Aku melongo. Menahan rasa kecewa karena sayur itu belum sempat kumakan. Suasana meja makan yang berbentuk bundar dan berukuran kecil itu jadi semakin heboh. Mbak Yuli mengomel panjang dan memarahi anaknya bahkan sampai memukul tangan mungil anak itu.
Fatur terdiam dengan bibir menekuk turun siap menangis, tapi terlihat takut karena Mbak Yuli memelototinya. Ah, kasihan sekali. Padahal dia tidak tahu apa-apa.
“Kalau begini terus, kamu nggak Ibu kasih makan lagi! Makan aja tuh bubur yang udah tumpah!”
Aku meringis mendengar perkataan kasar itu. Ibu mertua pun tidak menegur. Dia mengambil alih Fatur yang sedang menangis hebat lalu membawanya keluar dari dapur.
Setelah sang anak dibawa keluar, Mbak Yuli tak lantas berhenti mengomel. Ia mengisi piringnya dengan sayur yang sudah diremas-remas oleh Fatur lalu memakan semua sisa telur dadar yang ada di piring. Tak menyisakanku sedikit pun.Di balik wastafel, aku hanya bisa memandanginya dengan helaan napas kecewa dan perut yang berbunyi. Dalam keadaan kacau begitu, jika kutegur, maka dia akan mengamuk padaku.
Wanita itu makan terburu-buru, bisa dibilang cukup rakus sampai menyuapkan tiga sendok nasi tanpa jeda ke mulutnya. Aku sudah hafal cara makan Mbak Yuli. Entah memang terburu-buru atau sangat kelaparan.
Kulirik pennampilannya. Sama sekali tidak terurus. Rambut yang mengembang diikat asal-asalan sampai anak-anak rambutnya mencuat. Daster yang dipakai sejak dua hari lalu, dipenuhi bekas ingus dan keringat, serta tumpahan makanan.
Badan berisi dan wajah kusam seolah tidak pernah dicuci. Setiap kali melihatnya, aku selalu menemukan jerawat baru di wajah kakak iparku itu.
Namun, aku tidak pernah menghakimi ataupun merasa risih. Tidak sama sekali. Sebab aku tahu seberapa repot mengurus seorang anak. Seperti kata Lastri dan ibu-ibu di gerobak sayur tadi, mempunyai seorang anak berarti menyerahkan tubuh dan jiwa untuk menjadi seorang ibu.
Aku tahu betul itu.
Mbak Yuli belum selesai makan ketika terdengar raungan Fatur yang semakin menjadi. Wanita itu terburu-buru sampai melepaskan sendoknya dan meraup makanan dengan kelima jari lalu melesat keluar. Nasinya masih tersisa, tapi semua lauk dan sayur di atas meja sudah habis.
Tak ada yang tersisa untukku.
Ini sering terjadi. Mungkin mereka berpikir aku sudah makan bersama Mas Herman tadi. Padahal aku terburu-buru menyiapkan makanan dan menyuap suamiku. Mana sempat makan sendiri?
Ah ya sudahlah, nanti tinggal goreng telur saja. Masih ada sisa telur yang tadi kubeli. Yang penting nasinya masih ada.
Selesai mencuci semua peralatan masak, aku menghampiri meja makan yang sangat berantakan. Piring bekas makan Ibu dan Mbak Yuli tak dibereskan, gelas dan wadah makanan pun masih memenuhi meja. Ditambah dengan mangkuk pecah beserta bubur yang tadi dijatuhkan Fatur.
Semua ini membuatku memejamkan mata sambil menahan diri untuk tidak merasa kesal. Sebab aku tahu Mbak Yuli tidak sempat membereskannya karena harus mengurusi Fatur yang rewel. Aku pun tak bisa menuntut mertuaku karena beliau sudah tua dan banyak penyakit.
Terpaksa aku yang harus membereskan semua kekacauan itu. Ini sudah seperti ritual pagi yang melelahkan.
Aku kembali mandi sebelum sholat Dzuhur, sebab badan berbau bumbu dan bawang, serta daster yang basah karena habis membersihkan kekacauan di dapur. Aku harus mencuci piring-piring bekas makan yang menumpuk lagi. Ditambah membersihkan seluruh rumah yang dibuat berantakan oleh Fatur.
Sebelum menghadap kepada Tuhan, aku harus lebih bersih dan wangi dibanding ketika menghadapkan diri kepada manusia. Karena aku yakin Allah akan lebih menyukai sholatku yang bersungguh-sungguh dalam persiapannya meski tidak yakin ibadahku akan diterima.
Sekejap setelah keluar dari kamar mandi, Mbak Yuli menghadangku dengan penampilannya yang awut-awutan dan masih sama dengan tadi pagi. Belek bahkan masih menempel di sudut matanya.
“Ibu lagi tidur siang, bantu jagain Fatur bentar, ya. Aku mau mandi nih. Udah lengket banget.”Aku tersenyum canggung. “Aku sholat dulu kalau gitu ya, Mbak.”
“Aduh, bentar aja. Aku nggak lama kok mandinya. Udah gerah ini.”
Melihat tampilan Mbak Yuli, aku jadi kasihan. Ada lingkaran hitam di bawah mata yang menandakan iparku itu sering kali begadang di malam hari.
“Ya udah deh, tapi jangan lama-lama, ya. Nanti waktu Dzuhur lewat.”
“Iya iya. Bentar doang, kok.” Mbak Yuli tak lupa mendecak. “Pinjam handukmu dong.”
“Eh, tapi ini masih basah, Mbak.”“Nggak masalah. Nanti kujemurin.”
Aku memberikannya dengan ragu. Bagiku handuk adalah salah satu benda pribadi yang tidak boleh dicampur pakai dengan orang lain, karena kain itu sangat rawan ditempati banyak bakteri. Apa Mbak Yuli tidak merasa risih dengan bekas handuk yang sudah kupakai?
Wanita itu menyelonong masuk ke kamar mandi. Membuatku heran mengapa ia juga tak membawa peralatan mandi. Apa salahnya kembali ke kamar dan mengambil sabun dan pasta gigi?
Lalu aku teringat jika sering kali wanita itu memakai sabun dan pasta gigi milikku, juga sabun muka serta segelintir alat mandi lainnya seperti shampo dan yang lainnya. Aku meringis. Jika aku mengetuk pintu kamar mandi dan meminta alat mandiku, maka dia pasti akan tersinggung.
Ah, untuk kali ini aku akan membiarkannya. Nanti setelah Mbak Yuli selesai mandi, aku akan mengamankan semua alat mandi itu.
Terpaksa aku harus menahan diri lagi.
Aku beranjak ke kamar Mbak Yuli. Menemukan Fatur yang sedang duduk di atas ranjang yang dipenuhi pakaian entah pakaian kotor atau bersih. Bantal berserakan di bawah ranjang, membuatku harus berhati-hati melangkah agar tak menginjaknya.
Lantai kamar wanita itu lengket. Bau pesing menusuk-nusuk hidungku ketika aku sampai di ranjang. “Fatur pipis, ya?” Kuperiksa celana anak itu. “Nggak kok.”
Aku melongok ke lantai untuk mencari-cari mana tahu ada bekas pipis yang lupa dibersihkan. Tak sengaja kakiku menyenggol sesuatu yang basah di bawah ranjang. Saat kulihat, aku langsung berjengit. Ada banyak celana basah bekas pipis serta popok bekas yang belum dibuang.
Kali ini aku tidak menahan ringisan jijikku sama sekali. Aku menelan ludah. Betapa berantakannya. Apakah merawat satu orang anak memang membuat kamar seberantakan dan sebau ini?
Aku mengambil keranjang cucian yang tergeletak di tengah ruangan, lalu mulai membereskan semua pakaian yang berserakan di atas ranjang. Jika keadaan kamarnya begini, tentu saja si anak akan mudah sakit. Semua mainan kusatukan di dalam kardus lalu meletakkannya di samping lemari yang pintu-pintunya terbuka. Pakaian di dalam acak-acakan. Pintu lemari berdebu sampai ditempeli kotoran cicak yang sudah kering. Aku mengernyit. Menutup pintu lemari dengan kaki lalu kembali membereskan semua pakaian yang masih tersisa di lantai. Sementara di atas ranjang, Fatur mulai bosan dengan mainannya. Ia merangkak hendak turun dari ranjang. Posisiku sedang membereskan pakaian terakhir ketika sedikit lagi Fatur akan terjatuh dari ranjang. Aku membelalak. Dengan panik berlari ke arah anak itu. Aku terpaksa menjatuhkan diri ke lantai untuk menangkap Fatur. Untunglah aksi itu berhasil. Namun, lutut menjadi korbannya. Fatur menangis kencang. Ia meraung-raung sambil memberontak dalam peganganku sampai mem
Aku tahu jika kuteruskan, itu hanya menjadi bumerang untukku. Mereka berdua akan semakin ganas menyalahkan dan mencari-cari celah untuk memojokkanku. Terlebih suara Mbak Yuli semakin kencang. Tetangga bisa mendengar. Aku memberikan waktu tiga detik untuk diriku menghela napas guna menenangkan diri. Tak ada habisnya jika terus meladeni mereka, meski api amarah sedang menggebu-gebu di hati. “Kalau gitu lain kali Mbak nggak usah minta aku jagain Fatur. Nanti bisa celaka lagi.” Aku melangkah hendak keluar. “Menjadi seorang ibu memang mulia, tapi bukan berarti kalian boleh merendahkan perempuan lain seenaknya.”Aku keluar, meninggalkan ibu dan Mbak Yuli yang masih berkutat dengan napas ngos-ngosan gegara amarah. Samar-samar aku mendengar gerutuan Mbak Yuli saat aku meninggalkan pintu kamar itu. “Lihat mantumu itu, Buk. Kurang ajar banget! Bisa-bisanya Ibu bolehin dia tinggal di rumah ini.”Aku mengembuskan napas berulang kali. Sejauh ini aku tak mengerti mengapa para wanita yang menyand
“Udah, Mas. Nggak usah diingetin lagi. Malah nambah masalah. Dijelaskan pun mereka nggak bakal ngerti dan mengakui kesalahan mereka.”“Ya mau bagaimana lagi, Dek. Diabaikan aja kalau Mbak Yuli nyerang kamu lagi. Nggak usah ditanggepin.”Masalahnya wanita itu punya bekingan kuat, yaitu Ibu. Dia akan selalu dibela bagaimanapun keadaannya. Jika bukan Mas Herman yang memihakku, aku tidak akan bisa sabar menghadapi mereka. “Gimana kalau kita ngekos aja? Yang kecil juga masalah, asal hidup kita tenang.”Aku juga merasa sudah lelah terus memahami kondisi Ibu yang sudah tua dan penyakitan serta Mbak Yuli yang mesti mengurus anak hingga aku tak pernah protes mengenai semua pekerjaan rumah dan melayani mereka semua. Jika sapu dan piring bisa bicara, maka mereka akan menjerit bosan dipegang olehku. “Kamu tahu ‘kan, Dek? Kos-kosan di sini cukup mahal, belum lagi bayar lampu dan listriknya. Aku juga nggak tenang biarin Ibu hidup berdua aja dengan Mbak Yuli. Ibu sudah penyakitan. Kalau ada aku, s
Aku tidak keluar kamar lagi setelah mencuci bekas sarapanku dan Mas Herman. Tak mengerjakan apa pun kecuali tinggal di kamar dan bermain dengan ponselku. Menonton tutorial make up dan berbagai hal tentang riasan. Sebelum menikah dengan Mas Herman, aku bercita-cita menjadi seorang make up artist. Aku percaya jika suatu saat nanti aku bisa mewujudkannya. Namun, karena harus menikah dengan Mas Herman, aku menundanya atau bisa dibilang merelakan mimpiku itu. Entah bisa kuwujudkan atau tidak, karena banyak hal yang harus kufokusi setelah menikah. Itu adalah salah satu pengorbanan yang kulakukan, tapi tak ada orang yang mengakuinya. Mereka selalu saja fokus pada pilihanku yang enggan memiliki anak.Selama seharian aku hanya membersihkan kamar dan merapikan lemari serta debu-debu yang memenuhi perabotan kamar. Tak peduli dengan urusan di luar rumah. Biar saja mereka yang mengurusnya sendiri. Aku bukan pembantu. Selama dua tahun tinggal di rumah ini, aku selalu memaklumi kondisi Mbak Yuli
Aku sangat geram mendengarnya, terlebih ketika menatap wajah berjerawat yang menyebalkan itu. Sebenarnya siapa yang harus dicarikan pembantu? Merekalah yang tak bisa melakukan apa-apa tanpaku.Aku hendak membalas, tapi ada Mas Herman di sini. Aku masih menjunjung kesopanan terhadap suami. Tidak seperti biasanya Mas Herman yang selalu membelaku, kali ini memijat kening. “Sudahlah, Mbak. Nggak usah diperpanjang.”“Apanya yang nggak usah diperpanjang? Ibu ngeluh pinggangnya sakit. Ini semua gara-gara istrimu yang malas itu. Tahunya cuma dandan.”“Kenapa malah jadi salahku?” Aku menendang selimut yang sejak tadi menutupi kaki, lalu berdiri hendak membalas wanita itu. Namun, Mas Herman menghalangi. “Sudah, Dek. Aku pusing. Abis ini biar kuantar Ibu ke rumah sakit. Jangan berantem lagi.” Aku cukup kecewa sebab Mas Herman tak memberikan argumen untuk membelaku. Itu bukan salahku. “Itu memang jemuranku, Farah, tapi harusnya kamu mengerti aku lagi sibuk banget ngurusin anak. Mau kencing da
“Lihat istrimu, Herman. Tidak sekalipun dia tanya bagaimana kabarku dan kenapa aku bisa terjatuh. Seharian dia cuma tinggal di kamar. Mungkin dia pikir aku sangat sehat dan bisa melakukan semuanya sendirian.”Kugigit bibir sekuat mungkin sembari memasuki kamar. Betapa sesaknya dada ini. Setiap hari aku selalu berusaha maksimal untuk melayani mereka semua. Mengerjakan pekerjaan rumah tanpa mengeluh dan mengomel. Namun, malah ini yang kudapatkan. Sebenarnya di mana salahku? Apakah menunda untuk memiliki anak adalah dosa yang sangat besar? Karena itu mereka memperlakukanku secara tidak adil?Pintu kamar terbuka dan Mas Herman masuk sambil melepas jaket. Menghela napas berulang kali, tetapi tak menyapaku seperti biasanya. Ia melepas kaos kaki dan langsung mengambil handuk kemudian keluar kamar.Mas Herman benar-benar mengabaikanku. Entah sudah berapa banyak keburukanku yang dia dengar dari mulut Ibu selama mengantarnya ke rumah sakit. Kuputuskan memanaskan mie ayam yang belum tersentuh
Esoknya Mas Herman mendiamkanku. Ia menolak kusuapi dan berangkat ke kantor lebih pagi. Aku masih berada di dalam kamar, enggan keluar dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang sudah seperti rutinitas bagiku itu. Aku hanya ke dapur untuk membuat teh buat kubawa ke kamar. Rencananya untuk santai dan menikmati waktu sendirian. Kulihat toples gula kosong. Keningku mengerut, melirik air yang kupanaskan di atas kompor. Kebetulan Ibu datang. Sebenarnya aku malas berbicara dengannya, tapi mau bagaimana lagi. “Gula habis, Bu?” tanyaku. “Iya,” jawab Ibu singkat. “Loh, kok habis? Kemarin pagi bukannya Ibu ke pasar, ya?” “Yo aku ndak beli gula.” Ibu memeriksa magicom lalu cuek bebek saat tidak mendapati nasi di dalamnya. “Kok nggak beli? Aku ‘kan udah setor biaya bulanan sama Ibu.” Aku berusaha berbicara dengan nada yang rendah, tak ingin dianggap pembangkang lagi. “Uangnya kubeliin emas. Malu sama yang lain kalau ke kondangan gak pake emas.” Allahu Akbar. Dadaku langsung terasa panas.
“Alhamdulillah kalau gitu ya, tapi kulihat-lihat kamu rada murung begitu. Ada masalah di rumah mertuamu?” Aku terdiam. Padahal aku tak menunjukkan wajah yang murung. Dari tadi aku tersenyum. Aku belum sempat menjawab ketika anak sulung Mbak Keke yang berusia empat tahun berlari dari dalam kamar sembari memegang mainan senapan yang besar dan disusul dengan adiknya yang baru berumur dua tahun. Pasti sangat repot mengurus kedua anak laki-laki itu setiap hari. Mereka juga sangat aktif. “Jangan lari-lari. Nanti Kakak sama Adek jatoh!” Sudah biasa bagiku mendengar suara keras Mbak Keke yang memperingati anaknya. “Suami Mbak shift pagi, ya?” Aku mengalihkan topik, malas membahas masalah di rumah. “Iya, aku juga gak ada job selama seminggu ini. Jadi, dia ambil shift pagi.” Suami Mbak Keke bekerja sebagai kasir supermarket besar yang jaraknya cukup jauh dari sini. Setiap hari suaminya mesti menempuh perjalanan berangkat dan pulang kira-kira tiga sampai empat jam.Mbak Keke adalah seorang
Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan
Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co
“Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti
Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.
“Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut
‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”
“Hah? Kamu hamil?”Aku mengangguk atas reaksi kaget Mbak Keke. Siang ini dia ada di kamar kosku setelah aku memberitahu alamat padanya. Karena aku tak bisa berkendara ke rumahnya yang cukup jauh. Keheningan menyelimuti kamar. Kami sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing. “Jadi … kamu mau apa sekarang?”Aku menunduk dengan helaan napas pendek yang penuh keresahan. “Aku juga nggak tahu, Mbak.”“Gini aja. Lakukanlah masa percobaan dulu. Mungkin satu atau dua bulan. Kalau mereka tetap memperlakukanmu secara nggak baik, aku sendiri yang bakal jemput kamu di rumah itu.”Itu ide yang tidak buruk. “Aku nggak yakin, Mbak. Bagiku rumah dan kampung itu seperti neraka. Aku yang nggak hamil aja memilih kabur, bagaimana dengan aku yang sedang hamil?”“Mungkin mereka akan berubah karena kamu sedang hamil. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau mereka mengucilkanmu karena kamu belum punya anak?”Aku terdiam lama. Apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik setelah mendengar kabar kehamil
Aku terperanjat. Rasanya seperti jatuh dari ketinggian. Tubuh ini hampir luruh ke lantai jika wanita itu tak segera menangkapku. “Kebetulan saya bidan. Mbak mau saya antar ke puskesmas tempat saya praktik?”Aku masih tidak fokus. Kepala tiba-tiba menjadi kosong. Suara- kencang suara di sekitar tidak begitu terdengar. Jantung ini melesat hingga terasa sakit. “Saya … mau cerai.”Kesunyian kembali menyelimuti. Aku mendongak dan sekilas melihat ekspresi bersalah di wajah bidan itu. “Saya mengerti. Mau saya antarkan ke suami Mbak?”Aku menggeleng keras. Tak tahu apa yang harus kulakukan kedepannya. Apakah harus memberitahukannya pada Mas Herman?“Tentu penilaian saya nggak begitu akurat. Untuk mengetahui lebih jelas, Mbak bisa tes sendiri dengan test pack atau memeriksakan ke rumah sakit.”“Saya boleh minta tolong?” Aku mencoba berdiri dengan kedua kaki meski rasa mual itu terus saja mengobrak-abrik perut. “Tentu, saya siap bantu.”“Bisakah Mbak mengambilkan hasil surat tuntutan percer
Tiga hari kemudian, aku baru bisa bangkit dari tempat tidur. Mendapati kamar yang sempit dan kosong. Aku perlu membeli kompor dan peralatan masak. Untunglah aku masih punya banyak tabungan dari upah jadi asisten MUA ditambah dengan emas-emas yang Mas Herman belikan. Aku beranjak ke pasar. Motor yang kupakai adalah kendaraan yang dicicilkan Bapak sebelum menikah dengan Mas Herman, jadi aku juga membawanya. Aku membeli kompor, tabung gas, peralatan makan dan alat-alat memasak serta kipas angin berukuran kecil. Memutuskan memenuhi kosanku dengan barang-barang agar aku bisa tinggal lebih nyaman. “Eh, Mbak Farah. Lagi belanja, ya?” Suara yang renyah dan sopan itu membuatku menoleh. “Oh, Mas Farel.”“Nggak usah panggil Mas. Aku masih mahasiswa kok.”Aku memberikan senyum canggung. Lelaki itu lebih muda, tapi jauh lebih tinggi dariku. “Udah dapat kosan?” “Sudah.”“Oh, sini barangnya biar aku bawain. Motornya di mana?”Belum sempat aku setuju, Farel sudah merebut semua belanjaan dari ta