Satu jam lagi, matahari akan sepenuhnya menghilang di balik horizon Palmline Beach. Dengan kedua telapak tangan tersembunyi di dalam saku celana, Shoujin terus mengamati bocah pirang keras kepala yang sedang meliuk-liuk di atas ombak. Gesit, lincah, indah, eksotis. Ah ... eksotis, satu kata yang cukup untuk membuat debaran jantung Shoujin membuncah.
Setelah puas bermain bersama ombak, Nicky dan Emmery—sahabat pantainya—memutuskan untuk mengakhiri latihan hari itu.
Tak tahu apa yang dibicarakan bocah setengah liar itu bersama sahabat pantainya, dari kejauhan Shoujin hanya menangkap gestur keduanya. Nicky yang tertawa terpingkal-pingkal sampai membungkuk-bungkuk. Emmery yang sesekali memperhatikan sambil menunjuk wajah Nicky, lalu mengalihkan perhatiannya pada lengan kiri Nicky. Sambil berjalan dengan sebelah tangan menyandang surfboard mereka saling berbalas menendang air dan mengarahkan pada temannya.
Pada saat itu Shoujin sempat melihat sesosok yang
"Lepaskan!" Nicky menepis tangan Shoujin. "Dengarkan aku dulu!" Shoujin mencengkeram pundak Nicky, berusaha untuk mendapatkan atensi si pirang. "Lepaskan!" Nicky memberontak, berusaha melepaskan diri dari tangan Shoujin yang kini mencengkeram pundaknya. Nicky merasakan kepalanya semakin berdenyut sakit. Tubuhnya mulai berkeringat. Dalam sisa kesadarannya ia mengingat obatnya tertinggal di dalam tasnya yang Shoujin lemparkan ke bangku belakang mobil. Ia hampir saja berlari, kalau Shoujin tak cukup kuat menahannya. "Shou ... ssaak ..." Nicky mengerang dengan mata yang mulai sayu. "Nicky ... Nicky ...! Tidak ... tidak ...." pada saat itu baru Shoujin menyadari sakit kepala Nicky kambuh. Ketika kesadarannya menipis dan membuatnya kehilangan kendali atas tubuhnya, Nicky tanpa sadar telah mendaratkan tamparan dengan punggung telapak tangannya pada sebelah telinga Shoujin saat ia memberontak. Setelah membaringkan Nicky di lantai, Shou
Larut malam Kenneth sedang berdiskusi dengan Yuri dan Ivan di ruang meeting. Sementara Sean berada di dapur yang sebagiannya hangus dan masih terdapat sedikit sisa debu APAR di sana, ayah dari Shawn itu tampak berbicara dengan seseorang di telepon. Kenneth membuka isi SD card yang didapatnya dari buku Blake. Sebuah window menampilkan isi sebuah folder, Kenneth membuka satu-satunya folder, bernama 'My track list'. Ternyata folder itu hanya berisi ratusan file berformat .mp3. "Dia ini suka sekali berbelit-belit. Pasti dia menyembunyikan sesuatu," gerutu Kenneth, lalu mengklik sebuah menu yang memunculkan opsi tampilan folder. Kenneth mengklik pilihan 'Show hidden files.' Dapat. Pada baris terakhir muncul satu file yang tampak seolah transparan dengan format yang berbeda. "Sepertinya Blake berhubungan dengan orang dalam," celetuk Yuri yang sejak awal mengikuti jalannya pe
Kenneth baru saja menginjakkan kaki di bandara di Middlesburg. Sebelum meninggalkan bandara, terlebih dahulu Kenneth harus menjalani pemeriksaan atas kepemilikan senjata api serta verifikasi identitasnya selaku pemilik senjata api, serupa dengan yang dijalaninya di Springfield saat hendak berangkat. Tak ada kesulitan di sana. Hujan tiba-tiba saja turun. Dengan aplikasi di ponsel, Kenneth memesan taksi online. Padahal ada banyak taksi di bandara yang siap mengantar, tetapi ia lebih memilih menggunakan aplikasi. Mungkin karena ia bisa langsung mengetahui tarifnya. Dan tak perlu khawatir jika jalanan macet akan membuat angka di argometer langsung melonjak tinggi. Radio dalam taksi menyuarakan seorang wanita yang tengah berbasa-basi di sela-sela programnya, membicarakan cuaca yang tiba-tiba berubah. Sedangkan Kenneth tak henti memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan pertemuannya dengan pengirim chat gelap. Dadanya bergemur
Karina memasuki ruang istirahat Rhein's dengan membawa sebuah nampan berisi makanan. Terlihat olehnya, Nicky sedang duduk di pinggiran ranjang dengan memangku bantal. Gadis pirang itu menyembunyikan wajahnya dalam sebelah telapak tangan. Salah satu lengannya—lengan yang diperban—terkulai di ujung bantal yang ia pangku Karina yang menyadari keadaan Nicky masih tak begitu baik pun mencoba memberikan afeksi. "Halo, Nick," sapanya. "Hai ...," respon Nicky dengan tetap menyembunyikan wajahnya. "Apa ... kepalamu masih terasa sakit?" Karina meletakkan nampan brunch di atas meja, ia lalu duduk di sisi Nicky. "Tidak." Nicky menyingkirkan tangan yang semula menutup wajahnya. Tangan itu kini terkulai di atas bantal. Dan ia sedikit menegakkan badan. Sementara wajahnya masih tertunduk. "Maaf, aku merepotkan kalian," ucap Nicky lirih. "Bicara apa kau? Sama sekali tidak." Hening sesaat. Karina mencoba membaca ekspresi Nicky. Nyata si pirang
Shoujin baru saja pulang dari sekolah. Ia menurunkan standar sepedanya begitu saja di halaman rumah, tak peduli jika sepeda itu roboh karena ia tak menyandarkannya dengan benar. Lalu masih dengan tas di punggungnya, ia berlari menghampiri kakak dan ibunya di depan pintu utama. "Kau ...?" Shoujin menelisik pandangannya pada Tomaru. Kakaknya itu berpakaian rapi dengan membawa tas di punggung "Aku akan kembali ..." "Kau sudah akan kembali ke Agathea? Setelah sekian lama, kau baru saja pulang tadi pagi. Dan sekarang kau akan meninggalkan kami lagi? Ayah bahkan belum sempat bertemu denganmu," berondong Shoujin. "Ya, Shoujin. Aku harus," Tomaru menjawab tanpa sedikit pun keraguan. Lalu ia menggenggam erat kedua tangan ibunya. "Ibu, maaf, aku tidak bisa lama-lama di sini. Ada berita yang harus kuliput. Berita besar." "Baiklah, Ibu mengerti, tapi setidaknya tunggulah ayahmu pulang. Dia sedang dalam perjalanan," tawar Kirei pada putra sulungnya.
"Kumohon, Elle. Jangan menangis, kau membuatku sedih. Bukankah seharusnya ini hari paling membahagiakan untukmu?" Shoujin masih berusaha membujuk Michelle. "Karena itulah ... aku ... se ... harus ... nya bahagi ... a hari ini ... tapi ... apa ... yang ... ter ... jadi pp ... ppada ...waj ... jahku? Ini ... ss ... sa ... kit." Michelle terisak sambil menundukkan kepalanya. Kedua kakinya tersembunyi di balik gaun transparan berlapis-lapis berwarna biru langit. "A ... ku ... tidd ... ak ingin ... ter ...lihat ... bb ... u ... ruk ... di deppan teman-te ... manku, ju ... ga ... Un ... cle ... Kenny." Michelle duduk memeluk lututnya di lantai kamarnya menghadap ke dinding, membelakangi Shoujin yang duduk dengan sebelah kaki berjongkok menopang badannya. Rambut panjang Michelle tergerai berantakan, menutup seluruh wajahnya. "Ada apa dengan wajahmu? Apa yang terjadi?" Michelle pun berbalik menghadap ke arah Shoujin. Gaun organdinya bergemerisik. Sebagian ram
Kirei langsung meninggalkan keriuhan pesta ulang tahun Michelle. Dipeluknya erat si sulung yang telah tiga tahun tak memberikan kabar. Tiga tahun Kirei memendam rindu pada putra sulungnya. Dan kini tanpa disangka, ia tiba-tiba hadir di depan mata. Serasa mimpi. Bulir bening yang sesaat lalu menggenang, kini tak tertahan lagi untuk tak tumpah berderai, membasahi pipi halus Kirei. Punggungnya berguncang dalam pelukan putra sulungnya yang tak menunjukkan ekspresi apa pun. "Ya, Mom," jawab Tomaru datar. Sebelah tangannya memberikan usapan yang tak terlihat tulus pada punggung ibunya. "Kau seharusnya memberi tahuku kalau kau akan pulang, supaya bisa menyambutmu." Kirei memeluk erat putra sulungnya, menumpahkan kerinduannya. Shoujin yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa mematung dengan pikiran dan prasangka tak masuk akal. Entah itu nyata atau halusinasi, sang kakak terus mengawasi Michelle. Seingatnya sang kakak belum sekali pun bertemu dengan Michelle sebelum
Menjelang tengah malam, Shoujin dan beberapa orang temannya meninggalkan sebuah kafe. Mereka, yang merupakan anak didik sebuah sekolah memasak, baru saja merayakan keberhasilan mereka meraih hasil yang memuaskan dalam ujian akhir yang akan memberikan sebuah sertifikat yang kelak dapat digunakan sebagai bekal ketika mereka ingin bekerja di restoran, toko bakery dan pastry, atau hotel ternama. Shoujin sendiri mengambil spesialisasi pastry. Dan di usia yang baru menginjak lima belas tahun, ia menjadi yang termuda di antara teman-temannya. Namun, usia hanyalah angka yang tak akan menghentikan sebuah tekad. Sejak kecil, Shoujin telah tertarik untuk membuat pastry. Tampak ekspresi bahagia dari para remaja, laki-laki dan perempuan, yang sedang dalam masa pencarian minat dan menapaki masa depan itu. Berbeda dengan teman-temannya yang mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan gelak tawa, si introvert hanya tersenyum simpul. Ia tak begitu su
Kevin dan Shawn melanjutkan bahasan tentang penculikan Sharon. Kevin duduk di belakang kemudi.“Kau ingat Jum’at sore ketika Caleb dan Lynn mem-bully Nick?” Kevin memutar ulang kejadian pem-bully-an di depan sekolah.“Ya.” Shawn merespons datar. “Malam harinya, Nick membawa kabur Fair Lady.”“Tepat. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Hari Minggu setelah itu, Kenneth menemuiku dengan membawa ponsel Caleb. Dia memintaku meretas e-mail Sharon, menukar identitas pemilik ponsel Caleb dengan identitas Kenneth, dan memasang pelacak pada ponsel Nick. Aku yakin dia ada di balik penculikan Sharon. Kenneth ingin membalas mereka.”“Gosip beredar Kenneth yang menyerang Caleb dan Lynn. Aku tidak akan terkejut, kita tahu dia orang seperti apa.”“Benar. Hei, tapi tidakkah menurutmu aneh? Kenneth cukup sering melakukan kejahatan, tapi dia masih saja bebas berkeliaran. Dan menurutmu apa alasan Kenneth memasang pelacak di ponsel Nick? Apa dia ....”Shawn diam menunggu asumsi Kevin.“Penguntit? Bersikap
Hari terakhir di sekolah sebelum liburan musim panas adalah hari di mana para penghuni sekolah disibukkan dengan urusan administratif dan tak banyak kegiatan di dalam kelas. Sebagaimana kebiasaan mereka, kawanan Shawn menghabiskan waktu di tempat teduh di pinggiran lapangan baseball. Dan seperti biasa Shawn akan sebisa mungkin meluangkan waktu untuk tidur, tanpa peduli di mana pun berada, termasuk saat ini. Mengingat ia harus bekerja sampingan di bengkel Dong-woo atau menjadi pengemudi taksi online di malam hari, pasti melelahkan. Selagi Nick dan Kevin mengobrol ke sana kemari, mengabaikan Charlie yang sibuk sendiri dengan ponselnya, datanglah pasangan Sam-Irina.“Apa kau sudah mendapatkan teman Hispanic?” Irina memancing topik baru seraya duduk dan bergabung.“Belum,” jawab yang lain bersahutan.“Aku punya beberapa teman Hispanic.”Sam menyusul duduk di samping Irina.“Apa dia hot?” selorohnya.“Sam!” Irina mendengus mendengar pertanyaan tak penting Sam.“Ayolah, kau tak harus marah.
Nicky tertegun menyaksikan perkelahian di lapangan baseball, yang melibatkan dua orang siswi yang sejak awal semester ini terlihat dekat. Si pinky dan si brunette saling menjambak rambut. Caleb dan anak-anak tim baseball mencoba melerai perkelahian itu. Tak ingin terlibat, Nicky dan kawan-kawan berandalnya memilih menikmati adegan itu dari pinggir lapangan. Sementara itu Charlie tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan merekam adegan itu menggunakan ponselnya. “Tidakkah menunutmu aneh, Sam?” selidik Irina, tatapannya masih tertuju pada adegan perkelahian. “Tidak. Memangnya kau lupa anak-anak seperti mereka selalu bermuka dua? Di satu waktu mereka akan terlihat sebagai seseorang yang selalu berpihak padamu dan mendukungmu. Tapi saat kau memalingkan punggungmu pada mereka, saat itu mereka akan bersiap menusukmu dari belakang,” jawab Sam santai. Tak lama kemudian, datanglah para guru pria melerai perkelahian itu. Sempat terlihat adanya perdebatan di antara guru-guru itu dengan para
Fair Lady Kenneth melaju kencang membelah jalanan Kota St. Anglo yang mulai lengang menuju West Coast tanpa ada mobil patroli yang mengejar. Mendekati perbatasan dengan West Coast, Nicky terlihat gamang. "Apa akan aman melintasi perbatasan seperti ini?" "Turunkan saja sedikit hingga di bawah 80 km/jam. Akan kuberitahu saat kau mendekati speed trap1." Setelah berhasil membawa mobil yang ia kemudikan melintasi speed trap tanpa gangguan, Nicky pun kembali meningkatkan akselerasi mesinnya. Dalam dua detik, mobil itu telah mencapai kecepatan 150 km/jam. Tak lama kemudian Fair Lady bertemu dengan area yang jalanannya berkelok dan dipenuhi semak di kiri dan kanan. Ia telah sampai di perbatasan. Mobil itu pun kemudian memulai aksinya meliuk mengikuti alur jalan yang menghubungkan kedua county. Malam sudah sangat larut. Rasi Bintang Pari mendekati posisi tegak lurus dari horizon ketika Fair Lady menepi di salah satu surfing spot di Palmline Beach. Tempat ini sedikit jauh dari tempat diadak
Sambil menahan surfboard Nicky, Pandangan Kenneth tak lepas dari setiap interaksi yang terjadi antara si bocah pirang dengan teman-temannya. Ia saat ini berdiri bersebelahan dengan Aaron dan Shoujin, sedikit jauh dari tempat teman-teman Nicky berkumpul. Wajah bocah tomboi itu tak henti mengumbar senyum dan tawa riang. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kenneth, Aaron, dan Shoujin, kawanan Shawn dan pasangan Sam-Irina datang untuk memberikan dukungan pada Nicky dalam penyisihan kompetisi surfing hari ini. Satu per satu, mereka beradu kepalan tangan dengan Nicky. Teman-teman sekolah Nicky juga tak henti memuji aksi bocah itu di atas ombak. Bahkan Charlie merekam aksi si pirang. Sepintas Kenneth menoleh pada Shoujin. Pemuda pelit ekspresi itu bahkan terlihat tersenyum, meski tipis tetap terlihat. Begitu besarkah pengaruh Nicky pada laki-laki gunung es itu? Setelah melambaikan tangan pada teman-temannya yang beranjak meningg
Nicky sedang membereskan peralatan makan kotor bekas sarapan semua penghuni rumah. "Dulu Aaron melarangku selalu menumpang pada Shoujin. Katanya aku tidak boleh bergantung pada orang lain. Tapi lihat yang dilakukannya sekarang." Protes itu Nicky ajukan karena melilhat kebiasaan Freak Brother #2 berangkat selalu dijemput oleh Zac. "Kenapa tidak kaukatakan saja padanya?" sahut Kenneth yang sedang mengutak atik ponsel B sambil duduk menghadap meja makan. "Tentu saja akan kukatakan kalau aku sudah punya waktu bicara padanya. Kau tahu sendiri, aku tidak pernah bertemu dengannya kecuali ketika sedang sarapan. Apa perlu aku membahasnya ketika sarapan? Tidak. Itu bisa merusak mood-ku." "Baiklah. Lalu apa saja yang akan kaulakan hari ini?" "Mulai hari ini aku bekerja paruh waktu di Rhein's. Lalu nanti siang aku ke Palmline Beach. Aku hanya akan membahas dengan Emmery dan yang lain tentang persiapan untuk kontes besok." Nicky sudah selesai mencuci peralatan makan, lalu ia duduk kembali di sa
[Nick, maaf hari ini aku tidak bisa menemai latihan surfing hari ini, adikku memaksaku mengantaranya ke ulang tahun temannya. Bagaimana kalau besok?] bunyi pesan yang Nicky terima dari kontak Emmery. [F*** you. Oke. Jangan kaubatalkan lagi.], balas Nicky. Ia mendengus kesal dan melempar ponselnya ke dasbor. Ia menoleh pada Kenneth dengan bibir cemberut. "Emmery membatalkan rencana hari ini." Saat itu Nicky menyadari ada yang tak beres dengan kakaknya. Pria beruban itu tersenyum-senyum seperti sedang berhalusinasi. Namun, setelah diperhatikan lagi, sebenarnya Kenenth sedang tersenyum padanya. Anehnya, itu membuat Nicky salah tingkah. "Eer ... Kenny, apa yang terjadi padamu?" Nicky tergagap. "Kau cantik," puji Kenneth masih dengan mempertahankan senyum. "Ah, sial." Buru-buru Nicky menarik selembar tisu dari kotak tisu di dasbor. "Pasti karena ini. Karina sialan. Dan gara-gara kau datang tanpa aba-aba, aku jadi terburu-buru dan
Dari rumah Sarah, Kenneth mengebut menuju Forklore, ke apartemennya. Ada PR yang harus ia selesaikan, yaitu berkas dari SAPD. Ia harus sudah siap ketika bertemu kembali dengan Yuri. Tak sampai dua jam Kenneth sudah selesai melahap semua informasi pada berkas itu. Beberapa menit kemudian Yuri datang. Pria berambut platinum grey dan pria berambut biru elektrik duduk berhadapan, masing-masing duduk pada kursi kerja dengan melipat kedua tangan. "Kau sudah mempelajari berkas dari SAPD?" buka Yuri. Pria bernama sandi 'Blue' itu menggaruk pipinya. "Sudah," jawab Kenneth datar dan tegas. "Bagus. Sekarang aku ingin mendengar lebih detail tentang pesta di Morsey." Kenneth mulai memaparkan, "Di Morsey aku bertemu dengan Emilia, dia adalah orang kepercayaan bos Underzone. Emilia tidak menyebutkan nama bosnya, tapi besar kemungkinan itu adalah Mario Cortez. Si bos tidak ada di pesta saat itu, dia sedang berlibur dengan wanita lain. Emilia juga tidak menyebutkan di mana bosnya berada. Dan ada s
Hari sudah beranjak siang ketika ia sampai di rumah Sarah. Saat ini Kenneth sedang berada di dapur untuk menunggu Kevin menyelesaikan pekerjaan yang ia berikan. Ia duduk dengan menumpukan kedua siku pada meja makan, di samping salah satu sikunya tergeletak sebuah map. Seperti pada kunjungan terakhir Kenneth ke rumah ini, Sarah membuatkannya espresso, bedanya kali ini orang tua tunggal Kevin itu tak membuat teh chamomile, melainkan espresso juga untuk dirinya. "Apa ada hal penting yang akan kausampaikan padaku?" tanya orang tua tunggal Kevin pada Kenneth seraya meletakkan secangkir espresso di hadapan Kenneth. Lalu ia duduk berhadapan dengan Kenneth. "Ya. Ini menyangkut Frank." Kenneth menghela nafas, menatap dingin pada kopi panas di depannya. Untuk pertama kalinya Kenneth tak berminat pada minuman yang mulanya dipopulerkan oleh orang Arab itu. Bukan karena rasa kopi itu yang tak enak, melainkan suasana hatinya yang mendadak buruk. "Hanya saja, ini bukan kabar bagus." "Ada apa?" Pan