Entah sudah berapa kali Lydia menghela napas. Entah berapa lama juga dia berdiri di depan gedung kantornya. Pikirannya yang kusut menjadi penyumbang hal-hal yang dia lakukan di luar kebiasaan.
“Lydia?” Yang empunya nama berbalik. Dia bisa melihat Kiara turun dari ojek online dan berlari ke arahnya. “Ngapain berdiri di sini?” “Melamun,” jawab Lydia jujur. “Apa sih yang dilamunkan?” tanya Kiara penasaran, sambil menggandeng mantan teman sedivisinya itu. “Mamaku masuk rumah sakit karena kecelakaan,” jawabnya terpaksa mengikuti langkah Kiara. “Eh, kok bisa?” Lydia menjelaskan kronologisnya sesuai yang dia dengar dari polisi. Dia juga mengatakan alasannya melamun karena memikirkan biaya operasi yang mahal. Tidak ada yang bisa dikatakan Kiara, selain berusaha menghibur rekan kerjanya itu. Dia juga tidaLydia menatap ponselnya dengan tatapan nanar. Lima belas menit lalu Kenzo mengirim pesan yang baru dia baca. Katanya salah satu sahabat Lydia datang untuk membantu menjaga ibunya dan adiknya itu pamit untuk ke kampus. Dan baru saja, Lydia mendapat chat dari Cinta. Sahabatnya itu melaporkan apa saja yang dikatakan dokter ketika mengunjungi ibunya 5 menit lalu. Katanya Liani sudah siap untuk dioperasi. Paling lama 3 hari lagi. “Kalian pikir aku akan membiarkan ini begitu saja? Aku tidak terima karyawanku direndahkan segitunya.” Lamunan Lydia buyar begitu mendengar teriakan Reino. Dia bisa melihat kalau Polar Bear, meneriaki klien mereka di depan polisi yang sedang bertugas. Sementara tiga orang lelaki berusaha menahannya agar tidak mengamuk. Ya. Reino Andersen dan Lydia, besera kliennya dibawa ke kantor polisi karena keributan yang mereka timbulkan. Lebih tepatnya klien mereka yang menelepon polisi, setelah mendapat bogem mentah tepat di bagian mata. “Pa
“Lydia, Sayang.” “Ya, Ma.” Lydia yang sedari tadi melamun mendonggak menatap ibunya yang berbaring rendah di ranjang rumah sakit. “Kamu kenapa sih? Melamun saja dari tadi. Mana menghela napas terus. Kerjaannya banyak ya?” tanya Liani prihatin dengan anaknya itu. “Ya gitu deh, Ma. Mana aku khawatir banget sebentar Mama sudah mau operasi,” jawab Lydia yang duduk di kursi dekat ranjang ibunya. Karena ini hari sabtu, kemarin Lydia yang menginap di rumah sakit. Dia ingin menjaga ibunya dan mengurus administrasi dulu sebelum ibunya dioperasi. Lagi pula Kenzo juga perlu istirahat dengan nyaman di kasur. Jadi kini giliran Lydia yang tidur di kursi. “Pagi Tante.” Suara cempreng Vanessa, sahabat Lydia membuat seisi ruangan berbalik. Bahkan pasien yang di sebelah pun menoleh, membuat para tamu yang datang nyengir seketika. “Jangan terlalu keras sua
“Apa maksud pasal-pasal sialan ini?” geram Reino terlihat sangat marah. Hari sudah berganti dan sekarang sudah hari senin. Operasi ibu Lydia pun berjalan lancar, bahkan selisih biaya rumah sakit sudah di bayar sebagian. Reino menepati janjinya untuk mengirimkan uangnya duluan. Tapi apa yang didapatnya sama sekali tidak sebanding. Ya, semua yang dituliskan Lydia sebagai persyarata sama sekali tidak masuk akal bagi Reino. Amat sangat tidak masuk akal. Kalau soal rahasia, dana 200 juta itu masih bisa dipahami Reino. Lalu soal pemeriksaan laboratorium dan kontrasepsi, itu juga masih bisa dipahami (walau Reino merasa itu juga tidak masuk akal). Lalu pasal soal tidak boleh punya pasangan itu juga aneh, tapi Reino tidak begitu peduli. Satu-satunya masalah adalah Reino harus menunggu 2 minggu lagi. Itu tidak mungkin. Dia tidak ingin disuruh puasa 2 minggu lagi. “Ya, maksudnya seperti itu
“Loh, kok masih ke sini dek? Bukannya ruangan Mama kamu sudah dipindah?” “Hah?” seru Lydia sedikit kaget mendengar keterangan itu. Dia baru saja pulang dari kantor dan langsung ke rumah sakit. Tapi begitu membuka pintu ruangan, pasien kepo yang sekamar dengan Liani malah memberitahunya kabar mencengangkan. “Loh? Masa kamu gak diberitahu sih?” tanya orang tadi terlihat bingung. “Kalau gitu saya coba tanya dulu, Bu. Makasih infonya.” Lydia menunduk sopan sebagai ucapan terima kasih. Dengan perasaan yang tak menentu, Lydia pergi ke meja informasi di lantai itu. Dan betapa terkejutnnya dia ketika menemukan ibunya memang dipindahkan ke kamar untuk satu orang. “Tapi saya kan gak memberi perintah untuk memindahkan Mama saya ke amar itu,” sergah Lydia makin pusing memikirkan biaya yang pasti akan makin melonjak. “Oh, katanya lagi ada program dari atas Mbak. Pasien yang terpilih bisa upgrade kamar secara gratis.” Lydia langsung mengernyit mendeng
Lydia menghela napas panjang. Cacing di perutnya yang sedari tadi meronta-ronta kini sudah terdiam, walau nasi gorengnya belum tersentuh. Rasa syoknya jauh lebih mendominasi ketika melihat wajah pucat ibunya. “Sekali lagi makasih, Pak ya.” Lydia menunduk pada pria yang tadi menyelamatkan ibunya. “Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya kebetulan saja menjalankan tugas dari Pak Reino untuk menjenguk keluarga karyawan yang sedang sakit. Kebetulan beliau siibuk dan saya yang diutus untuk menjenguk.” “Aduh, rupanya Pak Reino itu baik banget ya,” seru Liani yang kini sudah cerah ceria. Ya. Tadi Liani terlihat pucat hanya karena syok dan karena kejadian tadi. Ditambah dengan perempuan yang menyamar sebagai perawat tadi rupanya mencabut infus dari tangan Liani dengan kasar sampai berdarah. Untung jarumnya tidak sampai tertinggal di dalam. “Jangan berlebihan deh, Ma. Pak Reino seperti itu pasti karena kewalahan gak ada aku di kantor. Belum juga ditinggal cuti,” gerutu
Diluar dugaan Lydia, proses pemulihan ibunya cukup cepat. Selang di kepala Liani bahkan sudah dilepas sebelum satu minggu karena memang darahnya tidak banyak. Dan setelahnya, Liani sudah bisa beraktifitas seperti biasa dan boleh pulang dalam waktu dekat. Itu tentunya kabar buruk bagi Lydia karena itu berarti dia sudah harus kembali ke kantor senin ini. Dan itu berarti perjanjian mereka sudah akan berjalan. Tiba-tiba saja Lydia berharap dia datang bulan saja agar bisa menghindar. Tapi itu jelas tidak mungkin karena Lydia baru selesai bulanan 2 hari lalu. Mau berbohong pun Lydia takut kalau Reino meminta bukti. Karena itu disinilah Lydia sekarang, berdiri di depan gedung kantornya dengan helaan napas panjang. “Kamu bisa, Lyd,” gumamnya melangkah masuk. Suasana aneh terasa begitu Lydia masuk ke lobi kantor. Rasanya hampir semua orang menatapnya sambil berbisik. Ada yang memandang penuh tanya, ada juga
Tiba-tiba saja, rapat direksi diadakan. Dalam waktu satu jam setelah perdebatan di lantai lima tadi, seluruh penghuni lantai itu sudah duduk di meja rapat. Berikut para sekretaris atau asisten pribadi masing-masing. Agenda rapat hari ini tentu untuk membahas kelakuan CEO, sekaligus anak pemilik perusahaan. Lydia amat sangat bersyukur karena mantan mertuanya sudah menetap di Denmark dan tidak diikutkan rapat. Alasannya sederhana, di sana hari masih malam dan semua orang pastinya masih tidur. Kalau mereka sampai ikut, masalahnya akan menjadi makin pelik. Masalah kali ini sudah sangat pelik, jadi tidak perlu lagi ditambahkan masalah lain. Terutama fakta soal Lydia dan Reino yang adalah suami istri. Atau tepatnya mantan suami istri “Jadi bisa jelaskan kenapa bisa ada masalah seperti ini Reino?” tanya Pak Fendi yang terlihat paling tenang. Mungkin karena usianya yang sudah matang, membuat pria itu senantiasa tenang.
“Tadi Pak Reino ngomong apa di depan semua orang?” hardik Lydia begitu sampai di ruangan bosnya itu. Lydia tidak perlu lagi khawatir soal kamera pengawas karena Hadi dan orang-orangnya sudah membersihkan semua benda itu. Dia kini bisa melakukan apa pun dengan bebas. “Hanya itu yang bisa kupikirkan. Atau kau mau membeberkan kontrak itu?” geram Reino marah. Reino saat ini sudah sangat kesal gara-gara kasus tidak masuk akal ini. Tapi lihatlah Lydia kini membuat emosinya makin menjadi. “Ya. Gak gitu juga kali, Pak. Nanti saya malah dicap yang aneh-aneh,” seru Lydia frustasi. Yeah. Manusia dan kecurigaannya. Setelah ini pasti banyak orang yang akan mencurigai Lydia masuk ke PT. Linder karena orang dalam. Atau bisa jadi asisten Reino karena hubungan mereka. Bisa jadi Lydia malah dituduh tidur dengan Reino, walau itu tidak salah sih. “Jadi kau ada ide lebih cemerla
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya