai jaket saat pergi ke sekolah. Guru-guru mulai khawatir denganku dan bertanya apakah aku baik-baik saja. Tapi, aku malah diam. Hingga akhirnya ibuku lah yang harus menjelaskannya ke mereka. Dan mereka pun mulai memahami keadaanku. Sejak saat itulah aku dijauhi banyak temanku dulu. Aku selalu sendirian dan tidak punya teman.

Jam-jam istirahatku kebanyakan kuhabiskan makan bersama guru BK-ku di ruang BK. Kalian tau kan betapa parahnya keadaanku hanya dengan mendengar ceritaku? Nantinya guru BK-ku akan menanyaiku beberapa pertanyaan atau kita akan tetap makan dalam diam. Dulu, aku masih terlalu muda untuk memahami semuanya ini. Tapi, setelah kupikir-pikir lagi aku sampai bertanya kepada diriku sendiri “Semenyedihkan itukah hidupku?”. Aku jadi malas bermain dengan teman-temanku dan lebih memilih sendiri.

Tapi, kali ini aku sudah berada pada puncak kesabaranku. Siapa dia yang berhak mengambil kebahagiaan dari hidupku? Siapa dia yang tega merenggut masa kanak-kanakku yang berharga dan menggantinya dengan tangisan? Aku juga berhak menikmati masa remajaku seperti anak-anak yang lainnya. Aku ingin mengakhiri semua drama tak guna yang ada di hidupku ini. Aku berjanji kepada diriku sendiri, nanti jika aku sudah SMA aku akan pergi sejauh-jauhnya dari rumah ini. Aku ingin sekali saja bisa menikmati hidupku sendiri. Tanpa suara-suara pukulan dan teriakan di tengah malam. Tanpa bayang-bayang rupa mengerikan si brengsek itu ketika akan memukul wajahku. Aku berharap aku bisa sekolah di luar kota dan memilih untuk tinggal sendiri. Satu-satunya kota yang muncul di pikiranku pertama kali ialah, Busan. Setidaknya untuk sekali ini saja aku berharap bisa berdamai dengan diriku dengan cara ini.

                                                                                                                                                 * * * *

Aku sebenarnya tidak begitu siap jika harus tinggal sendiri. Tapi, hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa terbebas darinya, sosok yang bahkan tidak bisa kusebut sebagai ‘papa’. Aku sudah lelah jika setiap hari mendengar bentakan, ocehannya, bahkan pukulan-pukulan yang ia beri padaku. Bukan dirinya yang membuatku takut, tapi fakta bahwa tubuhku terkadang sudah tidak bisa merasakan semua kesakitan itulah yang membuatku takut dan menderita. Itu artinya tubuhku sudah kebal dengan semua pukulan yang ia berikan.

“Young Mi, harus mandiri ya kalau tinggal sendirian,” kata bibi Yeesung tiba-tiba.

“Iya, Bibi.”

“Nanti, kalau misalkan kamu butuh sesuatu, kamu bisa telepon Bibi ya.”

“Kamsahamida, Bibi. Tapi, Young Mi usahakan mengerjakan semuanya sendiri,”

Meskipun rumah bibi Yeesung dan rumahku nantinya tidak terlalu jauh jaraknya tentu saja aku tidak mau membuat repot bibi.

“Nah, itu rumahnya,” kata bibi Yeesung sambil menunjuk bangunan kecil berwarna putih.

Mobil berhenti dan kami pun turun. Aku mengeluarkan barang bawaanku dari mobil bibi. Mama membantuku membawa barang-barangku yang berat. Kami pun masuk ke dalam rumah yang nantinya akan ku tinggali. Kami juga bertemu dengan pemilik rumah itu dan berbincang-bincang singkat.

“Kalau begitu saya antar ke lantai dua saja, ya.”

Bibi pemilik rumah pun mengantarkan kami ke lantai dua. Aku memilih kamar paling pojok agar aku bisa mendapatkan view yang bagus nantinya.

“Ini kunci kamarnya.”

“Kamsahamida.”

Bibi Yeesung dan suaminya menunggu diluar kamar sementara aku dan mama sibuk di dalam kamar akan menata barang-barangku. Kamar ini memang sangat kecil, namun ini cukup untuk kutinggali sendiri. Aku membuka koperku dan mengeluarkan baju-bajuku. Aku menata baju-bajuku di lemari yang sudah disediakan.

Grrt…Grrttt…

“Ma, ada telepon nih.”

Aku memberikan handphone kepada mama dan melanjutkan menata barangku.

“S-Sebentar, ini kita baru aja sampai ditempatnya Young Mi.”

“Apa nggak bisa agak malam? Kasihan Young Mi kalau harus sendirian.”

“Ah, begitu ya. Kalau gitu aku akan cepat balik ke Seoul.”

Sepertinya aku tahu siapa dibalik telepon itu. Itu pasti dia. Aku dapat melihat alis mama yang bertaut dan suara mama yang bergetar. Aku dapat melihat dengan jelas jika mama sedang ketakutan. Aku menghela nafas berat. Ada apalagi sekarang, batinku di dalam hati. Pasti dia ingin agar mama segera kembali pulang. Dasar orang itu!

“Sayang, Mama harus buru-buru pulang. Kamu bisa ya kalau mama tinggal sendirian?”

“Bisa, Ma,” aku menjawab meskipun sedikit kecewa.

“Kamu bisa lanjut menata barang kamu. Nanti, mama titip kamu ke bibi Yeesung, ya.”

“Mama pergi dulu ya, Sayang…”

Aku pun mengiyakan semua yang dikatakan oleh mama dan mama segera pergi dari kamarku. Aku pun tersadar meskipun aku sudah beratus-ratus kilometer jauh darinya, sepertinya dia akan tetap menganggu hidupku. Dia tetap bisa memegang kendali akan hidupku dan hidup mama dengan sifat posesifnya itu. Tapi, setidaknya untuk saat ini semua lebih baik karena aku tidak perlu melihat wajahnya setiap hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status