Semakin menyebalkan yang namanya Sari itu
“Oke! Kami akan tetap bercerai!” teriak Dion histeris, saat dilihatnya Sari semakin dalam menekan pisau.Dengan teriakan itu, orang-orang bisa lega karena Sari langsung membuang pisaunya. Sungguh, drama queen perempuan ular itu.Sari pun langsung memeluk Dion, wajahnya terlihat cerah. Hilang sudah drama pengancaman tadi.“Sungguh? Kamu akan menceraikan perempuan itu, Mas?” tanya Sari, memastikan kebenaran ucapan laki-laki itu.Dion mengangguk, tubuhnya lemas. Di dalam isi kepalanya, sudah dapat diperkirakan reaksi apa yang diberikan Diah dan anak-anaknya.“Telepon dia sekarang, Mas,” perempuan itu mendesak Dion.“Nanti saja,” tolak laki-laki itu. Dia merasa perlu menghargai perasaan Diah dan anak-anaknya. Beberapa hari ini, mereka harus jungkir balik gara-gara kesalahannya.“Kenapa nggak sekarang?” Sari semakin mendesaknya. Dion menatapnya dengan perasaan marah yang ditahannya.Dion melirik sekitarnya. Semua orang sudah pergi, begitu Sari tidak jadi mencelakai dirinya.“Aku nggak mungk
Dion terpaku memandang perempuan yang sudah belasan tahun menemaninya.“Kamu sedang sakit, Di. Kita-,” perkataan Dion segera disela oleh Diah.“Aku sakit karena terjebak dengan hal yang nggak penting seperti ini,” sergahnya, tidak sabar dengan sikap plin-plan Dion.Laki-laki itu terdiam dengan bantahan yang dilontarkan oleh Diah.“Aku hanya minta, jangan lalai sama anak-anak. Yang lain-lainnya, tidak akan kutuntut,” pinta perempuan berwajah manis tersebut.Biro pariwisata yang kini dikelola Dion, ada sedikit sumbangan dana dari orang tua Diah ketika didirikan. Tetapi secara hukum, tidak ada hak perempuan itu untuk menuntut.Dulu orang tua Diah percaya sepenuhnya, Dion akan jadi pelindung putri semata wayang mereka.Siapa yang menyangka jika kemudian laki-laki itu melukainya?“Aku akan-,” lagi-lagi, perkataan Dion dipotong oleh Diah.“Jangan berjanji apa-apa, cukup ingat untuk tidak lalai terhadap hak anak-anak,” kata Diah. Dia sudah melihat, Dion sudah bukan laki laki-laki yang sama se
“Ngomong apa sih, Kak,” celetuk Qilla. Dia risih mendengar pertanyaan Mya yang memojokkan ibu mereka.Diah menghela nafas panjang. Paham jika anak sulungnya keberatan dengan pengaturan yang diminta olehnya.Bagi anak generasi milenial seperti Mya, jelas internet dan gawai adalah dua hal wajib untuk kehidupan mereka.Tetapi dengan kebutuhan penting yang harus didahulukan, dan keuangan yang menipis, Diah harus mengurangi anggaran untuk dua hal tersebut.“Kalau Ibu nggak maksa pisah dari Ayah, kita nggak perlu hidup susah!” seru Mya jengkel.“Susah apa sih, Kak? Kita masih bisa makan dan sekolah gini,” sanggah Qilla. Dia berdiri dan membantu ibunya untuk membereskan meja makan.Semenjak Dion pergi dan tidak ada kabarnya, Qilla lebih banyak meluangkan diri untuk membantu ibunya mengurus rumah.Diah menghela nafasnya. Lama-lama tidak dapat mengendalikan diri, melihat sikap anak sulungnya.“Jadi Kakak maunya apa?” tanya Diah, membebaskan Mya bicara keinginannya.“Aku mau tinggal sama Ayah!”
Tidak langsung menjawab pertanyaan dari istri sirinya, Dion mengajak Mya masuk ke dalam rumah.Sari mengikuti mereka. Wajahnya tampak tidak bersahabat.Langkah Dion berhenti di sebuah kamar, dengan perabotan standar. Sebuah bed ukuran sedang, lemari dan meja rias.“Kakak nempatin kamar ini, ya. Taruh dulu barang-barangnya di lemari. Nanti kita cari meja belajarnya,” perkataan Dion, semakin membuat merah wajah Sari.“Kita perlu bicara, Mas,” Sari berkata, kakinya melangkah keluar kamar sebelum suaminya menjawab.Sekilas, Dion memandang Sari yang melangkah keluar. Kemudian kembali fokus kepada puteri sulungnya.“Dirapihin dulu barangnya, Kak. Habis ini kita makan,” kata Dion. Setelah Mya menganggukkan kepala, laki-laki berwajah manis itu keluar.Mya kemudian sibuk membereskan barang-barang. Dion mendekati Sari yang masuk ke kamar utama.“Jelaskan, Mas!” seru Sari, begitu dilihatnya suami sirinya masuk.Dion menghembuskan nafas, sudah memperkirakan reaksi perempuan seksi tersebut.“Mya mi
Dion pusing mendengar istri dan anaknya adu mulut begitu hebatnya. Dia pun berteriak, meminta keduanya untuk diam.Mya pun diam, bagaimana pun dia diajarkan untuk menghormati yang lebih tua. Dia sendiri merasa terlalu berani terhadap Sari, meski sesungguhnya yang dilakukan olehnya karena jengkel.Tetapi Sari tetap melancarkan serangannya terhadap anak tirinya itu. Tidak terima dengan semua perkataan Mya.“Ajari anakmu sopan-santun, Mas!” seru Sari, memojokkan Mya.“Aku sopan kalau Tante Sari beres!” balas Mya. Dia terpancing lagi untuk marah.“Mya, masuk kamar!” Dion memberikan perintah.Dengan wajah tidak terima, Mya menuruti perintah ayahnya. Setelah itu, Dion menarik Sari masuk ke kamar.“Kamu bisa nggak sih, bersikap baik pada anakku?” tanya Dion, kesal dengan sikap istri sirinya.“Anakmu yang kurang ajar!” sanggah Sari.“Yang Mya sebutkan itu benar, Sari! Harusnya Kamu ngurus rumah dan masak,” Dion berkata, mengingat protes putri sulungnya.“Sebelum ada dia, Kamu nggak masa
Setelah tinggal terpisah dari anak sulungnya, Diah sempat terpuruk.Berhari-hari, Diah hanya dapat menangis mengingat putri sulungnya. Walaupun mereka tidak dekat, tetap saja berat terasa di hati tanpa kehadiran Mya di dekatnya.Pada saat itu, dia pun mengabaikan Qilla. Gadis remaja itu hanya diam melihat sikap ibunya. Mencoba mengerti, meski terasa sulit untuk anak seusianya.Sampai Rika mengingatkan Diah, Qilla pun butuh dirinya.“Mya bersama ayahnya, dia aman,” tegur sahabatnya yang berkunjung, setelah tiga hari kepergian putri sulungnya.Dia mendapati sahabatnya diam di kamarnya. Sementara Qilla menikmati ayam goreng krispi kesukaannya, yang tadi dibawakan oleh Rika.“Aku tahu, Ka. Hanya saja, rasanya nggak enak Mya nggak ada di sini,” Diah mengungkapkan isi hatinya.“Lalu bagaimana dengan Qilla?” tanya Rika, ada penekanan pada suaranya.“Kenapa Qilla?” Diah balik bertanya. Timbul rasa khawatir di hatinya.Dia merasa anak keduanya baik-baik saja. Perempuan berparas manis it
Sari terduduk kembali ke kursinya. Dan Mya tahu benar, tidak ada kondisi berbahaya yang dialami oleh ibu tirinya.Dia pernah melihat ibunya dalam kondisi yang lebih berat dibandingkan Sari.Tetapi perempuan itu memanfaatkan kehamilannya untuk menekan Mya di depan suaminya.“Aduh, sakit,” desis Sari, memegangi perutnya. Dion panik, segera mendekati istrinya, mencoba memeriksanya. Tetapi istri sirinya itu menghindari, dengan mendekap erat perutnya.Mya yang melihat cara Sari melindungi perutnya, hanya mendengus geli.“Kamu nggak apa-apa?” Dion bertanya, wajahnya panik dan berusaha meraih perut istrinya yang sudah sedikit menonjol.Sari masih pura-pura meringis, sekaligus mencoba membuat drama untuk memojokkan anak tirinya.“Aku cuma ingin melihat, Mas. Kenapa Mya sampai mendorongku?” Sari pun memulai dramanya. Menangis sengungukan sambil tetap memegang perutnya.Mya mendengus, geli melihat aksi Sari. Dia tahu sekali, bahwa dorongannya tidak kencang. Hanya menepis dan mendorong tangan ibu
Hari ini Diah sedikit lega, karena sudah berkomunikasi dengan putri sulungnya. Setidaknya sudah ada kabar dari Mya, meski tidak terlalu menggembirakan.Diah merasakan hatinya yang kesal. Mendengar anaknya tidak terurus dengan baik oleh pasangan selingkuh itu, rasanya ingin menjemputnya pulang.Tetapi saat ini yang bisa dilakukan hanya mengirimkan makanan untuk putri sulungnya itu. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, Mya tidak harus bingung untuk urusan perut.Menjemput putrinya untuk pulang? Dia belum berani melakukannya. Menghargai keinginan Mya, itu yang diutamakan.“Ibu,” Qilla memanggilnya, menyadarkan dirinya dari lamunan tentang putri sulungnya.Diah mengingat teguran Rika, bahwa Qilla juga butuh dirinya. Dia mengulas senyum kepada putri keduanya, melambaikan tangannya.“Sini, Nak,” Diah berkata, seraya meminta anaknya untuk mendekat. Qilla menuruti ibunya, duduk di sampingnya.“Ada apa?” tanya Diah, tangannya mengelus bahu gadis kecil tersebut.“Apa—nggak sebaiknya
"Mengapa Om ingin membeli rumah kami?" tanya Mya."Karena Om pernah tinggal di sana, jadi ingin kembali," jawab Arga.Mya mengerutkan keningnya."Maksudnya gimana? Tinggal di rumah kami?" Mya pun bertanya kembali.Arga susah payah menahan tawa dengan kepolosan gadis yang duduk di sebelahnya."Bukan, Om dulu tetangga ibumu saat kami masih seusia kalian. Lalu pindah karena pekerjaan orang tua," Arga memberikan penjelasan, setelah berhasil menahan tawanya.Mya pun menganggukkan kepalanya."Jadi ketika Om kembali ke Jogja, rumah itu sudah jadi milik orang lain. Tapi hanya bisa tinggal di kaliurang," Arga melanjutkan ceritanya."Dan tau Ibu jual rumah, makanya Om ingin beli?" Mya bertanya dijawab dengan anggukan kepala Arga."Selain tempat Om yang dulu ada di depan kalian, rumah kalian memiliki banyak kenangan," beritahu Arga.Laki-laki itu tersenyum, mengingat segala hal yang pernah dilewatinya bersama Diah."Apa tujuan Om membeli rumah kami?" Mya masih terus mengejar jawaban Arga."Yang p
Arga menatap layar teleponnya, menimbang apakah perlu menerima atau diabaikan saja."Siapa tahu orang yang mau jual rumah itu, Pa," ujar Tania."Ah betul juga, Nia. Papa belum punya nomer teleponnya," sahut Arga. Dia pun akhirnya menjawab panggilan tersebut.Tetapi dugaan Arga keliru, bukan sahabat masa kecilnya yang menghubungi.["Saya Mya, putrinya Bu Diah, Om."]Sejenak, Arga terpaku. Bertanya di dalam hatinya, darimana remaja putri itu mendapatkan nomer kontaknya.["Maaf, saya menemukan kartu nama Om di meja ruang tamu."] Mya memberikan penjelasan."Oh iya, Mya. Ada keperluan apa sampai telpon Om?" Arga bertanya dengan suara lembut.["Bisakah kita bertemu? Om yang akan beli rumah kami kan?"] Permintaan Mya cukup membuatnya kaget."Boleh Om tahu, kenapa Mya minta ketemu sama Om?" Arga balik bertanya.["Hanya ... ingin ngobrol saja, sebelum ikhlas dengan keputusan yang diambil Ibu."] Mya terdengar ragu-ragu dengan perkataannya.Arga menghela nafas panjang, merasakan kegamangan gadis
Arga menerbitkan senyum, membuat hati Diah mendadak tegang."Asal syaratnya masih masuk akal, aku nggak masalah," Diah melanjutkan perkataannya."Sebuah kesepakatan yang insyaallah saling menguntungkan," Arga menyahut dengan suara tegas."Iya, apa syaratnya?" Diah balik bertanya, wajahnya terlihat penasaran."Assalamu'alaikum, Ibu!" sapaan dari Mya dan Qilla membuat percakapan kedua orang dewasa itu terhenti.Diah pun menyambut kedua anaknya yang baru pulang sekolah."Tadi dijemput Om Heri sama Tante Rika, Bu," beritahu Qilla, tetapi pandangannya terang-terangan mengarah kepada Arga."Tante sama Om langsung pergi, katanya ada urusan," timpal Mya, mencuri pandang ke arah Arga.Diah dan Arga menyadari rasa ingin tahu kedua gadis itu terhadap kehadiran laki-laki dewasa tersebut."Ganti baju dulu ya, nanti kembali ke sini. Ada yang ingin Ibu jelaskan," titah Diah.Kedua anaknya pun menuruti perkataan sang ibu."Apa syaratnya?" Diah mengulangi pertanyaannya kepada Arga. "Kita kerja sama,"
Diah masih terpaku, menatap laki-laki yang masih tampak tampan meski tidak lagi muda.“Siapa ya? Seperti pernah lihat,” gumam Diah, terus memandangi laki-laki tersebut.“Aduh, aku dilupain,” lirih suara laki-laki tersebut, memandang kecewa ke arah perempuan berparas manis tersebut.Sebenarnya, Diah bisa saja bersikap masa bodoh dengan sikap misterius tamunya. Tetapi entah kenapa, dia penasaran. Wajah laki-laki itu terasa familiar.Laki-laki itu tersenyum kecil. “Didi lupa sama Mas Gaga?” tanyanya“ya ampun! Mas Gaga? Yang dulu tinggal di sebelah?” Diah langsung heboh. Memory tentang masa kecilnya pun kembali hadir.Laki-laki tampan itu, namanya Arga Cahyo. Tetangga Diah di masa lalu. Seingatnya, laki-laki itu pindah ke luar kota saat remaja.“Alhamdulillah, sudah ingat sama Mas,” ada nada bersemangat pada suara laki-laki tersebut.Diah tertawa lirih. Dirinya pun senang bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Rasanya kenangan indah muncul kembali di kepalanya.“Apa kabar
“Aku mau jual rumah ini.”. Jawaban Diah jelas membuat Rika terperangah.“Serius kamu?” tanya Rika, setelah rasa syoknya mereda.Diah menganggukkan kepalanya. Sepertinya, perempuan berparas manis itu mantap dengan keputusannya.“Di, ini rumah lho. Jangan gegabah,” sergah Rika.Diah masih diam, mencari kata untuk menjelaskan.“Dari kecil kamu tinggal di sini. Anak-anak pun lahir dan besar di sini,” Rika mencoba mengingatkan besarnya keterikatan sahabatnya itu terhadap rumah ini.Diah menghela nafas. Tahu kekhawatiran sahabatnya. Tetapi mau bagaimana lagi? Dirinya dan anak-anak lebih perlu jika rumah ini dijual.“Mas Dion sudah lepas tangan, yang terakhir diberikan ya yang saat di Pengadilan Agama itu,” Diah memulai penjelasannya kepada sahabatnya.Rika diam, menyimak penjelasan Diah.“Dan uang itu sudah kudepositkan untuk biaya pendidikan anak-anak,” Diah meneruskan perkataannya.Diah diam, masih memikirkan rencana yang sebenarnya baru saja dipikirkan olehnya. Rika menatap ke ara
Sari mendatangi Dion yang sedang duduk bersama kedua putrinya.Wajahnya merah padam dengan tangan mengepal di sisi kiri kanan tubuhnya.Seruannya tentu menarik perhatian orang sekitar. Dion dan kedua anaknya pun mengarahkan pandangan mereka kepadanya.Mya yang sudah menduga apa sumber masalahnya, mendorong sebuah amplop tebal yang dipegang oleh Dion, kembali pada ayahnya.“Sepertinya, istri Ayah nggak suka. Ambil saja kembali,” kata Mya seraya tetap mendorong amplop tersebut kepada Dion.Begitu sampai di depan mereka, Sari menyambar amplop tersebut.“Apa-apaan kamu, Mas!” seru Sari, tatapannya berapi-api.Dion yang gerah dengan sikap istrinya, berusaha meraih kembali amplop tersebut. Tentu saja Sari tidak mau dengan sukarela menyerah kepada suaminya.“Kembalikan Sari, mereka bahkan berhak lebih dari itu!” pekik Dion, marah dan sakit hati bercampur menjadi satu di hatinya.“Ingat, Mas! Aku mau melahirkan dan kita belum punya rumah! Jangan sembarangan kasih uang!” Sari masih ngotot, engg
“Kita tinggal di rumahmu!” seru Dion, setelah berfikir cukup lama.Sari mendelik ke arah Dion, keberatan dengan keputusan yang diambil suaminya itu.“Kenapa harus ke sana? Kenapa bukan ke rumahmu yang dipakai Diah dan anak-anak?” protes Sari.Dion menghela nafas, merasa kesal dengan rongrongan istri sirinya itu.“Rumah itu warisan orang tuanya Diah, bukan hakku mengambilnya,” tegas Dion.Sari mendengus, kesal melihat suaminya masih membela sang mantan.“Tapi kan, Kamu yang membiayai perawatan rumah itu!”Rumah yang ditempati Diah memang besar. Terdiri dari lima kamar tidur dan dua kamar mandi. Halamannya cukup luas, ditata sebagai taman yang asri dan arena bermain. Sari pasti ingin sekali menempatinya.“Itu kewajibanku sebagai suaminya saat itu. Bukan hakku untuk menggugatnya sekarang,” sergah Dion jengkel.“Ya sekarang, sebagai suamiku punya kewajiban untuk memberi tempat tinggal,” Sari masih tidak terima.“Paling lambat, kita besok pagi harus pergi dari sini. Mau cari rumah kontrakan
Dion dan Sari duduk bersisian di ruang tamu. Di hadapan mereka, ada Pak RT dan istrinya yang bernama Aminah.“Pak Dion bilang, sedang menunggu buku nikah,” Pak RT langsung membicarakan poinnya, tanpa basa-basi.“Iya, Pak RT. Kami sudah nikah siri, untuk menghindari fitnah. Belum bisa menikah resmi, karena masih menunggu sidang cerai,” panjang lebar Dion menjelaskan.Pak RT mengangguk-angguk, mencoba memaklumi penjelasan tersebut.Nikah siri karena belum sah bercerai? Demi menghindari fitnah? Tetapi perut yang perempuan sudah tampak hamil? Pak RT merasa gagal paham.“Maaf nih Pak, kapan nikah sirinya?” tanya Aminah dengan raut wajah penasaran.“Sekitar dua bulan yang lalu, Bu,” jawab Dion, tidak menyadari Aminah sedang mengintrogasi dirinya.Aminah menganggukkan kepala. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu menatap perut Sari.“Oh, Mbak Sari sedang hamil ya?” tanyanya seraya tetap melihat perut istri sirinya Dion. Seakan-akan dia baru tahu keadaan tersebut.Sari tersenyum jumawa, tang
Diah yang akan masuk ke dalam mobil,langsung balik kanan. Merengkuh Mya ke dalam pelukannya.Wajah putri sulungnya sudah memerah. Amarah tampak melingkupi remaja cantik tersebut.“Nak, istighfar,” bisik Diah tepat di depan telinga Mya.Di hadapan mereka, Sari sedang memegang pipinya yang memerah, bekas tamparan Mya.“Sudah merah kupingku, dari tadi dia menghina Ibu!” seru Mya, mengadu kepada Diah. Sepertinya sudah tidak mampu mengontrol emosinya lagi.Hari ini memang terlalu berat untuk ditanggung Mya seorang diri. Usianya baru belasan tahun, duduk di bangku SMP. Tetapi harus menghadapi Sari yang lisannya seperti tidak lulus sekolah.Satu hari ini, dua kali dia harus menghadapi drama perempuan, istri baru ayahnya tersebut. Tentu saja yang ketiga kalinya, merasa perlu untuk bereaksi keras.Diah harus menahan putri sulungnya, supaya tidak lagi menyerang ibu tirinya tersebut. Tetapi Sari sepertinya lahir untuk menguji kesabaran manusia waras. Dia main drama lagi.“Dasar anak tidak