Tanpa menunggu jawaban dari Mike, pria itu menarik tangan kanan Mike sembari mendorongnya kesamping untuk membantingnya ke pintu gundang. Pintu besi itu menjadi gaduh karenanya. Tentu itu tidak terlalu masalah bagi Mike, tapi dengan itu pria tersebut mendapatkan kesempatan untuk menjauh dari pojokan dan bergerak ke tengah gudang.
Sebenarnya gudang tersebut tidaklah terlalu gelap karena masih ada cahaya yang masuk dari luar. Hanya saja butuh waktu bagi seseorang untuk menyesuaikan mata ketika ruangan yang terang tiba-tiba gelap. Apa lagi saat ini mereka sudah berada di sisi lain gudang di mana ada pintu angin dan dari situ ada sedikit cahaya yang masuk.
Anehnya, Meski dengan keuntungan dari kondisi gudang yang gelap, saat ini serangan Mike tidaklah
Mike memaksakan fungsi matanya sesaat untuk mengamati aliran energi dari tubuh pria tersebut. Sepertinya pria itu cukup mahir menggunakan teknik pernafasan sehingga dalam waktu singkat saja dia sudah bisa mengkondisikan tubuhnya.“Jadi itu kenapa tubuhmu baik-baik saja setelah menerima seranganku?” tanya Mike.“Yah, mau bagaimana lagi,” sahutnya. “Aku tidak punya pilihan selain menerima seranganmu.”“Jadi?! Apa kita mulai ronde keduanya?”Pria itu kembali mematikan lampu. Tentu Mike cukup paham tujuannya. Pria itu sangat percaya diri dan ju
Seperti tak ada pilihan lain, pria itu akhirnya kembali mematikan lampu dan langsung menyorotkan senternya ke arah Mike dan terus mengawasinya. Namun ternyata Mike sama sekali tidak melakukan apa-apa. Tentu saja, karena saat ini dia sudah tidak bisa melakukannya. Tapi kebimbangan pria itu sudah cukup memberi waktu untuk Mike beristirahat. Dengan tetap menyoroti Mike dengan senter pria itu mulai menyerang. Mike cukup terganggu oleh senter itu dan berusaha menjaga jarak. Sempat kakinya terbentur oleh drum yang ada di dalam gudang. Mike tahu drum tersebut adalah drum minyak ukuran 20 L untuk generator listrik tapi isinya sudah kosong. Dia berharap setidaknya masih ada sedikit sisanya dan kemudian menggulingkan drum tersebut. Sedikit minyak tumpah me
Mansa datang dengan perasaan emosi yang tak terkendali karena melihat kondisi Mike saat ini. Insting pria itu berkata bahwa anak ini berbahaya. Tergerak oleh insting dari pengalaman yang sudah bertahun-tahun, pria itu bermasud menodongkan pistolnya ke arah Mansa. Alih-alih membunuh Mike, saat ini dia tegerak untuk segera membunuh Mansa. Tapi Mike yang menyadari itu, berusaha menahan tangan pria tersebut. Api yang tadinya begitu enggan tumbuh tiba-tiba membesar. Pria itu semakin panik karena isntingnya selalu memberikan sinyal bahaya. Diapun menembakkan pistol itu ke arah Mike karena Mike tidak juga mau melepaskannya. “Dor!!” pria itu menarik pelatuk pistolnya.
Mansa dan Agus membantu Mike masuk ke dalam mobilnya, sementara pintu toko masih dibiarkan terbuka. Anehnya, Mike malah bersikeras untuk duduk di bangku kemudi. “Mike?!” seru Agus khawatir. “Tidak apa-apa. Kamu di sini saja jaga toko.” “Aku yakin masih bisa. Biar Mansa yang menemaniku.” Mike masuk dan menutup pintunya meski Agus masih berdiri di situ tampak ragu. Setelah duduk, Mike menyetting tujuan kendaraan dan rute yang akan mereka tempuh. “Oh, Self-Driving Mode” gumam Agus begitu tahu apa yang sedang dilakukan Mike di mobil. Agus memang tahu sebenarnya Mike masih bisa menyetir meski agak ragu juga. Tapi kalau dengan bantuan mode auto pilot seperti itu, setidaknya Mike mungkin tidak terlalu terbebani. “Kalau ragu, telepon saja salah seorang yang di Pattimura untuk ke sini menemanimu Gus” Agus hanya mangangguk mengacungi jempol dan sesaat kemudian berlari membukakan pagar. Mungkin dengan mode auto pilot mereka tidak
Kawasan ini dulu sebagian besarnya adalah hutan belantara masih bagian dari Bukit Barisan Sumatera. Tapi beberapa tahun belakangan, tempat itu lumayan berpenghuni karena sudah ada beberapa orang bermukim di kawasan tersebut. Apa lagi sejak berdirinya industri Hassan Pharmaceutical di tempat itu. Setelah berjalan sekitar lima menit, Mansa menyeberang ke sisi lain jalan. Rani nampak berdiri di pinggir jalan menantikannya datang. “Jadi di sini rumah makannya?” tanya Mansa. “Oh, kamu tahu keluargaku punya rumah makan di sini?” “Tidak juga. Bukannya di Indarung?” tanya Mansa “Iya di bawah juga ada satu,” timpal Rani. “Mainlah dulu ke dalam,” ajak Rani mengundangnya. Halaman parkir rumah makan itu lumayan luas, justru terlihat jauh lebih luas dari ukuran rumah makannya. Nampak dua mobil L300 dan beberapa motor masih terparkir di situ. Tadi Mansa berpikir sudah mau tutup, tapi sepertinya di dalam masih ada pelanggan. Meski di
“Kamu besok ga sekolah?” tanya Mansa menjelang keluar.“Ujian sudah selesai juga,” jawab Rani.Tiba-tiba Dewi kembali menyelonong masuk ke pembicaraan mereka.“Oh, jadi bagaimana acara perpisahan itu? Jadi?” tanya Dewi pada Rani. “Entahlah,” jawab Rani singkat.“Aku bilang juga apa Rani. Bikin acaranya di sini saja,” Dewi memberi saran.“Ah, iya Mba’. Nanti Rani coba bicarakan sama yang lain.”“Mba’ saranin yaa...,”Namun tiba-tiba Dewi mendengar ada panggilan masuk dari Hpnya.“Sebentar, jangan pergi dulu,” katanya sebelum berbalik ingin menjawab telepon.Begitu Dewi selesai menutup teleponnya, tahu-tahu Mansa dan Rani sudah jauh berdiri di pinggir jalan. Setelah beberapa saat, terlihat dari jauh Mansa menyeberang dan Rani pun kembali masuk.“Eeeh, kok ditinggal gitu? Kan Mba minta...”“Iyaa Mba Dewi. Nanti Rani bilang ke yang lain,” potong Rani dengan ketus.“Kaya’nya Mba Dewi semangat banget ya menantikan Rani mengadakan pesta di sini.”Ketika masuk ke gerbang, Mansa melihat di HP-
Tak peduli ke mana arah perkembangan negeri ini, mau maju atau mundur, mau bobrok atau teratur, ada beberapa hal yang sepertinya tak akan hilang dalam kehidupan manusianya. Salah satunya adalah keberadaan Pasar Raya, pasar tradisional terbesar yang ada di kota Padang. Pasar Raya Padang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan di era 80-90an pernah menjadi sentra perdagangan bagi masyarakat Sumatera Barat, dan juga dari provinsi sekitarnya seperti Riau dan Jambi. Jika Jepang memiliki Shibuya, maka kota Padang memiliki Pasar Rayanya. Pusat elektronik terbesar di sumatera, dari produk terbaru hingga barang-barang bekas yang tak lagi diproduksi massal, semua kebutuhan dapur, bahkan benang tujuh warna beserta kemenyan, dan segala kebutuhan perdukunanpun ada yang jual. Apa yang tak dijual di tempat lain, tak ditemukan di kota lain, bisa ditemukan di sini. Hampir semua bermuara dan berawal di sana. Produsen kelas kakap hingga petani kecil di daerah-daerah kabupa
> Mansa hanya diam dan terus mengikutinya dari belakang. Tentu saja Arif si anak jalanan yang merangkap jabatan sebagai pencopet itu tahu dia diikuti. Alih-alih mencari sasaran baru, sekarang dia sibuk untuk menghindari Mansa yang terus mengikutinya. Sampai pada sebuah gang Arif langsung berbalik dengan perasaan kesal dan emosi. “Sejak kapan Mike begitu peduli dengan urusan pencuri kecil seperti kami?” Bocah itu jelas sangat tidak senang dengan Mansa dan saat ini begitu kesulitan menahan kepalan tangannya di dalam kantong sweaternya. Namun dia tentu ingat apa yang terjadi dengan dirinya dan juga teman-temannya waktu itu ketika mereka mengeroyok Mansa. “Sudah kukatakan, aku bukan suruhan Mike” balas Mansa. “Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu. Maaf jika waktu itu aku terlalu berlebihan menghinamu. Tapi menurutku kamu tidaklah seburuk itu. Kenapa tidak mencoba cari hobi lain?” tutup Mansa menyarankan. “Jika kamu gegabah, bisa-bisa ka